• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJABURUH A. Sejarah Pengaturan Sistem Jaminan Sosial Bagi PekerjaBuruh - Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara J

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJABURUH A. Sejarah Pengaturan Sistem Jaminan Sosial Bagi PekerjaBuruh - Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara J"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH

A. Sejarah Pengaturan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh

Sejarah pengaturan sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh di Indonesia

dari waktu ke waktu selalu berubah-ubah, berikut ini penulis akan menerangkan

sejarahnya dari awal pembentukan sampai dengan sekarang.

1. Pasca Indonesia Merdeka

Menurut perundang-undangan Indonesia, melahirkan anak

(maternity) bukanlah keadaan yang memerlukan jaminan sosial, karena dipandang sebagai istirahat dengan upah penuh. Peraturan yang terdahulu

di Indonesia adalah undang-undang yang berkenaan dengan pemberian

ganti-rugi kecelakaan, yaitu Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan

Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut).17 Undang-Undang Kecelakaan 1947 adalah Undang-Undang

Jaminan Sosial pertama yang diundangkan pasca proklamasi

kemerdekaan, dan hebatnya lagi masih diundangkan di masa pemerintahan

darurat pasca perang agresi Belanda kedua.18 Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut) adalah merupakan dasar hukum perjanjian kerja laut.19

17

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, Hal. 191

18

Asih Eka Putri, Jaminan Sosial, “Karya Besar Abad Keduapuluh”,

19

(2)

a. Ganti-rugi menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947

Dalam membahas Undang-Undang Kecelakaan 1947 harus ada

perhatian dari hukum perburuhan. Dalam hukum perdata biasa,

ganti-rugi hanya dimintakan dari seseorang yang telah bersalah melakukan

perbuatan yang menimbulkan kerugian itu. 20. Dalam Pasal 1365 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan “Tiap perbuatan

melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut”.21

Demikianlah juga menurut pasal 1602w Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang berbunyi “Majikan wajib mengatur dan

memelihara ruangan-ruangan, alat-alat dan perkakas yang dipakai

untuk melakukan pekerjaan, dan pula wajib mengenal cara melakukan

pekerjaan, mengadakan aturan-aturan serta memberi petunjuk-petunjuk

sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang

mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya sebagaimana dapat

dituntut mengenai sifat pekerjaan”.22

20

Imam Soepomo, Loc .cit.

21

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

22Ibid.

Jika buruh hendak minta

ganti-rugi karena kecelakaan, dia harus membuktikan bahwa kecelakaan itu

terjadi karena kesalahan majikan atau kelalaian majikan tidak

(3)

dan alat kerja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan

kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi buruh.

Bahwa pembuktian ini bagi buruh adalah sulit, bahkan

kadang-kadang tidak jelas. Jika memang hendak melindungi buruh, maka

harus ditempuh jalan lain. Karena itu mula-mula dalam Ongevallen-regeling 1939 dan kemudian Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan

Schepelingen Ongevallen-regeling 1940, dilepaskan dasar kesalahan tersebut dan ganti-rugi karena kecelakaan itu selanjutnya didasarkan

atas tanggungjawab majikan atas kerugian yang terjadi di

perusahaannya. Pemberian ganti-rugi dipandang sebagai resiko

menjalankan perusahaan (risque professionnel).

Undang-Undang Kecelakaan 1947 jika dibandingkan dengan

Ongevallen-regeling 1939 dan Schepelingen Ongevallen-regeling

1940, sudah lebih maju lagi, karena Undang-Undang itu meliputi suatu

kecelakaan yang menimpa buruh dalam hubungan kerja. Misalnya

seorang buruh yang baru saja keluar meninggalkan rumahnya menuju

ke tempat pekerjaan atau telah meninggalkan tempat pekerjaan menuju

ke rumah jadi tidak di perusahaan mendapat kecelakaan dia sudah

berhak atas ganti rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1

Undang-Undang kecelakaan 1947 yaitu "Di perusahaan yang

diwajibkan memberi tunjangan, majikan berwajib membayar ganti

(4)

hubungan kerja pada perusahaan itu, menurut yang ditetapkan dalam

Undang-undang ini”.

