• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Terhadap Kejang Demam pada Anak di Kelurahan Kwala Bekala Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Terhadap Kejang Demam pada Anak di Kelurahan Kwala Bekala Tahun 2015"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Kejang Demam 2.1.1. Definisi

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam (Soetomenggolo, 1999).

Pada American Academy of Pediatrics (2008) menggambarkan kejang demam sebagai sebuah kejang yang terjadi pada anak demam pada usia antara 6 bulan sampai 60 bulan yang tidak mengalami infeksi intrakranial, gangguan metabolik, atau riwayat kejang demam sebelumnya (Chung, 2014).

Menurut IDAI dalam Amalia dkk (2013) mengemukakan bahwa Kesepakatan Undang – Undang Kedokteran (UUK) Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) - saraf anak Perdossi, Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh >38ºC yang disebabkan oleh suatu proses ektrakranial.

2.1.2. Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2 – 5 % anak dan biasanya terjadi pada usia antara 3 bulan – 5 tahun, dengan kejadian terbanyak pada usia 18 bulan. Kira-kira 6-15% terjadi pada usia 4 tahun dan jarang terjadi pada usia lebih dari 6 tahun (Waruiru, 2004).

(2)

2.1.3. Faktor Risiko

Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan perinatal (Soetomenggolo,1999). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fuadi dkk, 2010 dikatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam risiko kejang demam yaitu, faktor demam, usia, dan riwayat keluarga, dan riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan, dan bayi berat lahir rendah) (Fuadi dkk, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fuadi dkk, 2010 dengan jumlah sampel 164 anak, didapati bahwa anak dengan demam lebih besar dari 39ºC memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk menderita bangkitan kejang demam dibanding dengan anak yang demam kurang 39ºC. Anak usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko 8,9 kali lebih besar dibanding anak yang lebih dari dua tahun.

2.1.4. Etiologi

Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-beta), atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatnya pH otak sehingga terjadi kejang.

Kejang demam juga diturunkan secara genetic sehingga eksitasi neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetic masih belum jelas, namun beberapa studi menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13-21, sementara studi lain menunjukkan pola autosomal dominan.

(3)

2.1.5. Klasifikasi

Secara klinis, kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam simpleks/sederhana dan kejang demam kompleks. Keduanya memiliki perbedaan prognosis dan rekurensi.

Tabel 2.1 Karakteristik kejang demam sederhana dan kompleks

No Klinis KD sederhana KD kompleks

1 Durasi < 15 menit ≥15 menit

2 Tipe kejang Umum Umum/fokal

3 Berulang dalam satu episode (24 jam) 1 kali >1 kali

4 Defisit neurologis - ±

5 Riwayat keluarga kejang demam ± ±

6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam ± ±

7 Abnormalitas neurologis sebelumnya - ±

(Udin, 2014)

Kejang demam simpleks lebih banyak ditemukan dan memiliki prognosis baik. Kejang demam kompleks memiliki risiko lebih tinggi terjadinya kejang demam berulang dan epilepsi di kemudian hari (Lilihata et al., 2014).

2.1.6. Patofisiologi

Demam adalah kenaikan suhu tubuh oleh karena adanya kenaikan titik ambang regulasi panas hipotalamus. Pusat regulasi suhu hipotalamus dapat mengendalikan suhu tubuh dengan menyeimbangkan sinyal dari reseptor – reseptor neuronal perifer dingin dan panas sehingga suhu tubuh berada pada suhu normal.

(4)

oleh sel – sel radang dapat dirangsang oleh berbagai macam agen seperti agen infeksius, imunologis, atau agen yang berikatan dengan toksin (pirogen eksogen). Pirogen endogen ini adalah sitokine, misalnya interleukin (IL-1 dan IL-6), tumor necrosis factor (TNFa dan TNFb), dan interferon-a (INF). Sitokin endogen yang bersifat pirogen akan menstimulasi metabolisme asam arakhidonat di hipotalamus. Stimulasi ini akan memproduksi prostaglandin (E2), yang mengatur titik ambang pengaturan suhu. Transmisi neuronal ke perifer menyebabkan konservasi dan pembentukan panas. Keadaan ini menyebabkan terjadinya peningkatan suhu 15 tubuh bagian dalam (Guyton, 2006).

(5)

Na+ influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-nergik. Setiap kenaikan suhu 0,3°C secara cepat akan menimbulkan discharge di daerah oksipital, discharge di daerah oksipital dapat dilihat dan hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhu tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat dan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator, sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak (Fuadi, 2010).

