• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembubaran Ormas Anarkis Sebuah Tinjauan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembubaran Ormas Anarkis Sebuah Tinjauan"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUBARAN ORMAS ANARKIS: SEBUAH TINJAUAN HUKUM HAK

ASASI MANUSIA

Paper dipresentasikan pada Seminar Ilmiah Mahasiswa Indonesia Se-Eropa 2 Juni 2012

di Wageningen Universiteit, The Netherlands

Oleh

Manunggal K Wardaya

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, PhD Researcher pada Faculteit der Rechtsgeleerdheid Radboud Universiteit Nijmegen, The Netherlands

Email: m.wardaya@jur.ru.nl

Pendahuluan

Salah satu di antara berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara di tahun 2012 adalah kian maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas). Beraroma intoleransi beragama dan berkeyakinan, tindak kekerasan elemen masyarakat sipil yang terorganisir dalam wadah organisasi ini bukanlah hal baru, melainkan repetisi fenomena serupa pada tahun-tahun sebelumnya.

Setara Institute mencatat bahwa sepanjang 2009 hingga 2010 telah terjadi 286 tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama dimana 183 diantaranya adalah kasus dilakukan oleh aktor non-negara termasuk ormas. Lebih jauh, merujuk Kadiv Humas Mabes Polri Saud Usman Nasution sebagaimana dikutip Tempo (17/2/2012), pada tahun 2010 tercatat terjadi 50 kasus kekerasan ormas dengan Front Pembela Islam (FPI) sebagai ormas yang paling banyak melakukan kekerasan (29 kasus). Adapun VOA Indonesia dalam pemberitaannya (8/2/2012) mengutip kepolisian bahwa ormas yang paling banyak melakukan kekerasan adalah FPI, Forum Betawi Rempug, dan Barisan Muda Betawi.

Fenomena kekerasan dengan nuansa agama yang menonjol paska reformasi ini dirasakan oleh sebagian kalangan masyarakat sebagai meresahkan dan menodai cita-cita kehidupan negara hukum yang demokratis. Dilatarbelakangi rasa jengah dan bahkan frustasi oleh tindakan kekerasan yang mengikis rasa aman, tuntutan akan pembubaran ormas anarkis menjadi mengemuka sembari pula mengecam Negara yang seolah tak mampu dan pula tak mau untuk melakukan tindakan tegas untuk menegakkan hukum dan ketertiban. Kendati bukan pertama kalinya disuarakan, penolakan masyarakat Kalimantan Tengah pada Februari 2012 manakala Front Pembela Islam (FPI) hendak meresmikan cabang di Palangkaraya seakan merefleksikan telah habisnya kesabaran masyarakat akan aksi kekerasan oleh ormas. Penolakan itu pada akhirnya mengkristal menjadi gerakan untuk mendesak pembubaran ormas. Aspirasi yang berkembang di masyarakat bukannya tak sampai di telinga pemerintah. Tak kurang Presiden SBY bahkan meminta agar kepolisian tak ragu membubarkan ormas yang anarkis, namun pernyataan SBY itu setidaknya hingga ketika tulisan ini disusun tak mendapatkan tindak lanjut yang berarti. Malahan menanggapi wacana ini, sejumlah politisi menyatakan penolakannya. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) misalnya secara resmi menolak usulan pembubarani FPI dengan mengatakan bahwa FPI adalah aspirasi masyarakat bawah yang harus diperhatikan pemerintah (Tempo, 18/2/2011).

(2)

berserikat dan di sisi lain adanya aturan hukum hak asasi manusia yang memungkinkan dilakukannya pembatasan terhadap penikmatan hak tersebut.

