• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Islam dan Oksidentalisme

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 65-78)

STUDI ISLAM

C. Studi Islam dan Oksidentalisme

Ketika Barat diserang, seperti pada peristiwa 11 September, seringkali disumsikan bukan hanya Amerika, dalam arti Barat sebagai Amerika Serikat. Ini terjadi diyakini karena kebijakan luar negeri AS (imperialisme) dan kekuatan-kekuatan korporasi (globalisasi) telah melahirkan banyak bom-bom bunuh diri dan pejuang-pejuang suci atas Amerika yang telah memarjinalisasi dan melakukan kekerasan terhadap jutaan penduduk yang ga-gal memperoleh keuntungan dari tatanan dunia kapitalis. Bah-kan, serangan itu juga dipercaya kaum konservatif, yang berpikir bahwa radikalisme Islam, seperti komunisme pada dekade yang lalu, sebagai serangan atas “nilai-nilai Barat”, pandangan hidup orang Amerika.

Ada beberapa bukti menguatkan klaim tersebut. Jangkauan mendunia dari Wall Street, Hollywood dan pasukan-pasukan tentara Amerika mengundang kebencian. Dalam hal tertentu, in-stitusi-institusi tersebut menyajikan pandangan hidup Amerika, sehingga mereka menjadi target dari jihad kaum Islamis. Juga benar bahwa kebijakan luar negeri Amerika seringkali salah arah bahkan brutal. Kapitalisme global dapat melakukan tindakan-tindakan perusakan skala besar sekaligus perbaikan. Akhirnya, Amerika Serikat, satu-satunya negara superpower Barat, seperti mewakili Barat secara keseluruhan.

Bagaimanapun, kekerasan semacam ini kini diarahkan langsung pada target yang berhubungan dengan Barat, dari WTC hingga diskotik di Bali, dan itu bukan semata Barat dalam arti Amerika Serikat. Kekerasan semacam ini juga tidak dapat direduksi menjadi semata-mata persoalan ekonomi global. Bahkan mereka yang memiliki alasan bagus untuk memahami kemiskinan, mereka pun melakukan bentuk-bentuk kekerasan terhadap AS, yang mendukung kapitalisme sehingga berjalan tidak normal dan membawa korban-korbannya untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di ruang-ruang publik.

Sesuatu yang lain di sini sedang terjadi. Inilah yang disebut oleh Margalith dan Buruma (2004) sebagai “Oksidentalisme”, yakni suatu perang melawan gagasan tertentu dari Barat, yang bukan merupakan hal baru atau unik bagi kaum ekstremis Islamis. Kaum Jihadi kini melihat melihat Barat sebagai sesuatu yang tidak manusiawi, harus dihancurkan, seperti halnya penyakit kanker. Gagasan oksidentalisme ini memiliki akar sejarah panjang mendahului berbagai bentuk apa pun dari imperalisme Amerika. Kebencian serupa, meskipun tidak selalu

mematikan, telah diarahkan kepada Inggris dan Prancis pada masa lalu, serupa dengan kebencian terhadap Amerika. Lalu apa yang dimaksud dengan gagasan oksidentalis tentang Barat?

Inilah problem yang mendorong sejumlah intelektual ter-kemuka Jepang yang berkumpul dalam sebuah konferensi di Kyoto pada 1942. Serangan atas Pearl Harbor bukanlah alasan bagi konferensi itu sendiri, namun gagasan utamanya ialah un-tuk menemukan pembenaran ideologis bagi misi Jepang guna memukul dan mengenyahkan kerajaan Barat di Asia. Topik dis-kusinya adalah “bagaimana mengatasi dunia modern”. Moderni-tas dikaitkan dengan Barat dan khususnya imperialisme Barat.

