• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-Qur’an Bicara: Kunci Hermeneutika Pembe- Pembe-basanPembe-basan

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 189-195)

Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack

C. Al-Qur’an Bicara: Kunci Hermeneutika Pembe- Pembe-basanPembe-basan

Bicara dalam konteks pembebasan dari seluruh bentuk rasisme dan eksploitasi ekonomi selama masa apartheid, Esack berusaha mengeksplorasi retorika pembebasan Al-Qur’an dalam suatu teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembe-basan yang lebih koheren. Teologi pembepembe-basan Al-Qur’an beker-ja menuju pembebasan agama dari struktur sosial, politik dan agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidak-adilan dan eksploitasi termasuk ras, gender, kelas, dan agama. Teologi pembebasan semacam ini berusaha mencapai tujuannya melalui partisipasi dan pembebasan. Ia juga mengambil inspi-rasi dari Al-Qur’an dan perjuangan nabi-nabi.

Untuk itu, kunci hermeneutika pembebasan dimunculkan dari perjuangan Afrika Selatan demi kebebasan dan dari Al-Qur’an. Dalam hal ini Esack mencoba mengelaborasi kata-kata kunci takwa, tawhid, an-nas, mustadh`afin, `adl, dan qist, serta jihad (1997: 83).

1. Takwa: adalah terma yang paling komprehensif, inklusif dan aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan manusia (QS. (92): 4-10 dan (49): 13). Dengan takwa, individu dan komunitas memikul tugas kenabian dalam transformasi dan pembebasan (QS. (3): 102-105; (8): 29). Menerima takwa sebagai kunci hermeneutika memiliki implikasi penting bagi penfsir dan tindakan menafsir: a) penafsir harus bebas dari prasangka (zhann) dan nafsu (hawa). Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an, dengan

takwa sebagai kunci, memastika interpretasi bebas dari obskurantisme teologi dan reaksi politik serta spekulasi subjektif; b) takwa memfasilitasi keseimbangan estetika dan spiritual dalam kehidupan penafsir; c) takwa mendorong komitmen penafsir pada proses dialektika personal dan transformasi sosio-politik. Keterlibatan Al-Qur’an dalam proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri penafsir dalam revolusi tersebut (Esack, 1997: 88-89). 2. Tawhid: kesatuan Tuhan untuk kesatuan kemanusiaan.

Tawhid adalah fondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam. Ia adalah jantung pandangan dunia sosio-politik, dan tumbuh secara meyakinkan dalam revolusi Iran pada 1979. Ali Syariati adalah cendekiawan yang me-nyatakan tawhid adalah pandangan dunia yang bertujuan merealisasikan kesatuan Tuhan dalam relasi manusia dan sistem sosio-ekonomi. Tawhid oleh para penafsir di Afrika Selatan digunakan untuk melawan pemisahan antara agama dan politik, dan apartheid sebagai ideologi. Tawhid

adalah sumber ideologi dan kerangka rujukan suci. Ia punya dua implikasi dalam konteks Afrika Selatan: a) pada level eksistensial, ia berarti penolakan atas dualisme konsepsi tentang eksistensi manusia di mana perbedaan dibuat antara sekular dan spiritual, suci dan profan; b) pada level sosio-politik, ia menentang masyarakat yang menjadikan ras sebagai objek alternatif bagi pemujaan dan membedakan penduduk atas dasar etnisitas. Pembedaan semacam ini ada-lah syirik, antitesis tawhid. Apartheid adalah syirik (Esack, 1997: 92).

3. An-nas: manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi bagi ma-syarakat Afrika Selatan mempunyai dua implikasi

hermeneu-tika: a) ia menjadi esensi bahwa Al-Qur’an ditafsir dengan cara yang memberikan dukungan bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan yang mayoritas daripada minoritas; b) interpretasi harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi kemanusiaan sebagai pembeda dari dan sering bertentang-an dengbertentang-an minoritas istimewa. Paham kembertentang-anusiabertentang-an seba-gai kunci hermeneutika juga mempunyai dua implikasi: a) rakyat sebagai ukuran kebenaran; humanum adalah suara kebenaran yang identik dengan kebenaran Tuhan, vox populi vox dei; b) setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memasuki teks suci. Ide hermeneutika Al-Qur’an menen-tang konsep tradisional tenmenen-tang kesucian teks yang hanya dapat disentuh individu tertentu (Esack, 1997: 96-97). 4. Al-mustadh`afin, fuqara, masakin dan aradhil: adalah kelas

