• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi dan Ruang Lingkup

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 165-177)

MODEL KAJIAN TASAWUF

A. Definisi dan Ruang Lingkup

U

sul fikih dan fikih mempunyai hubungan yang sangat erat. Yang pertama merupakan akar dari hukum Islam yang membahas indikasi-indikasi dan metode-metode di mana aturan-aturan fikih dideduksi dari sumber-sumbernya. Indikasi-indikasi ini dijumpai utamanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber utama syariah. Aturan-aturan fikih berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah yang sejalan dengan sejumlah prinsip dan metode yang secara kolektif dikenal dengan sebutan usul fikih. Sebagian sarjana menjelaskan usul fikih sebagai metodologi hukum, suatu penjelasan yang akurat namun tidak lengkap. Meskipun metode-metode penafsiran dan deduksi merupakan perhatian utama bagi usul fikih namun ia bukan semata diperuntukkan pada metodologi. Katakanlah

MODEL KAJIAN

USUL FIKIH DAN FIKIH

bahwa usul fikih merupakan ilmu mengenai sumber-sumber dan metodologi hukum yang akurat dalam arti bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber sekaligus materi bahasan di mana metodologi usul fikih diterapkan. Al-Qur’an dan Sunnah sendiri mengandung sangat sedikit metodologi, namun lebih menyediakan inidikasi-indikasi di mana aturan-aturan syariah dapat dideduksi. Metodologi usul fikih sesungguhnya merujuk kepada metode-metode penalaran seperi analogi/qiyas, istihsan, istishab, dan aturan-aturan penafsiran dan deduksi. Semua ini didesain untuk berperan sebagai alat bantu menuju pemaham-an ypemaham-ang benar tentpemaham-ang sumber-sumber dpemaham-an ijtihad.

Mendeduksi aturan-aturan fikih dari indikasi-indikasi yang tersedia dalam sumber-sumber merupakan tujuan dari usul fikih. Fikih pada dasarnya merupakan hasil atau produk dari usul fikih, dan keduanya merupakan disiplin yang terpisah meskipun saling berkaitan. Perbedaan utama antara fikih dan usul fikih ialah bahwa fikih berkaitan dengan pengetahuan tentang aturan-aturan rinci dalam hukum Islam dalam berbagai percabangannya, dan usul fikih berkaitan dengan metode-meto-de yang diterapkan dalam menmetode-meto-deduksi aturan-aturan itu dari sumbernya. Fikih, dengan kata lain, merupakan hukum itu sen-diri sementara usul fikih ialah metodologi hukum. Hubungan antara kedua disiplin ini seperti ikatan antara tata bahasa dengan bahasa, atau antara logika dengan filsafat. Usul fikih dalam pengertian ini menyediakan kriteria standar untuk mendeduksi secara benar aturan-aturan fikih dari sumber-sumber syariah. Pengetahuan memadai tentang fikih menghendaki hubungan erat dengan sumber-sumbernya. Inilah yang membawa kita pada suatu pengertian bahwa fikih merupakan ilmu tentang aturan-aturan praktis syariah yang diperoleh dari bukti-bukti rinci dari

sumber-sumbernya (Amidi, Ihkam, I, 6; Syawkani, Irsyad, P. 3). Pengetahuan tentang aturan-aturan fikih, dengan kata lain, harus diperoleh secara langsung dari sumber-sumbernya, suatu persyaratan yang mengimplikasikan agar seorang fakih mesti melakukan kontak dengan sumber-sumber fikih. Akibatnya, seseorang yang mempelajari fikih yang terpisah dari sumber-sumbernya bukanlah seorang fakih (Cf. Abu Zahrah, Usul, p. 6). Fakih harus mengetahui bukan hanya aturan bahwa melanggar hak milik orang lain itu dilarang namun juga bukti rinci mengenainya dari sumber-sumbernya, yaitu ayat Al-Qur’an (2): 188: “Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lainnya dengan jalan yang batil”.

