• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana MuslimBarat dan Sarjana Muslim

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 113-125)

MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN: STUDI HADIS

B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana MuslimBarat dan Sarjana Muslim

Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis Muslim dan sarjana hadis Barat bersandar pada perbedaan fundamental pendekatan terhadap tradisi Islam secara keseluruhan. Sikap Muslim tradisional terhadap hadis dapat dilihat sebagai berikut:

“...Sunnah, atau hadis Nabi...merupakan sumber utama kedua dalam hukum Islam, benar selamanya, dan

kehidupan nabi merupakan teladan yang harus diikuti oleh Muslim tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alasan ini, para sahabat, bahkan yang hidup pada masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang sunnah dan hal ini dianjurkan oleh nabi sendiri.” (Azami, 1977: 46).

Dengan kata lain, hadis memiliki peran utama dalam Islam. Inilah yang sejak awal mendorong Muhammad saw. dan para sahabatnya untuk mulai memelihara hadis secara akurat demi keterjagaannya. Pandangan tradisional mengenai cara-cara untuk memelihara hadis oleh komunitas awal dijelaskan oleh Anas bin Malik, seorang pembantu Nabi, bahwa mereka duduk bersama nabi, mungkin 60 orang dan Nabi mengajarkan hadis. Ketika nabi pergi untuk suatu keperluan, mereka biasanya menghafalkan hadis hingga benar-benar tertanam dalam jiwa. Bagi para sarjana Muslim yang yakin bahwa Islam telah ditegakkan oleh Allah yang Maha Mengetahui melalui seorang nabi yang ma`sum, secara keseluruhan dapat diterima akal bahwa Muhammad saw. sangat memerhatikan bentuk agamanya yang akan dielaborasi secara penuh beberapa abad kemudian. Ia juga dapat melihat pentingnya hadis bagi agama Islam, dan karena itu mengambil langkah dari awal untuk membentuk suatu badan otoritatif hadis. Pandangan semacam ini memperoleh dukungan dari hadis itu sendiri: “Sampaikanlah apa-apa yang berasal dariku meskipun hanya satu ayat” (HR. Bukhari), dan “Allah menyinari orang yang mendengarkan hadis dariku, jagalah ia dengan hati-hati, dan sampaikanlah kepada yang lain” (HR. Ibn Hanbal).

Bagi para sarjana Barat, tidaklah masuk akal bahwa hadis, cerita-cerita dan perkataan-perkataan Muhammad saw. diakui

dan dikumpulkan sebagai hadis dalam arti teknis sudah ada pada masa Nabi hidup. Mereka lebih percaya bahwa Muhammad saw. bicara dan berbuat secara sadar, dan mungkin ia menjadi teladan bagi komunitasnya, namun tak seorang pun yang dapat mencatat tindakan-tindakan dan perkataan-perkataannya dengan sangat detail selama berabad-abad. Setelah kematian Muhammad saw., anggota komunitas masa awal mencari petunjuk dalam menghadapi situasi baru, seperti perluasan wilayah Islam. Di samping itu, orang-orang yang konversi ke Islam dari agama-agama lain mencari petunjuk bagi keimanan mereka yang baru, kadang-kadang dengan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari tradisi kebudayaannya sendiri yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, contoh-contoh dari kehidupan Muhammad saw. dilihat kembali dan tidak selalu akurat. Upaya mengumpulkan jawaban dari kehidupan nabi ini kemudian diformalkan menjadi sunnah atau hadis yang terdiri dari ribuan hadis, yang sebagian benar-benar menjelaskan kata-kata dan perbuatan Nabi dan sebagian lainnya tidak.

Bagi para sarjana Barat, ungkapan hadis “Allah menyinari orang yang mendengarkan hadis dariku, menjaganya dengan hati-hati, dan menyampaikannya kepada yang lain”, adalah bukti bahwa hadis ini merupakan salah satu hadis yang tidak pernah diucapkan oleh Muhammad saw. Bagi mereka, hadis ini dibuat setelah kehidupan Nabi dengan tujuan untuk men-dukung upaya-upaya pengumpulan hadis. Bukan hanya sarjana Barat yang mempersoalkan tentang otentisitas sebagian hadis. Ada banyak hadis palsu adalah suatu fakta yang juga diakui baik oleh sarjana Muslim maupun sarjana Barat.

Pendekatan mereka atas persoalan hadis yang mana yang dapat diakui sebagai otentik berbeda. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai perbedaan pendekatan antara sarjana Muslim dan sarjana Barat.

