BAB II
PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH
A. Sejarah Pengaturan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh
Sejarah pengaturan sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh di Indonesia
dari waktu ke waktu selalu berubah-ubah, berikut ini penulis akan menerangkan
sejarahnya dari awal pembentukan sampai dengan sekarang.
1. Pasca Indonesia Merdeka
Menurut perundang-undangan Indonesia, melahirkan anak
(maternity) bukanlah keadaan yang memerlukan jaminan sosial, karena dipandang sebagai istirahat dengan upah penuh. Peraturan yang terdahulu
di Indonesia adalah undang-undang yang berkenaan dengan pemberian
ganti-rugi kecelakaan, yaitu Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan
Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut).17 Undang-Undang Kecelakaan 1947 adalah Undang-Undang
Jaminan Sosial pertama yang diundangkan pasca proklamasi
kemerdekaan, dan hebatnya lagi masih diundangkan di masa pemerintahan
darurat pasca perang agresi Belanda kedua.18 Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut) adalah merupakan dasar hukum perjanjian kerja laut.19
17
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, Hal. 191
18
Asih Eka Putri, Jaminan Sosial, “Karya Besar Abad Keduapuluh”,
19
a. Ganti-rugi menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947
Dalam membahas Undang-Undang Kecelakaan 1947 harus ada
perhatian dari hukum perburuhan. Dalam hukum perdata biasa,
ganti-rugi hanya dimintakan dari seseorang yang telah bersalah melakukan
perbuatan yang menimbulkan kerugian itu. 20. Dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.21
Demikianlah juga menurut pasal 1602w Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi “Majikan wajib mengatur dan
memelihara ruangan-ruangan, alat-alat dan perkakas yang dipakai
untuk melakukan pekerjaan, dan pula wajib mengenal cara melakukan
pekerjaan, mengadakan aturan-aturan serta memberi petunjuk-petunjuk
sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang
mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya sebagaimana dapat
dituntut mengenai sifat pekerjaan”.22
20
Imam Soepomo, Loc .cit.
21
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
22Ibid.
Jika buruh hendak minta
ganti-rugi karena kecelakaan, dia harus membuktikan bahwa kecelakaan itu
terjadi karena kesalahan majikan atau kelalaian majikan tidak
dan alat kerja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi buruh.
Bahwa pembuktian ini bagi buruh adalah sulit, bahkan
kadang-kadang tidak jelas. Jika memang hendak melindungi buruh, maka
harus ditempuh jalan lain. Karena itu mula-mula dalam Ongevallen-regeling 1939 dan kemudian Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan
Schepelingen Ongevallen-regeling 1940, dilepaskan dasar kesalahan tersebut dan ganti-rugi karena kecelakaan itu selanjutnya didasarkan
atas tanggungjawab majikan atas kerugian yang terjadi di
perusahaannya. Pemberian ganti-rugi dipandang sebagai resiko
menjalankan perusahaan (risque professionnel).
Undang-Undang Kecelakaan 1947 jika dibandingkan dengan
Ongevallen-regeling 1939 dan Schepelingen Ongevallen-regeling
1940, sudah lebih maju lagi, karena Undang-Undang itu meliputi suatu
kecelakaan yang menimpa buruh dalam hubungan kerja. Misalnya
seorang buruh yang baru saja keluar meninggalkan rumahnya menuju
ke tempat pekerjaan atau telah meninggalkan tempat pekerjaan menuju
ke rumah jadi tidak di perusahaan mendapat kecelakaan dia sudah
berhak atas ganti rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang kecelakaan 1947 yaitu "Di perusahaan yang
diwajibkan memberi tunjangan, majikan berwajib membayar ganti
hubungan kerja pada perusahaan itu, menurut yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini”.