Tujuan utama usul fikih adalah mengatur ijtihad dan membimbing fukaha dalam upaya mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya. Kebutuhan akan metodologi usul fikih merupakan keharusan ketika orang biasa berusaha untuk melakukan ijtihad, dan risiko kesalahan dan kebingungan dalam perkembangan syariah menjadi sumber kekhawatiran ulama. Tujuan usul fikih ialah membantu fukaha untuk memperoleh pengetahuan memadai tentang sumber-sumber syariah dan tentang metode-metode deduksi dan inferensi fikih. Usul fikih juga mengatur penerapan qiyas, istihsan, istishab, istislah, dst, yang pengetahuannya membantu fukaha untuk membedakan metode deduksi mana yang paling sesuai untuk memperoleh hukum syar`i dalam masalah tertentu. Lebih jauh, usul fikih membantu fukaha untuk menentukan dan membandingkan kekuatan dan kelemahan dalam ijtihad dan memberikan preferensi dalam memilih ijtihad yang selaras dengan nash.

Pada dasarnya fikih memang lebih dulu daripada usul fikih karena usul fikih baru berkembang pada abad kedua hijrah.

Selama abad pertama hijrah belum ada kebutuhan akan usul fikih. Ketika nabi masih hidup, petunjuk dan solusi untuk setiap masalah yang dihadapi dapat diperoleh dari Nabi langsung melalui wahyu atau melalui perintahnya. Selama periode itu pula para sahabat berhubungan erat dengan ajaran-ajaran Nabi dan keputusan-keputusan sahabat yang diilhami oleh peristiwa yang sudah ada. Kedekatan pada sumber dan pengetahuan yang lekat tentang peristiwa-peristiwa membuat para sahabat memiliki otoritas untuk menjawab masalah praktis tanpa membutuhkan metodologi (Khallaf, ‘Ilm, p. 16; Abu Zahrah, Usul, pp. 16-17). Namun, bersamaan dengan semakin luasnya wilayah Islam, para sahabat mulai tersebar dan akses langsung pada mereka semakin sulit. Dengan demikian, kemungkinan terjadi kebingungan dan kekeliruan dalam memahami sumber-sumber teks menjadi lebih tampak. Perselisihan dan keragaman pemikiran fikih di berbagai wilayah berbeda menekankan perlunya metodologi usul fikih. Asy-Syafi’i datang pada saat kontroversi fikih telah terjadi antara fukaha Madinah dan Irak, yang dikenal sebagai

ahl al-hadis dan ahl ar-ra’y. Pada masa ini pula para ulama hadis berhasil mengumpulkan dan mendokumentasi hadis. Pada akhirnya para fukaha menjamin keberadaan Sunnah, dan mereka mulai mengelaborasi hukum, dan karenanya membutuhkan metodologi untuk mengatur ijtihad menjadi semakin penting. Konsolidasi usul fikih sebagai disiplin syariah merupakan kesimpulan logis dari kompilasi sejumlah besar literatur hadis.

Beberapa Contoh Perbedaan antara Fikih dan Usul Fikih

Fikih mengajarkan Usul Fikih mengajarkan

Beribadah hanya wajib jika seseorang telah cukup kesadarannya (aqil) dan telah mencapai umur (baligh)

Bicara tentang apa arti haram, apa itu mustahab, dst.

Jika seseorang bicara dalam salat, maka ia telah membatalkan salatnya

Bagaimana menurunkan aturan dari sumber yang secara Islam dapat diterima (bagaimana kita memahami berbagai perintah sebagai sunnah yang bertentangan dengan fardu)

Haram hukumnya makan babi

Siapa yang memiliki otoritas untuk mempersoalkan masalah hukum dan mendeduksi aturan-aturan hukum Islam dari sumber-sumber hukum Islam. Dengan kata lain, apa syarat-syarat seorang mujtahid dan apa yang harus ia lakukan ketika sumber-sumber legislasi tampak kontradiksi

Mengeluarkan zakat adalah kewajiban

Apa yang dapat digunakan sebagai bukti untuk fatwa (mufti dapat menggunakan Al-Qur’an atau mufti tidak dapat menggunakan horoskop masa kini)

