• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kebijakan Publik

2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003:1) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.Kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya kebijakan publik akan disebut sebagai suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Easton (dalam Tangkilisan, 2003:2) memberikan pengertian kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat.Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.

(2)

masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah, yaitu:

a. Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat.

b. Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Kebijakan publik menurut Thomas Dye (dalam Subarsono, 2005:2) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik.Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye mengandung makna bahwa (1) kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.

Menurut James E. Anderson (dalam Subarsono, 2005:2) kebijakan publik merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah.Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah.

(3)

bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

2.1.2 Tahapan Kebijakan Publik

Dalam memecahkan sebuah permasalahan yang dihadapi kebijakan publik, Dunn (dalam Tangkilisan, 2003:7) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan, yaitu:

1. Agenda Kebijakan (Agenda Setting)

Tahap penetapan agenda kebijakan ini adalah penentuan masalah publik yang akan dipecahkan, dengan memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah. Dalam hal ini isu kebijakan dapat berkembang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat, seperti: memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat, dan tersedianya teknologi dan dana untuk menyelesaikan masalah publik tersebut. Menurut Dunn (dalam Tangkilisan, 2003:8) problem structuring memiliki 4 fase yaitu pencarian masalah (problem search), pendefinisan masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem specification) dan pengenalan masalah (problem setting).

2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)

(4)

kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam menentukan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba terbatas. Pada tahap ini diidentifikasi kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk memecahkan masalah yang di dalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.

3. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)

Adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stakeholder atau pelaku yang terlibat. Tahap ini dilakukan setelah melalui proses rekomendasi. Terdapat di dalamnya beberapa hal yaitu identifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan; mengidentifikasi kriteria-kriteria tertentu untuk menilai alternatif yang akan direkomendasi; dan juga mengevaluasi alternatif-alternatif dengan menggunakan kriteria-kriteria yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.

4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

(5)

secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

Jadi, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perudang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijkan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.

5. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)

(6)

2.2 Implementasi Kebijakan Publik

2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Kata implementasi dalam kamus Webster (dalam Wahab, 1991:50), secara etimologi, diadopsi dari kata “to implement” yang berarti “to providemeans for carrying out; to give practical effect to”, (menyajikan sarana untuk melaksanakan sesuatu; menimbulkan dampak atau berakibat sesuatu).

Menurut Patton dan Sawicky (dalam Tangkilisan, 2003:78), implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

Grindle (dalam Wahab, 1991:45) berpendapat bahwa implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan.

(7)

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat ataupun dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Menurut Riant Nugroho (2007), implementasi dikonseptualisasikan sebagai suatu proses, atau sebagai rangkaian keputusan dan tindakan yang ditujukan agar keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif bisa dijalankan. Implementasi diartikan dalam konteks keluaran, atau sejauh mana tujuan-tujuan yang telah direncanakan mendapat dukungan, seperti tingkat pengeluaran belanja bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstraksi yang paling tinggi, dampak implementasi mempunyai makna bahwa telah ada perubahan yang bisa diukur ke dalam masalah

Nakamura dan Smallwood (dalam Tangkilisan 2003:17) berpendapat bahwa hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkannya ke dalam keputusan yang bersifat khusus.

(8)

1. Penafsiran, merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

2. Organisasi, merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.

3. Penerapan, merupakan berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lainnya.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.

2.2.2 Model Implementasi Kebijakan

Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik, dikenal beberapa model implementasi kebijakan (Tangkilisan, 2003:20), antara lain:

1. Model Gogin

Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Gogin, maka perlu diidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi, yakni:

1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk didalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi,

(9)

3) Pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.

2. Model Grindle

Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari; (1) kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi; (2) tipe-tipe manfaat; (3) derajat perubahan yang diharapkan; (4) letak pengambilan keputusan; (5) pelaksanaan program; (6) sumber daya yang dilibatkan.

Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil unit pengambil kebijakan. Pengaruh selanjutnya adalah konteks lingkungan yang terdiri dari: kekuasaan, kepentingan, strategi aktor yang terlibat; karakteristik lembaga penguasa; kepatuhan dan daya tanggap. Oleh karena itu, setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkaran dimana tindakan administrasi dilakukan. Intensitas keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana kebijakan akan bercampur baur mempengaruhi efektifitas implementasi. 3. Model Van Meter dan Van Horn

(10)

sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi; (3) komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai; (4) karakteristik pelaksana, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang menentukan berhasil tidaknya suatu program; (5) kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan; (6) sikap pelaksana dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

Van meter dan Van Horn (dalam Samodra, Yuyun dan Agus, 1994:19) menegaskan bahwa pada dasarnya kinerja dari implementasi kebijakan adalah penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran kebijakan tersebut.

