• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi-dimensi Agama

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 38-45)

RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI ISLAM

B. Dimensi-dimensi Agama

Islam adalah salah satu dari agama-agama yang hidup di du-nia. Karena itu, untuk dapat mengkaji Islam sebagai bagian dari agama, para pengkaji perlu memahami dan memikirkan tentang agama. Ada beberapa esensi yang dapat dijumpai dalam keselu-ruhan agama-agama. Meskipun berbeda tradisi dan kebudayaan, sangat mungkin untuk menemukan beberapa dimensi-dimensi agama. Dari sini mereka dapat melihat dimensi-dimensi Islam yang dapat dijadikan objek studi ilmiah. Menurut Smart (1989), semua agama-agama yang hidup di dunia ini memiliki tujuh di-mensi sebagaimana akan dijelaskan sebagai berikut.

Dimensi Praktik dan Ritual

Setiap tradisi agama-agama memiliki beberapa praktik ke-agamaan yang dilakukan oleh para pemeluknya, seperti ibadah yang teratur, berdoa, persembahan, dan seterusnya. Praktik-praktik ini biasa juga disebut sebagai ritual-ritual keagamaan. Dimensi praktik dan ritual ini khususnya dipandang penting dalam agama-agama yang memiliki praktik sakramen, seperti Kristen Ortodoks Timur yang telah mempunyai tradisi panjang yang dikenal sebagai liturgi. Tradisi biara Yahudi kuno terbiasa dengan praktik pengorbanan. Demikian pula ritual-ritual pe-ngorbanan dianggap penting dalam tradisi Hindu Brahmin.

Di sisi lain, ada pula pola-pola perilaku yang tidak dapat dipandang sebagai ritual dalam pengertian baku, namun

ber-fungsi untuk meningkatkan kesadaran spiritual atau ketajaman etis: praktik-praktik seperti Yoga dalam tradisi Hindu dan Budha, meditasi yang dapat menolong orang meningkatkan rasa cinta dan kesabaran, dan sebagainya. Praktik-praktik ini dapat dikom-binasikan dengan ritual-ritual persembahan.

Dalam konteks Islam, dimensi-dimensi praktik dan ritual ke-agamaan berupa rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Lima rukun menjadi kategori utama ri-tual Islam dan peristiwa-peristiwa yang lebih kurang tersusun di bawahnya dalam bentuk yang teratur. Misalnya, Idul Adha/Qurban bera-kar dalam haji; Idul Fitri berperan sebagai penutup puasa Ra-madan. Salat khusus pada saat terjadi gerhana mata-hari atau bulan. Semuanya dilakukan secara teratur. Empat dari lima ru-kun mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengeks- presikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama syahadat yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang sempurna. Dua dari rukun ini juga mempunyai rujukan tempat yang kuat karena salat dan haji dipusatkan pada Ka’bah di Mek-kah. Salat, puasa dan haji juga mempunyai waktu tertentu se-hingga Islam memiliki serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci (Denny dalam Martin, 1985).

Karena itu, Studi Islam dapat mempelajari dan mengkaji semua bentuk praktik dan ritual atau ibadah dalam Islam, baik ritual kenosis (pengosongan diri) seperti puasa Ramadan, mau-pun ritual plerosis (pengisian diri) seperti zakat, dan qurban.

Dimensi Pengalaman dan Emosional

Kita tidak dapat mengabaikan barang sejenak pun dalam mengkaji agama, termasuk Islam, untuk melihat dan memer-hatikan vitalitas puncak dan pengalaman penting dalam pem-bentukan tradisi-tradisi keagamaan. Sebagai contoh ialah

visi-visi yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad atau pencerahan yang dialami Budha Gautama. Ini jelas menggambarkan ten-tang emosi-emosi dan pengalaman-pengalaman para pemeluk agama-agama. Dimensi ini merupakan makanan bagi dimensi-dimensi agama lainnya. Ritual tanpa emosi terasa dingin; ajaran tanpa cinta itu kering. Jadi, sedemikian penting dalam mema-hami suatu tradisi kita berusaha untuk masuk ke dalam per-asaan-perasaan untuk merasakan kesakralan, kedamaian, dan dinamika batiniah, sensasi harapan, persepsi kekosongan, dan rasa syukur yang mendalam.

Rudolf Otto (1860-1937) melukiskan dengan tepat ten-tang dimensi ini dengan kata “numinous”, yang artinya spirit. Dari kata ini, ia menjelaskan suatu pengalaman, perasaan yang dibangkitkan oleh suatu misteri yang menggetarkan, menakut-kan, mendebarkan (mysterium tremendum), dan sekaligus misteri yang mempesona, menarik penghambaan (mysterium fascinans). Inilah yang dalam konteks Islam dapat dimengerti bahwa yang pertama merupakan manifestasi Allah sebagai al-Jalal, dan yang kedua sebagai al-Jamal. Ini semacam pengalaman mistik yang mudah dijumpai dalam semua agama tak terkecuali Islam.