Disamakan dengan kecelakaan adalah penyakit yang timbul
sebagai akibat menjalankan pekerjaan di perusahaan, artinya seorang
buruh yang menderita penyakit jabatan (occupational disease) berhak atas ganti-rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Kecelakaan 1947 yaitu “Penyakit yang timbul karena
hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan”.23
Menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947 itu, tidak semua
perusahaan diwajibkan memberi ganti-rugi. Pasal 2 membatasinya
pada perusahaan tertentu sebanyak 13 jenis perusahaan yaitu24
1) yang mempergunakan satu atau beberapa tenaga mesin; :
2) yang mempergunakan gas-gas yang telah dicairkan, dikompa atau yang jadi cair karena tekanan;
3) yang mempergunakan zat-zat baik padat, baik cair, maupun gas, yang amat tinggi panasnya atau mudah terbakar atau menggigit, mudah meletus, mengandung racun, menimbulkan penyakit atau dengan cara yang lain berbahaya atau dapat merusak kesehatan; 4) yang membangkitkan, mengobah, membagi-bagi, mengalirkan atau
mengumpulkan tenaga listrik;
5) yang mencari atau mengeluarkan barang galian dari tanah; 6) yang menjalankan pengangkutan orang atau barang-barang;
7) yang menjalankan pekerjaan memuat dan membongkar barang-barang;
8) yang menjalankan pekerjaan mendirikan, mengubah, membetulkan atau membongkar bangunbangunan, baik dalam atau di atas tanah, maupun dalam air, membuat saluran-saluran dalam tanah dan jalan-jalan;
9) yang mengusahakan hutan; 10)yang mengusahakan siaran radio; 11)yang mengusahakan pertanian;
23
Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 191-192
24
12)yang mengusahakan perkebunan; 13)yang mengusahakan perikanan.
Dalam hal ini ke 13 perusahaan tersebut harus tetap
memberikan tunjangan kepada pekerja/buruh agar berlanjutnya
hubungan kerja dari majikan lama kepada majikan baru.
Penderita kecelakaan dapat menuntut pembayaran ganti-rugi
berdasarkan ketentuan pada pasal 1602w Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, bahwa seorang majikan yang tidak memenuhi
kewajibannya untuk mengatur dan memelihara ruangan, alat perkakas,
dimana atau dengan mana ia menyuruh melakukan pekerjaan
sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang
mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya, wajib mengganti
kerugian yang karenanya menimpa buruh dalam menjalankan
pekerjaannya.25
25
Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 193
Sehingga dapat menuntut pembayaran upah seperti
termaksud pada pasal 1602c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang berbunyi “Akan tetapi buruh berhak untuk meminta dan
menerima upah, yang ditetapkan menurut lamanya buruh, bekerja
untuk waktu yang tidak begitu lama, bila ía berhalangan melakukan
pekerjaan karena sakit atau mengalami kecelakaan, kecuali bila
kebejatannya atau oleh cacat badan yang dengan sengaja diberi
keterangan palsu pada waktu membuat perjanjian kepada majikan”.26
Undang-Undang Kecelakaan Kerja 1947 akan tetap berlaku apabila
ada aturan yang masih diatur didalam Undang-Undang tersebut dan
belum terdapat aturan penggantinya sehingga berlaku azas
Metaprinciple yang mengatakan “Lex Posterior
Generalis, Non Derogat Legi Priori Specialis” yang berarti
Undang-Undang yang terbit kemudian bersifat
generalis tidak mengesampingkan pendahulunya yang
spesialis.27
b. Ganti-rugi karena kecelakaan pelaut
Bagi para pelaut yang mendapat kecelakaan, berlaku peraturan
tersendiri, yaitu Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut 1940), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1940. .28
Menurut Prof. Iman Soepomo, S.H., Schepelingen
-Ongevallen-regeling 1940 masih berlaku secara khusus hingga saat ini, sepanjang tidak diikutsertakan dalam
program jaminan sosial (social secutiry) yang ada saat ini.29
26
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
27
P hi li p us M. H adj o n,“A r g u m en ta si Hu ku m”, G aj a h Mad a U ni ve r si t y P r e ss , Yo gya ka rt a, H al . 54
28
Imam Soepomo, Loc.cit.
29
Majikan wajib memberi ganti-rugi kepada anak-kapal yang
mendapat kecelakaan dalam hubungannya dengan pekerjaannya di
kapal atau untuk keperluan kapal. Kehilangan perlengkapan karena
kecelakaan kapal dipandang sebagai kecelakaan yang menimpa buruh.
