• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem Pendekatan Emik dan Pendekatan Etik

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 27-33)

Problem metodologis juga muncul berkenaan dengan sia-pakah yang dipandang lebih otoritatif dalam melakukan kajian Islam, apakah mereka yang menjadi orang dalam atau mereka yang disebut sebagai orang luar. Problem serupa sesungguhnya pernah dialami juga dalam disiplin Sejarah Agama-agama (The History of Religions). Pada akhir abad ke-20, Belanda telah mem-berikan kontribusi terhadap studi akademik agama-agama yang berupaya mengembangkan suatu metode empirik bagi Religious Studies baik dalam hal klasifikasi wacana maupun istilah-istilah yang dipinjam dari kosakata teknis dari ilmu-ilmu bahasa yang mereka transformasikan ke dalam Antropologi Budaya. Dalam karya-karya mereka tampak usaha untuk membedakan antara dua tipe berbeda tentang perbincangan mengenai agama, yakni

pendekatan emik yang menyajikan pola-pola pemikiran dan aso-siasi simbolik yang diungkap dari perspektif kaum beriman, dan

pendekatan ilmiah etik yang melibatkan analisis historis menge-nai hubungan antara ide dan masyarakat sembari membatasi dari pelibatan klaim kebenaran emik tentang realitas meta-em-pirik (Feener, 2007: 264-282).

Memang ada kesulitan berkaitan dengan dua model kajian semacam itu, khususnya pada masa modern ketika diterapkan pada Studi Islam. Ada pertentangan antara pendekatan akademik yang mendorong peneliti dan pengkaji memosisikan diri seo-lah-olah sebagai “orang luar” (outsider) dan pendekatan konfen-sional yang hanya menerima perspektif “orang dalam” (insider); antara pengkaji Muslim dan pengkaji Barat. Suatu perdebatan yang sering kali menjadi hambatan dalam wacana publik ten-tang identitas dan politik kekuasaan. Mempertimbangkan reali-tas historis tersebut, pemikiran kembali tentang bidang sejarah intelektual Muslim harus dimulai dari pengakuan mengenai fakta bahwa lebih dari satu abad hingga kini, kita masih diha-dapkan dengan wacana pendekatan emik dan pendekatan etik tentang Islam, dan persoalan ini mengandung dinamika yang kompleks dan kreatif dalam pemikiran Islam. Barangkali con-toh yang paling menonjol dalam interaksi polemik intelektual antara sarjana Barat modern dan sarjana Muslim dapat dijumpai pada perdebatan di akhir abad ke-19 antara Jamal al-Din al-Af-ghani dan Ernst Renan tentang hubungan Islam dan sains dan kemajuan yang dipandang mencakup modernitas pada masa itu. Perdebatan ini memunculkan kontroversi yang berlanjut sepanjang abad ke-20 sebagaimana dikemukakan oleh karya-karya para pemikir seperti Muhammad Abduh, Ameer Ali, dan Sayyid Ahmad Khan, dan belakangan Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi, Ismail Raji al-Faruqi dan lain-lain.

Seluruh dunia Muslim pada periode modern menyaksikan pengaruh yang kompleks dari kemajuan ilmiah Barat atas per-kembangan perdebatan di kalangan internal sarjana Muslim. Kita bisa melihat bagaimana pengaruh penemuan-penemuan orientalis modern terhadap karya Ibnu Khaldun atas ilmuwan

sosial Muslim di Afrika Utara, dan pengaruh karya Geertz atas perdebatan yang terjadi di kalangan Muslim Indonesia. Karya-karya semacam ini mendapatkan tempat di kalangan Muslim di mana pendekatan eklektik lebih tampak dalam karya-karya itu daripada pendekatan yang mengkombinasikan antara para penulis Barat yang sering dikutip dalam literatur Islam modern dengan karya-karya klasik era kolonial, seperti penggambaran Carlyle tentang Muhammad dalam On Heroes, Hero-Worship, dan

The Heroic in History serta karya Lothrop Stoddard New World of Islam secara bertahap memberikan arah bagi karya-karya seperti Maurice Bucaille La Bible, Le Coran, et la Science, dan karya Samuel Huntington Clash of Civilizations.

Dalam menilai perkembangan tersebut, tugas yang paling penting bukanlah menemukan bibliografi dengan judul-judul yang popular, namun lebih dari itu ialah melakukan evaluasi kritis terhadap karya-karya semacam itu yang sesuai dengan kebudayaan intelektual dan kebudayaan popular masyarakat Muslim modern.

Selama abad ke-20, karya-karya sarjana Barat tentang Islam mulai memperoleh tempat dan sebagai sumber rujukan dalam retorika para sarjana Muslim modern dari Afrika, Timur Te- ngah, dan Asia, yang telah melahirkan banyak pemikir Muslim modern, dari M. Iqbal hingga Agus Salim. Contoh-contoh se-rupa sangat berlimpah dalam berbagai literatur Arab modern dan bahasa-bahasa Muslim mayoritas, di mana kecenderungan mulai mengarah pada meningkatnya keterbukaan terhadap pe-ngaruh para pemikir Barat atas mereka yang melakukan kajian Islam dan masyarakat Muslim yang sedang berkembang. Penga-ruh pertama yang paling umum datang dari ilmu-ilmu sosial, seperti terlihat bagaimana pengaruh ilmu sosial modern atas

karya Ziya Golkap di Turki, Ali Shariati di Iran, Nurcolish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif di Indonesia. Yang lebih baru adalah perkembangan hermeneutics dan bidang-bidang kelimuan Hu-maniora yang juga mencerminkan perkembangan lebih jauh dalam karya-karya para pemikir seperti Muhammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd.

Sedikit contoh dari Indonesia pada pertengahan abad ke-20 juga dapat disebutkan di sini. Dalam karyanya tentang sejarah sufi, Hamka memuji Louis Massignon sebagai pilar utama kaum orientalis dan mengutip secara positif karyanya tentang al-Hallaj, sekaligus teorinya tentang peran kaum sufi Irak abad ke-10 bagi perkembangan Islam di kepulauan Indonesia (Hamka, 1952: 116). Karya HAR. Gibb yang memberikan gambaran holistik tentang hakikat Islam menjadi dominan dalam ceramah-ceramah umum dan karya-karya M. Natsir yang dipublikasikan sepanjang pertengahan abad ke-20. Bahkan, pengaruh konsepsi tentang Islam yang asalnya berkembang di Barat pun terjadi pada pemahaman kaum fundamentalis modern tentang Islam sebagai sistem dan pandangan hidup menyeluruh, dan ini diakui lebih luas dalam berbagai analisis tentang masa depan intelektualisme Muslim modern.

Penting untuk dicatat, situasi ini bukan merupakan akibat dari perkembangan pada tingkat intelektual murni, melainkan lebih dari itu adalah situasi yang muncul dalam lingkungan historis tertentu di dalam konteks kolonialisme dan sistem kekuasaan dan pengetahuan yang tidak simetris antara Islam dan Barat–konteks yang sangat disadari dan menjadi sasaran kritik para pemikir Muslim modern-. Dengan kata lain, bagi para sejarawan, perkembangan modern semacam ini, baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, mesti dipertimbangkan

ketika menjelaskan penggunaan simbolisme keagamaan dan kultural sebagai alat analisis untuk memikirkan kembali dan merekonseptualisasi pemikiran dan praktik-praktik dalam ma-syarakat Muslim modern.[]

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 27-33)