Di kalangan sarjana Muslim, Ibn Qutaybah (w.889) me-nyampaikan pernyataan banyak sarjana hadis tentang masalah penyebaran hadis-hadis palsu. Ia menunjukkan satu contoh hadis yang banyak disampaikan oleh para pendakwah yang me-nyatakan bahwa kadal adalah orang-orang Yahudi yang telah dikutuk oleh Tuhan, bahwa serigala masuk di surga untuk me-makan para pengumpul pajak.

Tentu saja para pengumpul hadis bertujuan lebih dari seka-dar menghargai hadis. Dalam persoalan hadis asli dan hadis pal-su, mereka memutuskan untuk memisahkan antara yang otentik dari yang tidak otentik. Karena ada ratusan ribu hadis yang terse-bar pada masa itu, tentu saja tugas ini menjadi berat. Upaya ini melibatkan kajian tentang detail biografi para periwayat hadis yang jumlahnya ribuan yang terdapat dalam isnad dan meng-hafal puluhan jika bukan ratusan ribu hadis lengkap dengan is-nadnya. Kaum Muslim saat ini mengenal orang-orang yang telah melakukan tugas tersebut –seperti Malik bin Anas, Ibn Hanbal, Bukhari, Muslim, dll– dengan penghargaan yang sangat tinggi, dan tidak mengherankan jika sarjana Muslim kini melakukan serangan atas sebagian sarjana Barat bahwa metodologi mereka itu payah, bahkan sebagian lebih ekstrem lagi bahwa tidaklah mungkin metodologi Barat mengetahui mana hadis yang oten-tik dari yang tidak. Ilmu hadis itu benar-benar canggih. Menurut Ibn al-Mullaqin (w. 1400), seorang sarjana agama dari Mesir, ilmu hadis terbagi dalam 200 sub bidang. Kriteria utama untuk menentukan keaslian hadis adalah penilaian terhadap isnad.

Is-nad dinilai melalui dua kriteria utama. Pertama, apakah seluruh rantainya saling berhubungan. Tidak boleh ada periwayat yang tidak punya nama, dan semua periwayat harus hidup bersing-gungan dengan waktu hidup periwayat lainnya, atau dalam satu tempat bersama dengan periwayat lainnya ketika mereka men-dengarkan hadis dan menyampaikannya. Kedua, karakter moral dari rantai periwayat, apakah mereka semuanya jujur, secara moral tidak pernah berdusta dan membuat hadis palsu. Meto-dologi untuk menilai biografi para periwayat hadis dikenal se-bagai `ilm al-rijal. Ilmu ini berusaha mengetahui para periwayat dalam isnad, siapa guru dan murid-muridnya, sehingga diketa-hui tahun kelahiran dan kematiannya. Tentu saja krieteria ini bisa diterapkan secara lebih kurang ketat.

Bukhari menuntut perlunya bukti bahwa dua orang periwayat benar-benar pernah bertemu, sementara Muslim hanya mempertanyakan adanya bukti bahwa mereka pernah bertemu. Persoalan kejujuran seorang periwayat merupakan masalah subjektif. Seorang muhadis pada masa awal Ibn Mubarak (w. 797) menetapkan 4 (empat) kriteria bagi seorang periwayat yang berperilaku benar (`adl): ia harus beribadah secara berjamaah, tidak minum anggur, tidak berkata bohong, dan tidak menderita penyakit mental. Sangat mungkin muhadis lain berbeda pandangan mengenai periwayat yang sama. Ibn Qutaybah misalnya, telah dinilai oleh beberapa muhadis. As-Suyuti memandangnya sebagai orang yang jujur dan pembe-lajar. Al-Baiyhaqi menilainya sebagai penganut sekte bidah al-Karamiyyah. Al-Hakim mengklaimnya sebagai pembohong, dan az-Zahabi menilainya sebagai seorang antropomorfis (orang yang memandang manusia sebagai gambaran dari Tuhan yang transenden).

Sebagian sarjana Muslim memberikan perhatian kepada muatan suatu hadis sekaligus. Sebagaimana disebut di muka, Ibn Qutaybah menolak hadis masyhur yang beredar saat itu atas dasar kerancuan muatannya. Ibn Qayyim (w. 1350) menulis proses penolakan hadis berdasarkan muatannya. Menurutnya, sebuah hadis yang menyatakan “Tidak ada Tuhan selain Allah, bagian pertama dari syahadat, Tuhan menciptakan dari kalimat ini seekor burung dengan 70.000 bahasa”, adalah hadis yang rancu, dan kontradiksi dengan Sunnah, bertentangan dengan Al-Qur’an. Hadis ini lebih mnenyerupai perkataan para mistikus (Garden, 2005:16-17).