Prinsip yang dianut dalam Schepelingen Ongevallen-regeling
1940 ini ialah kecelakaan yang ada hubungannya dengan pekerjaannya
dan adalah tidak seluas prinsip yang dipakai sebagai dasar dalam
Undang-Undang Kecelakaan 1947.
Walaupun tanggungjawab majikan diperluas terhadap tiap
kecelakaan yang terjadi di kapal juga yang tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan buruh, namun tetap kurang luas dibandingkan
dengan Undang-Undang Kecelakaan 1947.30
1) Kapal yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang atau untuk usaha perikanan;
Hal ini disebabkan
sedikitnya ruang aturan yang ada dalam Schepelingen Ongevallen-regeling 1940. Seperti masalah kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik pada Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 tidak diatur dalam Undang-Undang kecelakaan 1947.
Kapal yang diwajibkan memberi ganti-rugi adalah :
2) Kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik; 3) Kapal pemadam kebakaran;
4) Kapal clayton dan kapal pembersih lainnya;
5) Perahu penolong dan sampan/sekoci yang merupakan alat pertolongan serta tidak digunakan untuk keperluan lainnya;
6) Kapal keruk yang ada di laut atau dalam perairan sendiri.
30
Ganti-rugi yang diberikan kepada anak-kapal yang ditimpa
kecelakaan menurut Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 adalah : 1) Pengobatan dan perawatan dengan cuma-cuma, termasuk
pemberian obat dan alat pembalut, selama paling lama 1 tahun sesudah hari kecelakaan;
2) Perumahan dan makanan cuma-cuma, bila mendapat kecelakaan dirawat di luar rumahnya sendiri;
3) Pengangkutan ke tempat perawatan; 4) Penguburan;
5) Jika perjanjian kerja telah berakhir, segera setelah sembuh buruh diberi pengangkutan ke tempat perjanjian kerja itu dibuat. Termasuk biaya makan dan penginapan selama perjalanan;
6) Uang tunjangan kepada;
a) Buruh yang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan; b) Kepada keluarga buruh jika buruh meninggal.
Kehilangan perlengkapan karena kecelakaan kapal hanya
diganti bila kehilangan itu tidak terjadi karena kelalaian besar (grove schuld). Ganti-rugi diberikan untuk kerugian yang benar-benar diderita terhadap barang yang berhubung dengan kedudukan pangkat atau
pekerjaan buruh diperlukan di kapal.31
c. Bantuan/tunjangan sakit
Ketentuan lain yang berlaku adalah Peraturan Menteri
Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3 tahun 1964 dan No. 3 tahun
1967 tentang pemberian bantuan/tunjangan kepada buruh dan
keluarganya dalam hal sakit, hamil, bersalin, atau meninggal dunia,
memberi kesempatan kepada majikan untuk
mempertanggungjawabkan buruhnya beserta keluarganya pada dana
jamina sosial terhadap sakit, hamil, bersalin atau meninggal dunia.32
31Ibid.,
Hal. 193-195
32
Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3
tahun 1964 merupakan cikal bakal lahirnya asuransi sosial tenaga kerja
yang harus didirikan oleh perusahaan dan Peraturan Menteri
Perburuhan No. 3 tahun 1967 menerangkan bahwa harus ada
pemberian bantuan sosial bagi pekerja/buruh.
Mengenai pengobatan/perawatan sakit terdapat beberapa
ketentuan secara terpencar-pencar dalam berbagai peraturan yang
bukan merupakan jaminan sosial (social security), melainkan merupakan bagian dari upah, yaitu bagian upah yang berupa barang
atau jasa, tepatnya pengobatan dokter.
Misalnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata mewajibkan
majikan jika seorang buruh bertempat tinggal padanya sakit selama
berlangsungnya hubungan kerja tetapi paling lama untuk waktu 6
minggu, menguruskan perawatan dan pengobatannya sepantasnya,
sekedar hal ini tidak diberikan berdasarkan peraturan lain.
Indienstneming van Werklieden (Peraturan tentang Memperkerjakan Buruh) mewajibkan majikan memberi perawatan
yang layak termasuk obat yang diperlukan. Pelanggaran atas
kewajiban ini diancam dengan pidana denda sebanyak-banyaknya
seratus rupiah.
