• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spirit: Domain Ketiga Ajaran Islam

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 151-155)

MODEL KAJIAN TASAWUF

B. Spirit: Domain Ketiga Ajaran Islam

Untuk dapat memahami tasawuf sebagai sebuah kajian keis-laman, kita perlu menelusuri ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti kita ketahui bersama, Islam mengemukakan tiga domain utama kepedulian manusia. Tiga domain tersebut yaitu tubuh, pikiran, dan jiwa; atau perbuatan, pengetahuan, dan wujud. Tubuh merupakan realitas aktivitas, ketaatan ritual, dan hubungan sosial; pikiran adalah realitas persepsi, kepercayaan, pengetahuan dan pemahaman; dan jiwa adalah wilayah kesadaran terdalam tentang diri dan komunika-si langsung dengan Realitas Ultim yang disebut Tuhan, Wujud yang sesungguhnya dan nyata.

Barangkali Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang unik dalam arti ia menekankan pentingnya pengetahuan dan pemahaman. Banyak perkataan Muhammad saw. menguatkan pentingnya mengetahui sesuatu dengan benar. Karena penekanan atas pengetahuan ini, peradaban Islam ditandai dengan tingkat

belajar dan keilmuan yang tinggi. Sejak awal Islam merupakan kebudayaan buku yang sangat kaya. Ini merupakan salah satu poin utama dari studi klasik yang dilakukan oleh orientalis Franz Rosenthal berjudul Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam.

Sejak peradaban Islam berkembang, banyak Muslim meng-abdikan diri untuk mencari ilmu. Mereka bukanlah kaum pen-deta ataupun para menteri, karena Islam tidak mengenal kelas pendeta. Mereka adalah orang-orang biasa yang secara serius mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk memperoleh pe-ngetahuan.

Karena pengabdian kepada ilmu dan pemahaman, kaum Muslim mengkaji dan mengasimilasi kebijaksanaan suci yang diletakkan oleh Al-Qur’an dan Nabi dengan perhatian lebih pada analisis, penjelasan, dan sistematisasi. Banyak orang berminat untuk mempelajari segala hal dengan tujuan untuk mengetahui tentang cara-cara yang pantas untuk memperlakukan tubuh – yakni aktivitas-aktivitas personal, sosial, dan ritual–. Apa yang sesungguhnya diperintahkan Al-Qur’an agar dilakukan oleh manusia? Bagaimana Muhammad saw. melakukan perintah-perintah Al-Qur’an dalam praktik? Bagaimana kita melaksanakan lima rukun Islam –syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji–? Bagaimana cara yang baik untuk pergi ke toilet, mensucikan diri, dan makan makanan? Apa aturan-aturan yang benar untuk aktivitas antarpersonal, perkawinan, warisan, perdagangan? Jadi, mereka berusaha untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkaitan dengan aktivitas tubuh.

Sebagian Muslim lain lebih banyak memerhatikan ba-gaimana memahami apa yang mesti diimani, yang mencakup iman kepada Allah swt., kitab-kitab suci, malaikat, nabi-nabi,

hari akhir, dan ketentuan Tuhan. Kaum Muslim yang fokus pada upaya memahami masalah keimanan ini yakin bahwa keiman-an seseorkeiman-ang tergkeiman-antung pada pengetahukeiman-annya. Pernyatakeiman-an keimanan kepada Allah swt. dari orang yang bodoh dipandang sebagai kebodohan. Tidak seorang pun percaya kepada Allah swt. tanpa mengetahui siapa Tuhan sesungguhnya dan apa realitas-Nya? Sama halnya, tidak seorang pun dapat mengklaim percaya kepada objek-objek keimanan yang lain tanpa pengetahuan. Semua orang yang ingin mencapai pemahaman memadai mengenai objek-objek keimanan harus mengabdikan diri mereka untuk mempelajari wahyu Allah swt. dalam Al-Qur’an dan perkataan-perkataan Nabi. Belajar dan ilmu sangat esensial dalam Islam.