Disamakan dengan kecelakaan adalah penyakit yang timbul

sebagai akibat menjalankan pekerjaan di perusahaan, artinya seorang

buruh yang menderita penyakit jabatan (occupational disease) berhak atas ganti-rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2

Undang-Undang Kecelakaan 1947 yaitu “Penyakit yang timbul karena

hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan”.23

Menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947 itu, tidak semua

perusahaan diwajibkan memberi ganti-rugi. Pasal 2 membatasinya

pada perusahaan tertentu sebanyak 13 jenis perusahaan yaitu24

1) yang mempergunakan satu atau beberapa tenaga mesin; :

2) yang mempergunakan gas-gas yang telah dicairkan, dikompa atau yang jadi cair karena tekanan;

3) yang mempergunakan zat-zat baik padat, baik cair, maupun gas, yang amat tinggi panasnya atau mudah terbakar atau menggigit, mudah meletus, mengandung racun, menimbulkan penyakit atau dengan cara yang lain berbahaya atau dapat merusak kesehatan; 4) yang membangkitkan, mengobah, membagi-bagi, mengalirkan atau

mengumpulkan tenaga listrik;

5) yang mencari atau mengeluarkan barang galian dari tanah; 6) yang menjalankan pengangkutan orang atau barang-barang;

7) yang menjalankan pekerjaan memuat dan membongkar barang-barang;

8) yang menjalankan pekerjaan mendirikan, mengubah, membetulkan atau membongkar bangunbangunan, baik dalam atau di atas tanah, maupun dalam air, membuat saluran-saluran dalam tanah dan jalan-jalan;

9) yang mengusahakan hutan; 10)yang mengusahakan siaran radio; 11)yang mengusahakan pertanian;

23

Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 191-192

24

(5)

12)yang mengusahakan perkebunan; 13)yang mengusahakan perikanan.

Dalam hal ini ke 13 perusahaan tersebut harus tetap

memberikan tunjangan kepada pekerja/buruh agar berlanjutnya

hubungan kerja dari majikan lama kepada majikan baru.

Penderita kecelakaan dapat menuntut pembayaran ganti-rugi

berdasarkan ketentuan pada pasal 1602w Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, bahwa seorang majikan yang tidak memenuhi

kewajibannya untuk mengatur dan memelihara ruangan, alat perkakas,

dimana atau dengan mana ia menyuruh melakukan pekerjaan

sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang

mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya, wajib mengganti

kerugian yang karenanya menimpa buruh dalam menjalankan

pekerjaannya.25

25

Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 193

Sehingga dapat menuntut pembayaran upah seperti

termaksud pada pasal 1602c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang berbunyi “Akan tetapi buruh berhak untuk meminta dan

menerima upah, yang ditetapkan menurut lamanya buruh, bekerja

untuk waktu yang tidak begitu lama, bila ía berhalangan melakukan

pekerjaan karena sakit atau mengalami kecelakaan, kecuali bila

(6)

kebejatannya atau oleh cacat badan yang dengan sengaja diberi

keterangan palsu pada waktu membuat perjanjian kepada majikan”.26

Undang-Undang Kecelakaan Kerja 1947 akan tetap berlaku apabila

ada aturan yang masih diatur didalam Undang-Undang tersebut dan

belum terdapat aturan penggantinya sehingga berlaku azas

Metaprinciple yang mengatakan “Lex Posterior

Generalis, Non Derogat Legi Priori Specialis” yang berarti

Undang-Undang yang terbit kemudian bersifat

generalis tidak mengesampingkan pendahulunya yang

spesialis.27

b. Ganti-rugi karena kecelakaan pelaut

Bagi para pelaut yang mendapat kecelakaan, berlaku peraturan

tersendiri, yaitu Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut 1940), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1940. .28

Menurut Prof. Iman Soepomo, S.H., Schepelingen

-Ongevallen-regeling 1940 masih berlaku secara khusus hingga saat ini, sepanjang tidak diikutsertakan dalam

program jaminan sosial (social secutiry) yang ada saat ini.29

26

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

27

P hi li p us M. H adj o n,A r g u m en ta si Hu ku m”, G aj a h Mad a U ni ve r si t y P r e ss , Yo gya ka rt a, H al . 54

28

Imam Soepomo, Loc.cit.

29

(7)

Majikan wajib memberi ganti-rugi kepada anak-kapal yang

mendapat kecelakaan dalam hubungannya dengan pekerjaannya di

kapal atau untuk keperluan kapal. Kehilangan perlengkapan karena

kecelakaan kapal dipandang sebagai kecelakaan yang menimpa buruh.

Prinsip yang dianut dalam Schepelingen Ongevallen-regeling

1940 ini ialah kecelakaan yang ada hubungannya dengan pekerjaannya

dan adalah tidak seluas prinsip yang dipakai sebagai dasar dalam

Undang-Undang Kecelakaan 1947.