Westernisasi, menurut seorang intelektual, adalah seperti penyakit yang menginfeksi semangat orang-orang Jepang. “Se-suatu yang modern”, kata yang lain, adalah “se“Se-suatu yang ber-bau Eropa”. Sebagian lainnya percaya bahwa “Amerikanisme” adalah musuh, dan Jepang harus membuat alasan bersama dengan orang-orang Eropa untuk mempertahankan peradaban kuno dari Dunia Baru. Ada banyak perbincangan yang tidak se-hat, yang telah memfragmentasi keseluruhan kebudayaan spiri-tual dunia Timur. Sains telah disalahkan. Demikian juga kapital-isme, resapannya ke dalam masyarakat Jepang berupa teknologi modern, dan paham-paham tentang kebebasan individual serta demokrasi. Semua ini harus diatasi.

Semua sepakat bahwa kebudayaan –maksudnya kebudayaan Jepang tradisional– bersifat mendalam dan spiritual, sedangkan peradaban Barat modern bersifat permukaan, tanpa dasar, dan merupakan kekuatan pencipta destruksi. Barat, utamanya AS, adalah peradaban mekanik yang dingin, peradaban mesin tanpa ruh atau jiwa, suatu tempat di mana orang-orang bercampur untuk memproduksi ras-ras bangsat.

Istilah yang sama tepatnya digunakan oleh sebagian lain, di lain tempat, dan pada masa yang lain. Darah, tanah, dan semangat kaum Romatik Jerman pada abad 18 dan awal 19 untuk menentang klaim universalis Pencerahan Prancis, Revolusi Prancis, dan invasi pasukan Napoleon. Paham tentang jiwa nasional ini diambil alih oleh bangsa Slavia pada abad 19, yang menggunakannya untuk menyerang “kaum yang melakukan pembaratan” (westernizers), yaitu orang-orang Rusia yang mem-bela reformasi liberal. Istilah ini juga sering digunakan pada dekade 1930-an, ketika kaum fasis Eropa dan sosialis nasional berusaha untuk memukul Amerikanisme, liberalisme ala Anglo Saxon, dan kosmopolitanisme tanpa akar (yaitu kaum Yahudi). Aurel Kolnai menulis buku pada 1930-an tentang ideologi fasis di Austria dan Jerman. Ia menyebutnya “Perang Melawan Barat”. Komunisme khususnya di bawah Stalin, yang juga merupakan anak haram dari Pencerahan dan Revolusi Prancis, menyatakan diri sebagai musuh liberalisme Barat dan kosmopolitan tanpa akar. Banyak kaum radikal Islam meminjam konsep-konsep anti-Barat dari Rusia dan Jerman. Para pendiri partai Ba’ath di Syria merupakan para pembaca teori-teori ras Jerman sebelum masa perang. Jalal al-Ahmad, seorang intelektual Iran 1960-an, menggunakan istilah “westoxification” untuk menjelaskan pengaruh yang membius dari peradaban Barat terhadap kebudayaan-kebudayaan lain. Ia juga merupakan pengikut ide-ide Jerman tentang darah dan tanah.

Jelas bahwa gagasan tentang Barat sebagai kekuatan yang berbahaya bukan hanya berasal dari Timur atau Timur Tengah, bahkan juga berakar Eropa sendiri. Mendefinisikannya dalam istilah historis bukan persoalan sederhana. Oksidentalisme merupakan bagian dari tandingan atas Pencerahan, bahkan juga

reaksi terhadap industrialisasi. Sebagian Marxis tertarik pada oksidentalisme. Oksidentalisme adalah pemberontakan atas rasionalisme, peradaban Barat yang dingin, mekanis, dan mesin, dan sekularisme, bahkan individualisme. Kolonialisme Eropa mendorong oksidentalisme dan demikian pula kapitalisme global saat ini. Kita dapat bicara tentang oksidentalisme hanya ketika pemberontakan atas Barat menjadi sebentuk destruksi murni, ketika Barat dituduh sebagai kurang dari manusia, ketika pemberontakan bermakna pembubuhan.