Pada akhirnya standar yang ditetapkan untuk menilai peri-wayat hadis ada sekitar 12, sejak siqatun sabitun hingga kazzab. Berdasarkan kriteria ini, hadis dibagi ke dalam dua kelompok: hadis maqbul dan hadis mardud, dengan masing-masing kategori terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Berdasarkan pada sistem kritik hadis yang mapan ini, para kritikus hadis Muslim mampu mengkodifikasi hadis-hadis shahih yang terkumpul dalam kitab Bukhari dan Muslim, dan banyak hadis lainnya yang tidak di-pandang sahih, namun memiliki keaslian yang dapat diterima sehingga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan hukum dan iba-dah.

Sementara itu, para sarjana Barat tidak terkesan dengan ke-canggihan metode-metode untuk menentukan otentisitas hadis berdasarkan isnad. Mereka ingin kembali kepada matan atau muatan dari hadis. Mereka memiliki alasan untuk meragukan adanya hadis-hadis yang tidak berasal dari masa nabi karena hadis-hadis itu bicara tentang persoalan-persoalan yang muncul setelah kematian nabi. Asumsi ini didukung oleh fakta bahwa sebagian kaum Muslim belakangan berusaha untuk

menemu-kan dukungan bagi kelompok atau ajaran mereka engan me-nyandarkan pandangan mereka kepada perkataan Muhammad saw. Sebagai contoh adalah masalah suksesi kepemimpinan. Ada sebagian kelompok yang merasa bahwa Ali bin Abi Tha-lib adalah orang yang tepat untuk menggantikan Nabi sebagai khalifah pertama, bukan sebagai khalifah keempat. Dari kelom-pok ini muncul Syi’ah. Jadi, para sarjana Barat menjumpai suatu hadis yang mengatakan: “Ketika Nabi masih hidup di antara kami, kami tidak membandingkan seorang pun dengan Abu Bakar, sesudahnya dengan Umar dan kemudian Usman. Kami tidak membeda-bedakan antara sahabat-sahabat Nabi yang ada” (HR. Abu Dawud). Mereka berpendapat bahwa hadis ini bere-dar setelah nabi wafat dengan tujuan untuk melegitimasi klaim Ali sebagai khalifah. Juga ada hadis yang memiliki pesan berten-tangan, bahwa Muhammad saw. bermaksud agar Ali yang men-jadi penggantinya. Muhammad saw. dikatakan telah bersabda: “Barangsiapa yang ingin menjadi patronku, maka Ali juga pa-tronnya” (HR. Ahmad Ibn Hanbal). Dari contoh ini, jelas bahwa metode kritik isnad belumlah cukup.

Banyak sarjana Barat melihat matan dan sekaligus isnad

untuk menentukan keaslian suatu hadis, begitu pula mereka menemukan bukti ketidakaslian suatu hadis berdasarkan isnad

dan matannya. Sebagian mereka memandang bahwa isnad

kadang-kadang “tumbuh belakangan”. Artinya, pada sumber-sumber awal, suatu hadis dijumpai dengan isnad yang luas hingga awal abad ke-8. Pada sumber-sumber berikutnya hadis yang sama dapat dijumpai namun dengan isnad yang sampai ke sahabat nabi. Masih pada sumber-sumber kemudian, hadis yang sama dijumpai dengan isnad yang sampai kepada Nabi sendiri. Asumsi para sarjana Barat adalah bahwa karena

pentingnya pertumbuhan hadis dan ilmu kritik hadis menjadi lebih canggih, yang menuntut suatu hadis memiliki asal-usul dari Nabi sendiri, hadis dihiasi dengan isnad yang pada akhirnya tersambung kepada Muhammad saw. Perbedaan-perbedaan da-lam mendekati hadis ini berangkat dari berbagai pendekatan fundamental kepada tradisi keagamaan secara keseluruhan.

C. Kajian Sarjana Muslim Modern

Beberapa contoh model kajian yang dilakukan oleh sarjana Muslim modern, utamanya di Mesir, dapat disajikan berikut ini (Haredy, 2001). Kajian-kajian mereka berkaitan dengan persoalan kritik teks yang pada akhirnya dapat meragukan beberapa catatan tentang hadis. Di antara mereka adalah M. Rashid Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail Ahmad Adham.