Aanvullende Platersregeling (Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan) menetapkan bahwa jika buruh sakit,
untuk 3 bulan, wajib memberi perawatan dan pengobatan yang layak.
Perawatan dan pengobatan ini juga diberikan kepada keluarga buruh
(istri, anak yang sah dan disahkan di bawah umur 21 tahun).
Dalam Panglongkeur Soematra Oostkust dan Riouw Panglongregeling ditetapkan bahwa pengusaha wajib memberi pengobatan. Zee-arbeidsovereenkomst (perjanjian kerja laut) yang mengacu pada Buku II Bab 4 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
menetapkan jika seorang buruh yang telah mengadakan perjanjian
kerja untuk sedikit-dikitnya 1 tahun atau selama 1 setengah
tahundengan terus-menerus telah bekerja pada seorang pengusaha,
jatuh sakit sedang ia melakukan pekerjaan di kapal, juga bila hubungan
kerja telah putus, berhak mendapat upah penuh serta perawatan dan
pengobatan yang layak, selama ia tinggal di kapal.
Bila pengusaha mendaratkan buruh yang sakit itu pada suatu
tempat, ia wajib membiayai perawatan dan pengobatan itu sampai
sembuh, tetapi paling lama untuk 52 minggu.33
33
Ibid., Hal. 195-196
Soal persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan janda dan
anak yatim-piatu masih sepenuhnya terserah paka kebijaksanaan
majikan atau organisasi buruh untuk memperjuangkannya terhadap
majikan. Dalam praktik sudah ada berbagai perusahaan yang
Barangkali dapat dipandang sebagai petunjuk permulaan bagi
gagasan pemeliharaan janda dan anak yatim-piatu, ketentuan dalam
Aanvullende Plantersregeling yang menetapkan bahwa jika buruh meninggal dunia, kepada keluarga yang ditinggalkan dibayarkan upah
bulan yang berjalan dan bulan berikutnya.
Demikian pula dengan pensiun yang diberikan kepada pegawai
negeri dalam Aanvullende Plantersregeling meliputi: 1) Pengobatan dan perawatan,
2) Tunjangan kepada yang bersangkutan,
3) Tunjangan kepada jandanya, bila pegawai negeri itu meninggal
dunia.
Menurut Prof. Imam Soepomo ,S.H. jaminan sosial (social security) ini mengingat pembiayaannya dibagi dalam:
1) Bantuan sosial (social assistance) dan 2) Pertanggungan sosial (social assurance).
Pada bantuan sosial semua biaya dipikul oleh majikan, seperti
pada ganti-rugi karena kecelakaan. Jika disini diadakan
pertanggungan, maka pertanggungan itu diselenggarakan antara para
majikan bersama, seperti misalnya dimaksud pada pasal 36 ayat (1)
Undang-Undang Kecelakaan 1947.
Pada pertanggungan sosial, baik majikan maupun buruh
misalnya jaminan sosial sakit, jaminan sosial hari tua, janda dan anak
yatim piatu serta pengangguran.34
2. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 Tentang Asuransi Sosial
Tenaga Kerja (ASTEK)
Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1977
tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut Astek) adalah
sistem perlindungan yang dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial
secara langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan
tenaga kerja.
Berdasarkan peraturan ini maka perusahaan diwajibkan untuk
menyelenggarakan program Astek, yaitu dengan cara mempertanggungkan
buruhnya dalam asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian,
demikian pula dalam program tabungan hari tua pada badan
penyelenggaraaan yaitu Perusahaan umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja
(Perum Astek) yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun
1977.
Perusahaan dalam Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1977 adalah
semua perusahaan baik milik swasta, termasuk perusahaan yang didirikan
menurut Peraturan Penanaman Modal Asing (PMA) serta Perusahaan
Umum (PERUM), Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perusahaan
34
Milik Negara yang didirikan dengan atau berdasarkan undang-undang
tersendiri.
