• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIVAIDS 2.1.1. HIV - Gambaran Karakteristik Kejadian Erupsi Obat Alergi pada Penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakir Umum Pusat Haji Adam Malik Tahun 2010-2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIVAIDS 2.1.1. HIV - Gambaran Karakteristik Kejadian Erupsi Obat Alergi pada Penderita HIV/AIDS di Pusyansus Rumah Sakir Umum Pusat Haji Adam Malik Tahun 2010-2012"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS 2.1.1. HIV

HIV(Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyebabkan

sindrom AIDS(Acquired Immunodeficiency Syndrome), yaitu sindrom penyakit

infeksi yang menekan sistem imunitas tubuh. HIV merupakan retrovirus yang

mengandung RNA(Ribonucleic Acid) sebagai materi genetik. Genom HIV

mengandung dua untai tunggal RNA dan tiap satunya berikatan dengan enzim

reverse transcriptase (Wood, 2006). Virus HIV akan merusak sistem imunitas

seluler dengan menginvasi sel limfosit dan makrofag, bereplikasi dalamnya dan

seterusnya memusnahkan sel dan menyebar ke sel limfosit lain. Di dalam sel

CD4(Cluster of Differentiation 4), retrovirus HIV akan menggunakan reverse

transcriptase untuk menghasilkan salinan DNA(Deoxyribonucleic Acid) sebagai

materi genetik untuk mensintesis komponen protein virus (Lerner et al., 2003).

(2)

HIV adalah berbentuk bulat dan berukuran 1/10,000 mm. Struktur utama

partikel HIV terdiri dari 2 untai tunggal RNA, protein kapsul p24, protein matriks

p17, dua lapis membran lipid ,protein sampul gp120, transmembran gp41, enzim

reverse transcriptase dan intergrase( NIAID, 2012).

2.1.2. AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai

kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan

tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. AIDS

merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. ( Djoerban, 2009). Menurut Wood, 2006,

definisi AIDS secara klinis adalah munculnya infeksi oportunistik mayor atau

penurunan jumlah sel CD4 dibawah 200 sel/μl darah. Penyebab kematian terkait

AIDS adalah disebabkan kombinasi beberapa infeksi oportunistik tanpa adanya

pengobatan yang adekuat.

2.1.3. Penularan HIV

HIV sering ditularkan melalui kontak seksual dengan individu yang

terinfeksi, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh pengguna narkotika,

transfusi darah yang terkontaminasi dan transmisi okupasional pada petugas

kesehatan. Ibu yang terinfeksi HIV juga bisa menularkan HIV pada anak ketika

fase intrapartum, perinatal, dan melalui pemberian ASI selepas kelahiran (Fauci,

2008).

2.1.4.Patogenesis HIV/AIDS

Sel CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai

afinitas terhadap molekul di permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi

tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif (Djoerban, 2009).

Pada infeksi primer HIV, virus akan memasuki aliran darah dan menginvasi

sel CD4. Virus akan berikatan melalui glikoprotein gp120 pada permukaan virus

(3)

koreseptor chemokine CXCR-4 pada permukaan sel CD4. Hasil interaksi ini akan

memicu fusi antara membran virus dan membran sel CD4. Seterusnya

nukleokapsid virus akan memasuki sitoplasma sel CD4 dan melepaskan RNA

virus. Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, RNA virus akan ditranskripsi

terbalik (reverse transcription) menjadi salinan DNA untai ganda virus. DNA

virus yang terhasil akan berintergrasi dengan DNA sel CD4 dan kini dikenal

sebagai provirus. Fase infeksi virus ini dikenal sebagai fase laten dan virus bisa

hidup secara dorman pada waktu yang lama. Seterusnya RNA virus akan

ditranskripsi dari DNA provirus dan seterusnya ditranslasi menggunakan

mekanisme sintesis protein sel CD4. Komponen protein dan RNA virus yang

terhasil akan berintergrasi didalam partikel virus baru dan dilepaskan melalui

permukaan sel CD4 (Wood , 2006).

Sel langerhan merupakan sel dendritik yang berperan dalam menstimulasi

sel CD4 dan memicu respons imunitas pada kulit. Beberapa penelitian

menunjukkan adanya pengaruh sel langerhan di epitelium terhadap munculnya

manifestasi klinis pada kulit. Pada penderita HIV/AIDS, sel langerhan di

epitelium akan terinfeksi oleh virus HIV dan menyebabkan fungsi imunitas akan

terganggu. Penurunan fungsi imunitas pada kulit akan menyebabkan timbulnya

manifestasi kulit pada penderita HIV/AIDS (Saavedra et al, 2008).