Walaupun tanggungjawab majikan diperluas terhadap tiap

kecelakaan yang terjadi di kapal juga yang tidak ada hubungannya

dengan pekerjaan buruh, namun tetap kurang luas dibandingkan

dengan Undang-Undang Kecelakaan 1947.30

1) Kapal yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang atau untuk usaha perikanan;

Hal ini disebabkan

sedikitnya ruang aturan yang ada dalam Schepelingen Ongevallen-regeling 1940. Seperti masalah kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik pada Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 tidak diatur dalam Undang-Undang kecelakaan 1947.

Kapal yang diwajibkan memberi ganti-rugi adalah :

2) Kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik; 3) Kapal pemadam kebakaran;

4) Kapal clayton dan kapal pembersih lainnya;

5) Perahu penolong dan sampan/sekoci yang merupakan alat pertolongan serta tidak digunakan untuk keperluan lainnya;

6) Kapal keruk yang ada di laut atau dalam perairan sendiri.

30

(8)

Ganti-rugi yang diberikan kepada anak-kapal yang ditimpa

kecelakaan menurut Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 adalah : 1) Pengobatan dan perawatan dengan cuma-cuma, termasuk

pemberian obat dan alat pembalut, selama paling lama 1 tahun sesudah hari kecelakaan;

2) Perumahan dan makanan cuma-cuma, bila mendapat kecelakaan dirawat di luar rumahnya sendiri;

3) Pengangkutan ke tempat perawatan; 4) Penguburan;

5) Jika perjanjian kerja telah berakhir, segera setelah sembuh buruh diberi pengangkutan ke tempat perjanjian kerja itu dibuat. Termasuk biaya makan dan penginapan selama perjalanan;

6) Uang tunjangan kepada;

a) Buruh yang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan; b) Kepada keluarga buruh jika buruh meninggal.

Kehilangan perlengkapan karena kecelakaan kapal hanya

diganti bila kehilangan itu tidak terjadi karena kelalaian besar (grove schuld). Ganti-rugi diberikan untuk kerugian yang benar-benar diderita terhadap barang yang berhubung dengan kedudukan pangkat atau

pekerjaan buruh diperlukan di kapal.31

c. Bantuan/tunjangan sakit

Ketentuan lain yang berlaku adalah Peraturan Menteri

Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3 tahun 1964 dan No. 3 tahun

1967 tentang pemberian bantuan/tunjangan kepada buruh dan

keluarganya dalam hal sakit, hamil, bersalin, atau meninggal dunia,

memberi kesempatan kepada majikan untuk

mempertanggungjawabkan buruhnya beserta keluarganya pada dana

jamina sosial terhadap sakit, hamil, bersalin atau meninggal dunia.32

31Ibid.,

Hal. 193-195

32

(9)

Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3

tahun 1964 merupakan cikal bakal lahirnya asuransi sosial tenaga kerja

yang harus didirikan oleh perusahaan dan Peraturan Menteri

Perburuhan No. 3 tahun 1967 menerangkan bahwa harus ada

pemberian bantuan sosial bagi pekerja/buruh.

Mengenai pengobatan/perawatan sakit terdapat beberapa

ketentuan secara terpencar-pencar dalam berbagai peraturan yang

bukan merupakan jaminan sosial (social security), melainkan merupakan bagian dari upah, yaitu bagian upah yang berupa barang

atau jasa, tepatnya pengobatan dokter.

Misalnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata mewajibkan

majikan jika seorang buruh bertempat tinggal padanya sakit selama

berlangsungnya hubungan kerja tetapi paling lama untuk waktu 6

minggu, menguruskan perawatan dan pengobatannya sepantasnya,

sekedar hal ini tidak diberikan berdasarkan peraturan lain.

Indienstneming van Werklieden (Peraturan tentang Memperkerjakan Buruh) mewajibkan majikan memberi perawatan

yang layak termasuk obat yang diperlukan. Pelanggaran atas

kewajiban ini diancam dengan pidana denda sebanyak-banyaknya

seratus rupiah.

Aanvullende Platersregeling (Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan) menetapkan bahwa jika buruh sakit,

(10)

untuk 3 bulan, wajib memberi perawatan dan pengobatan yang layak.

Perawatan dan pengobatan ini juga diberikan kepada keluarga buruh

(istri, anak yang sah dan disahkan di bawah umur 21 tahun).