Namun demikian perusahaan yang wajib menyelenggarakan Astek
masih dibatasi pada jumlah buruh yang dipekerjakan atau jumlah upah
yang dibayarkan kepada buruhnya setiap bulannya. Menurut Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. 116-MEN/1977
tentang peraturan tata cara persyaratan pendaftaran pembayaran iuran dan
pembayaran jaminan asuransi sosial tenaga kerja, ditetapkan bahwa
perusahaan yang memperkerjakan sebanyak 100 orang atau lebih atau
membayar upah paling sedikit lima juta rupiah sebulan adalah perusahaan
yang diwajibkan ikut serta dalam program Astek. Dengan demikian semua
perusahaan yang terletak diluar ketentuan tersebut, untuk sementara belum
terkena wajib asuransi, sehingga jaminan-jaminan itu dapat dilaksanakan
menurut kebijaksanaan perusahaan.
Perkembangan lebih lanjut mengenai penentuan perusahaan yang
wajib menyelenggarakan program Astek dapat dilihat dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. KEP-278/MEN/83 adalah peraturan itu
mengatur perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 25
orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,- (satu
juta rupiah) sebulan. Hal ini terlihat bahwa pemerintah secara bertahap
sudah mulai mengembagkan program jaminan sosial pada pekerja/buruh.
Prinsip ini juga sama dengan kecelakaan kerja yang dianut
Pemerintah No. 33 tahun 1977 sebagai peraturan pelaksanaan
undang-undang tersebut dengan menetapkan bahwa kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang menimpa tenaga kerja berhubungan dengan hubungan
kerja dan penyakit yang timbul karena hubungan kerja.35
3. Undang-Undang No.3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja
Pada tahun 1992, pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut JAMSOSTEK),
program jaminan sosial tenaga kerja meliputi empat program, yaitu
jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan
jaminan pemeliharaan kesehatan. Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana
undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek yang
mewajibkan setiap pengusaha atau perusahaan yang memiliki karyawan
minimal 10 orang atau mengeluarkan biaya untuk gaji buruh/pekerjanya
minimal 1 juta/bulan untuk mengikut sertakan pekerjanya dalam program
jamsostek (pasal 2 ayat 3).
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menugaskan PT Jamsostek
sebagai pelaksana program Jamsostek dan hal ini dipertegas melalui
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 yang mengatur ditetapkannya
35
PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jamsostek. Program
Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan
minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian
berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti
sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang akibat resiko sosial.36
a. Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Jamsostek sebagai implementasi dari perlindungan hak buruh dan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan suatu
rangkaian yang bertujuan untuk menciptakan hubungan perburuhan yang
berlandaskan pancasila demi kelangsungan usaha dan demi kesejahteraan
buruh/pekerja.
Bentuk perlindungan hak buruh tersebut dapat kita lihat dari
program-program jamsostek yang harus dilaksanakan, yaitu:
Kecelakaan kerja temasuk penyakit akibat kerja yang
merupakan resiko yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam
melakukan pekerjaanya. Kecelakaan kerja menurut M. Sulaksono
adalah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak dikehendaki
yang mengacaukan suatu aktivitas yang telah diatur, kecelakaan ini
terjadi tanpa disangka-sangka dalam sekejap mata dan setiap kejadian
tersebut terdapat empat faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai,
yakni lingkungan, bahaya, peralatan dan manusia.37
36
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal.178-179
37
Buchari, Penanggulangan kecelakaan, Medan: Universitas Sumatera Utara (USU) Repository, 2007. Hal. 1
sebagai penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana
diatur dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit
yang timbul akibat hubungan kerja yaitu :
1) Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis
yang silikosis-nya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras.
3) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissisnosis) 4) Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan
zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan. 5) Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai
akibat penghirupan debu organik.
6) Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun.
7) Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.
8) Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun
9) Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun
10)Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
11)Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
12)Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun
13)Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun
14)Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun
15)Penyakit yang disebabkan oleh carbon disulfida atau persenyawaannya yang beracun
16)Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aroma yang beracun. 17)Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang
beracun.
18)Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari
benzene atau homolognya yang beracun.
20)Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.
21)Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti carbon monoksida, hydrogensianida, hydrogen sulfide, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.
22)Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23)Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi). 24)Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang
bertekanan lebih.
25)Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetik dan radiasi yang mengion.