2.1.4. Tahapan Infeksi HIV

Tahapan klinis dari infeksi HIV bisa dibagi menjadi tiga tahapan: fase

infeksi, fase laten dan AIDS.

(1)Fase Infeksi :

Kebanyakan penderita tidak mengalami sebarang simptom ketika

fase infeksi namun sekitar 15% penderita menunjukkan adanya

simptom seperti demam, malaise, nyeri otot & tenggorokan dan

pembesaran kelenjar getah bening. Terdapat juga penderita yang

mengalami pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya simptom

(4)

serokonversi. Deteksi antibodi terhadap HIV dapat dilakukan pada fase

ini untuk mendiagnosis HIV.

(2) Fase laten

Pada fase ini secara umumnya asimptomatis walaupun sekitar

33% penderita mengalami pembengkakan kelenjar getah bening.

Durasi antara fase infeksi dan timbulnya simptom AIDS adalah sekitar

10 tahun. Namun durasi fase laten adalah sangat bervariasi. Tidak

dapat dipastikan adakah tiap individu yang terinfeksi HIV akan

berlanjut menjadi AIDS.

(3) AIDS

Tahapan akhir dari infeksi HIV ditandai dengan munculnya

berbagai simptom AIDS seperti penurunan berat badan, berkeringat

malam, demam dan diare. Terdapat juga infeksi oportunistik seperti

kandidiasis oral, herpes simpleks, herpes zoster dan lain-lain (Wood,

2006).

2.1.5 .Diagnosis HIV/AIDS

Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaaan serologik untuk

mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaaan untuk mendeteksi

keberadaan virus HIV. Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah

pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring sering digunakan teknik

ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot

immunobinding assay. Waktu jendela adalah waktu timbulnya antibodi yang

dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu

setelah infeksi (Djoerban, 2009).

Menurut WHO, 2005, infeksi HIV/AIDS bisa dibagi menjadi beberapa

(5)

(1) Infeksi HIV primer

 Asimptomatis

 Sindrom retroviral akut( demam, malaise, limfadenopati dan ruam kulit)

(2) Stadium pertama

 Asimptomatis

 Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP)

(3) Stadium kedua (dini)

 Penurunan berat badan kurang dari 10%

 Infeksi saluran pernapasan berulang( bronkitis, sinusitis, otitis media, faringitis)

 Herpes zoster

 Keilitis angularis

 Ulkus mulut yang berulang

 Ruam kulit berupa papul yang gatal( Papular pruritic eruption )

 Dermatitis seboroik

 Infeksi jamur pada kuku

(4) Stadium ketiga (menengah)

 Penurunan berat badan lebih dari 10%

 Diare kronis lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui penyebabnya

 Demam menetap yang tidak diketahui penyebabnya

 Kandidiasis pada mulut yang menetap

Oral hairy leukoplakia

(6)

(5) Stadium keempat

 Sindrom wasting HIV

Pneumocsytic pneumonia

 Infeksi herpes simpleks kronis ( orolabia, genital atau anorektal )

 Kandidiasis oesofageal

 Tuberkulosis ekstraparu

 Sarkoma Kaposi

 Toksoplasmosis saraf pusat

 HIV ensefalopati dll.

Derajat keparahan imunosupresi juga bisa ditentukan dengan cara menghitung

kadar CD4 pasien. Kadar CD4 penting sebagai indikasi memulai terapi ART dan

sebagai prognosis jangka panjang terhadap pengobatan HIV/AIDS (WHO, 2005).

Tabel 2.1. Kadar CD4 dan Derajat Keparahan Imunosupresi.

Derajat Imunosupresi Kadar CD4 sel/mm³

Imunosupresi tidak signifikan >500 sel/mm³

Imunosupresi ringan 350 – 499 sel/mm³

Imunosupresi sedang 200 – 349 sel/mm³

Imunosupresi Berat <200 sel/mm³

Sumber. WHO, 2005

2.1.6 Pengobatan HIV/AIDS

Dahulunya pengobatan HIV/AIDS tidak memberikan banyak harapan.

Namun sekarang pengobatan HIV dapat memberi harapan sekiranya dilakukan

skrining awal. Semua infeksi oportunistik pada penderita AIDS umumnya diobati

sedini mungkin.

Penderita HIV/AIDS diberikan terapi antiretroviral(ART) dengan kombinasi

penghambat reverse transcriptase dan penghambat protease. Beberapa penelitian

(7)

lamivudin yang diberikan sebagai kombinasi dapat meningkatkan jumlah CD4.