Dalam Panglongkeur Soematra Oostkust dan Riouw Panglongregeling ditetapkan bahwa pengusaha wajib memberi pengobatan. Zee-arbeidsovereenkomst (perjanjian kerja laut) yang mengacu pada Buku II Bab 4 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

menetapkan jika seorang buruh yang telah mengadakan perjanjian

kerja untuk sedikit-dikitnya 1 tahun atau selama 1 setengah

tahundengan terus-menerus telah bekerja pada seorang pengusaha,

jatuh sakit sedang ia melakukan pekerjaan di kapal, juga bila hubungan

kerja telah putus, berhak mendapat upah penuh serta perawatan dan

pengobatan yang layak, selama ia tinggal di kapal.

Bila pengusaha mendaratkan buruh yang sakit itu pada suatu

tempat, ia wajib membiayai perawatan dan pengobatan itu sampai

sembuh, tetapi paling lama untuk 52 minggu.33

33

Ibid., Hal. 195-196

Soal persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan janda dan

anak yatim-piatu masih sepenuhnya terserah paka kebijaksanaan

majikan atau organisasi buruh untuk memperjuangkannya terhadap

majikan. Dalam praktik sudah ada berbagai perusahaan yang

(11)

Barangkali dapat dipandang sebagai petunjuk permulaan bagi

gagasan pemeliharaan janda dan anak yatim-piatu, ketentuan dalam

Aanvullende Plantersregeling yang menetapkan bahwa jika buruh meninggal dunia, kepada keluarga yang ditinggalkan dibayarkan upah

bulan yang berjalan dan bulan berikutnya.

Demikian pula dengan pensiun yang diberikan kepada pegawai

negeri dalam Aanvullende Plantersregeling meliputi: 1) Pengobatan dan perawatan,

2) Tunjangan kepada yang bersangkutan,

3) Tunjangan kepada jandanya, bila pegawai negeri itu meninggal

dunia.

Menurut Prof. Imam Soepomo ,S.H. jaminan sosial (social security) ini mengingat pembiayaannya dibagi dalam:

1) Bantuan sosial (social assistance) dan 2) Pertanggungan sosial (social assurance).

Pada bantuan sosial semua biaya dipikul oleh majikan, seperti

pada ganti-rugi karena kecelakaan. Jika disini diadakan

pertanggungan, maka pertanggungan itu diselenggarakan antara para

majikan bersama, seperti misalnya dimaksud pada pasal 36 ayat (1)

Undang-Undang Kecelakaan 1947.

Pada pertanggungan sosial, baik majikan maupun buruh

(12)

misalnya jaminan sosial sakit, jaminan sosial hari tua, janda dan anak

yatim piatu serta pengangguran.34

2. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 Tentang Asuransi Sosial

Tenaga Kerja (ASTEK)

Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1977

tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut Astek) adalah

sistem perlindungan yang dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial

secara langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan

tenaga kerja.

Berdasarkan peraturan ini maka perusahaan diwajibkan untuk

menyelenggarakan program Astek, yaitu dengan cara mempertanggungkan

buruhnya dalam asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian,

demikian pula dalam program tabungan hari tua pada badan

penyelenggaraaan yaitu Perusahaan umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja

(Perum Astek) yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun

1977.

Perusahaan dalam Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1977 adalah

semua perusahaan baik milik swasta, termasuk perusahaan yang didirikan

menurut Peraturan Penanaman Modal Asing (PMA) serta Perusahaan

Umum (PERUM), Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perusahaan

34

(13)

Milik Negara yang didirikan dengan atau berdasarkan undang-undang

tersendiri.

Namun demikian perusahaan yang wajib menyelenggarakan Astek

masih dibatasi pada jumlah buruh yang dipekerjakan atau jumlah upah

yang dibayarkan kepada buruhnya setiap bulannya. Menurut Keputusan

Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. 116-MEN/1977

tentang peraturan tata cara persyaratan pendaftaran pembayaran iuran dan

pembayaran jaminan asuransi sosial tenaga kerja, ditetapkan bahwa

perusahaan yang memperkerjakan sebanyak 100 orang atau lebih atau

membayar upah paling sedikit lima juta rupiah sebulan adalah perusahaan

yang diwajibkan ikut serta dalam program Astek. Dengan demikian semua

perusahaan yang terletak diluar ketentuan tersebut, untuk sementara belum

terkena wajib asuransi, sehingga jaminan-jaminan itu dapat dilaksanakan

menurut kebijaksanaan perusahaan.