26)Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau biologic.
27)Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28)Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29)Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus.
30)Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau radiasi atau kelembaban udara tinggi.
31)Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.38
b. Program Jaminan Kematian
Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan
kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan yang akan sangat
berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang
ditinggalkan, oleh karena itu diperlukan jaminan kematian dalam
upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya
pemakaman maupun santunan berupa uang. Ketentuan pasal 12 ayat
(1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja member pengertian bahwa dalam program jaminan kematian
38
yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah istri atau
suami pekerja, keturunan sedarah dari pekerja menurut garis lurus
kebawah, dan garis lurus keatas, dihitung sampai derajat
keduatermasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus keatas dan
kebawah tidak ada maka diambil kesamping dan mertua. Bagi pekerja
yang tidak memiliki keluarga maka hak atas jaminan kematian
diberikan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari pekerja yang
bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Urutan
keluarga yang diprioritaskan dalam pembayaran santunan kematian
menurut pasal 13 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja adalah :
1) janda atau duda; 2) anak;
3) orang tua; 4) cucu;
5) kakek atau nenek; 6) saudara kandung; 7) mertua.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja member batasan dan pengecualian bagi pekerja/buruh
yang berhak menerima manfaat program ini. Pengecualian tersebut
disebutkan dalam pasal 12 ayat (2) undang-undang ini, bidang-bidang
pekerjaan yang tidak berhak menerima manfaat jaminan kematian
manurut pasal ini antara lain :
1) murid atau pekerja yang sedang melakukan magang.
3) narapidana yang melakukan pekerjaan.
c. Program Jaminan Hari Tua
Hari tua adalah umur pada saat dimana produktivitas buruh
atau pekerja telah dianggap menurun, sehingga perlu diganti dengan
buruh/pekerja yang lebih muda termasuk cacat tetap dan total (total and permanent disability) yang dapat dianggap sebagai hari tua dini.39
1) Mencapai usia 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total
tetap.
Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena buruh/pekerja
tidak mampu lagi bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat
menimbulkan kesusahan bagi pekerja dan mempengaruhi ketenangan
bekerja sewaktu masih bekerja, terutama bagi buruh yang memiliki
penghasilan rendah. Jaminan hari tua merupakan program
perlindungan bagi buruh/pekerja dan keluarganya yang
manfaatnyaakan dibayarkan kepada peserta berdasarkan akumulasi
dengan memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut :
2) Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setelah menjadi
peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu 6 bulan.
2) Pergi keluar negeri dan tidak kembali, atau menjadi pegawai
negeri.40
d. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
39
Adrian Sutedi, op.cit., Hal. 190
40
Kesehatan kerja pertama kali tertuang dalam Undang-Undang
No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai
Ketenagakerjaan serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja yang menyatakan bahwa kesehatan kerja
merupakan bagian dari keselamatan kerja. Selanjutnya
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan mengatur pula
mengenai kesehatan kerja pada pasal 108 ayat (2) yang secara jelas
menyebutkan bahwa untuk melindungi kesehatan pekerja/buruh guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya
kesehatan kerja. Kesehatan kerja atau disebut juga Hyperkes (Hygiene
Perusahaan dan Kesehatan) berkaitan dengan upaya-upaya :
1) Pemeriksaan tenaga kerja, baik pada awal bekerja maupun periodik
selama bekerja;
2) Tambahan gizi bagi tenaga kerja diberikan makan siang atau dalam
bentuk lainnya;
3) Kebersihan lingkungan kerja, termasuk pencegahan dan
pengelolahan limbah;
4) Pencegahan dan penaggulangan sumber-sumber yang
membahayakan kesehatan.41
4. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS)
41
Pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang
itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal
34 ayat 2, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat
perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja
sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi
maupun produktivitas kerja.
Kiprah Perusahaan PT Jamsostek (Persero) yang mengedepankan
kepentingan dan hak normatif Tenaga Kerja di Indonesia dengan
memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan
Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh
tenaga kerja dan keluarganya terus berlanjutnya hingga berlakunya UU No
24 Tahun 2011.
Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang,
tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum
Publik. PT Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi
Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS
Ketenagakerjaan pun terus meningkatkan kompetensi di seluruh lini
pelayanan sambil mengembangkan berbagai program dan manfaat yang
langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya.42
B. Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Menurut Undang-Undang No. 24
Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal
99 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa :
1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja.
2. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 10,
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh yang sekaligus
merupakan kewajiban dari pegusaha. Pada hakikatnya program jaminan sosial
dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan
penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang
hilang.
1. Program Jaminan Sosial Pekerja
Dalam merumuskan konsep jaminan sosial, tim Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang dibentuk dengan Kepres No. 20 tahun 2002
menyepakati suatu sistem jaminan sosial harus dibangun dengan tiga
42
pilar.43
a. Pilar Bantuan Sosial
Pilar jaminan sosial menjelaskan sumber dana dan mekanisme
yang harus dijalankan dalam sebuah sistem jaminan sosial. Pilar jaminan
sosial digunakan di berbagai negara karena sifatnya yang universal.
Prinsip yang digunakan sama di seluruh dunia. Tetapi, rincian mekanisme
proses dan besaran manfaat untuk memenuhi kebutuhan dasar yang
berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Pilar jaminan sosial
yang universal adalah :
Bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki
penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak. Dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut SJSN), bantuan
sosial diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah (Pusat) agar
mereka yang miskin dan tidak mampu dapat tetap menjadi peserta
JKN.
b. Pilar Asuransi Sosial
Merupakan suatu sistem pengumpulan dana (risk polling) dengan mekanisme transfer resiko yang wajib diikuti oleh semua penduduk.
Penduduk berpenghasilan (di atas garis kemiskinan) wajib membayar
iuran yang proporsional terhadap penghasilannya/upahnya.
c. Pilar Tambahan/ Pilar Suplemen
43
Pilar yang disiapkan oleh mereka yang menginginkan (demand) jaminan/manfaat yang lebih memuaskan dari paket JKN. Untuk
jaminan hari tua dan pensiun, pilar ketiga dapat sangat besar
jumlahnya, jauh melebihi pilar I dan pilar II. Pilar ini dapat diisi
dengan membeli asuransi komersil (baik asuransi kesehatan, pensiun,
atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, membeli saham, membeli surat
berharga, menyimpan emas murni, atau program-program pribadi
lainnya. Pilar ketiga dapat dilakukan perorangan, lembaga usaha
(pemberi kerja), atau pemda yang kaya sebagai tambahan
kesejahteraan.44
1) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimal bagi pekerja beserta keluarganya.
Program jaminan sosial pekerja mempunyai beberapa aspek antara
lain :
2) Merupakan penghargaan kepada pekerja yang telah menyumbangkan
tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja.
Dengan demikian, jaminan sosial pekerja mendidik kemandirian
pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain
jika dalam hubungan kerja terjadi resiko akibat hubungan kerja.45
44
Hasbullah Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional, Rajawali Press, Jakarta, 2014, Hal. 99-101
45
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2011, Hal. 15-153
Karena
telah didirikannya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk
2. Badan Penyelenggara Sistem Jaminan Sosial
Di dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2011 Pasal 1 ayat (1)
dsebutkan bahwa “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya
disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial”.46
a. Kemanusiaan, adalah asas yang terkait dengan penghargaan
terhadap martabat manusia;
Dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional BPJS
mempunyai 3 asas, yaitu :
b. Manfaat, adalah asas yang bersifat operasional
menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif;
c. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah asas yang
bersifat idiil.47
Tujuan dari BPJS adalah mewujudkan terselenggaranya pemberian
jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi Peserta
dan/atau anggota keluarganya.48
Dalam pasal 4 UU BPJS disebutkan BPJS menyelenggarakan
sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip 49
a. Prinsip Kegotongroyongan
:
46
Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Pasal 1 ayat (1)
47
Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Pasal 2
48
Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),Pasal 3
49
Adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban
biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap
peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah atau
penghasilannya. 50Gotong royong dalam JKN harus terjadi antara
peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu, yang
beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi, dan yang sehat
membantu yang sakit secara nasional. Ketiga unsur gotong royong
tersebut tidak terjadi pada mekanisme asuransi kesehatan komersial
yang berbasis mekanisme pasar. Melalui prinsip kegotongroyongan ini
kita dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dalam Pancasila. Hanya dengan prinsip ini, cakupan universal dapat
dicapai. Prinsip ini diwujudkan dengan kewajiban membayar iuran
persentase upah atau yang relatif proporsional terhadap pendapatan
penduduk/peserta.51
b. Prinsip Nirlaba
Adalah pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil
pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
seluruh peserta.52
50
Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),Pasal 4
51
Hasbullah Thabrany, Op.cit., Hal. 153-154
52
Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),Pasal 4
Prinsip ini adalah konsekuensi transaksi wajib.