Rashid Ridha (1865-1935) membahas kritik matan. Ia mempersoalkan beberapa hadis yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim. Menurutnya, pada ahli hadis (muhadisun) jarang meneliti dan mencermati matan hadis dengan melihat maknanya. Mereka lebih memfokuskan diri pada isnad dan konteks dari matan. Ia mengatakan bahwa banyak hadis yang tampak kokoh isnadnya mesti dikritik dari segi muatannya. Berdasarkan pandangan ini, ia menolak hadis jika hadis-hadis itu baginya tidak dapat diterima secara rasional maupun teologis, atau jika hadis-hadis itu bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang lebih luas (Ridha, 1928: 40).

Mahmoud Abu Rayyah (1889–1970) mengemukakan banyak argumen dari berbagai sumber untuk menantang posisi literatur hadis yang ada selama ini. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa hadis-hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan

hadis-hadis pada umumnya perlu dikaji secara luas agar dapat dpertanggungjawabkan reliabilitas teksnya. Dalam bukunya

Adwa’ `ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Abu Rayyah menyatakan bahwa metode penelitian dan kajian hadis tidak dapat berubah. Para muhadisun awal memformulasikan metode-metode yang membuat mereka membatasi diri untuk mengetahui sebanyak mungkin karakter periwayat dan biografinya. Mereka tidak peduli apakah yang mereka riwayatkan itu benar atau tidak, rasional atau tidak. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kaum muhadisun tidak melampaui isnad, teks bukanlah sesuatu yang sangat penting. Para muhadisun belakangan juga tidak melampaui batasan-batasan yang dibuat oleh para muhadisun awal. Akibat dari komitmen pada kriteria awal untuk menguji otentisitas hadis adalah bahwa ilmu riwayat menjadi kaku sejak awal-awal Islam dan tidak mau berubah.

Ahmad Amin (1886–1954) dalam bukunya Fajr al-Islam, menulis satu bab berkaitan dengan studi hadis. Amin me-nyatakan bahwa para sarjana meletakkan berbagai aturan yang sangat hati-hati untuk mengkritik dan menilai hadis yang ter-lampau rinci. Namun, intinya metode mereka lebih memerha-tikan untuk menilai periwayat daripada riwayatnya itu sendiri. Sangat jarang di kalangan mereka yang berpandangan bahwa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. tidak dapat dinilai asli jika tidak rasional karena mempertimbangkan ling-kungan pada masa itu, atau apa yang dikatakan Nabi tentang ini dan itu bertentangan dengan fakta-fakta yang populer dan tak terbantahkan, atau merupakan sesuatu yang asing berhubungan dengan latar belakang dan karakter Nabi. Sangat sedikit argu-men semacam ini digunakan.

Sementara itu, Isma`il Ahmad Adham (1911–1940) yang menerbitkan karyanya Min Masadir at-Tarikh al-Islami (1935) di Mesir, mengatakan bahwa para sarjana hadis dan kritik mereka tidak mengarahkan pada kritik teks yang dilakukan secara ilmiah. Pernyataan ini berangkat dari kenyataan bahwa kritik semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip utama mereka dan dengan realitas-realitas yang sudah mapan tentang hadis. Ini juga, menurut Adham, menggambarkan keraguan tentang karakter para periwayat hadis termasuk sahabat.

Kajian-kajian dari empat sarjana Muslim di atas memperoleh respon dan reaksi dari beberapa sarjana Muslim lainnya. Muhammad Abdur Rauf (1983) misalnya, menyatakan bahwa penjelasan-penjelasan tentang karya-karya klasik hadis dan para periwayat yang terhormat telah dilakukan oleh penulis modern Abu Rayyah. Ratusan halaman ditulis untuk mempertahankan sunnah dari para penolaknya, khususnya berkaitan dengan persoalan kritik matan. Kebanyakan karya-karya yang dirujuk untuk mempertahankan sunnah antara lain karya as-Siba`i

As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tashri` al-Islami dan karya Abu Syuhbah Difa``an As-Sunnah wa Radd Syubah al-Mustasyriqin wa al-Kuttab al-Mu`asirin. Karya as-Siba`i dipandang sebagai karya terbaik tentang sunnah dan hadis. Mereka menyatakan bahwa para muhadisun tidak mengabaikan kritik atas muatan hadis di samping rantai isnad.

