• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Islam dan Orientalisme

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 56-63)

STUDI ISLAM

A. Studi Islam dan Orientalisme

Studi Islam sebagai sebuah disiplin, sebagaimana banyak disi-plin keilmuan di universitas modern, juga muncul pada abad 19. Disiplin ini disebut Orientalisme. Humanisme klasik de-ngan minatnya terhadap penemuan khazanah capaian-capaian manusia pada masa lampau melalui catatan teks, sejalan dengan bergulirnya semangat Pencerahan, secara mendalam memenga-ruhi orientalisme. Filologi abad ke-19 lebih diwarnai dengan

pandangan dunia Romantisisme dan pencarian terhadap apa yang berharga pada masa lalu dan “dunia liyan” yang eksotik.

Karya manuskrip berbahasa Arab banyak dikaji oleh utamanya para sarjana yang dikenal luas dalam bidang studi Injili dan filologi klasik. Islam masa pertengahan telah meninggalkan sejumlah khazanah karya-karya tertulis yang sangat kaya dalam bentuk manuskrip di antara peradaban-peradaban besar dunia lainnya. Ribuan manuskrip dalam koleksi di seluruh Timur Tengah, Eropa dan Amerika Utara disunting dan dikaji secara kritis dan serius. Tugas menemukan tradisi literer Islam kuno yang menghasilkan penerbitan-penerbitan teks-teks kuno yang masih dalam bentuk manuskrip merupakan capaian penting pada abad ke-19, abad orientalis. Pendidikan kesarjanaan di dunia Muslim sekaligus di Eropa dan Amerika Utara telah menghasilkan karya penting yang secara keseluruhan masih berkembang hingga pertengahan terakhir abad ke-20. Sebagaimana dalam kritik Injili dan karya sejarah tentang asal-usul dan periode awal Agama Yahudi dan Kristen, kaum orientalis telah mencoba merekonstruksi pandangan kritis mengenai asal-usul dan kebangkitan Islam. Para sejarawan abad ke-19 cenderung melihat tujuan mereka ialah menemukan dan merekonstruksi suatu gambaran tentang masa lalu secara akurat.

Sebagian sejarawan Studi Islam mencatat bahwa kaum ori-entalis Barat dan para sarjana Muslim ortodoks cenderung mem-perlihatkan konservatisme dalam pendekatan mereka terhadap historiografi. Orientalisme menerima secara luas pandangan tradisional tentang kehidupan Muhammad, artikulasi Al-Qur’an pada periode Mekkah dan Madinah, dan pembentukan awal komunitas Muslim. Sementara perdebatan-perdebatan tentang

masa, asal-usul yang akurat, otentisitas banyak hadis yang disan-darkan kepada Muhammad telah diperdebatkan di antara kaum orientalis dan para sarjana Muslim modern, kritik radikal atas sumber-sumber Al-Qur’an dan teks-teks Islam awal lainnya telah diupayakan bukan oleh para sarjana Muslim dan sangat sedikit oleh sarjana Barat.

Meskipun ada semacam konservatisme dalam historiografi di kalangan orientalis dan para sarjana Muslim tradisional, ada kritik besar yang ditujukan kepada orientalisme pada abad ke-20 dalam karya Edward Said Orientalism (1979). Salah satu kritik paling penting terhadap orientalisme adalah bahwa disiplin ini telah melayani desain kepentingan imperial atas kebanyakan du-nia Islam: dari masa invasi Napoleon ke Mesir hingga muncul-nya negara-negara Muslim merdeka, orientalisme dibebani de-ngan ambisi-ambisi ekonomi dan politik bangsa-bangsa Eropa. Faktor lain yang mempunyai kecenderungan lebih luas dalam kesarjanaan posmodern adalah mendekonstruksi sains dan di-siplin yang dilahirkan oleh Pencerahan. Akibatnya, hingga akhir abad ke-20, banyak sarjana Barat memilih mengganti label de-partemen akademik dari Oriental Studies menjadi label Islamic Studies misalnya, yang dirasa kurang bersifat eurosentris.