Jika seseorang kentut maka ia batal wudhu

Bagaimana mendamaikan antara dua bukti yang tampak saling bertentangan

Salat hanya diwajibkan ketika waktunya tiba

Bagaimana menafsirkan kode-kode bahasan yang bermacam-macam Wajib hukumnya salat lima

waktu sehari

Bagaimana mendeduksi aturan baru berdasarkan aturan yang sudah ada dalam sumber-sumber hukum Islam

B. Dua Pendekatan: Teoretis-Rasional dan Deduktif

Seiring dengan lahirnya mazhab-mazhab fikih, berbagai ulama dari mazhab-mazhab itu mengadopsi dua pendekatan berbeda dalam mengkaji usul fikih, yakni pendekatan teoretis dan

pendekatan deduktif. Pendekatan teoretis atau rasional hanya digunakan oleh penduduk Hijaz. Setelah menderivasi prinsip-prinsip dari Al-Qur’an dan Sunnah, para sarjana mencoba menyesuaikan pandangan-pandangan mazhab mereka dengan prinsip-prinsip itu. Jika tidak sesuai, pandangan-pandangan itu akan dimodifikasi. Ketika menderivasi hukum Islam mereka bersandar pada taklid, dalam arti membatasi diri mereka hanya pada teks apa pun yang mereka punyai, dan karena itu dikenal juga sebagai kaum literalis. Para penduduk Hijaz mengikuti pendekatan ini karena mereka memiliki akses lebih banyak kepada hadis-hadis. Ciri-ciri dari pendekatan ini ialah: bebas dari pendapat imam terdahulu; tidak melihat pendapat-pendapat fikih; terlibat dalam konflik teori dan filsafat tanpa alasan, yaitu kemaksuman Nabi sebelum kenabian. Tidak wajib untuk mengikuti tindakan-tindakannya sebelum ia menjadi Nabi; para pengikut mazhab ini mengembangkan prinsip-prinsip.

Pendekatan deduktif atau tradisional digunakan oleh pen-duduk Irak yang melukiskan kebudayaan Persia, yang menekan-kan penalaran rasional. Pendekatan ini disebut tradisional karena prinsip-prinsip usul diderivasi berdasarkan atas pandangan-pandangan imam Abu Hanifah tentang persoalan-persoalan fikih. Jika salah satu pandangannya kontradiksi dengan prinsip usul, prinsip itu sendiri yang harus dimodifikasi. Inilah mengapa sulit bagi mazhab Hanafi untuk mengatakan imam salah. Imam Karkhi mengatakan: jika prinsip-prinsip bertentangan dengan pernyataan syekh, maka mungkin sumber dapat dipahami dengan dua cara dan pandangan ini lebih baik. Ketika berupaya untuk menderivasi hukum Islam, Abu Hanifah menggunakan ijtihad bila ia tidak mempunyai sumber yang tersedia (meskipun

mungkin ada sumber namun ia tidak mengetahuinya). Karena itu, mazhab rasionalnya berupaya agar hukum Islam menjadi praktis dan mudah dipahami. Ciri-cirinya antara lain: sejumlah prinsip terbatas karena Hanafi hanya mengikuti contoh imam. Umumnya mazhab ini diikuti oleh penduduk di India, Pakistan, Turki, Irak, dan kebanyakan negara Islam di dunia. Sementara itu, mazhab Hanbali diikuti penduduk Saudi Arabia; Maliki diikuti di Afrika Utara dan Spanyol; Syafi’i diikuti penduduk Yaman, Afrika Timur, Indonesia dan Malaysia.

Perbedaan utama antara dua pendekatan ini lebih pada orientasi dan bukan pada substansi. Pendekatan teoretis sangat peduli dengan penjelasan ajaran-ajaran teoretis; pendekatan kedua bersifat pragmatis dalam arti bahwa teori diformulasi dengan memerhatikan terapannya dalam persoalan-persoalan yang relevan. Perbedaan antara dua pendekatan ini lebih meng-gambarkan kerja para pembuat draf hukum dibandingkan de-ngan kerja seorang hakim. Yang pertama sangat peduli dede-ngan penjelasan prinsip-prinsip, sementara yang kedua cenderung mengembangkan sintesis antara prinsip dan persyaratan-per-syaratan dari kasus tertentu. Pendekatan teoretis dalam kajian usul fikih diadopsi oleh Mazhab Syafi’i dan mutakallimun, yakni ulama kalam dan Mu`tazilah. Pendekatan deduktif sangat dekat dengan Hanafi. Yang pertama dikenal sebagai usul asy-Syafi’iyyah atau tariqah al-mutakallimun, sementara yang kedua dikenal sebagai usul al-Hanafiyyah atau tariqah al-fuqaha’.

