11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA.
MAKNA HIDUP MENURUT LOGOTERAPI FRANKL DAN GAGAL
GINJAL KRONIK.
2.1. MAKNA HIDUP MENURUT LOGOTERAPI FRANKL.
Konsep tentang makna hidup yang ada pada sekarang ini, tidak serta merta
ada dalam kajian psikologi kontemporer yang bersanding dengan teori terdahulu
seperti psikologi dari Sigmund Freud, namun merupakan hasil perenungan yang
sangat dalam dari seorang Frankl, melalui penderitaannya yang dialaminya
bersama para penghuni kamp konsentrasi lainnya.
Munculnya konsep tentang makna hidup, tidak terlepas dari pendekatan
psikologi eksistensial. Pendekatan eksistensial dapat dibagi dalam dua bagian
yaitu pendekatan psikologi eksistensial dan pendekatan psikoterapi eksistensial.
Pertama, pendekatan eksistensial dalam psikologi berkembang di Eropa
menjadi suatu gerakan tersendiri pada tahun 1940-an hampir bersamaan dengan
perkembangan eksistensialisme. Psikologi eksistensial dengan cepat bertumbuh
dan berpengaruh. Setelah matang dan dikenal di Amerika, psikologi eksistensial
selanjutnya dengan cepat menjadi gerakan international. Buytendijk menjabarkan
psikologi yang dilandaskan pada fakta primordial dari keberadaan manusia dan
yang menyajikan analisa atas struktur-struktur dunia pribadi yang bermakna yang
menjadi sasaran dari segenap aktivitas.1
1
12
Istilah analisa eksistensial pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf
Jerman yang bernama Martin Heidegger (1889-1979). Dalam bukunya yang
sangat terkenal, Time and being (1960), dia menuliskan bahwa metode analisa
eksistensial sebagaimana yang dipraktikkan dalam bukunya sangat cocok untuk
mengungkapkan eksistensi manusia sebagaimana manusia itu bereksistensi.
Pendekatan ini sebetulnya bersifat filsafati dan akar-akar metodologisnya berasal
dari metode fenomenalogi yang dikembangkan oleh Husserl (1859-1938).2
Eksistensialisme merupakan suatu bidang filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan menggunakan
metode fenomenalogis. Para eksistensialis seperti Heidegger dan Mereau-Ponty
menggunakan reduksi fenomenalogis dan eidetik untuk mengungkap eksistensi
dan pengalaman manusia, tetapi mereka menolak reduksi transendental, yakni
bahwa kesadaran pada dasarnya merupakan hasil penciptaan (pemaknaan)
manusia dan ia hidup dalam dunia yang telah diciptakan atau dimaknakan
(Lebenswelt).3 Salah satu hasil analisa atas eksistensial manusia oleh para
eksistensialis yaitu eksistensi adalah pemberian makna, hal ini sesuai dengan
hakikat kesadaran manusia sebagai manusia itu sendiri yakni insan intensionalitas
yang selalu mengarah ke luar dirinya dan melampaui dirinya (transendensi).
Manusia tidak bersifat imanen (terkurung dalam dirinya sendiri),
melainkan transenden (keluar atau melampaui dirinya sendiri). Melalui
transendensi, dunia di luar dirinya lalu menjadi bagian dari dirinya. Manusia tidak
pernah puas dengan lingkungannya yang sudah ada yang diberikan alam pada
dirinya. Realitas yang semula objektif, lalu diberi makna subjektif, sesuai dengan
2 Zainal Abidin, Analisis Eksistensial Untuk Psikologi & Psikiatri, (Bandung: Refika Aditama, 2002), 2.
13
kebutuhannya. Realitas yang semula liar dan tidak terkendali, menjadi dunia yang
dapat dijinakkan dan dikendalikan. Realitas yang semula menyakitkan dan tidak
menyenangkan diupayakan untuk menjadi dunia yang menyehatkan dan
menyenangkan.
Kedua, psikoterapi dalam eksistensialisme bukan merupakan satu
kesatuan yang utuh dari prosedur-prosedur atau teknik-teknik untuk menolong
orang menemukan satu kehidupan yang lebih baik. Beberapa terapis lebih suka
memaknai pengubahan teknik-analisa dari assosiasi bebas, sedangkan beberapa
orang lainnya menggunakan beberapa teknik yang berpusat pada klien (Client
Center) atau pendekatan tatap muka (face to face approach). Psikoterapi
eksistensial menolak determinasi yang tidak disadari dari psikoanalisa klasik.
Salah satu pendekatan psikoterapi eksistensial yang banyak dibahas dan
paling dikenal di Amerika Serikat adalah Logoterapi. Logoterapi ditemukan dan
dikembangkan oleh Frankl (1905-1997). Kata “logos” dalam bahasa Junani
diartikan sebagai “makna” sedangkan “terapi” adalah penyembuhan atau
pengobatan.4 Logoterapi selalu mengarahkan hidup manusia ke masa depan.
Logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi yang
mengakui adanya dimensi spiritual pada manusia disamping dimensi ragawi dan
kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat
untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia
guna meraih taraf kehidupan yang bermakna yang didambakannya.
Berdasarkan uraian di atas maka bab ini akan memaparkan secara lengkap
teori Frankl dalam menemukan makna hidup. Penguraian bab ini akan di mulai
4
14
dengan Biografi Frankl, Konsep Dasar Logoterapi (Kebebasan Untuk
Berkehendak, Kehendak Untuk Bermakna, dan Makna Hidup). Makna
Penderitaan, Makna Cinta, Makna Pekerjaan, Logoterapi Sebagai Filsafat
Manusia, Teori Kepribadian Manusia Menurut Pandangan Logoterapi,
Penghayatan Hidup Tanpa Makna, Dan Penghayatan Hidup Bermakna,
selanjutnya paparan tentang Gagal Ginjal Kronik Yang Hidup Lebih Lama Dari
Prognosis Medis.
2.1.1. BIOGRAFI FRANKL.
Frankl lahir tanggal 26 Maret 1905, di Wina ibukota Austria yang sejak
dahulu terkenal sebagai induk budaya Eropa, tempat kelahiran tokoh-tokoh seni
dan ilmu pengetahuan termasyur. Nama lengkapnya adalah Viktor Emil Frankl.
Ayahnya bernama Gabriel Frankl dan ibunya bernama Elsa Frankl. Ayahnya
adalah seorang Yahudi yang saleh. Frankl adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Ia
dibesarkan dalam keluarga yang cukup religius dan berpendidikan. Frankl
menikah dengan Tilly Grosser pada bulan September 1942.
Ayah Frankl pernah menjadi mahasiswa kedokteran, tetapi terpaksa harus
menghentikan kuliahnya karena kekurangan biaya. Setelah berhenti kuliah, ayah
Frankl kemudian bekerja dibagian sekretariat parlemen kerajaan Austria sebagai
penulis steno selama sepuluh tahun dan akhirnya menjadi pegawai tetap di
Departemen Sosial sampai pensiun.
Sebagai pejabat Departemen Sosial, ayah Frankl banyak menaruh
perhatian pada masalah kesejahteraan pemuda. Betapa gembirannya hatinya,
15
yang kandas karena kekurangan biaya. Besar harapannya cita-cita untuk menjadi
dokter terpenuhi melalui anaknya. Setelah lulus menjadi dokter, Frankl
mengambil keahlian dalam bidang Neuro-Psikiatri (Ahli Penyakit Saraf dan Jiwa)
dan berhasil meraih gelar dokter dalam ilmu kedokteran (M.D), dan kemudian
doktor dalam ilmu filsafat (Ph.D) dari almamaternya universitas Wina.
Minat Frankl terhadap masalah kejiwaan terlihat sejak dia muda. Dia
menceritakan sejak umur 4 tahun sering bertanya-tanya apakah arti kehidupan
kalau ia sudah mati. Pikiran ini terus menerus muncul seakan-akan memaksanya
untuk mencari jawaban tuntas. Waktu berusia 14 tahun sudah senang mempelajari
filsafat alam antara lain, karya Wilhelm Oswald dan Gustav Theodore Fechner.
Ketika seorang guru di kelas mengatakan bahwa kehidupan manusia sama sekali
tidak ada artinya karena sesudah mati manusia hanya akan terurai menjadi
unsur-unsur kimia dalam tanah. Frankl langsung mengajukan protes: kalau begitu apa
artinya kebaikan dan keburukan yang telah dilakukan manusia? Apakah tidak ada
artinya? waktu itu Frankl pernah menyusun sebuah makalah sekolah yang
mengungkapkan keyakinan adanya asas keseimbangan universal dalam
mikrokosmos dan makrokosmos5.