Patofisiologi dari kejang demam belum sepenuhnya dipahami. Peran aktivasi sistem sitokin saat ini masih sedang terus diteliti. Adanya sitokin meningkatkan kecurigaan terhadap kejang demam yang berhubungan dengan varian tertentu dari gen peradangan terkait, khususnya alel interleukin, sedangkan yang lain mungkin sebagai pelindung. Pada penelitian meta-analisis yang dilakukan Wu dkk, menduga bahwa keterkaitan ini cukup kompleks, dengan adanya hubungan peran alel interleukin dengan kejang demam pada populasi Asia, tetapi tidak berhubungan dengan penelitian yang dilakukan di Eropa.

(6)

Pada suatu penelitian case-control menyatakan bahwa kekurangan besi dan seng mungkin juga menjadi faktor risiko kejang demam. Penelitian yang dilakukan pada anak Indian yang berusia 3 bulan sampai 5 tahun menunjukkan kadar seng serum lebih rendah pada pasien yang kejang dibandingkan pasa pasien demam tanpa kejang (Reesee, 2012). Seng merupakan modulator penting dalam sintesis GABA. Kedua temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa penurunan inhibisi dari reseptor GABA pada keadaan demam, mengakibatkan terjadinya kejang demam.

Pada kasus terinfeksi human herpes virus-6 (HHV-6), menyatakan bahwa invasi virus secara langsung pada otak, ketika pada keadaan demam, menyebabkan bangkitan kejang demam dan virus tersebut mungkin diaktifkan kembali jika demam pada penyakit berikutnya, dan dapat menyebabkan kejang demam berulang. Penelitian pada hewan telah menunjukkan peningkatan rangsangan saraf selama pematangan otak normal, yang mungkin menjelaskan hubungan kerentanan usia anak kejang demam (Shellhaas, 2014).

2.1.7. Manifestasi Klinis

Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam kompleks menetap lebih lama dari 15 menit, adanya kejang berulang pada 24 jam, atau kejang fokal/parsial selama periode mengantuk atau tertidur pasca-iktal (Nelson, 2000).

2.1.8. Diagnosis

(7)

neurologis, serta riwayat kejang demam maupun kejang tanpa demam pada keluarga. Pada kejang demam ditemukan perkembangan neurologis yang normal. Tidak ditemukan tanda-tanda meningitis maupun ensefalitis (misalnya kaku kuduk atau penurunan kesadaran). Anak-anak harus segera dievaluasi setelah kejang awal. Kebanyakan pasien kejang demam datang untuk perawatan medis setelah kejang berhenti dan kembali dalam keadaan sadar penuh. Tanyakan pada orang tua mengenai imunisasi, penggunaan antibiotic, durasi kejang, lamanya fase pasca-iktal, dan gejala fokal lainnya.

Pemeriksaan laboratorium seperti darah perifer lengkap tidak diperlukan pada pasien dengan kejang demam, karena jarang ditemui gangguan elektrolit atau infeksi bakteri berat. Dalam suatu penelitian retrospektif yang dilakukan pada 379 anak dengan kejang demam, hanya delapan orang yang ditemukan bakterimia. Pemeriksaan pungsi lumbal kini menjadi pilihan untuk anak usia 6-12 bulan yang belum pernah atau belum lengkap diimunisasi Haemophilus influenza tipe b dan

S. pneumonia. Pungsi lumbal juga direkomendasikan untuk dilakukan pada semua anak yang berusia dibawah 12 bulan dan boleh dipertimbangkan untuk anak usia 12-18 bulan. Pungsi lumbal tidak rutin dilakukan pada anak usia >18 bulan, hanya dilakukan bila tanda meningitis positif atau infeksi intracranial.

Elektroensefalografi (EEG) tidak rutin dilakukan, namun dianjurkan pada anak dengan kejang demam usia >6 tahun, ataupun ada gambaran kejang fokal. Pemeriksaan seperti X-ray, CT-Scan, atau MRI setelah kejang demam sederhana atau kompleks tidak dianjurkan. Tidak didapatkan manfaat untuk membantu nilai diagnosis atau prognosis. Pemeriksaan EEG dan neuroimaging hanya diindikasikan bila ada kelainan neurologis fokal, kelainan saraf cranial yang menetap, atau papiledem (Reese,2012).

2.1.9. Penatalaksanaan

(8)

paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam). Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.

Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.

(9)

Pre-hospital 0-10 menit

Gambar 2.1. Algoritma Tatalaksana Kejang (Lilihata et al., 2014) Diazepam 5-10mg/rectal

max. 2x jarak 5 menit

Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/iv, kecepatan 2 mg/menit, max dosis 20 mg

Midazolam 0,2 mg/kg/iv bolus

Lorazepam 0,05-0,1mg/kg/iv, kecepatan 2 mg/menit

Fenitoin 20mg/kg/iv (larutkan 10mg/1ml NS), kecepatan 1 mg/kgBB/menit max dosis 1 gram

(10)

Indikasi pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):

1. Kejang lama > 15 menit

2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.