Kebebasan Berserikat dan HAM

Diakselerasi dengan konsolidasi aspirasi melalui berbagai jejaring sosial di dunia maya, sekelompok masyarakat berhimpun dalam Gerakan Indonesia Tanpa FPI, suatu wadah yang pada intinya menginginkan bebasnya Indonesia dari aksi kekerasan yang dilakukan ormas. Kendati Presiden maupun Menteri Dalam Negeri telah memberi sinyal pembubaran ormas yang anarkis, dalam realiteitnya pemerintah nampak berhati-hati dalam mensikapi tuntutan tersebut dan lebih kepada mengambil sikap mengambang. Di sisi lain pembubaran maupun pembatalan diskusi buku yang sedianya akan menghadirkan Irshad Manji, penulis buku Allah, Liberty, and Love di Jakarta dan Yogyakarta pada Mei 2012 yang pula diwarnai dengan aksi kekerasan ormas menjadikan tuntutan pembubaran ormas anarkis kembali mengemuka. Terlebih, manakala tulisan ini disusun, aksi kekerasan dan bentuk-bentuk intoleransi yang melibatkan ormas terus saja terjadi. Perusakan panggung yang sedianya akan dipakai untuk perayaan Waisak di Kaloran Temanggung, Jawa Tengah pada 12 Mei 2012 misalnya mengingatkan orang akan aksi kekerasan di kota yang sama ketika sekelompok massa melakukan pembakaran gereja menyusul peradilan penodaan agama pada 8 Februari 2011. Dua hari sebelumnya di Pandeglang Banten, penyerangan terhadap warga Ahmadiyah bahkan telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa.

Dengan fakta-fakta yang terhampar seperti demikian maka pertanyaan besar yang lagi-lagi mengemuka di tengah pro-kontra ide pembubaran ormas yang dinilai anarkis adalah apakah suatu pembubaran ormas dapat dibubarkan dan mengingat berorganisasi dalam ormas adalah perwujudan kebebasan dasar (basic freedoms) Apakah pembubaran ormas juga adalah pelanggaran hak asasi manusia? Bukankah organisasi kemasyarakatan adalah wujud penikmatan kebebasan untuk berserikat?

Pembatasan HAM

Pertama-tama haruslah ditegaskan bahwa benar jika berkumpul dalam suatu organisasi adalah bagian dari penikmatan kebebasan dasar manusia. Kebebasan untuk berserikat ini dijamin dalam the Universal Declaration of Human Rights 1948 dan pula The Internal Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966. Namun begitu, sebagaimana hak asasi manusia pada umumnya, berorganisasi adalah hak yang dalam pelaksanaannya dimungkinkan untuk dibatasi. Pasal 22 ayat (2) ICCPR pada garis besarnya menyatakan bahwa pembatasan yang dilakukan mestilah ditentukan melalui hukum (prescribed by law) dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratik guna keamanan nasional atau keselamatan publik, terutama sekali untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain. Lebih jauh, ketika suatu negara tengah dalam keadaan darurat, kebebasan ini bahkan dapat saja dikurangi penikmatannya, sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai hak yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights) menurut article 4 ICCPR.

(3)

organisasi tersebut dapat dibenarkan untuk dibatasi termasuk dibubarkan dengan mendasarkan pada ketentuan hukum.

Lebih jauh, Siracusa Principles juga menekankan pada keselamatan public (public safety) sebagai hal yang mendasari dibenarkannya pembatasan kebebasan dasar manusia termasuk kebebasan untuk berserikat dalam ormas. Disebutkan bahwa “public safety” adalah protection against danger to the safety of persons, to their life or physical integrity, or serious damage to property. Oleh karenanya jika keberadaan dan aktifitas suatu ormas terus menerus membahayakan keselamatan dan integritas orang lain tentu keberadaannya tersebut patut untuk dipikirkan ulang kembali. Demikian pula prinsip pembenaran pembatasan HAM untuk menghormati “rights and freedom of others” terlebih jika “rights and freedoms” yang hendak dilindungi itu lebih fundamental sifatnya daripada yang hendak dibatasi. Dalam konteks wacana pembubaran ormas, jika kebebasan berserikat menghalangi kebebasan orang untuk beragama dan berkeyakinan sebagai non-derogable rights, hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, maka ketentuan ini pula relevan untuk dijadikan acuan pembatasan/pembubarannya.