Dimensi pengalaman dan emosi dari para pemeluk Islam mengenai Tuhan Allah, apakah kehadiran-Nya dirasakan oleh hamba-Nya sebagai Yang Maha Agung, atau sebagai Yang Maha Indah dan Mempesona, dapat menjadi bagian dari objek kajian ilmiah dari Studi Islam.

Dimensi Naratif dan Mitos

Seringkali pengalaman disalurkan dan diungkapkan bukan hanya melalui ritual bahkan juga narasi-narasi dan mitos suci. Dimensi ini disebut sebagai dimensi naratif dan mitos, semacam sisi kisah, cerita dalam agama-agama. Kisah, cerita adalah tipikal

dari semua keimanan untuk menyampaikan suatu kisah-kisah penting. Sebagian kisah itu bersifat historis, terjadi dalam di-mensi ruang dan waktu nyata; dan sebagian lainnya berkenaan dengan waktu primordial yang misterius ketika dunia belum muncul dalam waktu yang belum dapat dinamakan; sebagian tentang segala hal yang datang dan berakhir pada suatu waktu; sebagian tentang kisah para pahlawan dan orang-orang suci; se-bagian tentang para pendiri dan pembawa agama-agama, seperti Musa, Isa, Muhammad, dan lain sebagainya.

Dalam Islam kita dapat menjumpai kisah-kisah tentang penciptaan alam semesta sebelum masa sejarah, penciptaan Adam dan Hawa dalam surga dan akhirnya terhempas ke muka bumi. Ini merupakan contoh kisah-kisah yang terjadi dalam waktu primordial yang misterius, tidak historis. Di sisi lain, terdapat kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa historis tentang kehidupan Nabi Muhammad, para sahabatnya, para pejuang Muslim, dan sebagainya. Yang tidak historis itulah yang disebut sebagai mitos; dan yang historis disebut sebagai narasi.

Studi Islam memiliki bahan yang sangat kaya dengan men-jadikan kisah-kisah yang naratif maupun mitos ini sebagai ob-jek kajiannya. Kajian tentang kisah-kisah bisa bersumber dari Al-Qur’an, hadis nabi, kitab-kitab sirah yang tertulis, maupun kisah-kisah yang hanya ditransmisi secara oral dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dimensi Doktrin dan Filosofis

Tiang penyangga dimensi naratif adalah dimensi doktrin atau ajaran. Dalam banyak peristiwa, ajaran-ajaran memainkan peran penting dalam keseluruhan agama-agama, sebagian kare-na cepat atau lambat keimakare-nan harus beradaptasi dengan reali-tas sosial dan dengan fakta bahwa kebanyakan kepemimpinan

agama dipegang oleh mereka yang terpelajar dan berusaha men-cari dasar-dasar intelektual/filosofis sebagai basis dari iman.

Wajar terjadi dalam sejarah agama-agama kecenderungan mementingkan kitab suci dan doktrin. Ini tidak mengherankan karena banyak pengetahuan yang kita miliki tentang agama-agama terdahulu berasal dari dokumen-dokumen keagama-agamaan yang dipelajari oleh kaum elite mereka.

Dalam konteks Islam, dimensi ajaran tentu saja sangat mudah ditemukan dalam dua sumber utama tertulisnya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Di balik ajaran-ajaran itu para pemeluk Islam dan bahkan para pengkaji Islam pun dapat menemukan muatan-muatan filosofis dari agama/Islam. Dalam haji, kita jumpai ajaran tentang rukun, kewajiban dan larangan di dalam-nya. Ajaran tentang ihram (berpakaian putih-putih) selama melaksanakan haji atau umrah, secara filosofis mengandung pesan egalitarianisme, kesetaraan manusia di hadapan Allah. Tawaf penuh dengan muatan filosofis bahwa beribadah bukan semata menciptakan harmoni dengan Tuhan Allah di mana Ka’bah menjadi pusat, bahkan juga melukiskan harmoni dalam makrokosmos di mana selalu ada benda-benda yang menjadi satelit dan mengelilingi pusatnya.

Studi Islam dapat membuat salah satu fokus perhatiannya pada dimensi ajaran dan filosofis dari Islam itu sendiri. Kajian-kajian bisa menitikberatkan pada ajaran-ajaran di satu sisi, dan ada pula yang menekankan pada dimensi filosofis dalam Islam yang tak kurang-kurangnya terus digali oleh para mahasiswa, dosen, dan pembelajar lainnya.

Dimensi Etika dan Hukum

Dimensi ajaran dan narasi berpengaruh pada nilai-nilai dari suatu tradisi dengan cara membentuk pandangan dunia dan

menjawab persoalan tentang pembebasan dan penyelamatan utama. Hukum terkait dengan sumber yang melahirkannya yang disebut sebagai dimensi etika dari suatu agama. Dalam Budha misalnya, terdapat lima kebenaran utama yang mengikat secara universal, yang bersamaan dengan seperangkat aturan lainnya mengendalikan kehidupan para rahib dan pendeta dan komunitas biara. Dalam Yahudi terdapat 10 perintah Tuhan, bahkan lebih dari 600 aturan yang diturunkan oleh Tuhan kepada komunitas mereka.