As-Siba`i menyebutkan misalnya, 15 kriteria yang dikemu-kakan oleh para kritikus hadis awal untuk memisahkan hadis-hadis otentik dari yang palsu dengan memerhatikan muatannya. Misalnya, hadis tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prin-sip fundamental akal, prinprinsip-prin-sip-prinprinsip-prin-sip umum kearifan dan mo-ralitas, fakta-fakta yang diketahui melalui pengamatan langsung,

atau prinsip-prinsip fundamental pengobatan. Hadis-hadis ti-dak boleh berisi pernyataan-pernyataan yang rancu atau berten-tangan dengan ajaran dari sumber-sumber yang lebih otoritatif seperti Al-Qur’an. Hadis-hadis mesti bersebelahan dengan kon-disi historis selama masa Nabi, dan riwayat-riwayat tentang ber-bagai peristiwa yang dikenal luas harus ditolak jika hanya ada satu saksi yang melaporkannya. Akhirnya, hadis-hadis tidak bo-leh mengandung kontradiksi secara rasional atau premis-premis yang bertentangan dengan fakta-fakta sesungguhnya.

Abu Syuhbah mengkritik Abu Rayyah dan Ridha yang telah memberikan alasan tentang pengabaian kritik muatan hadis karena fakta bahwa tugas kritik semacam itu bukan merupakan tanggung jawab teolog dan ahli fuqaha. Muhadisun awal mengetahui dengan cermat baik riwayah maupun dirayah. Kenyataan adanya sebagian fuqaha menyerang beberapa hadis dan menolaknya bukan karena mereka lebih diakui daripada muhadisun, namun karena mereka kurang mengetahui tentang ilmu riwayah dan kriteria-kriterianya serta sedikitnya mereka mempraktikkan kriteria tersebut. Menurut Abu Syuhbah, jika ada sebagian periwayat yang lebih peduli dengan upaya mengumpulkan dan menghafal hadis-hadis daripada memahami muatannya, jumlah mereka sangat sedikit dan para muhadisun pun memaki mereka karena melakukan hal tersebut.

Abdur Rauf (1986: 558) juga mengkritik klaim kaum orientalis dan menyatakan bahwa tujuan utama meneliti isnad adalah memelihara kredibilitas matan. Karena itu, para muhadisun awal mengumpulkan hadis-hadis otentik dengan sangat hati-hati dan menolak untuk menerima hadis-hadis yang bertentangan dengan akal.

Subhi as-Salih menulis sebuah bab yang menarik tentang kajian hadis, terkait dengan bentuk dan muatan hadis. Ia menekankan bahwa para kritikus hadis masa awal percaya bahwa kajian mereka tentang muatan hadis dan upaya mereka memelihara koleksi hadis menjadi tidak bermakna jika mereka tidak diperkokoh dengan ilmu dirayah. Ilmu dirayah ialah ilmu yang memuat studi analitik dan sejarah perkataan dan perbuatan Nabi. Ilmu ini bermaksud untuk menyelidiki syarat-syarat periwayat (rawi) dan apa yang diriwayatkan (marwi). Ia menolak pandangan yang menyatakan bahwa para peneliti hadis masa awal lebih cenderung mengkaji isnad daripada matan. Ia mengklasifikasikan hadis ke dalam beberapa kategori berdasarkan isnad dan matannya. Ia merujuk pada peran matan untuk mengeliminir hadis-hadis palsu, karena hadis-hadis palsu biasanya memiliki bahasa yang lemah, bertentangan dengan akal dan hati, dan merupakan perkataan-perkataan yang terjadi pada periode-periode pasca Nabi wafat.

Sementara itu, Syekh Muhammad Al-Ghazali (1917–1996), seorang juru bicara utama revivalisme Islam moderat Mesir, menerbitkan buku tentang sunnah berjudul As-Sunnah an-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis (1989). Untuk menunjukkan komitmennya pada kritik hadis klasik, al-Ghazali mencatat dua prinsip kritik matan hadis sebagai berikut: Perta-ma, matan harus bebas dari syuzuz, yakni bertentangan dengan sumber-sumber yang lebih terpercaya. Kedua, matan harus be-bas dari cacat serius (`illah qabihah). Dua syarat ini, menurutnya, menjamin secara terpercaya tentang kebenaran suatu hadis jika diterapkan dengan sebenar-benarnya.

Dengan demikian, dari bahasan di muka tentang banyaknya kaum orientalis dan beberapa sarjana dan kritikus Muslim

modern bahwa muhaddisun masa awal telah memberikan tekanan pada isnad pada saat melakukan kritik hadis, dan bahwa mereka telah mengabaikan kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima dan keliru. Karena pada faktanya para muhaddisun telah mengupayakan kritik hadis baik dari sisi

isnad maupun matannya.

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 113-125)