• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1 FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Skor COPD Assessment Test (CAT) dengan Rasio FEV1 FVC pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Klinis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang bisa dicegah dan diobati. PPOK ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2015). Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK sering mengenai individu pada usia pertengahan yang memiliki riwayat merokok jangka panjang. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi (PDPI, 2011).

2.2. Epidemiologi PPOK

Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5-9% pada individu usia > 45 tahun (Wiyono, 2009). Data penelitian lainnya menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di beberapa kota Amerika Latin. Prevalens PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah 3,5 % di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam (GOLD, 2015). Untuk Indonesia, penelitian PPOK working group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens PPOK Indonesia sebesar 5,6 (Regional COPD Working Group, 2003).

(2)

2.3. Patofisiologi PPOK

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) (Sherwood, 2011).

Pada PPOK, hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran napas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya penebalan pada saluran napas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran napas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan napas. Lumen saluran napas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.

(3)

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.

(4)

Konsep patogenesis PPOK

Gambar 2.1

Sumber: PDPI. Klasifikasi. Dalam : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Juli 2011

Gambar 2.2

(Dikutip dari: Spurzem JR, Rennard SI, Pathogenesis of COPD, 2005,26(2):142-53)

(5)

2.4. Diagnosis PPOK

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

2.4.1. Anamnesis a. Faktor Risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (GOLD, 2015)

b. Gejala

PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis ( Jindal dan Gupta, 2004)

Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut (COPD Health Center, 2010) :

a. Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.

(6)

b. Berdahak kronik

Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.

c. Sesak napas

Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik

tangga 1 tingkat

2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit

4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Tabel 2.1 Skala Sesak British Medical Research Council (MRC)

d. Mengi

(7)

e. Ronkhi

Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup yang terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi mencerminkan adanya letupan mendadak jalan nafas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat disebabkan oleh penutupan jalan nafas regional dikarenakan penimbunan mucus pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi ronhki meskipun bukan gejala khas dari PPOK (Sylvia dan Lorraine, 2006)

f. Penurunan Aktivitas

Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis (Sylvia dan Lorraine, 2006)

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua (Sciurba, 2004)

2.4.2. Pemeriksaan Fisik

Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi paru yang signifikan (Badgett et al, 2003). Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Inspeksi

a. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )

(8)

e. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai

f. Penampilan pink puffer atau blue bloater 2. Palpasi

a. Fremitus melemah b. Sela iga melebar 3. Perkusi

a. Hipersonor 4. Auskultasi

a. Fremitus melemah,

b. Suara nafas vesikuler melemah atau normal c. Ekspirasi memanjang

d. Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) e. Ronki

Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing.

Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

Pursed - lips breathing

(9)

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang 2.4.3.1. Pemeriksaan Spirometri

Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang digunakan disebut spirometer (Miller et. al, 2005).

Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume capacity (FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin. Nilai FVC dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin.

Langkah pemeriksaan Spirometri, Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum pemeriksaan. Pasien harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi saluran napas bagian atas dan hati-hati pada penderita asma karena dapat memicu serangan asma. Pasien harus menghindari memakai pakaian yang ketat dan makan makanan berat dalam waktu 2 jam. Pasien juga tidak harus merokok dalam waktu 1 jam dan menkonsumsi alkohol dalam waktu 4 jam. Masukkan data yang diperlukan , yaitu umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan ras untuk megetahui nilai prediksi. Beri pentunjuk dan demonstrasikan manuver pada pasien, yaitu pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah bibir yang mengatup mouth piece. Pasien dalam posisi duduk atau berdiri, lakukan pernapasan biaa tiga kali berturut-turut, dan langsung menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru, dan kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth piece. Manuver dilakukan 3 kali untuk mendapatkan hasil terbaik.

(10)

dalam bentuk social vital capacity (SVC) atau forced vital capacity (FVC). Pada SCV, pasien diminta bernafas secara normal 3 kali (mouthpiece sudah terpasang di mulut) sebelum menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan secara maksimal. Pada FVC, pasien diminta menarik nafas dalam-dalam sebelum mouth piece dimasukkan ke mulut dan dihembuskan secara maksimal (Miller et. al, 2005).

Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan:

a. Forced Vital Capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat di keluarkan secara paksa setelah inspirasi maksimal, dan di ukur dalam liter

b. Forced expiratoy volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik, di ukur dalam liter. Bersama dengan FCV merupakan indikator utama fungsi paru

c. FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/SCV. Pada orang sehat nilai normalnya sekitar 75 – 80%

d. Peak expiratory flow (PEF) merupakan kecepatan pergerakan udara keluar dari paru pada awal ekspirasi, di ukur dalam liter/detik.

e. Forced expiratory flow (FEF) merupakan kecepatan rata-rata aliran udara keluar dari paru selama pertengahan pernafasan. Sering juga di sebut sebagai MMEF (Maximal Mid-Expiratory Flow).

Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi) :

a. Gangguan restriksi : Vital Capacity (VC) < 80% nilai prediksi; FVC < 80% nilai prediksi

b. Gangguan obstruksi : FEV1 < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi

c. Gangguan restriksi dan obstruksi : FVC < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi.