Sedangkan sebagian kelompok Muslim lainnya lebih me-merhatikan bukan pada aktivitas atau pemahaman, namun pada pengembangan cinta, ketulusan, kehormatan, keadilan, dan kejujuran yang diperintahkan oleh Al-Qur’an dan dicon-tohkan oleh Muhammad saw., baik berkaitan dengan hubung-an hamba-Tuhhubung-an maupun hubung-antarsesama mhubung-anusia. Bagi mereka pertanyaan yang mendasar adalah: Bagaimana seseorang dapat menjadi pribadi yang baik? Bagaimana ia dapat mengembang-kan seluruh karakter dan kebaimengembang-kannya sebagaimana dijumpai pada diri Muhammad saw. dan nabi-nabi lain dan para kekasih-Nya?

Orang lain boleh jadi bertanya mengapa kebanyakan sarjana Muslim menjadi spesialis dalam satu dari tiga domain ini daripada berupaya mencakup ketiganya. Pertama, pada umumnya mereka mencoba merengkuh ketiga domain itu, namun melakukan pekerjaan ini merupakan tugas berat yang melampaui kebanyakan orang, meskipun ada perkecualian

pada sebagian kecil orang. Para sarjana biasanya akan memilih mengetahui secara mendalam tentang satu dari ketiganya. Spesialisasi merupakan gambaran umum semua orang yang ingin mengetahui sesuatu secara penuh dan menyeluruh. Masing-masing dari tiga domain pengetahuan Islam ini –aktivitas manusia yang benar, pemahaman yang benar tentang Tuhan dan dunia, dan aktualisasi kebajikan dan kebaikan– dapat dianalisis dan dikaji secara terus menerus.

Kedua, spesialisasi dipilih karena setiap manusia memiliki kecenderungan, keterbatasan, dan kelebihan sendiri-sendiri. Fakta bahwa seseorang memperoleh anugerah lihai bersepak bola bukan berarti bahwa ia mesti akan mahir juga dalam bidang matematika, melukis atau main musik. Orang yang memiliki pemahaman tinggi mengenai hukum agama karena kemampuannya menurunkan aturan-aturan yang benar dari perintah dan prinsip-prinsip wahyu, belum tentu ia mempunyai kelebihan dalam bidang teologi, atau menjadi orang yang lebih berbakti.

Sejak permulaan Islam, menjadi seorang Muslim berarti mengakui bahwa Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. memberikan petunjuk dan bimbingan bagi tubuh, pikiran dan jiwa agar selaras dengan tujuan Tuhan dalam menciptakan dunia. Namun demikian, setiap orang memiliki pandangan berbeda-beda berkaitan dengan apa yang paling penting dan bagaimana mereka mempraktikkannya. Sebagian Muslim secara alamiah cenderung menempatkan prioritas utama pada tubuhnya, sebagian lain lebih mementingkan perhatiannya pada pikiran dan memperluas pemahamannya tentang Tuhan dan ciptaan-Nya, dan sebagian lainnya lagi percaya bahwa keseluruhan eksistensi manusia adalah mengkaitkan tubuh dan pikiran

dengan maksud untuk memperkuat jiwa dan untuk mencapai kesatuan dengan Realitas Ultim.

Spesialisasi dalam mengkaji Islam belum jelas hingga abad ke-9. Sebelum masa itu, kebanyakan sarjana lebih banyak ber-minat untuk mentransmisi semua yang diterima dari Allah swt. dan Muhammad saw. Sedikit demi sedikit mereka yang mende-dikasikan banyak upaya untuk memberikan petunjuk bagi akti-vitas yang layak lebih dikenal sebagai para fukaha. Mereka me-nyibukan diri dengan pemahaman tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan dalam aktivitas Islam berdasarkan pada Al-Qur’an, perkataan dan tindakan Muhammad saw., pendapat para sahabat Nabi, dan pandangan-pandangan Muslim generasi awal.

Para sarjana yang fokus untuk memahami objek-objek keimanan telah terbagi ke dalam beberapa mazhab pemikiran. Teolog dogmatik mengatakan bahwa cara terbaik memahami Tuhan adalah dengan penafsiran rasional atas Al-Qur’an. Para filosof menyatakan bahwa rasio manusia merupakan petunjuk yang cukup menuju kebenaran sesuatu dan bahwa wahyu Tuhan dapat dilepaskan dari pemahaman tentang kebenaran itu. Sementara kaum sufi memandang cara terbaik dan jalan paling bertanggung jawab menunju pemahaman ialah kesatuan langsung dengan Tuhan. Kaum sarjana yang bergabung dengan tasawuf mengembangkan metodologi tersendiri.

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 151-155)