Pada usia 15 tahun Frankl ikut sekolah malam untuk orang-orang dewasa
dan mengambil pelajaran “Psikologi Terapan” dan “Psikologi Experiment”
kemudian mengikuti kursus psikoanalisa yang diberikan oleh Paul Schilder dan
Eduard Hitschmann yang keduanya adalah pengikut setia Sigmund Freud. Tahun
1922 saat Frankl berusia 17 tahun, Frankl diminta oleh pengelola sekolah malam
untuk memberikan pelajaran mengenai arti kehidupan.
5
16
Dalam pelajaran itu selalu menekankan bahwa kehidupan tidak memberi
jawaban atas pertanyaan kita tentang arti hidup, tetapi sebaliknya menyerahkan
kepada kita untuk menemukan jawaban nya dengan jalan menetapkan sendiri apa
yang bermakna bagi kita.
Keikutsertaan Frankl dengan kursus-kursus ini menimbulkan minat besar
pada dirinya untuk belajar psikoanalisa, sehingga dia sering menulis surat kepada
Sigmund Freud, pelopor dan pendiri psikoanalisa. Psikoanalisa adalah aliran
psikologi yang banyak sekali mempelajari alam tidak sadar (the unconcius mind),
dan dampaknya dalam kehidupan manusia.
Sigmund Freud membalas surat-surat itu sehingga selama sekitar dua
tahun berlangsung korespondensi pribadi dengan tokoh termasyur itu. Hasil
korespondensi itu, untuk pertama kalinya Frankl menulis mengenai “ekspresi
wajah” dimuat dalam International Journal of Psychology atas permintaan
Sigmund Freud sendiri.
Hubungan dengan Freud terhenti ketika Frankl tidak menyetujui teori
asas-asas psikoanalisa yang dianggapnya deterministik dan beriorentasi pada
unsur psikoseksual. Ia kemudian bergabung dengan Alfred Adler, seorang murid
Sigmund Freud yang menentang pandangan gurunya dan mengembangkan aliran
sendiri yang dinamakan psikologi individual.
Dalam kelompok ini sekali pun Frankl adalah anggota termuda, tetapi
pemikiran-pemikirannya yang kritis dan mendalam sangat dihargai
anggota-anggota lainnya. Tahun 1925 karyanya “Psychotherapie und Weltanschauung”
17
kelompok Adler. Setahun kemudian Frankl diminta membawakan makalah pada
kongres Internasional Psikologi Individual di Dusseldorft, Jerman.
Hubungan dengan Adler mulai renggang setelah Frankl dekat dengan
Rudolf Adler dan Oswald Schwartz, dua orang anggota assosiasi psikologi
individual yang kritis dan sering mengkritik beberapa pandangan Adler.
Lebih-lebih setelah arah minat Frankl mulai cenderung kepada fenomologi dan
eksistensialisme dan menerbitkan majalah sendiri “Man in Daily Life.”
Akhirnya Frankl dipecat dari assosiasi karena dianggap tidak loyal dan
pandangannya dinilai menyimpang dari kerangka pemikiran psikologi individual
yang telah ditegakkan oleh Adler. Peristiwa pemecatan Frankl ini terjadi hampir
bersamaan dengan dipecatnya Alfred Adler oleh Sigmund Freud dari kelompok
psikoanalisa.
Tahun 1929, sebelum Perang Dunia ke II, Frankl telah dikenal sebagai
dokter muda pendiri “Pusat Bimbingan Remaja” di kota Wina. Dalam lembaga ini
para dokter dan konselor memberi bantuan bimbingan dan pengarahan kepada
para remaja yang mengalami bermacam-macam kesulitan pribadi. Ternyata pusat
bimbingan remaja ini dinilai cukup berhasil pada waktu itu, sehingga di kota-kota
lain berdiri lembaga-lembaga serupa yang pola dan tata kerjanya mengadopsi
pusat bimbingan remaja yang dikelola Frankl. Dia pun dianggap telah menguasai
psikoterapi, sehingga pihak universitas mengizinkan Frankl untuk melakukan
psikoterapi sekali pun belum menyelesaikan pendidikan spesialisasinya.
Dari pengalaman-pengalaman dengan pasien ini Frankl mengamati adanya
perubahan sumber sindrom yaitu dari “Repressed Sex” dan “Sexually Frustrated”
18
and Emptiness” yang semua nya memerlukan paradigma dan pendekatan baru.6
Mulai tahun 1930-an Frankl aktif mengungkapkan pandangan-pandangannya
sendiri dan mensosialisasikan konsep-konsep baru seperti “Existential Vacum”
“Self Transcendence” dan ”Logotherapie”.7 Tahun 1937 setelah menyelesaikan
pendidikan spesialisnya, Frankl membuka praktik pribadi sebagai neuro-psikiater
dan mengamalkan pendekatan logoterapi.
Beberapa bulan kemudian Hitler dengan pasukan Nazinya menguasai
Austria dan menduduki kota Wina dan mulai melakukan berbagai pembatasan dan
teror kepada warga Yahudi. Menyadari situasi makin rawan dari ancaman
dimasukkan ke kamp konsentrasi Frankl mempercepat penyelesaian bukunya
tentang makna hidup dan tinjauan baru atas berbagai gangguan dan penyakit jiwa.
Naskah ini semula akan dikirimkan ke penerbit, tetapi tidak memungkinkan
karena situasi negara mulai tidak aman sehubungan dengan ancaman Perang
Dunia ke II.
Pada saat itu Frankl dan isterinya sebenarnya telah memiliki surat izin
berimigrasi ke Amerika Serikat, tetapi ia masih mempertimbangkan karena tidak
sampai hati meninggalkan orang tua dan sanak saudaranya yang dicintai serta
pasien yang dirawatnya. Kesempatan itu akhirnya tidak digunakan sama sekali
dan diberikan kepada saudara perempuannya yang segera meninggalkan Austria
berimigrasi ke Australia sebelum tentara Nazi menduduki kota Wina.
Sebuah peristiwa sederhana yang memperkuat niat Frankl membatalkan
pengungsiannya ke luar negeri. Suatu waktu sepulang dari katedral Frankl
mengunjungi ayahnya yang usinya sudah 80 tahun. Di rumah orang tuanya Frankl
6
H.D. Bastaman, LOGOTERAPI; Psikologi untuk Menemukan makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), 7
19
melihat sebongkah batu yang belum lama dipungut ayahnya dari sebuah sinagoge
(rumah ibadah orang Yahudi) yang habis terbakar dan tinggal puing-puing dengan
asap yang masih mengepul di sana-sini.
Ketika ayah Frankl berhenti sebentar mengamati dengan pilu, di rumah
ibadah yang hancur itu tiba-tiba dia melihat diantara puing-puing yang hancur
berserakan itu ada sebongkah pencahan batu yang semula berasal dari sebuah
lempengan batu besar bertuliskan sepuluh perintah Tuhan (The Ten
Commandement). Di atas pecahan batu itu tersisa secara utuh tulisan salah satu
perintah Tuhan yang bunyinya: “Muliakan ayah-ibumu dan tinggallah di tanah
air”.
Peristiwa ini menyebabkan Frankl tanpa ragu-ragu memutuskan untuk
tetap tinggal di kota Wina serta isterinya dan orang tua mereka untuk kemudian
bersama-sama mengalami ancaman tentara Nazi yang makin brutal. Waktu
Austria benar-benar dikuasai Jerman, mula-mula Frankl ditunjuk oleh pihak Nazi
mengepalai bagian Saraf di Rumah Sakit S. Rothschild, sebuah rumah sakit
khusus untuk warga Yahudi, sementara warga Yahudi lainnya digiring dan
dikirim ke kamp konsentrasi maut: Dachau, Maidanek, Treblinka, dan Auschwitz.
Pada usia 37 tahun, Frankl menjadi tahanan Nazi selama 3 tahun. Masuk
dalam dunia pengalaman yang mengerikan karena kekejaman, penganiayaan,
kelaparan, dan kemelaratan manusia. Frankl bersama 1500 orang bersama-sama
naik kereta dari kota kelahirannya bertolak ke arah Timur Laut.8 Setiap gerbong
berjumlah 80 orang. Tidak seorang pun dari antara mereka yang mengetahui
kemana mereka akan pergi.
8
20
Selama beberapa hari kereta api meluncur melintasi kota-kota dan wilayah
pedesaan yang terlindung dari serangan musuh. Pagi-pagi benar akhirnya kereta
itu bergerak lambat dan melangsir pada rel. Penumpang-penumpang melihat
dengan cemas melalui jendela-jendela, untuk mengetahui mereka sedang berada
dimana. Kemudian nama stasiun itu kelihatan kemudian beberapa orang berteriak:
“Auschwitz”. Sedikit demi sedikit ketika fajar menyingsing, kelihatan kawat
berduri, menara-menara pengawas kamp maut Nazi yang sangat terkenal dalam
bayangannya Frankl melihat sederetan mayat-mayat yang masih bergantungan.