3. Kejang fokal

4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

• Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam. • Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan. • kejang demam > 4 kali per tahun

2.1.10. Prognosis

Menurut konsensus penatalaksanaan kejang demam tahun 2006, prognosis dari kejang demam adalah sebagai berikut:

1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.

2. Kemungkinan mengalami kematian

(11)

3. Kemungkinan berulangnya kejang demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah :

1. Riwayat kejang demam dalam keluarga 2. Usia kurang dari 12 bulan

3. Temperatur yang rendah saat kejang 4. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

4. Faktor risiko terjadinya epilepsi

Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :

1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.

2. Kejang demam kompleks

3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam

2.1.11. Edukasi pada orang tua

(12)

1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik. 2. Memberitahukan cara penanganan kejang

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat (Pusponegoro et al., 2006).

2.2. Tinjauan tentang Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan (knowledge)

adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnyaapa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2010).

Hasil penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut menjadi proses yang berurutan yakni:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest, dimana orang merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

(13)

Pengetahun yang cukup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu (Notoatmodjo, 2003) :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah pelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

(14)

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kreteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain: pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, dan informasi.

2.3. Tinjauan tentang Sikap

Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk secara konsisten memberikan tanggapan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu objek, kecenderungan ini merupakan hasil belajar, bukan pembawaan / keturunan. Sikap sebagai suatu pendapat disertai perasaan yang menentukan tindakan terhadap suatu objek.

Ciri – ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut : 1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling)

Hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan – pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus, dan merupakan modal untuk bertindak dengan pertimbangan untung – rugi, manfaat serta sumberdaya yang tersedia.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (personnal references)

(15)

3. Sumber daya (resurces) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut.

4. Sosial budaya (culture) berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek / stimulus tertentu.

Sikap mempunyai tiga komponen pokok, seperti yang dikemukakan Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan sikap, yaitu:

1. Menerima (receiving) artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek.

2. Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dan sikap.

3. Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga (kecenderungan untuk bertindak).

(16)

2.4. Tinjauan tentang Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan).

Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri, yang mempunyai bentangan yang sangat luas mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpikir, persepsi dan emosi. Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas organisme, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Skinner sebagaimana dikutip oleh Soekidjo Notoatmojo (2010) perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari luar (stimulus). Perilaku dapat dikelompokkan menjadi dua:

a. Perilaku tertutup (covert behaviour), perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum bisa diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservabel behavior” atau “covert behavior” apabila respons tersebut terjadi dalam diri sendiri, dan sulit diamati dari luar (orang lain) yang disebut dengan pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude).

b. Perilaku Terbuka (Overt behaviour), apabila respons tersebut dalam bentuk tindakan yang dapat diamati dari luar (orang lain) yang disebut praktek (practice) yang diamati orang lain dari luar atau “observabel behavior”.

(17)

Berdasarkan batasan dari Skinner tersebut, maka dapat didefinisikan bahwa perilaku adalah kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka pemenuhan keinginan, kehendak, kebutuhan, nafsu, dan sebagainya. Kegiatan ini mencakup :

a. Kegiatan kognitif: pengamatan, perhatian, berfikir yang disebut pengetahuan b. Kegiatan emosi: merasakan, menilai yang disebut sikap (afeksi)

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik kejang demam sederhana dan kompleks
Gambar 2.1. Algoritma Tatalaksana Kejang (Lilihata et al., 2014)

Referensi

Dokumen terkait

STRATEGI HUBUNGAN MASYARAKAT PEMASARAN D ALAM PROMOSI FILM Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.. DAFTAR

Musik program biola memiliki lebih dari 50 peserta didik yang dibagi. setiap kelas 8 siswa dan satu pengajar biola yaitu pemula

Dari hasil penelitian dan pembahasan dan sesuai dengan tujuan hipotesis yang dilakukan dengan analisis regresi linear berganda maka dapat ditarik kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan sistem jaring pada budidaya pendederan juvenil lobster pasir Panulirus homarus tidak berpengaruh terhadap respons

Peserta didik bersama kelompok mengolah dan menganalisis data hasil percobaan dengan cara menjawab pertanyaan pada LKPD dengan tanggung

Sesuai dengan fungsinya, Sekretaris Perusahaan menjamin ketersediaan informasi terkini, tepat waktu dan akurat mengenai Perseroan kepada para pemegang saham, analis, media massa

Keluarga merupakan institusi pertama untuk mengadakan interaksi dan menanamkan nilai-nilai termasuk kemandirian, moral agama bagi anak, namun melihat fenomena yang

Wawancara dengan Bapak MAG diatas berbanding sama dengan wawancara dengan informan DAU yang menyatakan bahwa jarak hotel berkisar 1-2 KM dari masjid, kemudian untuk