Dalam transaksi sukarela (mekanisme pasar), keuntungan bagi
menjual produk bermutu dan harga bersaing. Hasil penjualan adalah
milik perusahaan atau penjual.53
c. Prinsip Keterbukaan
Adalah prisip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan
jelas bagi setiap peserta.
d. Prinsip Kehati-hatian
Adalah prinsip pengelolaan dan secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
e. Prinsip Akuntabilitas
Adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
f. Prinsip Portabilitas
Adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun
peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia.54
a. BPJS Kesehatan; dan
Dalam UU BPJS Pasal 5 ayat (2), BPJS terbagi dalam 2 bagian
yaitu :
b. BPJS ketenagakerjaan.
53
Hasbullah Thabrany, Op.cit., Hal. 154
54
Model BPJS adalah penyelenggara jaminan sosial yang
diselenggarakan oleh BPJS dengan tata laksana sesuai ketentuan
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang-Undang-Undang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Tatanan ini berlaku bagi BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan.Penyelenggaraan SJSN dilaksanakan oleh dua
organ utama yaitu BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya
disebut DJSN). DJSN dan BPJS adalah organ SJSN (Sistem Jaminan
Sosial Nasional) yang dibentuk oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2004
tentang SJSN.Secara struktural DJSN dan BPJS adalah subordinasi
penguasa publikyaitu Presiden. DJSN dan BPJS bertanggungjawab
langsung kepada Presiden. DJSN berfungsi merumuskan kebijakan umum
dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial.
BPJS menjadi subyek pengawasan eksternal oleh Dewan Jaminan
Sosial Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Hubungan kelembagaan antara BPJS dengan DJSN adalah fungsional
melalui pelaksanaan tugas dan wewenang DJSN dalam penyelenggaraan
program jaminan sosial nasional. Sedangkan komunikasi diantara kedua
lembaga ini terlaksana melalui empat media, yaitu keputusan DJSN,
usulan DJSN, hasil monitoring dan evaluasi DJSN, serta tembusan laporan
BPJS kepada Presiden mengenai pengelolaan program dan keuangan.
BPJS melaksanakan keputusan DJSN yang memuat rumusan
kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan program-program
perumusan usulan investasi dana jaminan sosial dan usulan anggaran bagi
Penerima Bantuan Iuran. DJSN menyampaikan usulan tersebut kepada
Presiden.55
Pengawasan eksternal dilaksanakan oleh badan-badan di luar
BPJS, yaitu DJSN, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
BPJS bertanggungjawab kepada Presiden. Organ BPJS terdiri dari
Dewan Pengawas dan Direksi. Anggota Direksi BPJS diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Presiden menetapkan Direktur Utama BPJS
diawasi oleh pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan
internal dilaksanakan oleh organ BPJS, yaitu Dewan Pengawas dan sebuah
unit kerja di bawah Direksi yang bernama Satuan Pengawas Internal.
56
DJSN bertugas sebagai pengawas eksternal BPJS dengan
melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan
sosial dan tingkat kesehatan keuangan BPJS. DJSN berkomunikasi dengan
BPJS sepanjang tahun fiskal dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi
karena monitoring dan evaluasi adalah aktivitas yang dilakukan secara
terus-menerus dan berkelanjutan.57
55
Asih Eka Putri, Paham SJSN (Sisitem Jaminan Sosial Nasional), Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, 2014, Hal. 37-38
56Ibid
., Hal. 38
57