Perkembangan lebih lanjut mengenai penentuan perusahaan yang

wajib menyelenggarakan program Astek dapat dilihat dalam Keputusan

Menteri Tenaga Kerja No. KEP-278/MEN/83 adalah peraturan itu

mengatur perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 25

orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,- (satu

juta rupiah) sebulan. Hal ini terlihat bahwa pemerintah secara bertahap

sudah mulai mengembagkan program jaminan sosial pada pekerja/buruh.

Prinsip ini juga sama dengan kecelakaan kerja yang dianut

(14)

Pemerintah No. 33 tahun 1977 sebagai peraturan pelaksanaan

undang-undang tersebut dengan menetapkan bahwa kecelakaan kerja adalah

kecelakaan yang menimpa tenaga kerja berhubungan dengan hubungan

kerja dan penyakit yang timbul karena hubungan kerja.35

3. Undang-Undang No.3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja

Pada tahun 1992, pemerintah dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992

tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut JAMSOSTEK),

program jaminan sosial tenaga kerja meliputi empat program, yaitu

jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan

jaminan pemeliharaan kesehatan. Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana

undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)

No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek yang

mewajibkan setiap pengusaha atau perusahaan yang memiliki karyawan

minimal 10 orang atau mengeluarkan biaya untuk gaji buruh/pekerjanya

minimal 1 juta/bulan untuk mengikut sertakan pekerjanya dalam program

jamsostek (pasal 2 ayat 3).

Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menugaskan PT Jamsostek

sebagai pelaksana program Jamsostek dan hal ini dipertegas melalui

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 yang mengatur ditetapkannya

35

(15)

PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jamsostek. Program

Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan

minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian

berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti

sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang akibat resiko sosial.36

a. Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

Jamsostek sebagai implementasi dari perlindungan hak buruh dan

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan suatu

rangkaian yang bertujuan untuk menciptakan hubungan perburuhan yang

berlandaskan pancasila demi kelangsungan usaha dan demi kesejahteraan

buruh/pekerja.

Bentuk perlindungan hak buruh tersebut dapat kita lihat dari

program-program jamsostek yang harus dilaksanakan, yaitu:

Kecelakaan kerja temasuk penyakit akibat kerja yang

merupakan resiko yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam

melakukan pekerjaanya. Kecelakaan kerja menurut M. Sulaksono

adalah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak dikehendaki

yang mengacaukan suatu aktivitas yang telah diatur, kecelakaan ini

terjadi tanpa disangka-sangka dalam sekejap mata dan setiap kejadian

tersebut terdapat empat faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai,

yakni lingkungan, bahaya, peralatan dan manusia.37

36

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal.178-179

37

Buchari, Penanggulangan kecelakaan, Medan: Universitas Sumatera Utara (USU) Repository, 2007. Hal. 1

(16)

sebagai penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana

diatur dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit

yang timbul akibat hubungan kerja yaitu :

1) Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis

yang silikosis-nya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.

2) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras.

3) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissisnosis) 4) Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan

zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan. 5) Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai

akibat penghirupan debu organik.

6) Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun.

7) Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.

8) Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun

9) Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun

10)Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.

11)Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.

12)Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun

13)Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun

14)Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun

15)Penyakit yang disebabkan oleh carbon disulfida atau persenyawaannya yang beracun

16)Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aroma yang beracun. 17)Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang

beracun.

18)Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari

benzene atau homolognya yang beracun.

(17)

20)Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.

21)Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti carbon monoksida, hydrogensianida, hydrogen sulfide, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.

22)Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.

23)Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi). 24)Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang

bertekanan lebih.

25)Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetik dan radiasi yang mengion.

26)Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau biologic.

27)Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.

28)Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.

29)Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus.

30)Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau radiasi atau kelembaban udara tinggi.

31)Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.38

b. Program Jaminan Kematian

Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan

kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan yang akan sangat

berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang

ditinggalkan, oleh karena itu diperlukan jaminan kematian dalam

upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya

pemakaman maupun santunan berupa uang. Ketentuan pasal 12 ayat

(1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja member pengertian bahwa dalam program jaminan kematian

38

(18)

yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah istri atau

suami pekerja, keturunan sedarah dari pekerja menurut garis lurus

kebawah, dan garis lurus keatas, dihitung sampai derajat

keduatermasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus keatas dan

kebawah tidak ada maka diambil kesamping dan mertua. Bagi pekerja

yang tidak memiliki keluarga maka hak atas jaminan kematian

diberikan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari pekerja yang

bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Urutan

keluarga yang diprioritaskan dalam pembayaran santunan kematian

menurut pasal 13 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan

Sosial Tenaga Kerja adalah :