Syafi’i sendiri sangat peduli dengan artikulasi prinsip-prinsip teoretik usul fikih tanpa berupaya menghubungkannya dengan fikih itu sendiri. Sebagai seorang metodolog, ia menetapkan seperangkat kriteria standar yang diharapkan diikuti dalam upaya pembentukan aturan-aturan fikih secara terperinci.

Penjelasan teoretiknya tentang usul fikih dengan kata lain tidak mempertimbangkan penerapan praktisnya di wilayah cabang (furu`). Di samping itu, Syafi’iyyah dan mutakallimun cenderung terlibat dalam isu-isu kompleks yang filosofis yang boleh jadi memberikan atau tidak memberikan kontribusi bagi perkembangan aturan-aturan praktis fikih. Dengan cara ini, bahasan mengenai kemaksuman Nabi sebelum misi kenabiannya misalnya, dan masalah perolehan status individu atau wewenangnya sebelum turunnya wahyu syariah, dan juga persoalan logika dan bahasa yang jauh relevansinya dengan aturan-aturan praktis fikih cenderung lebih banyak muncul dalam karya-karya Syafi’iyyah dan mutakalllimun daripada Hanafiyyah. Hanafiyyah telah berupaya menjelaskan prinsip-prinsip usul fikih dalam kaitannya dengan fikih itu sendiri dan cenderung lebih pragmatis dalam pendekatan mereka terhadap masalah ini. Pendek kata, pendekatan teoretik condong meman-dang usul fikih sebagai disiplin mandiri di mana fikih harus me-nguatkannya, sementara pendekatan deduktif berusaha meng-hubungkan usul fikih lebih dekat dengan isu-isu terperinci dalam wilayah furu` dalam fikih. Misalnya, ketika Hanafiyyah menemukan prinsip usul bertentangan dengan prinsip fikih yang mapan, mereka cenderung menyesuaikan teori sehingga dalam banyak hal konflik yang sedang dihadapi dihilangkan, atau mereka mencoba membuat pengecualian untuk mencapai kompromi. Tiga karya penting yang mempergunakan pendekatan teoretik atas usul fikih adalah Al-Mu’tamad fi Usul al-Fiqh karya tokoh Mu’tazilah Abu Husayn Basri (w. 436), Kitab al-Burhan karya Syafi’iyyah Imam al-Haramayn al-Juwayni (w. 487) dan Al-Mustasfa karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505). Tiga karya ini kemudian diringkas oleh Fakhr ad-Din

ar-Razi (w. 606) dalam bukunya Al-Mahsul. Sayf Ad-Din al-Amidi’s menulis karya besar Al-Ihkam fi usul al-Ahkam yang merupakan ringkasan dengan catatan atas tiga karya di atas.

Karya Hanafi paling awal tentang usul fikih adalah Kitab fi al-Usul karya Abu al-Hasan al-Karkhi (w. 340) yang diikuti oleh

Usul al-Jassas karya Abu Bakr ar-Razi al-Jassas (w. 370). Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 483) menulis karya terkenal Usul al-Bazdawi, yang ditulis sejalan dengan pendekatan Hanafiyyah. Karya ini diikuti oleh karya besar lainnya oleh Syams ad-Din as-Sarakhsi (w. 490) dengan judul Usul al-Sarakhsi.