Pada tahun itu (1942) Frankl masuk ke dalam dunia pembunuhan yang
teratur dan efisien yang menghabiskan nyawa orang Yahudi sebanyak 6 juta
orang. Auschwitz salah satu kamp konsentrasi paling terkenal dan tercatat dalam
sejarah dunia tepatnya sejarah tragedi umat manusia, pada masa Perang Dunia II.
Di tempat itu telah terjadi pelecehan, penyiksaan, pembantaian, dan
permusuhan. Banyak sekali manusia yang tidak berdaya (warga Yahudi) oleh
sekelompok manusia yang sedang berkuasa (tentara Nazi) dimana harkat, harga
diri dan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan nyawa, dan kehidupan seakan-akan tidak
ada harganya sama sekali.
Kematian karena sakit, kelaparan, kelelahan, perkosaan, penyiksaan, dan
pembunuhan serta berbagai tindakan brutal merupakan pemandangan setiap hari.
Tidak jarang sekelompok tahanan Yahudi, perempuan, laki-laki, orang tua,
anak-anak, digiring berbaris untuk masuk ke dalam sebuah gedung kekar kelam,
mencekam, kemudian dikunci dan ke dalamnya dialirkan gas beracun.
21
hidup dengan jalan menubrukkan diri pada pagar kawat bervoltase tinggi
sekeliling kamp dan terpanggang hidup-hidup.
Ada sebuah fenomena khusus di kamp konsentrasi itu. Dalam kondisi
penderitaan yang luar biasa Frankl melihat sekelompok sesama tahanan yang
tingkah lakunya seperti, swine (babi), keserakahan, keberingasan, sikap
mementingkan diri sendiri, dan hilangnya tanggung jawab terhadap diri sendiri
dan sesama seakan-akan mendominasi diri mereka. Mereka sering melakukan
pemerasan dan penganiayaan kejam terhadap sesama tahanan.
Orang-orang seperti ini biasanya direkrut oleh tentara Nazi untuk menjadi
capo, yaitu pengawas sesama tahanan yang terkadang lebih brutal daripada
penjaga yang kejam. Para capo ini pada umumnya tergolong orang-orang yang
selalu membuat masalah dan kesulitan bagi orang-orang sekitarnya, tetapi
sebenarnya mereka adalah orang-orang yang mudah putus asa serba
menggantungkan diri atas dorongan-dorongan dasar (makan, minum, seks) dan
jelas mencerminkan kehampaan dan ketidakbermaknaan (meaningless) hidup.
Namun dilain pihak terdapat sekelompok orang tahanan yang berlaku seperti
saint (orang suci).
Dalam puncak penderitaan mereka masih tetap bersedia membantu sesama
tahanan, membagi jatah makanan yang serba minim kepada mereka yang lebih
kelaparan, merawat orang orang sakit, dan memberikan penghiburan kepada
mereka yang putus asa, serta mengantar doa tulus bagi orang orang yang tidak
berdaya menanti ajal. Mereka menderita, tetapi tabah menjalaninya, serta tidak
22
Sekali pun dalam penderitaan luar biasa integritas kepribadian mereka
tetap utuh dan mereka pun berupaya agar senantiasa tetap menghargai hidup dan
menghayati yang bermakna. Mereka seakan-akan menemukan makna dalam
penderitaan “meaning in suffering”. Frankl menjelaskan bahwa kedua pola
perilaku tersebut sebenarnya terdapat dalam diri manusia. Artinya setiap manusia
memiliki potensi untuk menjadi “saint dan swine” dan kecenderungan mana yang
teraktualisasi terutama ditentukan oleh keputusan pribadi yang diambil sendiri dan
bukan tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan.
Dalam hal ini tersirat kebebasan manusia untuk memilih dan mengambil
sikap apakah mengabaikan akal budi dan hati nuraninya dan mengumbar hawa
nafsu seperti hewan atau tetap menjaga diri dari perbuatan tercela dan
menunjukkan tingkah laku mulia seperti halnya insan-insan bermoral tinggi.
Dalam kamp konsentrasi dengan fasilitas serba minim dan dalam keadaan sakit
dan kelaparan, salah satu kegiatan rutin para tahanan adalah digiring untuk
melakukan kerja paksa mengerjakan bermacam-macam pekerjaan kasar seperti
memasang rel kereta api, mengubur dan membakar mayat-mayat para tahanan
yang semakin banyak jumlahnya. Tentu saja dalam pengawasan ketat
penjaga-penjaga Nazi dan para capo. Frankl selain ditugaskan di poliklinik juga
melakukan pekerjaan kasar seperti tahanan tahanan lainnya. Kegiatan Frankl
lainnya adalah memberikan semacam psikoterapi, baik secara pribadi maupun
secara kelompok untuk membantu sesama tahanan menemukan arti hidup dan
hikmat dari penderitaan. Dengan bantuan itu perhatian mereka dialihkan dari
penderitaan saat ini dan dipusatkan kembali kepada hal-hal yang bermakna
23
harus mereka penuhi, bakat-bakat yang perlu dikembangkan serta
harapan-harapan adanya perbaikan dikemudian hari. Melalui cara demikian, tidak jarang
Frankl berhasil menyadarkan dan membatalkan niat para tahanan untuk
mengakhiri hidup karena merasa putus asa dengan penderitaan mereka.
Dalam penderitaan yang seakan-akan tidak berakhir selama menjadi
penghuni kamp konsentrasi, Frankl telah menunjukkan dirinya sebagai ilmuwan
sejati. Ia menyempatkan diri untuk mengamati berbagai reaksi mental dan pola
perilaku sesama tahanan serta menghayati perasaan dan pengalamannya sendiri
secara mendalam ketika baru masuk tahanan, selama menjadi tahanan, dan saat
baru dibebaskan.
Dalam kamp konsentrasi dengan kondisi yang sangat buruk itu Frankl
mengamati dan membuktikan kebenaran teorinya mengenai hasrat untuk hidup
bermakna (the will to meaning), sebagai motivasi asasi dalam kehidupan manusia.
Frankl mengamati bahwa tahanan-tahanan yang berhasil menemukan dan
mengembangkan makna dalam hidup mereka ternyata mampu bertahan menjalani
penderitaan bahkan walaupun sampai harus menyongsong ajal, mereka
menghadapi kematian dalam perasaan bermakna dan tabah.
Menurut Frankl makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, tidak
saja dalam keadaan normal dan menyenangkan, tetapi juga dalam penderitaan,
seperti dalam keadaan sakit, bersalah, dan kematian. Ketika perang berakhir,
Frankl kembali ke Wina sebagai kepala bagian Neurology dan Psikiatri dari
Rumah Sakit dan profesor dalam bidang Neurology dan psikiatri pada University
of Vienna Medical School. Kemudian pada tanggal 3 september 1997 Frankl
24
2.1.2. KONSEP DASAR LOGOTERAPI.
Struktur kepribadian manusia dibentuk oleh beberapa konsep dasar
sebagai landasan filosofis. Setiap aliran dalam psikologi memiliki landasan
filsafat kemanusiaan yang mendasari seluruh ajaran, teori, dan penerapannya.
Dalam hal ini logoterapi pun memiliki filsafat manusia yang merangkum dan
melandasi asas-asas, ajaran, dan tujuan logoterapi yaitu The Freedom of Will
(kebebasan berkehendak), The Will to Meaning (kehendak untuk bermakna), dan
The Meaning of Life (makna hidup).
2.1.2.1. Kebebasan Berkehendak (The Freedom of Will)
Kebebasan berkehendak adalah merupakan karakteristik unik dari
keberadaan dan pengalaman eksistensial manusia. Kebebasan yang dimaksudkan
tidak berbicara mengenai “bebas dari apa” melainkan “bebas untuk apa”.
Kebebasan manusia adalah kebebasan yang terbatas. Manusia tidaklah bebas dari
kondisi-kondisi biologis, psikologis, dan sosiologis, akan tetapi manusia
berkebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut. Manusia
tidak dapat bebas dari keadaan, tetapi bebas mengambil sikap terhadap keadaan.
Keadaan tidak sepenuhnya menentukan, mengendalikannya dan bahkan
mengkondisikannya. Manusia bebas untuk tampil diatas determinasi-determinasi
somatik dan psikis dari keberadaannya sehingga dia dapat memasuki dunia baru,
dimensi noetik (dimensi spiritual), suatu dimensi tempat kebebasan manusia
terletak dan dialami.9 Dari sana manusia sanggup mengambil sikap bukan saja
terhadap dunia melainkan juga dari dirinya sendiri. Kepribadian manusia dan
9
25
kebebasan berkehendak bisa berkembang apabila seseorang di dalam dirinya
memiliki kekuatan atau kesanggupan hidup. Contoh nyata diambil Frankl dalam
kehidupan di dalam kamp konsentrasi, yaitu menyangkut kesanggupan untuk
bertahan hidup yang ditunjukkan sebagian tawanan di dalam situasi ekstrim yang
dimungkinkan berkat kesanggupan mengambil jarak terhadap diri sendiri dan
mengambil sikap terhadap situasi yang dihadapi.