1) janda atau duda; 2) anak;

3) orang tua; 4) cucu;

5) kakek atau nenek; 6) saudara kandung; 7) mertua.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial

Tenaga Kerja member batasan dan pengecualian bagi pekerja/buruh

yang berhak menerima manfaat program ini. Pengecualian tersebut

disebutkan dalam pasal 12 ayat (2) undang-undang ini, bidang-bidang

pekerjaan yang tidak berhak menerima manfaat jaminan kematian

manurut pasal ini antara lain :

1) murid atau pekerja yang sedang melakukan magang.

(19)

3) narapidana yang melakukan pekerjaan.

c. Program Jaminan Hari Tua

Hari tua adalah umur pada saat dimana produktivitas buruh

atau pekerja telah dianggap menurun, sehingga perlu diganti dengan

buruh/pekerja yang lebih muda termasuk cacat tetap dan total (total and permanent disability) yang dapat dianggap sebagai hari tua dini.39

1) Mencapai usia 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total

tetap.

Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena buruh/pekerja

tidak mampu lagi bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat

menimbulkan kesusahan bagi pekerja dan mempengaruhi ketenangan

bekerja sewaktu masih bekerja, terutama bagi buruh yang memiliki

penghasilan rendah. Jaminan hari tua merupakan program

perlindungan bagi buruh/pekerja dan keluarganya yang

manfaatnyaakan dibayarkan kepada peserta berdasarkan akumulasi

dengan memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut :

2) Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setelah menjadi

peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu 6 bulan.

2) Pergi keluar negeri dan tidak kembali, atau menjadi pegawai

negeri.40

d. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

39

Adrian Sutedi, op.cit., Hal. 190

40

(20)

Kesehatan kerja pertama kali tertuang dalam Undang-Undang

No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai

Ketenagakerjaan serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang

Keselamatan Kerja yang menyatakan bahwa kesehatan kerja

merupakan bagian dari keselamatan kerja. Selanjutnya

Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan mengatur pula

mengenai kesehatan kerja pada pasal 108 ayat (2) yang secara jelas

menyebutkan bahwa untuk melindungi kesehatan pekerja/buruh guna

mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya

kesehatan kerja. Kesehatan kerja atau disebut juga Hyperkes (Hygiene

Perusahaan dan Kesehatan) berkaitan dengan upaya-upaya :

1) Pemeriksaan tenaga kerja, baik pada awal bekerja maupun periodik

selama bekerja;

2) Tambahan gizi bagi tenaga kerja diberikan makan siang atau dalam

bentuk lainnya;

3) Kebersihan lingkungan kerja, termasuk pencegahan dan

pengelolahan limbah;

4) Pencegahan dan penaggulangan sumber-sumber yang

membahayakan kesehatan.41

4. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS)

41

(21)

Pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor

40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang

itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal

34 ayat 2, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan

sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah

dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat

perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja

sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi

maupun produktivitas kerja.

Kiprah Perusahaan PT Jamsostek (Persero) yang mengedepankan

kepentingan dan hak normatif Tenaga Kerja di Indonesia dengan

memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program

Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan

Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh

tenaga kerja dan keluarganya terus berlanjutnya hingga berlakunya UU No

24 Tahun 2011.

Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang,

tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum

Publik. PT Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS (Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk

menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi

(22)

Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS

Ketenagakerjaan pun terus meningkatkan kompetensi di seluruh lini

pelayanan sambil mengembangkan berbagai program dan manfaat yang

langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya.42

B. Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Menurut Undang-Undang No. 24

Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal

99 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa :

1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan

sosial tenaga kerja.

2. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 10,

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh yang sekaligus

merupakan kewajiban dari pegusaha. Pada hakikatnya program jaminan sosial

dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan

penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang

hilang.

1. Program Jaminan Sosial Pekerja

Dalam merumuskan konsep jaminan sosial, tim Sistem Jaminan

Sosial Nasional yang dibentuk dengan Kepres No. 20 tahun 2002

menyepakati suatu sistem jaminan sosial harus dibangun dengan tiga

42

(23)

pilar.43

a. Pilar Bantuan Sosial

Pilar jaminan sosial menjelaskan sumber dana dan mekanisme

yang harus dijalankan dalam sebuah sistem jaminan sosial. Pilar jaminan

sosial digunakan di berbagai negara karena sifatnya yang universal.