Namun setelah pengobatan beberapa waktu, HIV akan bermutasi menjadi resisten

dan toksisitas obat akan muncul sehingga memerlukan obat baru. Obat-obat yang

sedang diteliti adalah antisense therapy, gene therapy dengan penghambat HIV

yang ditujukan ke sel CD4 dan sel induk (stem cell). Penelitian lain tentang cara

pengobatan dan obat baru anti HIV masih banyak dibutuhkan oleh karena

penyakit ini banyak menelan jiwa penderita dan sangat merugikan sosio-ekonomi

masyarakat luas terutamanya pada negara berkembang.

Di RSCM Jakarta, pengobatan HIV/AIDS dilakukan oleh Pukdisus RSCM.

Obat yang digunakan ialah kombinasi tiga obat antiretroviral, yakni :

(1) Zidovudine (AZT)

Dosis : 500 – 600mg sehari per os

(2) Lamivudin (3TC)

Dosis : 150mg sehari dua kali

(3) Nevirapine

Dosis : 200mg sehari selama 14 hari, kemudian 200mg sehari dua kali

(Budimulja, 2008).

2.1.7. Prognosis HIV/AIDS

Sepuluh tahun setelah terinfeksi HIV, sekitar 50% penderita mengalami AIDS. Prognosis HIV buruk karena menginfeksi sistem imun terutama sel CD4

dan akan menimbulkan destruksi sel tersebut, akibatnya banyak sekali penyakit

oportunistik yang dapat menyertainya. Di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta ,

hasil penelitian pada tahun 2005 menunjukkan kematian berjumlah 34%

(8)

2.2 Erupsi Obat Alergik (EOA) 2.2.1 Definisi

Erupsi Obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat secara

sistemik. Yang dimaksudakan dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk

menegakkan diagnosis, pofilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2008).

2.2.2 Klasifikasi dan Mekanisme Erupsi Obat Alergi

Kejadian erupsi obat bisa disebabkan oleh hasil dari reaksi immunologik dan non-imunologik terhadap obat dan juga reaksi metabolit dari obat. Sekitar

80% kejadian erupsi obat dapat diprediksikan (Breathnach, 2004).

Tabel 2.2 Klasifikasi Erupsi Obat Alergi

Non-Imunologik Imunologik

Dapat diprediksi Reaksi tipe I (anafilaksis)

Overdosis Reaksi tipe II ( sitostatik )

Efek samping Reaksi tipe III ( kompleks imun)

Toksisitas kumulatif Reaksi tipe IV ( tipe lambat)

Toksisitas tipe lambat

Efek fakultatif Lain-lain

Interaksi obat Reaksi Jarisch–Herxheimer

Gangguan metabolik Reaksi mononukleosis-ampisilin

Eksaserbesi penyakit

Tidak dapat diprediksi

Intoleransi

Idiosinkrasi

(9)

(A) Erupsi obat non-imunologik

1. Overdosis obat

Erupsi obat yang terjadi dapat diprediksikan berdasarkan reaksi

farmakologis obat dan dosis obat yang dikonsumsi. Hal ini disebabkan

pengambilan obat yang berlebihan dan melebihi dosis standar yang

dibenarkan. Individu dengan penyakit ginjal juga berisiko mengalami

overdosis walaupun diberikan dosis standar. Interaksi obat juga dapat

mengakibatkan overdosis.

2. Efek samping obat

Efek samping obat adalah reaksi tidak diinginkan yang berlaku

bersamaan dengan efek terapeutik. Contohnya adalah efek mengantuk

dari pengambilan obat anti-histamin, alopesia anagen karena obat

sitotoksik dan lain-lain.

3. Toksisitas Kumulatif

Penggunaan obat menahun bisa menyebabkan toksisitas kumulatif.

Akumulasi obat pada kulit dapat menyebabkan perubahan warna kulit,

hasil dari penumpukan obat di sel fagosit dan membran mukosa.

Contohnya administrasi menahun obat bismuth, emas, perak, raksa dan

klorpromazin.

4. Toksisitas tipe lambat

Contoh gejala toksisitas tipe lambat adalah keratosis dan tumor kulit.

Penyakit kulit ini berhubungan dengan pajanan arsenik inorganik dan

terapi methotrexate yang membutuhkan waktu yang lama untuk

(10)

5. Efek fakultatif

Obat antibiotika dapat menyebabkan perubahan flora normal pada

kulit dan membran mukosa. Antibiotika yang bekerja merusak bakteri

gram positif pada kulit akan mempercepat pembiakan bakteri gram

negatif yang resisten. Obat antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid

dan imunosupresif lainnya dapat mengakibatkan pertumbuhan jamur

pada kulit dan membran mukosa. Kortikosteroid dapat mempercepat

penyebaran tinea dan eritrasma. Antibiotika seperti klindamisin dan

tetrasiklin dihubungkan dengan penyakit enterocolitis

pseudomembranosa disebabkan oleh bakteri Clostridium difficile

(Breathnach, 2004).