marjinal, tertindas. Lawan mereka adalah mutrafun dan

mustakbirun. Nabi Muhammad berasal dari keluarga petani dan kelas pekerja; demikian juga nabi-nabi Abrahamik berasal dari keluarga petani dan penggembala domba. Mereka mempunyai tujuan menciptakan tatanan sosial egaliter; mereka menghapuskan ketidakadilan sosio-eko-nomi seperti rente, bunga dan semua praktik ekososio-eko-nomi spekulatif dan eksploitatif. Al-Qur’an melarang akumulasi kekayaan dan memerintahkan pembebasan wanita dan budak. Banyak ayat yang menghubungkan iman dan agama dengan humanisme dan keadilan sosio-ekonomi. Penafsir perlu menempatkan dirinya di tengah-tengah kaum marjinal dan dalam perjuangan mereka sekaligus menafsirkan teks dari bagian bawah sejarah, didasarkan atas paham pilihan Tuhan dan kenabian atas orang-orang tertindas (Esack, 1997: 98-103).

5. `Adl dan qist: keadilan dibangun atas dasar tawhid, dan jalan menuju takwa. Keadilan adalah alasan utama bagi tegaknya agama. Masyarakat Islam diharapkan berpegang kepada keadilan sebagai basis kehidupan sosio-ekonomi. Lawannya adalah zulm dan `udwan. Keadilan ialah ukuran untuk melakukan perjuangan pembebasan. Visi keadilan Al-Qur’an harus mensuplai gagasan visioner terhadap perjuangan ini. Konteks perjuangan pembebasan tidak hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada teks; teks juga memiliki sesuatu untuk dikatakan kepada konteks (ketidakadilan dan penindasan di Afrika Selatan). Dalam situasi ketidakadilan, Al-Qur’an dipaksa menjadi alat ideologis bagi perlawanan atas penindasan dalam seluruh manifestasinya. Ini mempunyai dua implikasi: a) kita harus mencari jalan mendekati Al-Qur’an untuk digunakan melawan ketidakadilan; netralitas dan objektivitas dalam konteks ini adalah dosa; b) pendekatan terhadap Al-Qur’an sebagai alat perlawanan menghendaki komitmen ideologis dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang dikandung dalam kunci-kunci hermeneutika di atas (Esack, 1997: 103-106).

6. Jihad: adalah perjuangan dan praksis. Praksis artinya tin-dakan sadar oleh komunitas manusia yang mempunyai tanggung jawab atas determinasi politik yang didasarkan atas realisasi bahwa manusia menciptakan sejarah (Chopp, 1989: 137). Dalam konteks Afrika Selatan, jihad adalah paradigma perjuangan pembebasan dalam Islam; jihad di jalan Allah swt. adalah bagian dari iman; jihad untuk kebebasan dan keadilan di Afrika Selatan adalah suci (Esack, 1997: 106-108).

D. Simpulan

Dari paparan di atas, tampak ada kaitan antara jalan Tuhan mengidentikkan diri dengan kemanusiaan (an-nas); hubungan antara jalan Tuhan dan jalan kemanusiaan; pilihan-Nya atas manusia tertindas dan marjinal dan pentingnya menegakkan keadilan (`adl dan qist) atas dasar tawhid dan takwa melalui jihad. Melibatkan diri dalam hermeneutika pembebasan Al-Qur’an dalam situasi ketidakadilan adalah melakukan teologi dan mengalami iman sebagai solidaritas terhadap masyarakat tertindas dan marjinal dalam perjuangan untuk pembebasan.

Jadi, hermeneutika pembebasan Al-Qur’an berbeda dari teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek: 1) perbedaan terpenting ada pada tempat penafsir; penafsir menentang pendekatan yang lebih religius atau akademik terhadap teologi. Artinya, Islam hanya dapat menjadi sejati jika dialami sebagai praksis solidaritas untuk pembebasan; bertentangan dengan teologi tradisional yang mereduksi Islam menjadi ritus formal; dan teologi modern yang berada dalam dunia sekular. Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia marjinal; 2) Teologi pembebasan hidup dala dunia kekerasan dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik; dan 3) Kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat menjadi mutlak. Gerak hermeneutika secara terus menerus mencari kebenaran yang pada akhirnya membawa pada praksis pembebasan yang lebih besar.[]

MODEL KAJIAN FILSAFAT:

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 189-195)