Dalam level hukum nasional, ketentuan umum yang senada dengan norma internasional mengenai hak asasi manusia terdapat di dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945 yang pada pokoknya mengakui dan menjamin hak setiap orang untuk berserikat dan berkumpul sembari secara terang pula memberikan pembatasannya pada Pasal 28J. Pada pokoknya, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Keamanan dan ketertiban umum menjadi salah satu kata kunci penting diambilnya tindakan pembatasan tersebut. UU No. 8 Tahun 1985 sebagai aturan hukum yang mengatur mengenai Ormas pula memuat klausul yang berkeselarasan dengan semangat pembatasan ini dengan memungkinkan pembubaran suatu ormas jika mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

Regulasi hukum terkait teknis dan prosedur pembatasan kebebasan manusia dalam berserikat antara satu negara dengan negara lain bisa saja beragam. Kementrian Dalam Negeri ketika tulisan ini disusun tengah melakukan penggodokan RUU Ormas yang baru guna mensederhanakan prosedur pembubaran Ormas. Namun begitu esensi dan spirit yang terkandung dalam peraturan perundangan yang dimiliki Indonesia terkait pembatasan kebebasan dasar manusia termasuk kebebasan untuk berserikat sebenarnya universil: pembatasan bahkan represi terhadap suatu hak maupun kebebasan akan menemukan justifikasinya manakala penikmatan hak dan kebebasan itu menciderai hak dan kebebasan pihak lain.

Kesimpulan

(4)

hal yang harus sungguh-sungguh dipikirkan adalah apakah ada jaminan manakala organisasi itu dibubarkan maka kekerasan yang dipercaya melekat padanya pula akan turut terhenti? Kalaupun ormas yang bersangkutan dibubarkan, hukum pula memungkinkan elite ormas tersebut untuk membentuk organisasi lain dengan nama yang lain dengan aktifitas yang lebih kurang sama. Oleh karenanya, pendekatan lain nan arif di luar hukum untuk mengurai, mengidentifikasi akar permasalahan yang menjadi penyebab kekerasan untuk kemudian merumuskan strategi penyelesaiannya adalah merupakan hal penting yang juga tak boleh diabaikan.

.

Daftar Rujukan

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 Tentang Ormas

Setara, http://www.setara-institute.org/id/content/ormas-anarkistis, diakses pada 24 Mei 2012

Tempo, “Polri: FPI, Ormas Paling Anarkis,”

http://www.tempo.co/read/news/2012/02/17/078384726/Polri-FPI-Ormas-Paling-Anarkistis, diakses pada 24 Mei 2012

Tempo, PPP Tolak Pembubaran FPI, dalam

http://www.tempo.co/read/news/2011/02/18/063314398/PPP-Tolak-Pembubaran-FPI, diakses pada 24 Mei 2012

The International Covenant on Civil and Political Rights 1966

The United Nations, Universal Declaration of Human Rights

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Voice of America, Ormas Anarkis Dibubarkan”, dalam

Referensi

Dokumen terkait

Jadi apabila peringkat daya saing atau ranking kompetisi kita ada di urutan bawah dari negara-negara Kawasan Asia-Pasifik itu berarti bahwa kesiapan kita

Intervensi pembedahan diindikasikan dan dilakukan berdasarkan etiologi tertentu, termasuk diantaranya bedah saraf pada sindroma Horner yang terkait aneurisma, dan  juga

[r]

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara manajemen laba yang dilakukan sebelum dan sesudah perubahan tarif pajak penghasilan Badan dalam

Salah satu analisis yang akan dilakukan adalah analisis ketepatan hasil rekomendasi yang dihasilkan oleh metode tersebut berdasarkan flag pada salah satu perhitungan

FIRMAN HIDAYAT, Perampuan, 25 Desember 1995, Sasak, Islam, Buruh bangunan, Pendidikan SMA, Alamat Dusun Nyamarai Desa Perampuan Kec... Gajah

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa nilai kalibrasi resistor standar telah berhasil diperoleh dan divalidasi dengan pengukuran yang dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa meskipun terdapat kecenderungan peningkatan angulasi gigi molar 3 rahang bawah impaksi mesioangular pada sisi kanan