Apa pun yang terjadi, oksidentalisme didukung oleh rasa terhina, kalah. Isaiah Berlin menjelaskan pemberontakan Jerman atas Napoleon sebagai contoh asli dari reaksi atas banyaknya masyarakat yang terbelakang, terekspolitasi, yang membuat mereka inferior, dan dibangkitkan oleh imajinasi kerajaan dan kejayaan pada masa lampau, atau sifat-sifat baik dari bangsa atau watak kulturalnya sendiri. Hal serupa terjadi pada Jepang pada 1930-an, setelah hampir satu abad merasa terhina dan hanya menjadi patron bagi Barat.

Keterhinaan dapat dengan mudah menjadi kultus atas ke-murnian dan keaslian. Di banyak kalangan kebencian atas Barat muncul karena klaim universalisme Barat. Napoleon adalah seorang universalis yang percaya pada kode sipil bersama un-tuk seluruh manusia yang ditaklukkannya. Keyakinan bahwa Amerika Serikat menyajikan nilai-nilai universal dan mempu-nyai kewajiban yang diembankan oleh Tuhan padanya untuk menyebarkan demokrasi adalah sama dengan klaim universalis. Sebagian dari nilai-nilai ini boleh jadi memang universal. Kita dapat berpikir bahwa semua manusia dapat mengambil untung dari demokrasi atau penggunaan rasio. Kode Napoleon telah membawa banyak keuntungan. Namun, ketika solusi universal

dipaksakan melalui kekuatan dan kekuasaan, atau ketika rakyat merasa terancam atau terhina atau tidak mampu berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang mempromosikan solusi terse-but, itulah saatnya kita melihat bahaya kembali kepada mimpi-mimpi tentang kemurnian.

Tidak semua mimpi tentang keaslian lokal dan keunikan kultural adalah racun, atau salah. Sebagaimana Isaiah Berlin tunjukkan, kayu kemanusiaan yang terbakar tidak dapat secara paksa diarahkan dengan standar-standar universal sejajar dengan kekebalan. Eksperimen tentang jiwa manusia oleh komunisme menunjukkan bagaimana mimpi-mimpi kaum universalis yang berdarah dapat terjadi. Romantisisme puisi pada kaum idealis Jerman abad 19 sering membuka diri bagi rasionalisme dogmatis yang datang bersama Pencerahan.

Pada saat kemurnian atau keaslian iman atau ras membawa pada pengusiran apa yang diduga tidak asli/murni, di sinilah pembunuhan massal mulai terjadi. Fakta menunjukkan bahwa anti-Amerikanisme, anti-Zionisme, anti-Semitisme, permusuhan pada umumnya terhadap Barat seringkali tumpang tindih. Bahkan, di Jepang, di mana kaum Yahudi tidak memainkan peran apa pun dalam kehidupan nasional, salah satu partisipan pada konferensi Kyoto 1942 menyatakan bahwa perang melawan Barat merupakan perang menentang “peradaban materialis yang membahayakan” yang dibangun di atas kekuatan kapitalis finansial Yahudi. Pada saat yang sama, anti-Semit di Eropa, bukan hanya dalam gerakan Nazi Jerman, menyalahkan orang-orang Yahudi demi Bolshevisme.

Baik Bolshevisme maupun kapitalisme merupakan sistem universalis dalam arti bahwa mereka tidak mengakui batasan-batasan nasional, rasial, atau kultural. Sejak Yahudi secara

tradisional dianggap oleh para penganjur kemurnian sebagai orang luar, kosmopolitan tanpa akar, tidak aneh bahwa mereka juga tampak sebagai pengusung utama virus universalis. Dapat dipastikan orang-orang Yahudi memiliki alasan yang masuk akal tertarik pada paham-paham seperti persamaan di hadapan hukum, politik sekular, dan internasionalisme, apakah dengan cap sosialis maupun kapitalis. Eksklusivisme, apakah dalam bentuk rasial, keagamaan, atau kebangsaan, tidak pernah memberikan kebaikan bagi kaum minoritas. Hanya di Timur Tengah orang-orang Yahudi menyandang eksklusivisme dan nasionalismenya sendiri. Zionisme berasal dari Barat. Dan Israel, di mata para musuhnya, merupakan kekuatan kolonial yang menyebarkan “westoxification”. Keberhasilan material Israel hanya menambah kebencian Arab terhadap mereka.