Bagaimana pun manusia bebas dan sanggup menentukan dirinya sendiri.
Kebebasan terwujud dalam tindakan sengaja, cara manusia menerima setiap
situasi yang tidak dapat diubah atau berjalan sesuai dengan keinginan atau
harapan. Dilihat dari kacamata determenisme, manusia merupakan korban tidak
bersalah dari kekuatan demonic yang bekerja di luar kontrolnya. Walaupun
eksistensinya manusia dipengaruhi oleh naluri, watak yang melekat, dan
lingkungan sekitar, kebebasan untuk mengambil keputusan tetap tersedia
baginya.10 Inilah kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri-kebebasan
eksistensial yang tidak dapat diambil dari dirinya. Manusia menjadi manusia saat
dia memilih.
Ada fenomena yang menarik yang ditemukan Frankl selama masa
penahanannya selama 3 tahun di kamp konsentrasi, ada sebagian para tahanan
berperilaku seperti babi (swine). Mereka adalah orang-orang yang telah
kehilangan semua etika guna bertahan hidup. Mereka siap menggunakan segala
cara, jujur atau tidak, bahkan bersikap brutal mencuri dan menghianati teman
sendiri, agar bisa menyelamatkan diri. Orang-orang seperti inilah justru yang
diangkat sebagai capo pada sesama tahanan lebih kejam dari perlakuan para
10
26
penjaga. Pukulan mereka jauh lebih keras dibanding pukulan para penjaga, justru
karena tugas inilah mereka dipilih. Jika tugas yang diberikan tidak segera
dijalankan sesuai dengan perintah, maka mereka akan dimusnahkan.
Disisi lain ada sebagian yang berperilaku seperti orang suci (saint).
Mereka adalah para tahanan yang biasanya berjalan dari gubuk ke gubuk,
berusaha menenangkan tahanan lain yang memberikan potongan roti terakhir dari
kekurangan mereka. Mereka membuktikan bahwa “apa pun bisa dirampas dari
manusia kecuali satu kebebasan terakhir dari seseorang manusia-kebebasan untuk
menentukan sikap dalam setiap keadaan, kebebasan untuk memilih jalannya
sendiri”.11 Mereka membuktikan bahwa lingkungan tidak membuat orang harus
menanganinya dengan satu cara tertentu melainkan hanya menyediakan
alternatif-alternatif yang dapat dipilih atau diabaikan.12
Ditinjau dari sudut pandang ini, reaksi mental dari pada tahanan di kamp
konsentrasi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai ungkapan dari kondisi fisik
dan sosial. Meskipun akibat kurang tidur, kurang makan dan berbagai bentuk
tekanan mental yang cenderung mendorong para tahanan untuk bereaksi dengan
cara-cara tertentu. Analisa akhir jelas menunjukkan bahwa keputusan batinlah dan
bukan hanya pengaruh kamp, yang akhirnya menentukan menjadi manusia seperti
apa tahanan tersebut kemudian. Karena itu setiap manusia pada dasarnya bisa
menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya baik secara mental dan spiritual.
Bagaimana pun kondisinya saat itu para tahanan bisa mempertahankan
martabatnya sebagai manusia, meskipun hidup di dalam kamp konsentrasi. Cara
11
Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan, (Yogjakarta: Kanisius, 2002), 148. 12
27
mereka menghadapi penderitaan merupakan keberhasilan batin yang
sesungguhnya.
Kebebasan berkehendak ada dan inheren dalam diri setiap orang. Ia akan
tetap di sana, bahkan ketika manusia merasa tidak memiliki apa pun selain tubuh
dan kehidupannya yang telanjang, karena itu tidak salah jika kebebasan
dibahasakan sebagai tanda sekaligus ungkapan martabat manusia.
Berbeda dengan binatang, manusia bebas dan dapat menentukan bagi
dirinya sendiri, apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Lingkungan,
watak dan naluri ikut berperan dalam menentukan bagaimana kita. Manusia
berpotensi menjadikan keharusan-keharusan tadi menjadi pilihan-pilihan yang
dapat diambil atau diabaikan. Lebih jauh, kebebasan manusia tidak dapat
dipisahkan dari tanggung jawab. Tanggung Jawab merupakan sisi lain dari mata
uang yang sama.
Joseph Fabry, salah satu pencetus gerakan logoterapi di Amerika pernah
berkata, tanggungjawab tanpa kebebasan adalah tirani dan kebebasan tanpa
tanggung jawab menggiring pada anarkhi yang akhirnya mengarah pada
kebosanan, kecemasan dan neurosis.13 Manusia bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri. Ia adalah pencipta atas dunianya. Apa pun yang terjadi atas
dirinya merupakan pengalaman unik yang membedakannya dengan orang lain,
hanya mungkin terjadi jika ia menghendaki dan memilihnya demikian.
Masa lalu, lingkungan, sosial ekonomi maupun karakter bawaan bukan
alasan untuk melepaskan tanggung jawab dari pada apa yang dapat dilakukan dari
pada membenarkan situasi saat ini. Setiap orang bertanggungjawab atas keputusan
13
28
dan sikap yang diambilnya. Kelemahan psikoanalisa Sigmund Freud dan
psiko-individual Alder adalah penekanan pada masa lalu serta naluri-naluri sexsual yang
tidak disadari, juga lingkungan sosial dan inferioritas yang mendorong manusia
mengabdi pada diri sendiri sebagai faktor utama pembentuk siapa aku dan
melupakan tanggung jawab pribadi.
2.1.2.2. Kehendak Untuk Bermakna (The Will to Meaning).
Setiap manusia menginginkan dirinya menjadi manusia yang bermartabat
dan berguna bagi dirinya, keluarganya, lingkungan kerja, masyarakat di sekitar
dan berharga di mata Tuhan. Kebermaknaan inilah yang membuat orang seperti,
Nelson Mandela, dapat bertahan sebagai tahanan politik di Afrika Selatan di
masa Aparheid selama lebih dari 25 tahun. Nelson Mandela dipenjara, direbut
kemerdekaannya, disiksa secara mental melalui penghinaan, disiksa fisiknya
untuk mematikan rasa percaya dirinya agar tidak lagi menjadi pejuang
kemerdekaan. Namun Nelson Mandela tidak mau kalah dengan penyiksaan
tersebut dan dia tidak mau mati dalam penjara. Kebermaknaan hidup Nelson
Mandela diwujudkan dalam keinginan keluar dari penjara, dan tetap hidup
membangun sebuah negara Afrika Selatan yang baru yang tidak ada diskriminasi
berdasar warna kulit, kelompok etnik, dan agama.
Keinginan untuk hidup bermakna memang benar-benar merupakan
motivasi utama manusia. Makna dalam diri manusia adalah merupakan kekuatan
dan motivasi. Perilaku manusia tidak dimotivasi oleh kehendak untuk mencari
kesenangan seperti klaim Sigmund Freud dalam psikoanalisa, tidak juga oleh
29
untuk bermakna. Bagi Frankl kehendak untuk bermakna merupakan motivasi
utama manusia menemukan makna dan tujuan hidupnya. Makna adalah suatu
dorongan fundamental yang begitu kuat yang mampu mengalahkan semua
dorongan lain yang ada pada manusia.
Kemauan akan makna hidup sangat berperan penting untuk kesehatan
psikologis dan dalam situasi-situasi yang mengerikan (seperti yang dihadapi
Frankl dalam kamp Auschwitz). Makna kehidupan tentu saja sungguh-sungguh
khas (istimewa), unik bagi setiap individu. Makna hidup berbeda bagi setiap
orang dan juga berbeda dari waktu ke waktu. Ketika kita berhadapan dengan
situasi yang berbeda, kita akan menemukan makna yang berbeda untuk diberikan
bagi kehidupan, seperti yang dilakukan Frankl ketika situasinya berubah dari
situasi seorang dokter yang aman dan terhormat menjadi orang tahanan Nazi
dengan nomor tahanan 119,104 di Auschwitz.14
Makna hidup sering kali terlalu disederhanakan. Salah satu distorsi yang
terjadi, asumsi bahwa sebagian besar perilaku manusia digerakkan oleh nalurinya
yang bekerja secara mekanistik menurut prinsip kenikmatan.15 Hakekat manusia
tidak lebih dari sekumpulan naluri dan dorongan bawah sadar yang bertujuan
mencari kenikmatan. Sigmund Freud dalam psikoanalisanya tidak melihat
manusia dalam pergolakannya dengan nilai-nilai.