6. Interaksi obat

Interaksi obat dapat berlaku pada pemberian dua atau lebih obat

pada waktu yang bersamaan. Mekanisme interaksi obat secara garis

besar dapat dibedakan atas 3 mekanisme, yakni interaksi farmaseutik

atau inkompatibilitas, interaksi farmakokinetik dan interaksi

farmakodinamik (Setiawati, 2007).

7. Perubahan status metabolisme tubuh

Setengah obat dapat mengakibatkan erupsi obat melalui cara

merubah status metabolisme dan nutrisi tubuh. Fenitoin akan

mengganggu absorpsi dan metabolisme asam folat dan meningkatkan

risiko penyakit stomatits aphthous. Isoretinoin akan meningkatkan

kadar VLDL(Very Low Density Lipoprotein) dalam darah dan

meningkatkan resiko terjadinya xanthoma.

8. Aktivasi jalur efektor non-imunologik (Reaksi anafilaktoid)

Obat seperti opiat, kodein, amfetamin, polimiksin B, atropin,

hidralazin, pentamidin , kuinin, dan zat radiokontras dapat memicu

(11)

urtikaria dan angioedema. Zat radiokontras dapat memicu aktivasi

komplemen melalui jalur antibodi independen.

9. Eksaserbasi dari suatu penyakit

Antara contoh obat yang menyebabkan eksaserbasi penyakit kulit

adalah lithium, β-blocker, kortikosteroid, simetidin, penisilin dan

sulfonamida. Penggunaan litium dapat menyebabkan eksaserbasi

penyakit akne dan psoriasis. β-blocker juga dapat menginduksi penyakit

dermatitis psoriasiformis. Apabila penggunaan kortikosteroid

dihentikan akan menyebabkan eksaserbasi psoriasis. Penggunaan

simetidin, penisilin dan sulfonamid juga dapat menyebabkan

eksaserbasi lupus eritematosus (LE) (Breathnach, 2004).

(B) Erupsi obat imunologik

Secara garis besar terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh Coomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikut salah satu dari ke-4 jalur ini

(Hamzah, 2008).

1. Tipe I (reaksi cepat, reaksi anafilaktik)

Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali

terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan

selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibodi yang terbentuk ialah

IgE yang mempunyai affinitas yang tinggi terhadap mastosit dan

basofil. Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat menimbulkan

perubahan berupa degranulasi mastosit dan basofil dengan

dilepaskannya bermacam-macam mediator, antara lain histamin,

serotonin, bradikin , heparin dan SRSA(Slow Reacting Substance of

Anaphylaxis). Mediator-mediator ini mengakibatkan bermacam-macam

(12)

syok anafilaktik. Penisilin merupakan contoh penyebab utama erupsi

obat hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-dependent.

2. Tipe II ( Reaksi sitostatik)

Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan

penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini

menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang

diperantarai komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi

pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya

eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel, sehingga

reaksi tipe II tersebut disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik.

Contohnya ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin, sulfonamida dan

isoniazid.

Erupsi obat yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel

sasarannya trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe II ialah

penisilin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamida,

analgesik dan antipiretik (Hamzah, 2008).

3. Tipe III (Reaksi kompleks imun )

Kompleks imun akan mengaktivasi kaskade komplemen dan

pembentukan anafilatoksin seperti fragmen protein komplemen C3a dan

C5a. Komplemen ini akan memicu pelepasan mediator dari mastosit

dan basofil dan mengakibatkan urtikaria dan anafilaksis. Antara

penyakit lain yang diperantarai reaksi tipe ini ialah serum sickness,

vaskulitis dan reaksi arthus (Breathnach, 2004).

4. Tipe IV (Reaksi alergik seluler tipe lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit, APC(Antigen Presenting Cell) dan

sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit T.

Seterusnya limfosit T akan tersensitisasi mengadakan reaksi dengan

(13)

setelah pajanan terhadap antigen. Reaksi ini seterusnya akan

melepaskan serangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe ini ialah

dermatitis kontak alergi (Hamzah, 2008).

(C) Lain –lain

1. Reaksi Jarisch–Herxheimer

Reaksi ini adalah reaksi eksaserbasi fokal pada luka infeksi apabila

diberikan terapi lanjutan antimikroba. Reaksi ini dikaitkan dengan keluarnya

zat-zat imunologis dan farmakologis dari mikroorganisme dan jaringan yang

rusak. Contohnya seperti pemberian terapi lanjutan griseofulvin pada

penderita sifilis yang diterapi awal dengan penisilin. Reaksi ini juga berlaku

pada pemberian dietilcarbamazin pada pasien onchocerciasis dan terapi

tiabendazol pada pasien strongiloidiasis.