Prinsip yang digunakan sama di seluruh dunia. Tetapi, rincian mekanisme

proses dan besaran manfaat untuk memenuhi kebutuhan dasar yang

berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Pilar jaminan sosial

yang universal adalah :

Bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki

penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar

hidup yang layak. Dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang

Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut SJSN), bantuan

sosial diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah (Pusat) agar

mereka yang miskin dan tidak mampu dapat tetap menjadi peserta

JKN.

b. Pilar Asuransi Sosial

Merupakan suatu sistem pengumpulan dana (risk polling) dengan mekanisme transfer resiko yang wajib diikuti oleh semua penduduk.

Penduduk berpenghasilan (di atas garis kemiskinan) wajib membayar

iuran yang proporsional terhadap penghasilannya/upahnya.

c. Pilar Tambahan/ Pilar Suplemen

43

(24)

Pilar yang disiapkan oleh mereka yang menginginkan (demand) jaminan/manfaat yang lebih memuaskan dari paket JKN. Untuk

jaminan hari tua dan pensiun, pilar ketiga dapat sangat besar

jumlahnya, jauh melebihi pilar I dan pilar II. Pilar ini dapat diisi

dengan membeli asuransi komersil (baik asuransi kesehatan, pensiun,

atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, membeli saham, membeli surat

berharga, menyimpan emas murni, atau program-program pribadi

lainnya. Pilar ketiga dapat dilakukan perorangan, lembaga usaha

(pemberi kerja), atau pemda yang kaya sebagai tambahan

kesejahteraan.44

1) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup

minimal bagi pekerja beserta keluarganya.

Program jaminan sosial pekerja mempunyai beberapa aspek antara

lain :

2) Merupakan penghargaan kepada pekerja yang telah menyumbangkan

tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja.

Dengan demikian, jaminan sosial pekerja mendidik kemandirian

pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain

jika dalam hubungan kerja terjadi resiko akibat hubungan kerja.45

44

Hasbullah Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional, Rajawali Press, Jakarta, 2014, Hal. 99-101

45

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2011, Hal. 15-153

Karena

telah didirikannya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk

(25)

2. Badan Penyelenggara Sistem Jaminan Sosial

Di dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2011 Pasal 1 ayat (1)

dsebutkan bahwa “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya

disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program jaminan sosial”.46

a. Kemanusiaan, adalah asas yang terkait dengan penghargaan

terhadap martabat manusia;

Dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional BPJS

mempunyai 3 asas, yaitu :

b. Manfaat, adalah asas yang bersifat operasional

menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif;

c. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah asas yang

bersifat idiil.47

Tujuan dari BPJS adalah mewujudkan terselenggaranya pemberian

jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi Peserta

dan/atau anggota keluarganya.48

Dalam pasal 4 UU BPJS disebutkan BPJS menyelenggarakan

sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip 49

a. Prinsip Kegotongroyongan

:

46

Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Pasal 1 ayat (1)

47

Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Pasal 2

48

Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),Pasal 3

49

(26)

Adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban

biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap

peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah atau

penghasilannya. 50Gotong royong dalam JKN harus terjadi antara

peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu, yang

beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi, dan yang sehat

membantu yang sakit secara nasional. Ketiga unsur gotong royong

tersebut tidak terjadi pada mekanisme asuransi kesehatan komersial

yang berbasis mekanisme pasar. Melalui prinsip kegotongroyongan ini

kita dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

dalam Pancasila. Hanya dengan prinsip ini, cakupan universal dapat

dicapai. Prinsip ini diwujudkan dengan kewajiban membayar iuran

persentase upah atau yang relatif proporsional terhadap pendapatan

penduduk/peserta.51

b. Prinsip Nirlaba

Adalah pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil

pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi

seluruh peserta.52

50

Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),Pasal 4

51

Hasbullah Thabrany, Op.cit., Hal. 153-154

52

Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),Pasal 4

Prinsip ini adalah konsekuensi transaksi wajib.

Dalam transaksi sukarela (mekanisme pasar), keuntungan bagi

(27)

menjual produk bermutu dan harga bersaing. Hasil penjualan adalah

milik perusahaan atau penjual.53

c. Prinsip Keterbukaan

Adalah prisip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan

jelas bagi setiap peserta.

d. Prinsip Kehati-hatian

Adalah prinsip pengelolaan dan secara cermat, teliti, aman, dan tertib.

e. Prinsip Akuntabilitas

Adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang

akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

f. Prinsip Portabilitas

Adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun

peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara

kesatuan Republik Indonesia.54

a. BPJS Kesehatan; dan

Dalam UU BPJS Pasal 5 ayat (2), BPJS terbagi dalam 2 bagian

yaitu :

b. BPJS ketenagakerjaan.