Bagi Sigmund Freud dinamika pergolakan hidup dipahami jika dilihat
dalam kacamata mekanisme-mekanisme yang mempengaruhi perilakunya. Karena
itu bagi Sigmund Freud sangatlah penting melihat sesuatu dibalik kemauan
14
Viktor,E. Frankl , LOGOTERAPI, Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi, (Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2006), 6.
15
30
manusia motivasi-motivasi tindak sadarnya. Sebaliknya bagi Frankl kenikmatan
merupakan efek samping atau produk sampingan dari penemuan makna hidup
yang diusahakan manusia, tetapi akan rusak dan tercemar apabila dijadikan
sebagai tujuan akhir. Prinsip kenikmatan bekerja dalam skala lebih luas yang
disebut homeostatis.
Homeostatis menunjukkan pada kecenderungan sistem untuk memelihara
keseimbangan di sekitar kecenderungan pokok dan memulihkan keseimbangan
apabila terganggu. Teori ini menggambarkan manusia sebagai sistem tertutup.
Tidak ada proses pertukaran dengan lingkungan, ia bekerja hanya dalam
batasan-batasan sendiri. Frankl menegaskan bahwa hakekat manusia hidup yang
bertujuan. Tujuan itu adalah memberikan makna bagi kehidupan.
Individu selalu ingin menciptakan nilai-nilai kemanusiaan bahkan
memiliki orientasi dalam tuntunan penciptaan dan nilai. Menjadi manusia berarti
memiliki keterarahan pada sesuatu atau seseorang yang bermakna di luar dirinya,
sehingga memusatkan diri hanya pada pemulihan keseimbangan batin, sama
artinya dengan melepaskan peluang untuk hidup lebih bermakna.
Tekanan psikologi Sigmund Freud terhadap prinsip kenikmatan paralel
juga dengan psiko individual Adler. Adler percaya bahwa manusia tidak hanya
eksis tetapi juga berkembang ke arah yang lebih sempurna. Adler berpendapat
bahwa manusia lahir dengan membawa perasaan tidak lengkap, lemah, dan putus
asa.
Ketika Adler membicarakan inferioritas dia berbicara dalam 2 kategori,
yaitu kategori inferioritas fisik dan psikologik. Inferioritas bukan tanda
31
(superioritas).16 Superioritas yang dimaksudkan bukan keadaan yang objektif
seperti kedudukan sosial yang tinggi, melainkan keadaan subjektif pengalaman
atau perasaan diri cukup berharga. Dorongan superioritas ada sejak manusia lahir.
Tiap orang memiliki tujuan yang sama, mencapai superioritas namun ditempuh
dengan cara atau gaya hidup yang berbeda-beda.
Gaya hidup telah terbentuk antara umur tiga hingga lima tahun dan setelah
itu tidak dapat diubah lagi. Menurut Adler gaya hidup ditentukan oleh inferioritas
sebagai kompensasi terhadap ketidaksempurnaan tertentu, dorongan
kemasyarakatan sebagai anti tesis terhadap dorongan keakuan. Namun dorongan
kemasyarakatan juga merupakan kompensasi inferioritas fakta bahwa manusia
tidak dapat hidup sendiri.
Secara sepintas pandangan Adler memiliki beberapa kesamaan dengan
Frankl. Manusia secara eksistensial didorong untuk mencari pemenuhan makna.
Manusia juga didorong membuka relasi sosial baru di luar dirinya sendiri.
Ketidaksetujuan Frankl dimulai ketika motif dasar yang mengendalikan perilaku
manusia kembali telah disederhanakan menjadi sejenis mekanisme tarik ulur
antara perasaan inferior dan kehendak untuk bermakna. Keterbatasan fisik
maupun psikologi sebagai sumber inferioritas kompleks bukan halangan untuk
menemukan makna hidup di balik keadaan yang tidak dapat diubah.
Logoterapi meyakini bahwa manusia dapat menemukan makna hidupnya
bahkan di tengah situasi yang tampaknya tidak bermakna. Dalam bukunya Man’s
Search for Meaning, Frankl menceritakan pandangan seorang anak yang tidak
memandang kecelakaan sebagai inferioritas tetapi kesempatan bagi pencapaian
16
32
makna. Anak tersebut mengatakan: “Saya memandang hidup saya penuh dengan
makna dan tujuan, sikap saya, saya terapkan pada hari yang bersejarah tersebut
telah menjadi paham hidup saya, leher saya memang patah, tetapi itu tidak akan
mematahkan hidup saya … saya percaya bahwa cacat jasmani saya akan
mengingatkan kemampuan saya untuk menolong orang lain, saya mengetahui
tanpa penderitaan saya tidak mampu berkembang”.17 Ketidaksetujuan Frankl
berikut bersumber pada keyakinannya terhadap manusia sebagai eksistensi yang
unik, yang berjuang untuk memperoleh makna hidup dengan cara unik pula.
Inferioritas merupakan salah satu bagian dari keunikan manusia yang turut
berproses dalam pencarian makna. Inferioritas bukanlah pendorong menuju rasa
superioritas atau the will to power. Superioritas atau power bukan tujuan akhir
namun sarana bagi tercapainya pemenuhan makna hidup.
Kehendak untuk bermakna dimungkinkan karena kapasitas manusia akan
transendensi diri. Transendensi diri memampukan manusia bebas dari batas-batas
masyarakat maupun waktu. Menjadi manusia menurut Frankl berarti terarah dan
tertuju pada sesuatu atau orang lain di luar dirinya sendiri, sehingga dorongan
sosial menurut terminologi Adler bukan kompensasi terhadap inferioritas tetapi
lahir dari kehendak manusia untuk bermakna. Inilah alasan mengapa Frankl
lebih suka memakai istilah kehendak untuk bermakna (the will to meaning)
dibanding kebutuhan untuk bermakna (a need for meaning) atau dorongan untuk
bermakna (drive to meaning).
Makna hidup tidak mendorong (to push, to drive) melainkan seolah-olah
menarik (to pull) dan menawarkan kesempatan bagi manusia untuk memenuhinya.
17
33
Dorongan dan kebutuhan untuk bermakna hanya mengembalikan perhatiannya
seseorang pada dirinya sendiri dan bukan pada pencapaian makna yang carinya di
luar dirinya sendiri.
2.1.2.3. Makna Hidup (The Meaning of Life).
Keberadaan manusia merupakan keberadaan historis. Manusia selalu
menempatkan dirinya dalam sejarah dan sekaligus membentuk sejarah.
Kesejarahan dibentuk dan dialami manusia karena aktivitas atau kehidupan
manusia memiliki tujuan dan makna. Tanpa makna kesejarahan manusia tidak
terbentuk. Makna hidup melampaui intelektualitas manusia, makna tidak dicapai
hanya dengan proses akal atau usaha intelektual.
Untuk mencapai hidup bermakna individu harus menunjukkan komitmen
yang muncul dari kedalaman dan pusat kepribadiaan dan berakar pada
keberadaannya secara holistik. Dengan komitmen, individu menjawab segala
macam tantangan atau permasalahan yang muncul dalam kehidupan. Dengan
demikian manusia (individu) memahami dan melaksanakan kehidupan bermakna
melalui apa yang diberikan kepada hidup yaitu nilai-nilai kreatif, melalui apa yang
diambil dari hidup, menemukan keindahan, kebenaran dan cinta, dengan
memberikan nilai-nilai dan melalui sikap yang kita berikan terhadap ketentuan
mengikat yang tidak dapat diubah dengan memberikan nilai-nilai bersikap. Hidup
bermakna adalah kehidupan yang menyenangkan, penuh semangat, dan gairah
hidup, jauh dari rasa cemas, dan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Makna hidup bersifat personal dan unik, karena setiap individu memiliki
34
Konsekwensinya setiap individu berbeda dalam merealisasikannya, bisa jadi
individu yang satu menciptakan makna hidup dalam keindahan, kebenaran yang
diperjuangkan maupun perasaan cinta. Menurut Bastaman makna hidup adalah
hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus
bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the porpuse in
life), dan apabila hal itu berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang
merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya menimbulkan perasaan
bahagia (happiness).18
Makna hidup ada dalam kehidupan itu sendiri, dan dapat ditemukan dalam
setiap keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia
dan penderitaan. Ungkapan seperti “makna dalam derita” (the meaning in
suffering) atau “hikmah dalam musibah” (blessing in disguise) menunjukkan
bahwa dalam penderitaan sekali pun makna hidup tetap dapat ditemukan. Apabila
hasrat ini dapat dipenuhi maka kehidupan yang dirasakan berguna, berharga, dan
berarti (meaningful) akan dialami. Sebaliknya apabila hasrat ini tidak terpenuhi
akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless).