Anggapan tentang orang-orang Yahudi sebagai manusia tanpa jiwa jauh lebih tua umurnya daripada pendirian negara Israel itu sendiri. Inilah salah satu kebencian anti-Semit yang paling umum. Karl Marx yang merupakan cucu dari seorang

rabbi misalnya, menyebut orang-orang Yahudi sebagai parasit yang rakus, yang jiwanya tercipta dari uang. Hal serupa sering dikatakan oleh orang-orang Eropa abad 19 tentang orang Inggris. Novelis Prusia Theodore Fontane yakin bahwa masyarakat Inggris akan dihancurkan oleh warna kuning emas, warna kuning emas telah membinasakan jiwa-jiwa mereka yang menghamba pada kejahatan. Banyak hal serupa juga dikatakan tentang orang-orang Amerika.

Kalkulasi –menghitung-hitung uang, riba, bukti-bukti il-miah, dan seterusnya– dipandang sebagai tanpa jiwa. Keas-lian/kemurnian terletak pada puisi, intuisi, dan keimanan buta. Pandangan kaum oksidentalis tentang Barat adalah sebagai

ma-syarakat borjuis, yang mabuk kesenangan, nafsu kebinatangan, kepentingan diri, dan kenyamanan. Para pejuang Taliban selama masa perang di Afghanistan mengatakan bahwa Amerika tidak akan pernah menang karena mereka menyukai Pepsi-Cola, se-mentara para pejuang mencintai kematian. Ungkapan serupa juga dikatakan oleh kaum fasis Spanyol selama perang sipil, para ideolog Nazi, dan pilot bunuh diri Jepang.

Pahlawan adalah orang yang beraksi tanpa memperhitung-kan kepentingannya sendiri. Ia melakumemperhitung-kan aksi tanpa menghi-raukan keamanannya sendiri, ia selalu siap mengorbankan diri untuk suatu tujuan. Pahlawan oksidentalis, apakah ia Nazi atau Islamis, hanya siap untuk menghancurkan mereka yang telah menodai kemurnian/keaslian ras atau kredonya. Bahkan, itu merupakan kewajiban baginya. Ketika Barat dipandang sebagai ancaman bagi keaslian, adalah kewajiban para pejuang suci un-tuk membinasakan apa pun yang berkaitan dengan “kaum Zio-nis”, apakah pasukan Amerika, kedutaan Inggris, kuburan orang Yahudi, atau diskotik di Bali. Nilai simbolik dari serangan-se-rangan ini setidaknya sama pentingnya dengan kerusakan yang diakibatkannya.

Jadi, apa yang baru dengan perang suci kaum Islamis ter-hadap Barat? Barangkali ini merupakan totalitas visi mereka. Islamisme, sebagai solusi bagi westoxification adalah sebuah campuran aneh antara universalitas dan kemurnian: universali-tas karena semua orang dapat, dan di mata orang-orang beri-man harus, menjadi Muslim ortodoks; keaslian karena mereka yang menolak panggilan bukan sekadar kehilangan jiwa bahkan orang biadab yang harus dimusnahkan dari bumi ini.