4. Model George C. Edward III

Menurut George C. Edward III (dalam Subarsono, 2005:90) ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu:

1) Komunikasi

(11)

Secara umum Edwards (Winarno, 2002:127) membahas tiga indikator penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni:

a. Transmisi

Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.

b. Kejelasan

Indikator ini mensyaratkan kebijakan yang diimplementasikan oleh para pelaksana bukan hanya diketahui secara detil tentang pedoman kebijakan, namun juga mengenai kejelasan dari petunjuk teknis dalam melaksanakan kebijakan tersebut.

c. Konsistensi

Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan.Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. 2) Sumber Daya

(12)

akan berjalan dengan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, sumber daya finansial dan fasilitas yang dipergunakan.

Menurut Edward III (dalam Tangkilisan, 2003:66), sumber daya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumberdaya mempengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari:

1. Staf

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level-bureaucrats).Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya.Penambahan jumlah staf dan

implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan

implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.

2. Informasi

Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.

(13)

Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3) Disposisi (Kecenderungan atau Tingkah Laku)

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

4) Struktur Birokrasi

(14)

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III (dalam Tangkilisan, 2003:127) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:

1. Pengangkatan birokrasi

Sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.

2. Insentif

Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.

(15)

Sistem adalah istilah yang berasal dari bahasa yunani “system” yang artinya adalah himpunan bagian atau unsur yang saling berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan bersama.Sistem adalah seperangkat komponen yang saling berhubungan dan saling bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Odgers (dalam Syafiie, 2002:15) secara umum sebuah sistem yang ideal memiliki unsur-unsur yaitu masukan (input), pengolahan (processing), keluaran (output), umpan balik (feedback), dan pengawasan. Keberadaan tiap unsur tersebut sangatlah penting, karena masing-masing memainkan peranan yang penting dalam menjalankan sistem.

2.3.2 Pengertian Pelayanan

Menurut Gronroos (dalam Ratminto, 2005:2), pelayanan adalah usaha aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.

Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas dari organisasi pemberi layanan tersebut. Norman dalam Endang memberikan karakteristik tentang pelayanan sebagai berikut (Jurnal Ilmu Administrasi, Nomor 1, 2004):

a. Pelayanan sifatnya tidak dapat diraba, pelayanan berlawanan sifatnya dengan barang jadi.

(16)

c. Produksi dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya kejadian bersamaan dan terjadi di tempat-tempat yang sama.

2.3.3 Pengertian Informasi

Menurut Jogiyanto (dalam Syafiie, 2002:22) informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan berarti bagi yang menerimanya dan menggambarkan suatu kejadian-kejadian (event) dan kesatuan nyata (fact and entity) yang digunakan untuk pengambilan keputusan.

Syarat-syarat tentang informasi yang lebih rinci diuraikan oleh Parker (Syafiie, 2002:35) yaitu:

1. Ketersediaan. Syarat yang mendasar bagi suatu informasi adalah tersedianya informasi itu sendiri. Informasi harus dapat diperoleh bagi orang yang hendak memanfaatkannya.

2. Mudah dipahami. Informasi harus memudahkan pembuatan keputusan, baik yang menyangkut pekerjaan rutin maupun keputusan-keputusan yang bersifat strategis.

3. Relevansi. Informasi yang diperlukan benar-benar relevan (sesuai dengan kebutuhan) dengan permasalahan, misi, dan tujuan organisasi.

(17)

5. Ketepatan waktu. Informasi harus tersedia tepat pada waktunya. Terutama pada saat organisasi membutuhkan informasi ketika manajer hendak membuat keputusan-keputusan krusial.

6. Keandalan. Informasi harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat diandalkan kebenarannya. Pengolahan data atau pemberi informasi harus dapat menjamin tingkat kepercayaan yang tinggi atas informasi yang disajikan.

7. Akurasi. Informasi bersih dari kesalahan dan kekeliruan. Ini juga berarti informasi harus jelas secara akurat mencerminkan makna yang terkandung dari data pendukungnya.

8. Konsisten. Informasi tidak boleh mengandung kontradiksi di dalam penyajian karena konsistensi merupakan syarat penting bagi dasar pengambilan keputusan.