Menurut Frankl bahwa makna hidup selalu tersedia bagi semua orang.
Hidup selalu mengandung makna dalam setiap situasi, dalam setiap ekspresi
hidup, dalam tindakan bahkan dalam keputusasaan terhadap masa depan dan
ancaman kematian sekali pun, hidup tetap bermakna. Ungkapan-ungkapan seperti
segala sesuatu ada hikmahnya, menunjukkan bahwa segala peristiwa berpotensi
melahirkan makna bagi setiap orang, apabila dia berani dan cukup siap untuk
menemukannya. Seringkali apa yang ditemukan berbeda dengan apa yang
18
35
diharapkan. Tetapi justru unsur kejutan inilah yang membuat hidup menjadi
sebuah perjalanan yang menyenangkan.
Jika hidup memberikan kepadamu ribuan alasan untuk menangis,
tunjukkanlah bahwa kita selalu memiliki ribuan alasan untuk tertawa. Nietzche
mengatakan: “Dia yang mengetahui untuk apa dia hidup, akan bisa mengatasi
hampir semua yang terjadi atas dirinya”.19 Perkataan Nietzche di atas
mengimplikasikan individu mampu mengatasi berbagai kesulitan dan
permasalahan-permasalahan dalam kehidupan apabila kehidupan itu sendiri
memiliki makna.
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa makna hidup menurut Frankl
tidak dapat dijelaskan atau didefenisikan secara umum karena: 1. makna hidup itu
unik dan personal,karena berbeda bagi setiap orang dan berubah setiap waktu, 2.
Makna hidup berorientasi pada masa yang akan datang (future oriented).20 Makna
adalah sesuatu yang transendental, sesuatu yang berada di luar “pemiliknya”.21
Frankl merumuskan ada 3 hal yang dapat di tempuh manusia untuk menemukan
makna hidup. Pertama, lewat apa yang kita berikan pada dunia yaitu melalui apa
yang kita kerjakan; kedua, lewat pengalaman yaitu perjumpaan manusia dengan
cinta dan yang ketiga, lewat sikap kita terhadap hidup yaitu situasi yang tidak
dapat kita ubah sesuai dengan keinginan dan harapan kita.22
19
Supaat I.Lathief, Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme, (Lamongan: Pustaka Ilalang, 2008), 103.
20
Viktor, E. Frankl, Ma ’s Search for ea i g, (New York: A Touchstone, Published by Simon & Schuster, 1962), 98-99
21
Zainal Abidin, Analisis Eksitensial untuk Psikologi & Psikiatri, (Bandung: Refika Utama, 2002), 171.
22
36
Ketiga hal tersebut kelihatannya sederhana, namun tidak ada makna dalam
pengertian universal. Makna hidup bukan sesuatu yang dipelajari tetapi
ditemukan. Makna selalu bersifat unik dan individual. Aktualisasi diri tidak sama
dengan makna hidup. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita
seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru dari
potensi dan bakat kita sendiri. Namun meski seorang sanggup sepenuhnya
mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makna hidupnya.
Makna hidup tidak terletak dalam diri kita, melainkan berada di dunia luar.
Kita tidak menciptakan atau memilihnya melainkan harus menemukannya.
Dengan kata lain untuk dapat menemukan makna kita harus keluar dari
persembunyian dan menyongsong tantangan di luar diri kita
2.1.2.3.1 Memaknai Penderitaan (Meaning in Suffering)
Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik menyenangkan
maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan bahagia maupun derita, karena
manusia selama hidup ini tidak selalu dalam keadaan menyenangkan. Penderitaan
merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, karena eksistensi manusia
senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa dan air mata, derita dan
bahagia.
Terlepas dari berat-ringannya, setiap orang dalam hidupnya pasti pernah
mengalami penderitaan, karena penderitaan bagian hidup manusia yang tidak
terpisahkan dari manusia itu sendiri. Penderitaan dianalogikan seperti bayangan
yang selalu ada sepanjang badan yang selalu mengikuti kita. Penderitaan dialami
37
secara tidak adil, mengalami bencana, kematian keluarga dan yang kita cintai.
Hanya orang yang telah mati yang tidak mengenal penderitaan dan mengalami
penderitaan.
Dalam pemahaman Frankl bahwa makna hidup selalu ada dalam semua
situasi, bahkan dalam kehidupan terburuk sekali pun. Menurut Frankl makna
dalam sebuah penderitaan merupakan sebuah kekuatan utama dalam kehidupan
manusia dalam menghadapi/menyikapi penderitaan, diperlukan satu sikap yang
tepat. Suatu sikap nilai yang menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran,
keberanian, segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin terelakkan lagi. Itu
berarti jika kita tidak dapat merubah keadaan yang tragis yang kita hadapi,
ubahlah sikap kita terhadap keadaan tersebut supaya tidak jatuh kedalam
keputusasaan.
Orang yang sehat mentalnya akan mampu memaknai penderitaan dengan
cara yang lebih positif dan tetap mengarahkan dirinya pada tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam buku Man’s Search for Meaning, Frankl menulis ”…Apa pun
yang dimiliki manusia akan hilang dari tangannya, kecuali satu hal, kebebasannya
sebagai manusia, kebebasannya menentukan sikap apa yang harus dipakai
menghadapi situasi tertentu, yaitu kebebasan dalam memilih jalannya sendiri”.23
Pengalaman Frankl dalam kamp konsentrasi semakin membuktikan
kebenaran teorinya. Para tawanan yang memiliki tujuan hidup yang kuat dan
berusaha tetap mempertahankannya memiliki peluang yang paling besar untuk
tetap tinggal dan iklas dari berbagai gangguan psikologis seusai perang. Namun
23
38
mereka yang kehilangan tujuan dan harapan hidup menjadi mudah sakit dan mati
serta mengalami gangguan psikologis seusai perang.
Penderitaan dapat menjadi sumber makna yang berguna apabila kita dapat
mengubah sikap terhadap penderitaan itu lebih baik lagi. Granger Westberg dalam
bukunya Good Grief, mengatakan bahwa penderitaan atau kedukaan adalah nafas
hidup kita.24 Dalam hal ini semua situasi menjadi sumber makna hidup jika
diawali dengan sikap yang tepat dalam menyikapinya.
Hal ini sejalan dengan pemahaman Frankl manusia masih dapat memberi
makna hidupnya dengan sikap dan cara dalam menghadapi nasibnya dimana ia
menempatkan penderitaan atas hidupnya. Pemahaman ini menggambarkan
penderitaan memberikan suatu makna manakala individu menghadapi kehidupan
yang tidak dapat dihindari. Hanya apabila mana suatu keadaan sungguh-sungguh
tidak dapat diubah lagi dan individu tidak memiliki peluang untuk merealisasikan
nilai-nilai kretif, maka pada saat itu nilai-nilai bersikap diperlukan.
Bagi Frankl hidup memiliki makna dalam setiap situasi dan semua orang
memiliki kapasitas untuk menemukan makna itu dalam hidupnya. Kenyataannya
manusia tidak dapat mereka-reka apa yang akan datang, segala sesuatu adalah
misteri. Karena itu pertanyaan yang patut diajukan bukanlah apa dan mengapa itu
terjadi tetapi bagaimana kita hidup dan meyakini apa pun yang terjadi. Bukan apa
yang kita harapkan dari hidup tetapi apa yang dapat diharapkan hidup dari kita.
Bukan apa yang dapat kita lakukan agar hidup berjalan sesuai dengan harapan kita
tetapi bagaimana kita bersikap ketika kenyataan bertentangan dengan harapan
kita. Kemampuan untuk mengambil sikap terhadap setiap kemungkinan yang
24
39
ditawarkan hidup merupakan kualitas insan yang bersumber dari dimensi spiritual
yang inheren dalam diri manusia.
Menurut Bastaman (1996) ada beberapa tahap yang dilalui seseorang
dalam penemuan makna dalam suatu penderitaan, yakni:
1. Tahap derita, yaitu pengalaman tragis dan penghayatan hidup tanpa makna.
Suatu peristiwa yang tragis dalam hidup seseorang dapat menimbulkan
penghayatan hidup tanpa makna yang ditandai dengan perasaan hampa,
gersang, apatis, bosan, dan merasa tidak lagi memiliki tujuan hidup. Kebosanan
adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan
apatis adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengambil prakarsa.
2. Tahap penerimaan diri, individu mulai menerima apa yang terjadi pada
hidupnya, pemahaman diri, dan terjadinya perubahan sikap. Munculnya
kesadaran diri biasanya didorong oleh berbagai ragam faktor. Misalnya karena
perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari
seseorang, doa, ibadah, dan belajar dari orang lain, dan lain-lain.