Hitler mencoba untuk membinasakan Yahudi, namun tidak memandang semua Barat dengan permusuhan. Faktanya, ia

ingin membangun aliansi dengan Inggris dan bangsa-bangsa Arya lainnya, dan merasa terkhianati ketika mereka tidak mempedulikan caranya. Kaum Stalinis dan Maois membunuh musuh-musuh kelas dan menentang kapitalisme. Namun, mereka tidak pernah melihat dunia Barat sebagai kurang manusiawi dan yang secara fisik harus dimusnahkan. Kaum militaris Jepang pergi berperang melawan kerajaan Barat, namun tidak memandang segala tentang peradaban Barat sebagai barbar. Kontribusi Islamis pada sejarah panjang oksidentalisme adalah visi keagamaan tentang kemurnian di mana Barat yang diidolakan harus dihancurkan.

Beribadah kepada tuhan-tuhan palsu merupakan dosa pa-ling besar dalam Islam dan kepercayaan Yahudi kuno. Barat, di mata kaum Islamis, menyembah tuhan-tuhan palsu seperti uang, seks, dan hasrat-hasrat kebinatangan. Dalam dunia bar-bar, pikiran-pikiran, hukum-hukum, dan nafsu manusia telah menggantikan kerajaan Tuhan. Kata yang tepat untuk masalah ini adalah jahiliyah, yang berarti kebodohan: orang menyembah tuhan-tuhan lain karena ia tidak memiliki pengetahuan. Jahili-yah modern berarti barbarisme dan ada di mana saja dari Las Ve-gas dan Wall Street hingga istana-istana di Riyadh. Bagi Islamis, apa pun yang tidak murni, yang bukan milik kerajaan Tuhan, adalah jahiliyah, barbar, dan harus dienyahkan. Itulah sebabnya perang suci atas Barat dideklarasikan.

Karena target perang suci itu sedemikian luas, maka cara mengalahkannya juga bukan persoalan mudah. Perang Irak bukanlah cara paling efektif untuk memerangi jihad Islamis. Rezim Ba’ath Saddam Hussein merupakan kediktatoran pembunuh yang harus diakhiri, namun itu tidak sejalan dengan revolusi suci. Tidak ada bukti bahwa Saddam ingin

menghancurkan Barat. Osama bin Laden jelas melakukannya secara luas. Sementara Muslim moderat di mana pun dipaksa membisu terhadap aksi-aksi agresif Amerika.

Meskipun Presiden Bush menyatakan bahwa perang me-lawan terorisme bukanlah perang meme-lawan Islam atau agama, namun upaya-upaya kekerasan untuk memaksakan sekularisme terhadap masyarakat-masyarakat Muslim pada masa lalu telah mengundang masalah ekstremisme agama, dan harus dilihat bukan sebagai solusi untuk saat ini. Fanatisme adalah bagian dari reaksi atas sekularisme agresif rezim-rezim seperi Reza Shah di Iran selama dekade 1930-an. Jika kebebasan politik dijamin di dunia Muslim melalui kedaulatan rakyat, agama akan diper-hitungkan. Kesempatan terbaik bagi demokrasi untuk berhasil di negara-negara seperti Indonesia, Turki, dan Irak adalah jika Muslim moderat dapat dimobilisasi dengan baik. Namun, itupun harus datang dari negara-negara itu sendiri. Sekalipun pemerin-tahan Barat harus mendukung kekuatan-kekuatan yang membela demokrasi, perjuangan politik yang sulit tidak dapat dimenang-kan di Washington, atau melalui kekuatan militer Amerika.

Di Barat sendiri kita harus mempertahankan kebebasan dari pasukan perang suci yang berusaha menghancurkan mereka. Bahkan, kita juga harus hati-hati dalam melakukannya. Dalam keseimbangan antara keamanan dan kebebasan sipil, yang terakhir tidak pernah boleh dikorbankan demi yang pertama. Kita juga mesti mencegah upaya-upaya memerangi api dengan api, melawan Islamisme dengan bentuk-bentuk intoleransi. Kebebasan kita akan tetap terjaga tergantung kehendak untuk mempertahankannya dari musuh-musuh luar, bahkan juga nafsu para pemimpin kita untuk mempergunakan ketakutan kita dengan tujuan untuk memusnahkan kebebasan kita sendiri.