2.3.4 Pengertian Sistem Pelayanan Informasi

Pelayanan informasi adalah penyampaian berbagai informasi kepada sasaran agar individu dapat mengolah dan memanfaatkan informasi tersebut demi kepentingan hidup dan perkembangannya. Jadi pengertian sistem pelayanan informasi di sini adalah suatu satuan (entity) yang terdiri dari dua komponen atau lebih maupun subsistem yang terjalin satu sama lain untuk mencapai tujuan yaitu kepuasan pengguna dengan jalan memberikan pelayanan informasi sesuai keperluan pengguna baik melalui index, fulltext, dan hypertext (Lasa, 2005).

2.4Perizinan

(18)

memiliki peluang menimbulkan gangguan bagi kepentingan umum melalui mekanisme perizinan, pemerintah daerah dapat melakukan pengendalian yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas sosial maupun ekonomi, mengalokasikan barang publik secara efisien dan adil, mencegah asimetris informasi, dan perlindungan hukum atas kepemilikan dan penyelenggara kegiatan. Kebijakan perizinan harus didasarkan pada prinsip bahwa kegiatan yang berpeluang menimbulkan gangguan pada dasarnya, kecuali memiliki izin terlebih dahulu dari pemerintah atau instansi yang berwenang(Suhirman, 2002:24).

Perizinan berkaitan dengan aktivitas pengawasan terhadap aktivitas yang menjadi objek perizinan. Pengawasan terhadap investasi sebagai aktivitas objek perizinan akan mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: pemberi izin (aparat perizinan), pelaku investasi (subjek perizinan), dan aktivitas investasi (objek perizinan). Ketiga aspek dalam perizinan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Pengawasan terhadap pemberi izin harus diartikan sebagai kebutuhan untuk membenahi kondisi birokrasi, dengan melakukan pengawasan secara intensif dan efektif terhadap aparat pemerintahan.

(19)

berorientasi profit tanpa meninjau dari segi kemanfaatannya bagi publik dan negara.

3. Aktivitas investasi harus dapat dilakukan secara mudah sejauh telah dipenuhi syarat-syarat dalam perizinan, antara lain syarat yang menyangkut investasi berwawasan lingkungan dan bersifat padat karya. Wawasan lingkungan diperlukan agar investasi yang dilakukan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Sedangkan harus bersifat padat karya artinya mampu membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal.

Pertimbangan yang harus dimasukkan dalam penetapan suatu perizinan (tujuan perizinan) yaitu:

a. Melindungi kepentingan umum (public interest) b. Menghindari eksternalitas negatif

c. Menjamin pembangunan sesuai rencana, serta standar kualitas minimum yang ditetapkan

Suhirman (2002:26) menyatakan bahwa sebagai instrumen pengendalian, perizinan memerlukan rasionalitas yang jelas dan tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan. Perizinan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Lisensi (license) yaitu izin yang diperlukan untuk suatu kegiatan tertentu yang tidak memerlukan ruang misalnya SIUP, izin prinsip, izin trayek, SIM, dan lainnya

(20)

Surat Izin Tempat Usaha (SITU); lingkungan, misalnya AMDAL, HO, konstruksi misalnya IMB, khusus pemanfataan SDA misalnya SIPA.

2.5Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE)

Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi merupakan suatu sistem berbasis web yang disusun berdasarkan prosedur-prosedur dan memakai standarisasi khsusus yang bertujuan menata sistem pelayanan dan perizinan investasi sehingga tercapai tertib administrasi di bidang pelayanan perizinan dan juga membantu bagi petugas di jajaran Pemerintah Daerah khususnya Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dalam menyelenggarakan layanan perizinan.

Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) adalah sistem elektronik pelayanan perizinan dan nonperizinan yang terintegrasi antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan, PDPPM (Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal), dan PDKPM (Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal). SPIPISE pada hakikatnya adalah sistem elektronik pelayanan perizinan investasi yang terintegrasi antara BKPM dengan daerah (dalam hal ini adalah BPMPPT), sehingga proses pelayanan perizinan investasi yang diselenggarakan oleh BPMPPT (Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu) langsung dapat diakses dan terpantau oleh pemerintah.

(21)

tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu serta Peraturan Kepala BKPM Nomor 4 Tahun 2014 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik.