2. Reaksi infeksius mononukleosis-ampisilin

Ampisilin merupakan penyebab tersering terjadinya erupsi obat pada

pasien dengan mononukleosis dan leukemia limfatik. Dikatakan adanya

reaksi sensitisasi terhadap obat ampisilin didalam tubuh (Breathnach,

2004).

2.2.3. Epidemiologi Erupsi obat alergi

Hasil penelitian yang melibatkan 25 pasien erupsi obat menyebutkan umur pasien adalah 9-52 tahun dan umur rata-rata adalah 30 tahun. Laki-laki lebih

banyak menderita erupsi obat berbanding wanita dengan rasio 1:0,8. Golongan

obat yang tesering adalah golongan antibiotika(56%), anti-konvulsan(24%) dan

AINS(12%). Gambaran klinis yang tersering adalah fixed drug eruption (56%),

erupsi eksantematosa (12%) dan urtikaria(12%)(Neuopane et al, 2012).

Hasil penelitian di Iran menyebutkan umur rata-rata pasien erupsi obat

alergik adalah 30-39 tahun. Manifestasi kulit yang terbanyak adalah eritroderma

(14)

Penelitian lain tentang karakteristik pasien erupsi obat alergik menyebutkan

usia rata-rata pasien dengan erupsi obat alergik adalah sekitar 20-39 tahun dan

rasio laki-laki dan wanita adalah 0,87:1 (Pudukadan et al, 2004).

2.2.4 Gambaran erupsi obat alergi

Gambaran erupsi obat alergik bisa berupa eksantematosa, urtikaria/angioedema, reaksi anafilaksis dan anafilaktoid, fixed drug eruption dan

serum sickness. Gejalanya bisa juga menyerupai dermatosis, nekrosis kulit,

pigmentasi, alopesia, hipertrikosis dan perubahan kuku (Wolff, 2009).

1. Erupsi eksantematosa

Erupsi eksantematosa juga dikenal sebagai erupsi morbiliformis dan

makulopapular. Lesi ini adalah lesi tersering pada erupsi obat alergi. Lesi

ini bermula dari batang tubuh dan seterusnya menyebar ke perifer dan

kedua ekstremitas secara simetris. Lesi ini juga timbul selepas 1 minggu

dimulainya terapi dan membaik dalam waktu 7 hingga 14 hari. Perubahan

ini bisa terlihat dengan adanya perubahan warna kulit dari merah cerah ke

merah kecoklatan disusuli dengan deskuamasi kulit. Diagnosa bandingnya

adalah eksantem virus, penyakit vaskuler kolagen dan infeksi riketsia dan

bakteri.

2. Erupsi urtikaria/angioedema

Erupsi urtikaria ditandai dengan papular pruritus kemerahan dengan

ukuran yang bervariasi. Lesi ini bisa timbul dan menghilang dalam waktu

24 jam. Apabila lapisan dermis dan jaringan subkutan terjadi

pembengkakan, ia disebut angioedema. Angioedema sering berlaku secara

unilateral dan bisa berlangsung selama 1 - 2 jam. Urtikaria dan angiodema

terkait obat sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe

anafilaktik. Gejala dan simptom dari reaksi anafilaktik termasuklah

pruritus, urtikaria, angioedema, mual muntah, diare, nyeri abdomen,

(15)

3. Erupsi pustular

Erupsi pustular dikaitkan dengan penggunaan iodida, bromida,

hormon adrenokortikotropik, glukokortikoid, isoniazid, litium, aktinomisin

D dan fenitoin. Pustul sering timbul pada bagian atipikal seperti tangan

dan kaki. AGEP (Acute Generalised Exanthematous Pustulosis) adalah

lesi yang dikaitkan dengan leukositosis dan penggunaan antibiotika

golongan β-laktam dan makrolida dan antihipertensi tipe penghambat

kanal kalsium. Lesi ini muncul 1-3 minggu selepas pemberian obat dan

disusuli dengan deskuamasi generalisata 2 minggu selepasnya.

4. Erupsi Bulosa

Pseudoporfiria merupakan gangguan fototoksik pada kulit yang

menyerupai porfiria kutanea tarda pada dewasa dan protoporfiria

eritropoeitik pada anak. Pseoporfiria dicirikan dengan fragilitas kulit,

pembentukan bula dan sikatriks pada kulit yang terpajan sinar matahari

dan berlaku pada kadar porfirin darah yang normal. Obat yang diduga

menyebabkan pseudoporfiria adalah tetrasiklin, furosemid dan naproxen.

Kelainan ini bisa timbul 1 hari selepas pemberian obat atau bisa muncul

setelah 1 tahun terapi dimulai.