Perkembangan keilmuan yang merupakan tanda bagi abad ke-20 di Amerika Serikat sejak Perang Dunia II adalah studi-studi kawasan (area studies). Melalui bantuan pemerintahan Amerika Serikat atas lembaga-lembaga pendidikan tinggi terpilih, tujuan dari studi-studi kawasan ini ialah melatih orang-orang Amerika dalam bahasa dan kebudayaan masyarakat-masyarakat non-Amerika. Studi Islam banyak mengkaji utamanya tentang Timur Tengah pada pusat studi kawasan, bahkan juga pada pusat-pusat studi Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Sebagian sarjana memandang bahwa orientalisme meru-pakan suatu kerangka berpikir, sebentuk wacana keilmuan ten-tang realitas timur Islam yang dikonstruksi di bawah kesadaran Barat sejak masa-masa kolonialisme Eropa. Orientalisme mengemban tugas berat membaca dan menafsirkan teks-teks Islam. Ia bersifat politis sekaligus romantis. Teks-teks yang pa-ling banyak diminati oleh kaum orientalisme adalah teks-teks keagamaan dan kebudayaan Islam. Karenanya dapat dikatakan bahwa kejatuhan orientalisme identik dengan mundurnya kemampuan studi-studi linguistik tentang teks-teks keagamaan dan kebudayaan lainnya yang dilakukan oleh para sarjana Barat. Sebaliknya, Studi Kawasan lebih fokus kepada studi tentang masyarakat-masyarakat Islam pada masa modern, khususnya isu-isu kebijakan publik, sains politik, sains sosial, ekonomi dan pembangunan, serta antropologi sosial. Studi tentang bahasa-bahasa dan literatur Islam dilihat lebih sebagai sarana untuk tujuan-tujuan yang lain, bukan tujuan-tujuan humanistik atau tujuan keilmuan itu sendiri.

Pandangan lain tentang Studi Islam disuarakan oleh seba-gian sarjana yang mengkritik kegagalan orientalisme dan stu-di-studi kawasan. Para penganjur pandangan ini menyatakan bahwa riset tentang Islam produksi pengetahuan tentangnya merupakan suatu wilayah disiplin ilmiah, bukan pusat-pusat yang diorganisir dan dibiayai oleh kepentingan-kepentingan khusus di kalangan pemerintahan maupun agama-agama resmi. Menurut pandangan ini, kualitas apa yang kita ketahui tentang sejarah Islam harus dinilai oleh sejarawan akademis dan bukan oleh para pengkaji Arab; geografi kebudayaan penduduk Mus-lim harus dilakukan oleh para sarjana geografer, sejarah sains Islam diuji oleh sejarawan sains, dan seterusnya. Pada abad

ke-20, pandangan ini nampaknya mengundang domestikasi Studi Islam di dalam kerangka universitas modern, daripada mengisolasi diri sebagai subjek khusus yang tidak begitu sesuai bagi departemen-departemen dan disiplin-disiplin konvension-al. Universitas-universitas modern terus terlibat dalam upaya merekonstruksi pengetahuan ilmiah di bawah suatu disiplin. Perkembangan mutakhir dalam mengkaji Islam menunjukkan minat terhadap studi perbandingan dalam sejarah dunia, yang diwakili oleh karya Marshall Hodgson The Venture of Islam (3 ji-lid, 1974) dan menjadi tengara bagi arah Studi Islam pada abad berikutnya. Semakin meningkatnya partisipasi para sarjana Mus-lim dan kerjasama antara sarjana MusMus-lim dan non-MusMus-lim juga penting dari aspek kecenderungan mutakhir dalam Studi Islam. Karya-karya orientalis tradisional tentang Islam mendefi-nisikan Islam sebagai korpus kepercayaan dan norma-norma abstrak yang menentukan berbagai ruang yang menengarai suatu kebudayaan. Karya Ira M. Lapidus A History of Islamic Societies (1988) dan beberapa karta Bernard Lewis –utamanya

The Political Language of Islam (1988)– merupakan contoh karya-karya yang telah diterjemahkan secara luas ke dalam seluruh bahasa Eropa, dan mengemukakan visi tertentu dan penggunaan istilah “Islam”. Kita tidak hanya perlu memikirkan judul-judul yang dipilih oleh para Islamisis utama lainnya, seperti Gustave von Grunebaum —dengan karya-karyanya antara lain Modern Islam: The Search for Cultural Identity (1962), Medieval Islam: A Study in Cultural Orientation (1946), and Classical Islam: A History, 600–1258 (1970)— untuk mulai terlibat dalam wacana akademik tentang peradaban dan kebudayaan Islam. Karya-karya ini menggambarkan penciptaan disiplin keilmuan yang secara luas diterima oleh sarjana-sarjana orientalis tentang Islam: suatu

studi tentang Islam dalam sejarah yang menyandarkan pada kajian-kajian mengenai hukum Islam, sistem politik, dan seni serta arsitektur Islam.