Portal SPIPISE merupakan gerbang informasi dan layanan perizinan serta nonperizinan penanaman modal Indonesia yang berbentuk piranti lunak.Karena berbasis situs (website) sehingga mudah diakses oleh siapa saja, tidak seluruh informasi yang disajikannya terbuka bebas. Hal ini untuk menjamin kerahasiaan data dan informasi perusahaan, sehingga kepada masyarakat (terutama investor) yang ingin memanfaatkan SPIPISE lebih jauh akan diberi hak akses sesuai tingkat kebutuhannya. SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan;

a. Penyelenggaraan pelayanan informasi di bidang penanaman modal;

b. Penyelenggaraan pelayanan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal secara elektronik;

c. Pelayanan perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel;

d. Integrasi informasi data pelayanan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal; dan

e. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal antarsektor dan pusat dengan daerah

(22)

tanda pengenal pemohon berupa KTP/paspor; bukti sebagai pimpinan perusahan atau badan usaha atau koperasi. Dalam hal penanam modal tidak dapat mengajukan langsung hak akses ke BKPM, PDPPM, atau PDKPM, penanam modal dapat menunjuk pihak lain dengan memberikan surat kuasa asli bermeterai cukup yang dilengkapi identittas diri yang jelas dari penerima kuasa.

SPIPISE terdiri dari 3 (tiga) menu utama pada tampilan website-nya, yaitu: Informasi Penanaman Modal, Pelayanan Penanaman Modal, dan Pendukung. Pada menu Informasi Penanaman Modal menyediakan beberapa informasi, antara lain; (a) panduan penanaman modal; (b) direktori PTSP di bidang penanaman modal; (c) data realisasi penanaman modal yang disediakan untuk publik; (d) peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal; (e) potensi dan peluang penanaman modal melalui sistem informasi potensi investasi daerah (SIPID); (f) jenis, persyaratan teknis, mekanisme penelusuran posisi dokumen pada setiap proses, biaya dan waktu pelayanan; (g) tata cara layanan pengaduan penanaman modal; (h) pelayanan informasi publik kepada masyarakat; (i) data referensi yang digunakan dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal; (j) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penanaman modal; (k) seluruh informasi yang bersifat publik dan berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan penanaman modal yang dikelola oleh BKPM.

(23)

penelusuran proses penerbitan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal (online tracking system); (f) jejak audit (audit trail).

Pada menu pendukung terdiri dari sistem elektronik, yaitu; (a) pengaturan penggunaan jaringan elektronik; (b) pengelolaan keamanan sistem elektronik dan jaringan elektronik; (c) pengelolaan informasi yang ditampilkan dalam SPIPISE; (d) pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan dan masalah dalam penggunaan SPIPISE; (d) pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal; (f) pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal; (g) penyediaan panduan penggunaan SPIPISE.

2.6 Definisi Konsep

Konsep adalah suatu hasil pemaknaan dalam intelektual manusia yang memang merujuk ke gejala nyata ke dalam empirik.Konsep adalah sarana merujuk kedua empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna (mutlak) dunia empiris bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri.

Untuk memberikan batasan yang jelas tentang penelitian yang akan dilakukan maka penulis mendefinisakan konsep-konsep yang digunakan sebagai berikut:

(24)

1. Komunikasi 2. Sumberdaya 3. Disposisi

4. Struktur Birokrasi

b. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) adalah kebijakan pemerintah dalam bidang pelayanan perizinan dan nonperizinan dan ditujukan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat.

c. Implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) merupakan tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dalam menata sistem pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel dan juga membantu bagi petugas di jajaran pemerintah daerah khususnya Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan dan nonperizinan.

2.7 Hipotesis Kerja

Referensi

Dokumen terkait

kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi atau kecenderungan yang tengah berkembang). 25

Hasil penelitian menunjukan pembiasaan shalat berjamaah mampu meningkatkan karakter religius seseorang jika dilakukan secara terus-menerus dan selalu mengambil nilai-nilai yang

Keadaan awal siswa ketika dilakukan review adalah semua siswa memperhatikan dan memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar. Tetapi, pada menit ke 20 ada beberapa siswa

Hasilnya signifikan untuk kepentingan dalam konteks perkotaan, domestik dan di tempat kerja (Igarashi, 2015, Jepang); Relaksasi kardiovaskular juga terjadi pada saat

Percobaan dilakukan di rumah kassa Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Jawa Barat Jl. Percobaan bertujuan untuk mengetahui pengaruh introduksi jamur Trichoderma spp.

Sesuai dengan hasil-hasil tes diatas maka dalam motivasi ada kebutuhan yang membuat siswa untuk menyeimbangkan apa yang sudah dilakukan dan apa yang menjadi harapan dari

PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN MODAL PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN MODAL PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) DI BIDANG PENANAMAN