5. Fixed Drug Eruption (FDE)

Kelainan ini umumnya berupa bercak makula yang kemerahan,

eritem, dan soliter dan bisa berkembang menjadi plak edematus dan lesi

tipe bulosa. FDE sering dijumpai di bagian genitalia, perianal dan bagian

kulit yang lain. Obat penyebab yang tersering adalah ibuprofen,

sulfonamida, naproxen dan tetrasiklin.

6. Nekrosis kulit disebabkan antikoagulan

Kelainan ini timbul 3-5 hari setelah terapi antikoagulan dimulai.

Obat-obat yang bisa menginduksi nekrosis kulit adalah kumarin dan

(16)

adiposa seperti di payudara dan pinggul. Plak ini akan membentuk vesikel,

ulkus dan membentuk daerah nekrotik. Nekrosis kulit berlaku karena

pembentukan trombi oklusif yang paradoksikal di venula subkutan karena

status hiperkoagulasi sementara. Status ini diakibatkan oleh supresi dari

antikoagulansia protein C melebihi dari supresi faktor prokoagulansia

alami.

7. Erupsi likenoid disebabkan obat

Gejala klinis liken planus disebabkan obat hampir tidak dapat

dibedakan dengan liken planus idiopatik. Gejala ini umumnya berupa

ekzematosa dengan makula keunguan yang timbul di batang tubuh. Secara

histologi, erupsi ini ditandai dengan parakeratosis fokal, gangguan fokal

pada stratum granular, badan-badan sitoid pada stratum korneum dan

granulosum, adanya eosinofil dan sel plasma pada infitrat imflamatori dan

infiltrat disekitar pembuluh darah. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh

obat β-bloker, penisilamin dan ACE-inhibitor.

8. Vaskulitis disebabkan obat

Obat penyebab vaskulitis adalah propiltiourasil(PTU), hidralazin,

allopurinol, sefaklor, minosiklin, penisilamin, fenitoin dan isotretinoin.

Gejala bagi vaskulitis atas purpura yang dijumpai di ekstremitas bawah.

Onset bagi berlakunya vaskulitis adalah 7-21 hari setelah pemberian obat

(Shear et al, 2008).

9. Nekrolisis epidermal

Stevens Johnsons Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis

(TEN) adalah reaksi kulit bersifat fatal yang dicirikan dengan nekrosis

meluas dan terkelupasnya jaringan epidermis dari kulit. Reaksi sitotoksik

terhadap keratinosit menyebabkan apoptosis yang meluas. Lesi bermula

dengan makula eritematosa, purpura dan kemerahan yang menyebar secara

(17)

berlanjut menjadi lesi nekrotik dan seterusnya berkembang menjadi bula

yang kendur dan mudah pecah. Epidermis yang nekrosis akan mudah

terlepas dan menampakkan lapisan dermis yang kemerahan(Allanore et al,

2008).

2.2.5 Diagnosis Erupsi Obat Alergi

Diagnosis erupsi obat alergi adalah berdasarkan anamnesis yang teliti seperti

riwayat obat-obatan, kelainan kulit yang timbul setelah penberian obat, dan

adanya gatal disertai demam subfebril. Bisa juga dilakukan observasi bagi

menentukan distribusi dan morfologi kelainan kulit yang timbul (Hamzah, 2008).

Bagi menentukan penyebabnya, beberapa kriteria harus dikenalpasti. Antaranya

riwayat pemakaian obat sebelumnya, jenis-jenis obat yang pernah dipakai, lama

penggunaan obat, dosis obat dan efek dari penghentian dan pengambilan ulang

obat. Bisa juga dilakukan tes kulit seperti uji tusuk, uji gores dan uji tempel jika

diduga adanya reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat (Breathnach ,2004).

2.2.6 Penatalaksanaan erupsi obat alergi

Jelaslah bahwa pencegahan lebih baik dari mengobati. Penggunaan obat yang menimbulkan erupsi sebelumnya haruslah dihentikan. Penderita harus ditanyakan

tentang riwayat alergi obat dan riwayat peresepan obat yang diberikan. Obat yang

diduga menyebabkan alergi haruslah digantikan dengan obat lain. Pemberian

terapi farmakologi adalah berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Bagi

kebanyakan gejala minor, cukup dihentikan penggunaan obat penyebab erupsi dan

terapi simptomatis dengan emolien. Penggunaan kortisteroid topikal dan

antihistamin sistemik juga harus diberikan sesuai indikasi (Breathnach, 2004).

(A) Sistemik

1. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat

kortikosteroid yang sering digunakan ialah tablet prednison 5mg. Pada

(18)

nodosum, eksantem fikstum,dan AGEP karena alergi obat, dosis standar

untuk orang dewasa ialah 3x10 mg prednison perhari. Pada eritroderma

dosisnya ialah 3x10 mg sampai 4x10 mg sehari.

2. Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedatif juga dapat diberikan jika ada

pruritus. Pada urtikaria tidak diberikan antihistamin karena efeknya kurang

berbanding pemberian kortikosteroid.

(B) Topikal

Pengobatan topikal tergantung kondisi lesi. Jika kering, seperti pada

eritema dan urtikaria, dapat diberikan bedak , contohnya bedak salisilat 2%

ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol 0,5-1% untuk

megurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis

medikamentosa, perlu digunakan kompres, misalnya kompres larutan asam

salisilat 1%.

Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan

topikal. Pada eksantem fikstum, jika kelainan membasah dapat diberi

kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid seperti krim

hidrokostison 1% -2%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema

yang menyeluruh dan skuamasi , dapat diberi salep lanolin 10% (Hamzah,

2008).

2.3. Erupsi obat alergi pada Penderita HIV/AIDS 2.3.1. Epidemiologi

Insidensi kejadian erupsi obat alergi terkait HIV/AIDS adalah sekitar 11,4%.

Umur rata-rata bagi penderita HIV/AIDS yang mengalami gangguan kulit adalah

38±10 tahun dengan rasio antara laki-laki dan wanita adalah 1:1,4. Rata-rata

jumlah CD4 pada penderita HIV/AIDS adalah 152-233 sel/μL (Salami et al,

(19)

trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX), sulfadiazin, trimetoprim-dapsone dan

penisilin.Obat antiretroviral tersering adalah nevirapine, delavirdine, abacavir dan

amprenavir (Saavedra et al, 2008).

2.3.2. Patogenesis

Patogenesis berlakunya erupsi obat alergi sehingga kini masih belum bisa dijelaskan dengan tuntas. Peningkatan insidensi erupsi obat alergi pada penderita

HIV/AIDS mungkin disebabkan oleh disregulsi sistem imun yang menyebabkan

rentan terhadap stress oksidatif. Penurunan sitokin Th1 dan peningkatan sitokin

Th2, IgE, IgA dan eosinofil didalam darah akan memicu hipersensitivitas obat.

Kebanyakan teori menyatakan bahwa erupsi obat alergi pada penderita HIV/AIDS

disebabkan oleh metabolit aktif dari obat.

Terdapat dua teori yang mendukung patogenesis ini. Teori pertama dikenal

sebagai hipotesis hapten, dimana metabolit aktif dari obat akan berikatan secara

kovalen pada makromolekul jaringan dan menjadi antigen. Seterusnya respons

imun terhadap antigen akan terjadi dan bermanifestasi pada kulit. Teori kedua

menyatakan bahwa kerusakan oksidatif sel yang disebabkan oleh metabolit aktif

obat akan menyebabkan pelepasan sitokin dan pengaktifan respons imun untuk

melisis sel yang rusak.

Insidensi hipersensivitas terhadap obat TMP-SMX yang tinggi pada

penderita HIV/AIDS disebabkan oleh pelbagai faktor yang berhubungan dengan

metabolisme SMX yang terganggu. Metabolit aktif SMX yang terhasil dari

oksidasi oleh sitokrom P450 2C9 akan menyebabkan kerusakan sel. Seterusnya

sel T akan mengaktifkan respons imun dan menyebabkan erupsi obat alergik.

Pada penggunaan ART, didapatkan beberapa abnormalitas dari hasil

laboratorium pada penderita HIV/AIDS yang mengalami erupsi obat. Antaranya

kadar enzim transaminase dan creatinine phosphokinase yang meningkat.

Terdapat juga hubungan antara reaksi hipersensitivitas ART dan Major

Histocompability Complex (MHC) kelas I alele HLA-B*5701, HLA-DR7 dan

(20)

2.3.3. Etiologi

(1) Obat antiretroviral

Reaksi hipersensitivitas terhadap obat antiretroviral sering berlaku.

Antaranya adalah golongan nonnucleotide reverse transcriptase inhibitor

(nNRTI), nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI) dan inhibitor

protease. Gejala klinis yang tersering adalah erupsi eksantematosus.

Indivavir mengakibatkan gejala seperti retinoid, keilitis, pruritus, dermatitis

asteatopik pada batang tubuh, lengan dan paha dan granuloma piogenik.

Zidovudin menyebabkan melanonikia longitudinal, lapisan berwarna

kehitaman pada dasar kuku dan makula pigmen pada membran mukosa.

Obat Enfuvirtide menyebabkan reaksi pada tempat injeksi. Sindroma

lipodistrofi juga sering dikaitkan dengan penggunaan inhibitor protease.