Bentuk spirogram adalah hasil dari spirometri. Beberapa hal yang menyebabkan spirogram tidak memenuhi syarat :

a. Terburu-buru atau penarikan nafas yang salah b. Batuk

(11)

e. Ekspirasi yang bervariasi f. Kebocoran

Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan minimal 3 kali. Kriteria hasil spirogram yang reprodusibel (setelah 3 kali ekspirasi) adalah dua nilai FVC dan FEV1 dari 3 ekspirasi yang dilakukan menunjukkan variasi/perbedaan yang minimal (perbedaan kurang dari 5% atau 100 mL) (Miller et. al, 2005).

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2015, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD 2015

2.4.3.2. Pemeriksaan Penunjang lain

(12)

2.5. Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (PDPI, 2010)

Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.

Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting) (PDPI, 2010)

Macam-macam bronkodilator : a. Golongan β– 2 agonis.

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

(13)

adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin mononosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.

b. Golongan antikolinergik.

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kaliperhari ).

Mekanisme kerja : Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b2 dari sistem adrenergis terhambat, maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronchokonstriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarinik dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronkus, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dominan dengan efek bronkodilatasi.

c. Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis.

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebihs ederhana dan mempermudah penderita.

d. Golongan xantin.

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasiakut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

(14)

2.6. COPD Assessment Test (CAT)

PPOK merupakan beban besar untuk pasien dan system kesehatan. Perawatan pasien PPOK hanya dapat dioptimalkan jika ada alat pengukuran standard yang handal dalam mengukur efek keseluruhan pneyakit terhadap kesehatan pasien. Sayangnya, pemeriksaan fungsi paru yang biasa digunakan tidak mencerminkan dampak PPOK. Akibatnya, dibutuhkan alat yang mudah digunakan untuk mengukur dampak PPOK terhadap kesehatan pasien dan meningkatkan pemahaman antara dokter dan pasien terhadap dampak penyakit untuk mengoptimalkan pengelolaan pasien dan mengurangi beban penyakit. COPD Asssessment Test (CAT) dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Jones et. al, 2009).

CAT merupakan kuesioner yang sudah tervalidasi dan terstandarisasi yang digunakan untuk menilai status kesehatan pasien PPOK. CAT terdiri dari 8 item pertanyaan yang mudah dimengerti dan dijawab oleh pasien. CAT memiliki skor dari 0-40. CAT harus diisi sendiri oleh pasien tanpa bantuan praktisi kesehatan (CAT Development Steering Group, 2012). Dengan 8 item pertanyaan, CAT sudah dapat menunjukkan efek yang jelas terhadap status kesehatan dan kehidupan sehari-hari pasien (Jones et. al, 2011)

CAT bukan merupakan alat diagnostic seperti spirometri. Namun CAT dapat digunakan bersama-sama dengan spirometri dalam penilaian klinis pasien PPOK untuk mengetahui apakah penatalaksanaan sudah optimal. CAT juga tidak dapat menggantikan terapi PPOK, tetapi dapat membantu dalam memonitor efek terapi (Dod et. al, 2011).

(15)

Skor CAT Level Gambaran klinis akibat PPOK

> 30 Tinggi sekali Kondisi penderita menghentikannya melakukan apapun yang mereka inginkan dan mereka tidak pernah baik setiap harinya. Jika mereka dapat mandi, akan membutuhkan waktu yag lama. Mereka tidak dapat keluar rumah atau melakukan pekerjaan rumah. Mereka sering tidak dapat bangun dari kursi atau temapt tidur. Mereka menjadi merasa tidak berguna.

20 -30 Tinggi PPOK menghentikan mereka melakukan hampir semua yang mereka inginkan. Mereka sesak napas ketika berjalan di sekitar rumah dan berpakaian. Mungkin juga sesak ketika berbicara. Mereka letih karena batuk dan gejala yang ada mengganggu tidur hamper setiap malam. Mereka merasa olahraga tidak aman untuknya sehingga menjadi panic dan takut.

10-20 Sedang Pasien mengalami hari yang baik dalam seminggu, tetapi batuk berdahak hamper di setiap hari dan mengalami ekserbasasi 1-2 kali dalam setahun.Mereka sesak hampir setiap hari dan biasanya bangun dengan dada yang berat atau mengi. Mereka sesak ketika membungkuk dan hanya dapat menaiki tangga perlahan. Mereka dapat melakukan pkerjaan perlahan atau berhenti untuk istirahat.

(16)

membawa barang berat. Mereka harus perlahan atau berhenti ketika mendaki atau ketika terburu-buru turun. Mereka mudah lelah.

Gambar

      Gambar 2.1
Tabel 2.1 Skala Sesak British Medical Research Council (MRC)
Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD 2015

Referensi

Dokumen terkait

Adakah pengaruh pemberian zinc pada penurunan kadar netrofil sputum penderita.

Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease... Guidelines for Management of Chronic Obstructive Pulmonary

Berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk, riwayat merokok, riwayat PPOK, serta pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit paru

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola kuman dengan derajat obstruksi VEP 1 pada pasien PPOK eksaserbasi akut di RSUP H.. Adam Malik Medan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, dengan ciri adanya hambatan aliran udara yang menetap (persisten) yang

tidak dijumpai hasil pewarnaan gram pada pasien PPOK eksaserbasi dengan.

penelitian di bawah yang berjudul Hubungan antara pola kuman dengan derajat obstruksi (VEP 1 ) pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut di RSUP. H.Adam

Penelitian Rohman, Fitri, & Purwono, 2021 mengenai penerapan batuk efektif terhadap pengeluaran sputum pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK menunjukkan bahwa setelah diberi