53

Hasbullah Thabrany, Op.cit., Hal. 154

54

(28)

Model BPJS adalah penyelenggara jaminan sosial yang

diselenggarakan oleh BPJS dengan tata laksana sesuai ketentuan

Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang-Undang-Undang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial. Tatanan ini berlaku bagi BPJS Kesehatan

dan BPJS Ketenagakerjaan.Penyelenggaraan SJSN dilaksanakan oleh dua

organ utama yaitu BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya

disebut DJSN). DJSN dan BPJS adalah organ SJSN (Sistem Jaminan

Sosial Nasional) yang dibentuk oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2004

tentang SJSN.Secara struktural DJSN dan BPJS adalah subordinasi

penguasa publikyaitu Presiden. DJSN dan BPJS bertanggungjawab

langsung kepada Presiden. DJSN berfungsi merumuskan kebijakan umum

dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial.

BPJS menjadi subyek pengawasan eksternal oleh Dewan Jaminan

Sosial Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Hubungan kelembagaan antara BPJS dengan DJSN adalah fungsional

melalui pelaksanaan tugas dan wewenang DJSN dalam penyelenggaraan

program jaminan sosial nasional. Sedangkan komunikasi diantara kedua

lembaga ini terlaksana melalui empat media, yaitu keputusan DJSN,

usulan DJSN, hasil monitoring dan evaluasi DJSN, serta tembusan laporan

BPJS kepada Presiden mengenai pengelolaan program dan keuangan.

BPJS melaksanakan keputusan DJSN yang memuat rumusan

kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan program-program

(29)

perumusan usulan investasi dana jaminan sosial dan usulan anggaran bagi

Penerima Bantuan Iuran. DJSN menyampaikan usulan tersebut kepada

Presiden.55

Pengawasan eksternal dilaksanakan oleh badan-badan di luar

BPJS, yaitu DJSN, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK).

BPJS bertanggungjawab kepada Presiden. Organ BPJS terdiri dari

Dewan Pengawas dan Direksi. Anggota Direksi BPJS diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden. Presiden menetapkan Direktur Utama BPJS

diawasi oleh pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan

internal dilaksanakan oleh organ BPJS, yaitu Dewan Pengawas dan sebuah

unit kerja di bawah Direksi yang bernama Satuan Pengawas Internal.

56

DJSN bertugas sebagai pengawas eksternal BPJS dengan

melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan

sosial dan tingkat kesehatan keuangan BPJS. DJSN berkomunikasi dengan

BPJS sepanjang tahun fiskal dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi

karena monitoring dan evaluasi adalah aktivitas yang dilakukan secara

terus-menerus dan berkelanjutan.57

55

Asih Eka Putri, Paham SJSN (Sisitem Jaminan Sosial Nasional), Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, 2014, Hal. 37-38

56Ibid

., Hal. 38

57

Referensi

Dokumen terkait

Efek berkelanjutan (multilier effect) dari pembentukan karakter positif anak akan dapat terlihat, seperti yang digambarkan oleh Jan Wallander, “Kemampuan sosial dan emosi pada

Besarnya pengeluaran untuk listrik menunjukan bahwa sebaiknya pemerintah tidak menaikan tarif listrik, karena listrik merupakan pengeluaran non pangan terbesar yang

Peningkatan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Materi Tajwid dengan Metode Card Sort pada Siswa Kelas XII Mekatronika 2 SMK Negeri 3 Salatiga Tahun

Sanksi pidana atas pelanggaran Hak Cipta di Indonesia secara umum diancam dengan hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun

Menurut saya produk makanan dan minuman yang ditawarkan foodcourt Kampung Kuliner Binjai mengalami perkembangan dari... Variabel

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) hubungan prestasi praktik kerja industri dengan minat berwirausaha; (2) hubungan hasil belajar praktik kelistrikan otomotif

Peluang emprik merupakan rasio dari hasil yang dimaksud dengan semua hasil yang mungkin pada suatu eksprimen lebih dari satu.Dalam suatu percobaan dimana setiap hasil memunyai

(1) how lexical density progresses among and within the selected English textbooks, (2) how lexical variation progresses among and within the selected English