(2) Obat non antiretroviral

Sekitar 50-60% penderita HIV/AIDS yang diterapi dengan

trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX) menimbulkan erupsi

eksantematosus. Gejala ini timbul selepas 1-2 minggu dimulai terapi.

Koadministrasi antara glukokortikoid oral dan TMP-SMX akan mengurangi

insidensi erupsi obat alergi. Obat sulfa seperti sulfadiazin, TMP-SMX,

sulfadoksin, pirimetamin bisa menyebabkan erupsi bulosa. Penggunaan

foskarnet pada terapi retinitis cytomegalovirus (CMV) bisa menyebabkan

erosi penis yang nyeri. Erosi ini juga disebabkan oleh konsentrasi metabolit

foskarnet yang tinggi didalam urin (Wolff, 2009).

2.3.4. Distribusi karakteristik penderita HIV/AIDS dengan penyakit kulit Penelitian yang dilakukan di Nigeria melibatkan 490 pasien HIV/AIDS dengan penyakit kulit menyebutkan umur rata-rata pasien adalah 38±10 tahun.

Rasio antara pasien laki-laki dan wanita adalah 1:1,4. Persentasi pasien

HIV/AIDS dengan erupsi obat alergik adalah 11,4%(n=56). Jumlah CD4 rata-rata

(21)

Hasil penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik melibatkan 227

pasien menyebutkan kelainan kulit yang paling banyak dideritai pasien HIV/AIDS

adalah erupsi obat alergi(14,9%) dan folikulitis(14,6%). Kelainan kulit yang juga

banyak dijumpai adalah dermatofitosis (10%) dan dermatitis seboroik(9,7%)

(Simbolon, 2011).

Penelitian lain yang dilakukan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

melibatkan 121 pasien HIV/AIDS dengan kelainan kulit menyebutkan umur

rata-rata pasien adalah 21-50 tahun. Laki-laki mempunyai persentasi tertinggi dengan

74.3%. Sekitar 37 pasien didiagnosis dengan erupsi obat alergi. Gambaran klinis

pasien adalah erupsi eksantematosa(n=28), Steven Johnson syndrome(n=6), erupsi

akneformis(n=2) dan eritroderma(n=1). Jumlah CD4 rata-rata pasien adalah

11-95/mm³(Dwiyana et al, 2009).

Hasil penelitian di Singapura melibatkan 96 pasien HIV/AIDS menyebutkan

umur rata-rata pasien adalah 40,2 tahun. 86(89,6%) pasien adalah laki-laki.

17(17,7%) pasien didiagnosis dengan erupsi obat alergik. Rata-rata pasien dengan

erupsi obat alergik memiliki jumlah CD4 < 200/mm³ (Goh et al, 2007).

Hasil penelitian di Thailand melibatkan 120 pasien HIV menyebutkan 5(4,2%)

daripada pasien menderita erupsi obat alergik (Wiwanitkit, 2004). Hasil penelitian

di Malaysia melibatkan 104 pasien HIV/AIDS dengan penyakit kulit

menyebutkan kelompok umur tersering adalah 20-50 tahun. Persentasi pasien

laki-laki adalah 96,2%(n=100). Persentasi pasien dengan erupsi obat alergi adalah

2,9%(n=3) dan jumlah CD4 rata-rata adalah 150,66/mm³ (Jing & Ismail, 1999).

Gambar

Gambar 2.1 Virion HIV .Sumber: NIAID, 2012

Referensi

Dokumen terkait

James R Bettman; Mary Frances Luce; John W Payne.. Journal of Consumer Research; Dec 1998; 25, 3; ABI/INFORM

Pengamanan data dewasa ini dirasakan sangat begitu penting, apalagi terhadap data-data yang bersifat pribadi dan rahasia, banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat mengamankan

Mengantisipasi pengaruh negatif karena adanya kandungan logam berat dalam air lindi maka perlu dilakukan pengolahan air lindi untuk membersihkan dari zat logam kromium sehingga

Perbaikan saluran irigasi Dukuh Tanjungarum Desa Glagahw angi Kecamat an Polanharjo (Eks.

Upaya Pengelolaan Retribusi Parkir dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Sungai Penuh menurut Perspektif. Hukum

Pada tingkat beban listrik yang sama, penurunan laju alir udara pembakaran dengan mengurangi bukaan valve inlet udara menyebabkan peningkatan penghematan solar dan

Orientasi masa depan pada remaja yang mengalami perceraian orangtua dalam pendidikan:.. Masalah yang berkaitan dengan minat/ keinginan yang dimiliki adalah

MEKANISME PEMUNGUTAN DAN PENETAPAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI IZIN TEMPAT USAHA OLEH DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, PERTAMBANGAN DAN ENERGI DI KABUPATEN NIAS.. O L E