Jadi, menurut Buruma (2004), oksidentalisme bukan bicara tentang kebencian terhadap kebijakan-kebijakan Barat, namun tentang kebencian atas ide-ide Barat itu sendiri. Perasaan negatif berkaitan dengan kolonialisme, kapitalisme, globalisasi, dan

westoxification digali melalui banyak tokoh klasik dan empat konsep utama: kota, perdagangan, teknologi, dan agama. Oksidentalisme, serupa dengan kapitalisme, Marxisme, dan banyak isme modern lainnya, lahir di Eropa, namun cabang-cabangnya tersebar di Asia dan Timur Tengah.

Kota oksidental mulai dengan serangan 11 September atas WTC di New York. Ia bicara tentang kota metropolis sebagai sundal di mana segala sesuatu dan semua manusia diperjualbelikan. Ia juga berbicara tentang ketiadaan jiwa dan ketakterhubungan, citra negatif tentang kota yang sering dilukiskan. Kota-kota di Barat juga merupakan simbol ketamakan yang jahat, tanpa tuhan, dan kosmopolitanisme tanpa akar.

Perdagangan di mata kaum oksidentalis adalah gambaran negatif tentang prinsip kaum merkantilis di Barat. Ia bicara bu-kan hanya tentang pasar bebas di Barat, namun juga ide tentang demokrasi itu sendiri sebagai pasar bebas ide. Teknologi adalah gambaran pikiran Barat yang mampu mencapai keberhasilan ekonomi dan mampu mengembangkan dan mempromosikan teknologi maju, namun gagal meraih hal-hal tertinggi dalam hidup ini. Agama adalah ilustrasi kaum oksidentalis tentang pe-rang suci terhadap Barat sebagai kejahatan absolut. Ketika kebe-basan politik, keagamaan, dan intelektual telah mapan, ia harus dipertahankan dengan kekuatan, jika perlu, bahkan juga dengan keyakinan.[]

S

tudi Islam dalam pengertiannya yang sempit, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab I, adalah suatu disiplin intelek-tual dan keagamaan tradisional. Mengikuti pengertian ini, maka kajian-kajian atas teks-teks keislaman membentuk ruang ling-kup inti dari Studi Islam. Kajian-kajian berbasis pada teks-teks, sebagaimana dikenal dalam tradisi bayani, menekankan prisma teks sebagai cara untuk memahami hakikat Islam. Karena itu, kajian semacam ini menekankan perhatian pada teks-teks suci keislaman utamanya Al-Qur’an dan hadis, juga karya-karya in-telektual klasik yang berhubungan erat dengan dua sumber ajar-an tersebut.

Dalam sejarah perkembangan peradaban dan pemikiran Is-lam, dikenal sejumlah cabang keilmuan tradisional Islam yang meliputi antara lain ulum al-Qur’an dengan seluruh ramifikasi-nya, tafsir al-Qur’an, ulum al-hadis lengkap dengan semua

perca-MODEL PENDEKATAN

KAJIAN TEKS-TEKS ISLAM:

STUDI AL-QUR’AN

bangannya, ilmu kalam, tasawuf, fikih, dan usul fikih, dan lain-lain. Cabang-cabang keilmuan ini merupakan jasa para pengkaji Muslim atas tradisi tekstual keagamaan mereka dan telah mela-hirkan khazanah intelektual yang sangat kaya. Karena objek kajian studi Islam tradisional ini adalah teks-teks keagamaan dan karya-karya yang berkaitan dengannya, maka metode dan pendekatan yang dipergunakan oleh komunitas ilmiah di ka-langan mereka pun meliputi metode dan pendekatan tekstual (bayani). Berikut ini adalah paparan beberapa model metode dan pendekatan yang biasa digunakan untuk melahirkan karya-karya dalam Studi Islam tradisional.

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 65-78)