Dalam memperlakukan Islam, karya-karya ilmiah orientalis sedikit atau bahkan tidak memberi perhatian intelektual sama sekali dalam generalisasi berlebihan terhadap data-data tentang Islam. Generalisasi semacam itu rupanya problematik karena kebanyakan monograf fokus pada satu kebudayaan atau satu aspek, teks, masa, atau pengarang. Istilah “filsafat Islam” yang digunakan beberapa sejarawan termasuk figur-figur seperti Henry Corbin, Majid Fakhry, dan Oliver Leaman, tidak menunjukkan semacam perdebatan teoretik yang dihadapkan oleh “filsafat Kristen”, suatu paham yang ditolak oleh Émile Bréhier pada 1930-an ketika Étienne Gilson mencoba memperkenalkannya. Judul-judul terkait dengan Islam yang telah disebutkan di atas sama sekali tidak serius sebagaimana yang tampak dalam kajian tentang agama Kristen. Wacana akademik tentang Studi Islam sebagai dilakukan oleh para praktisi mutakhirnya, yaitu para Islamisis, masih belum mampu menawarkan penjelasan mengenai seberapa banyak bidang, teori, ruang budaya, disiplin, dan konsep-konsep yang dapat dihubungkan dengan kata tunggal “Islam” dan mengapa diskusi-diskusi yang berkembang tetap bersifat satu dimensi tentang Islam.

Penjelasan standar yang muncul dalam perdebatan muta-khir tentang pendekatan monolitik yang berdasarkan pada studi-studi filologi melukiskan repetisi tentang dogma atau penekanan pada teks-teks suci Islam. Sejauh Islam dianggap sebagai tradisi keagamaan, metode filologi memiliki kekurang-an terus diminimalisir atau ditolak oleh para pengkekurang-anjurnya di kalangan Islamisis. Pada hakikatnya, filologi menolak seluruh

legenda, mitologi, dan materi-materi mitos. Bahkan setelah para antropolog memandang mitos sebagai sumber yang kaya den-gan informasi historis-psikologis, kaum orientalis tetap melihat dan menulis sejarah secara linear, faktual dengan kronologis yang ketat, yang membagi periode-periode sejarah menurut di-nasti-dinasti politik yang berkesinambungan.

Karya-karya orientalis cenderung mengabaikan realitas komunitas Muslim dengan membatasi diri mereka pada teks-teks tertulis dan pada perbandingan peradaban dan budaya politik Islam dengan Kristen. Mereka menganggap Islam sebagai objek studi, topik wacana ilmiah, yang sama sekali tidak berpartisipasi dalam tradisi Islam yang hidup, mempertahankan alibi peneliti yang netral untuk menjaga jarak. Maka dalam studi tentang hukum Islam misalnya, orientalis memperlakukan perkembangan sejarah hukum sebagai penjelasan atas fakta-fakta tentang Islam. Padahal hukum itu lebih jauh dapat dipahami sebagai praktik daripada sekadar fakta yang tertuang dalam teks-teks teoretik. Hukum adalah upaya di mana manusia terlibat di dalamnya. Memahami suatu praktik menghendaki partisipasi. Untuk memahami hukum Islam kita harus dibekali pemahaman mengenai apa maknanya berpikir seperti seorang Muslim yang terlibat di dalam pelaksanaan hukum Islam. Tradisi orientalis menunjukkan keterbatasan kehendak untuk melakukan hal semacam ini; ia hanya mencari aman. Mencari aman semacam ini sering membawa pada kesalahan substantif, karena penolakan mereka untuk mengakui kehadiran unsur-unsur kebudayaan yang diremehkan oleh skema politik mereka sendiri. Artinya, menggunakan cara pandang eksternal untuk melihat hukum telah menciptakan penyimpangan pemahaman. Hal ini mulai berubah pada akhir abad ke-20, dengan penekanan

pada pengambilan keputusan yuridis sebagaimana ditekankan dalam fatwa-fatwa, bahkan fondasi-fondasi disiplin yang integral di dalamnya.

Satu dari sedikit sarjana yang berusaha mengartikulasikan visi menyeluruh tentang Studi Islam dan agenda-agendanya ia-lah Mohammed Arkoun. Ia mendiskusikan sistem yang implisit dan eksplisit yang menggarisbawahi pemahaman tentang disi-plin Studi Islam dalam arti dimensi kognitif tentang pengala-man pengala-manusia lengkap dengan seluruh konteks sosialnya. Tujuan Arkoun untuk menggaungkan pendekatan metodologis tertentu yang ia pandang tidak dapat dipisahkan dari teori-teori episte-mologis sehingga membuatnya mungkin untuk menyatukan Is-lam dan kebudayaan-kebudayaan Muslim ke daIs-lam teori kritis global pengetahuan dan nilai.

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 56-63)