Fase berikutnya dalam perkembangan literatur usul fikih ditandai oleh upaya untuk mengkombinasikan pendekatan teoretik dan deduktif menjadi integral dan tercermin dalam karya-karya ulama Syafi’i dan Hanafi pada periode berikutnya. Kombinasi antara karya al-Bazdawi dan al-Amidi diusahakan oleh Muzaffar ad-Din as-Sa’ati (w. 694) berjudul Badi’ an-Nizam al-Jami ‘Bayn Usul al-Bazdawi wa al-Ihkam. Karya lain yang sama pentingnya adalah Sadr asy-Syari’ah ‘Abd Allah bin Mas’ud al-Bukhari (w. 747) berjudul At-Tawdih yang merupakan ringkasan dari Usul al-Bazdawi, Al-Mahsul, dan Mukhtasar al-Muntaha karya fakih Maliki, Abu Umar Usman bin al-Hajib (w. 646). Tiga karya lain yang terkenal mengkombinasikan dua pendekatan ini ialah

Jam’ al-Jawami karya fakih Syafi’i, Taj ad-Din as-Subki (w. 771),

At-Tahrir karya Kamil ad-Din bin al-Humam al-Hanafi (w. 860), dan Musallam as-Subut karya fakih Hanafi, Muhibb ad-Din bin ‘Abd asy-Syakur (w. 1119). Akhirnya, daftar karya ini kurang mantap tanpa menyebutkan karya Abu Ishaq Ibrahim asy-Syatibi Al-Muwafaqat, yang komprehensif dan barangkali unik dalam memperhatikan filsafat (hikmah) tasyri’ dan tujuan-tujuan yang telah dicapai melalui aturan-aturan syariah yang terperinci.

Dua Pendekatan Klasik Usul Fikih

Pendekatan teoretik membentuk fikih secara independen

Pendekatan deduktif dibentuk dalam sorotan fikih

Nama mazhab Tariqah

Al-Mutakallimin, Usul al-Syafi’iyyah

Tariqah Al-Fuqaha, Usul Al-Hanafiyyah

Mazhab pemikiran

Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Mu’tazilah (Usul Asy-Syafi’yyah)

Hanafi – terbatas pada bahasa dan sangat praktis. Mereka mengikuti para imam. Pendekatan

utama

1. Menjelaskan doktrin teoretik lebih dulu dari penerapannya pada masalah fikih. 2. Mengartikulasikan

prinsip-prinsip teoretik usul fikih secara independen tanpa harus

menghubungkannya dengan fikih itu sendiri (seperti membahas sifat fisik malaikat).

1. Teori dibentuk dalam sorotan penerapannya pada persoalan fikih yang relevan.

2. Dalam pendekatan pragmatis, prinsip-prinsip usul fikih dijelaskan dalam kaitannya dengan fikih itu sendiri (jika ia tidak memberi pengaruh pada fikih, maka ia tidak dibahas dengan tujuan untuk menderivasi prinsip-prinsip usul fikih).

3. Terlibat dalam isu-isu kompleks yang berkarakter filosofis yang dapat atau tidak dapat berkontribusi pada perkembangan aturan-aturan praktik fikih. Seperti isu kemaksuman Nabi sebelum misi kenabiannya. Mereka hanya mendiskusikan semua ini dengan tujuan untuk menyempurnakan teori.

3. Suatu prinsip usul yang tampak bertentangan dengan prinsip fikih yang mapan menghendaki penyesuaian teori dengan berbagai cara. Pembahasan teoretik tidak dijumpai dalam mazhab ini. Karena ia tidak peduli dengan praktikalitas dari sebuah teori. Seperti kita tidak akan peduli dengan kamaksuman Nabi sebelum kenabiannya. Karya-karya besar 1. Al-Mutamad oleh Abdul Hussayn Al-Bassri 436H (1044). 2. Al-Burhan oleh Imam Al-Haramayn Al-Juwayni 487H (1094). 3. Al-Mustasfa oleh Al-Ghazali 505H (1111). 4. Al-Mahsoul oleh Fakhruddin Ar-Razi 606H (1209). 5. Al-Ihkaam Fi Usul Al-Ahkam oleh Al-Aamidi 713H (1314). 1. Hassan Al-Karhi 340H (951).

2. Usul Abu Bakr Ar-Razi Al-Jassas 370H (980). 3. Ta’sis An-Nadhar oleh

Ad-Dabbussi 430H (1038). 4. Usul Al-Bazdawi 482H (1089). 5. Usul As-Sarakhsi 490H (1096).

MODEL

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 165-177)