Dalam konteks Islam, kita mengenal kehidupan yang di-pandu oleh sistem hukum yang disebut syariah. Dimensi ini membentuk masyarakat baik sebagai masyarakat keagamaan maupun masyarakat politik, sekaligus kehidupan moral indivi-dual –yang menjelaskan kewajiban beribadah salat lima waktu sehari semalam, memberi makan fakir miskin dan zakat, dan seterusnya–.

Tradisi yang lebih kurang terkait dengan masalah hukum ini adalah etika. Misalnya sikap etis dalam agama Kristen adalah cinta. Sumber cinta bukan hanya perintah Yesus kepada para pengikutnya untuk mencintai Tuhan dan para tetangganya, ia juga bersumber dari kisah tentang Yesus itu sendiri yang memberikan cintanya kepada umat manusia.

Studi Islam dapat mengkaji baik dimensi hukum maupun etika ini. Kajian-kajian mengenai hukum Islam tentu saja sangat kaya, karena kekayaan pemikiran hukum Islam merentang da-lam bentuk berbagai mazhab, seperti empat mazhab terkenal, yakni Syafii, Maliki, Hanbali dan Hanafi. Meskipun harus diakui bahwa kajian tentang etika Islam terbilang kurang berkembang pada masa modern dan kontemporer. Beberapa kajian etika Islam dapat disebut di sini adalah oleh Majid Khadduri (1984) dan

Majid Fakhry (1991). Yang pertama mengkaji teologi keadilan, dan yang terakhir menstudi teori-teori etika dalam Islam.

Dimensi Sosial dan Institusional

Dimensi-dimensi yang sudah dipaparkan di muka –ritual, pengalaman, narasi, doktrin dan etika–, merupakan dimensi-di-mensi yang abstrak tanpa memiliki perwujudannya dalam ben-tuk eksternal. Dimensi sosial dan institusional bicara tentang manifestasi eksternal dari agama. Setiap gerakan keagamaan terbentuk dalam kelompok pemeluk yang seringkali diorganisir secara formal seperti gereja, sangha atau ummah. Untuk mema-hami agama kita perlu melihat bagaimana agama itu bekerja di kalangan pemeluknya. Inilah alasan mengapa diperlukan suatu alat untuk menyelidiki agama, yakni suatu disiplin yang dikenal sebagai sosiologi agama. Kadang-kadang, aspek sosial dari suatu pandangan dunia identik dengan masyarakat itu sendiri, yang dalam bentuk terkecil adalah suku misalnya. Di sana terdapat berbagai relasi antara agama-agama formal dan masyarakat luas: suatu keimanan mungkin menjadi agama resmi, atau ia hanya menjadi satu denominasi saja, atau mungkin bisa mengasing-kan diri dari kehidupan sosial seperti sekte.

Dalam Studi Islam, dimensi-dimensi sosial, seperti penge-lompokkan keagamaan Syiah dan Sunni, organisasi sosial- keagamaan ala Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, Persis, dan sebagainya, bisa menjadi bahan kajian yang menarik. Dalam ka-jian atas dimensi ini juga bisa diungkap bagaimana peran orang-orang karismatik, orang-orang-orang-orang suci seperti guru, wali, mursyid, dan mistikus sufi dalam memengaruhi dan mengendalikan an-tusiasme kehidupan jamaahnya.

Dimensi Material

Dimensi material ialah segala manifestasi agama yang bersifat kebendaan, seperti bangunan-bangunan peribadatan (masjid, pura, wihara, klenteng, sinagog), tempat-tempat suci, pekerjaan tangan atau seni keagamaan, dan kreasi-kreasi material lainnya. Simbol-simbol keagamaan seperti salib, bulan bintang, dan sebagainya, juga termasuk dimensi material.

Studi Islam dapat mengkaji aspek material dalam agama Is-lam. Ketika salat, kita menjumpai benda-benda yang dipergu-nakan dalam peribadatan ini, mulai dari sajadah, peci, muke-nah, tasbih, masjid, mimbar. Ketika salat, Muslim menghadap Ka’bah sebagai kiblat. Ketika haji, Muslim mengelilingi Ka’bah, mengusap hajar aswad, di dalamnya juga ada hijr Ismail, mas-jid haramain, makam nabi Muhammad dan Ibrahim, dan seba-gainya. Semua itu adalah dimensi kebendaan yang digunakan dalam peribadatan dan ritual-ritual lainnya. Benda-benda ke-agamaan yang dipandang suci bukan semata menjadi objek ka-jian ilmiah, bahkan seringkali menjadi objek ziarah atau wisata agama bagi para pemeluknya. Bahkan kita juga menjumpai satu benda keagamaan yang dianggap suci oleh beberapa pemeluk agama sekaligus, seperti Masjid al-Aqsa yang dianggap suci dan menjadi kiblat bagi kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim.

Dalam dokumen Studi Islam Pendekatan dan Metode (Halaman 38-45)