3. Tahap penemuan makna hidup. Tahap ini ditandai dengan penyadaran individu
akan nilai-nilai berharga yang sangat penting dalam hidupnya. Hal-hal yang
dianggap berharga dan penting itu mungkin saja berupa nilai kreatif,
nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai-nilai-nilai bersikap.
4. Tahap realisasi (keikatan diri, kegiatan terarah, dan pemenuhan makna hidup).
Pada tahap ini, individu akan mengalami semangat dan gairah dalam hidupnya,
kemudian secara sadar melakukan keikatan diri (self commitment) dan
40
5. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagian) keberhasilan
dalam menemukan dan memenuhi makna hidup akan menyebabkan seseorang
merasakan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa bahagia.
2.1.2.3.2. Memaknai Cinta
Cinta adalah sebuah tema yang tidak ada akhir/batas untuk dibicarakan.
Cinta hanyalah cara untuk mencapai keberadaan orang lain pada bagian yang
paling dalam dari kepribadiannya. Tidak seorangpun dapat menyadari adanya
sesuatu yang sangat esensial dari keberadaan orang lain jika dia tidak
mencintainya.
Dalam bertindak secara spiritual dalam cinta dia dapat melihat ciri-ciri dan
bentuk esensial pada orang yang dicintai atau lebih dari itu, dia melihat apa yang
potensial dari dalam dirinya yang belum teraktualisasikan tetapi harus
diaktualisasikan. Karena itu dengan cinta seseorang yang sedang mencintai dapat
menjadikan orang yang dicintainya mengaktualkan potensi-potensinya. Dalam
cinta terjadi sebuah penerimaan akan keberadaan yang dicintai. Frankl
mengatakan mencintai melambangkan masuknya ke dalam hubungan dengan
orang lain sebagai mahluk spiritualitas. Hubungan yang dekat dengan aspek-aspek
spiritual seorang teman merupakan bentuk persekutuan puncak yang dapat
dicapai. Orang yang dicintai tidak lagi menggerakkan dalam fisiknya dan tidak
juga dikemudikan oleh emosinya tetapi bergerak dalam inti spiritualnya. Cinta
merupakan masuknya dalam hubungan langsung dengan kepribadian yang dicintai
41
Dalam logoterapi cinta tidak digambarkan sebagai keinginan-keinginan
seksual dan insting belaka yang dalam perspektif ini disebut sebagai sublimasi
cinta secara primer adalah fenomena sebagaimana seks. Normalnya, seks adalah
bentuk ekspresi cinta. Cinta tidak dapat dipahami sebagai sesuatu efek samping
saja dari seks namun seks adalah satu cara pengungkapan pengalaman
kebersamaan dari puncak kebersamaan.
Mengutip pemikiran Abraham Maslow, kita tidak dapat dikacaukan oleh
seks, yang dapat dipandang sebagai kebutuhan fisiologis semata-mata.
Selanjutnya Abraham Maslow mengatakan bahwa bahwa cinta tidak sinonim
dengan seks, cinta adalah hubungan sehat antara sepasang manusia yang
melibatkan perasaan saling menghargai, menghormati, dan mempercayai.
Dicintai dan diterima adalah jalan menuju perasaan yang sehat dan
berharga, sebaliknya tanpa cinta menimbulkan kesia-siaan, kekosongan dan
kemarahan.25 Selanjutnya Carl Rogers mengatakan bahwa cinta adalah “keadaan
dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati”.26
2.1.2.3.3. Memaknai Kerja.
Menurut Frankl, manusia adalah yang bertanggungjawab dan harus
mengaktualisasikan potensi dalam hidupnya. Makna hidup bukanlah untuk
dipertanyakan tetapi untuk dijawab. Jawaban tidak hanya diberikan lewat
kata-kata tetapi yang utama adalah yang bisa memberikan makna kepada kehidupan
seseorang biasanya terkandung dalam pekerjaan seseorang. Dalam
25
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press, 2007), 245. 26
42
pemahamannya, pekerjaan merepresentasikan keunikan keberadan individu dalam
hubungannya dengan masyarakat dan karenanya memperoleh makna dan nilai.
Makna dan nilai berhubungan dengan pekerjaan seseorang sebagai
kontribusinya terhadap masyarakat dan bukan pekerjaannya yang sesungguhnya
yang dinilai. Dalam kasus-kasus dimana pekerjaan yang dimiliki seseorang tidak
membawanya kepada pemenuhan diri, maka bukan pekerjaannya yang akan
diubah, melainkan sikap orang tersebut dalam pekerjaannya.
Dalam hal ini sesungguhnya bekerja adalah lebih dari sekedar mencari
nafkah. Maka kerja jauh lebih dalam dari sekedar itu semua. Bekerja adalah
perwujudan misi atau keberadaan kita dalam tubuh manusia itu. Sebagai makhluk
spiritual memiliki tugas atau maksud keberadaan kita di dunia. Jadi bekerja adalah
kegiatan utama di dunia dan sebagian penting dari perjalanan hidup untuk
mencapai misi hidup. Pekerjaan yang dicintai dan ditekuni sepenuh hati dapat
memberi perasaan istimewa dan dapat memberi arti bagi kehidupan.
Dalam kegiatan bekerja, berkarya, menciptakan, dan melaksanakan tugas
dan kewajiban, manusia mampu menemukan arti hidupnya dan menghayati
kehidupannya secara bermakna. Bekerja dapat menimbulkan makna hidup secara
nyata dan dapat dialami sendiri, apabila manusia telah lama tidak berhasil
mendapatkan pekerjaan.
Dalam hal ini pekerjaan hanyalah sarana yang memberikan kesempatan
untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup tidak terletak
pada pekerjaan tetapi tergantung pada pribadi yang bersangkutan. Dalam hal ini
penemuan makna hidup berasal dari sikap dasar positif dan mencintai pekerjaan
43
2.1.3. LOGOTERAPI SEBAGAI TEORI KEPRIBADIAN MANUSIA.
Landasan teori kepribadian logoterapi bercorak eksistensial-humanistik.
Artinya logoterapi mengakui manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan
berkehendak, sadar diri, dan mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya
sesuai dengan julukan kehormatan bagi manusia sebagai “the self determining
being”. Selain itu manusia mempunyai kualitas-kualitas insani (human qualities),
yakni berbagai potensi, kemampuan, bakat, dan sifat yang tidak terdapat pada
makhluk-makhluk lain, seperti kesadaran diri, transendensi diri, memahami, dan
mengembangkan diri, kebebasan memilih, kemampuan menilai diri dan orang
lain, spiritualitas, humo, dan tertawa, etika dan rasa estetika, nilai dan makna, dan
sebagainya.
Logoterapi sesuai dengan artinya “logos” yang berarti “makna” (meaning)
mengakui adanya dimensi spiritualitas di samping dimensi ragawi dan kejiwaan
serta meyakini bahwa kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi
utama manusia. Dalam hal ini makna hidup adalah tema sentral logoterapi dan
hidup yang bermakna adalah motivasi, tujuan, dan dambaan yang harus diraih
oleh setiap orang. Dengan demikian terdapat satu faktor tunggal sebagai inti
seluruh teori kepribadian model logoterapi yakni makna hidup.
Teori kepribadian ini tidak berorientasi pada masa lalu (past oriented)
seperti halnya dengan psikodinamik27 atau kini dan disini (here and now) seperti
pandangan behavioral,28 melainkan beriorentasi pada masa mendatang (future
oriented) karena makna hidup harus ditemukan dan hidup yang bermakna harus
27
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), 314.
28
44
benar-benar secara sadar dan disengaja dijadikan tujuan hidup, diraih, dan
diperjuangkan.
Setiap orang mendambakan kebahagian dalam hidupnya. Dalam
pandangan logoterapi kebahagian itu tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan
akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk
hidup bermakna (the will to meaning). Mereka yang berhasil memenuhinya akan
mengalami hidup yang bermakna dan hasil dari hidup bermakna itu adalah
kebahagiaan. Di lain pihak mereka yang tidak berhasil memenuhi motivasi ini
akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya
tidak bermakna.
2.1.3.1. Penghayatan Hidup Tanpa Makna (Kehampaan Eksistensial)
Hasrat untuk hidup bermakna tidak dapat dipenuhi karena kurang disadari
bahwa dalam kehidupan itu sendiri dan pengalaman masing-masing orang
terkandung makna hidup yang dapat ditemukan dan dikembangkan.
Ketidakberhasilan menemukan makna hidup dan memenuhi makna hidup
biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna, hampa, gersang, merasa
tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tidak berarti, bosan, dan apatis.
Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan
minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa.
Penghayatan-pengahayatan seperti itu tidak terungkap secara nyata, tetapi
menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk
berkuasa, (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to
45
work) dan mengumpulkan uang (the will to money).29 Dengan kata lain dalam
perilaku dan kehendak yang berlebihan itu biasanya tersirat
penghayatan-penghayatan hidup tanpa makna.
Dalam pengamatan yang dilakukan secara teliti, Frankl mencatat gejala
utama yang sering muncul pada diri para tawanan dalam kamp-kamp konsentrasi
adalah ketidakberdayaan, keputusasaan, dan keinginan yang kuat untuk bunuh diri
karena hidup tidak lagi memiliki makna. Situasi demikian oleh Frankl disebut
dengan kehampaan eksistensial (exsistential emptiness), suatu situasi yang
ditimbulkan oleh kegagalan dan frustrasi dalam memenuhi keinginan pada makna
disebut frustrasi eksistensial (existential frustration).30 Hanya terdapat beberapa
orang saja dari tawanan tersebut terhindar dari frustrasi eksistensial dan
kehampaan seksistensial, yakni mereka yang mampu menemukan makna hidup
dalam penderitaan yang mereka alami dan makna kematian yang mereka hadapi
dan setiap saat akan menjemputnya.
Disamping hilangnya minat, kurangnya inisiatif tidak adanya motivasi
terhadap kehidupan, frustrasi eksistensial menurut pengamatan Frankl juga
ditandai oleh perasaan-perasaan absurd (mustahil, tidak masuk akal) dan
kehampaan.
Frustrasi eksistensial tidaklah tampak secara jelas kepermukaan namun
dapat diketahui melalui pengamatan terhadap beberapa manifestasi seperti
neurosis kolektif, pengangguran, dan pensiunan, serta penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. Jadi frustrasi (kehampaan) eksistensial tidak hanya menimpa para
29
Viktor, E. Frankl , Psychoterapy And Exsistensialm, (New York: Published by Simon & Schuster, 1967), 120-121.
30
46
tahanan dalam kamp konsentrasi saja, tetapi sudah merupakan masalah universal
yang dialami individu masyarakat modern.
Walaupun penghayatan hidup tanpa makna ini bukan merupakan suatu
penyakit tetapi dalam keadaan intensif dan berlarut-larut tidak diatasi dapat
memanifestasikan/menjelmakan neurosis noogenik, karakter totaliter, dan karakter
konformis.31Neurosis noogenik, adalah merupakan suatu gangguan perasaan yang
menghambat prestasi dan penyesuaian diri seseorang. Gangguan ini biasanya
tampil dalam keluhan-keluhan serba bosan, hampa, penuh keputusaan, kehilangan
minat, dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali.
Kehidupan sehari-hari dirasakan sangat rutin, tugas sehari-hari dianggap
menjenuhkan dan menyakitkan hati.
Kegairahan kerja dan kesediaan untuk bekerja menghilang, disertai
perasaan seakan-akan dirinya tidak pernah mencapai kemajuan apapun dalam
hidupnya, bahkan potensi-potensi yang pernah dicapai dan dirasakan tidak ada
harganya sama sekali. Sikap acuh tak acuh berkembang dan rasa tanggungjawab
terhadap diri sendiri dan lingkungan secara menghilang.
Lingkungan dan keadaan di luar dirinya benar-benar dianggap membatasi
dan serba menentukan dirinya dan dia tidak berdaya menghadapinya.
Kelahirannya di duniapun dipertanyakan. Sikap terhadap kematian ambivalent,
disatu pihak merasa takut dan tidak siap untuk mati, tetapi dipihak lain sering
beranggapan bahwa bunuh diri merupakan jalan terbaik untuk keluar dari
31
47
kehidupan yang serba hampa, dan motto hidupnya “Aku salah dan kamu pun
tidak benar”.32
Karakter totaliter, adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk
memaksakan tujuan, kepentingan dan kehendak sendiri dan tidak bersedia
menerima masukan dari orang lain. Penolakan pada berbagai masukan orang lain
dapat berbentuk penolakan langsung atau kelihatan menampung tetapi kemudian
mengabaikan. Namun sebaliknya apabila sesuai kepentingannya, masukan itu
diam-diam akan dimanfaatkan dan dinyatakan sebagai pemikiran pribadi. Sangat
peka terhadap kritik dan biasanya akan menunjukkan reaksi menyerang kembali
secara keras dan emosional.
Kekecewaan dan kehampaan eksistensial yang berawal dari gagalnya
menemukan makna hidup dan memenuhi hasrat untuk hidup bermakna
menimbulkan perasaan tidak nyaman dan ketidakpastian yang cukup intensif dan
mengancam harga dirinya. Menganggap lingkungan lingkungan sekitar tidak
dapat dijadikan pegangan sebagai sumber rasa aman kepada dirinya maka
akhirnya mengabaikan lingkungan dan menjadikan dirinya menjadi andalan.
Hal ini dilakukan dengan menetapkan secara ekslusif dan fanatik
nilai-nilai tertentu (ideologi, profesionalisme), kegiatan (proyek, sosial), kepentingan
(bisnis, karier) dan keinginannya (kaya raya, popularitas) yang ditetapkan sendiri
dan dengan ketat dijaganya dari pengaruh dan kritik orang lain, dan motto hidup
pribadi totaliter adalah ”Aku benar dan kamu salah”. 33
Karakter konformis, adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat
untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan
32
H.D.Bastaman, LOGOTERAPI Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup Dan Meraih Hidup bermakna, (Jakarta: Grafindo Persada, 2007), 81.
33
48
lingkungan sekitarnya serta bersedia untuk mengabaikan keinginan dan
kepentingan dirinya sendiri. Karakter konformis berawal dari kekecewaan dan
kehampaan hidup sebagai akibat tidak berhasilnya memenuhi motivasi utama
yaitu hasrat untuk hidup bermakna. Kondisi ini jelas menimbulkan penghayatan
tidak aman serta tidak nyaman serta ketidakpastian dalam kehidupannya. Dan
akhirnya berusaha untuk menyeimbangkan kembali dirinya dengan cara
menjadikan norma, nilai-nilai, dan tuntutan lingkungan sebagai andalan dan
pedoman hidupnya. Dia selalu tunduk dan taat pada tuntutan lingkungan dan
bersedia mengabaikan kepentingan, kehendak, dan pemikiran sendiri. Dia merasa
tidak nyaman apabila berbeda dengan kebanyakan orang serta sensitif dan cemas
terhadap penilaian orang dan motto hidup karakter konformis adalah “Aku salah
dan kamu benar, aku ikut dengan kamu”.34
2.1.3.2. Penghayatan Hidup Bermakna.
Berlainan dengan penghayatan hidup tidak bermakna, mereka yang
menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan penuh semangat dan
gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Tujuan hidup baik tujuan jangka pendek dan jangka panjang jelas bagi
mereka, dengan demikian kegiatan-kegiatan mereka pun menjadi terarah dan
merasakan sendiri kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai. Hari demi hari
mereka menemukan pengalaman baru dan hal-hal menarik yang semuanya
menambah kekayaan pengalaman hidup mereka.
34
49
Mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam arti
memahami pembatasan-pembatasan lingkungan, tetapi dalam pembatasan itu
mereka dapat menentukan sendiri apa yang paling baik mereka lakukan serta
menyadari pula bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri.
Betapa pun buruk keadaannya. Tindak bunuh diri sebagai jalan keluar dari
penderitaan berat sekali pun, sama sekali tidak pernah terlintas dalam pemikiran
mereka. Mereka benar-benar menghargai hidup dan kehidupan itu senantiasa
menawarkan makna yang harus mereka penuhi.
Bagi mereka kemampuan untuk menentukan tujuan-tujuan pribadi dan
menemukan makna hidup merupakan hal yang sangat berharga dan tinggi nilainya
serta merupakan tantangan untuk memenuhinya serta bertanggungjawab. Mereka
mampu mencintai dan menerima cinta kasih orang lain, serta menyadari bahwa
cinta kasih merupakan salah satu hal yang menjadikan hidup bermakna. Mereka
yang benar-benar mengetahui untuk apa mereka hidup dan bagaimana mereka
menjalani hidup35. Dalam tataran logoterapi pribadi yang hidupnya bermakna
dianggap sebagai gambaran kepribadian yang ideal.
2.2. GAGAL GINJAL KRONIK
2.2.1. GINJAL.
Ginjal adalah bagian tubuh yang sangat penting. Fungsi ginjal sebagai
penyaring darah dari sisa-sisa metabolisme menjadikan keberadaannya tidak bisa
tergantikan oleh organ tubuh lainnya. Kerusakan atau gangguan pada gagal ginjal
35
50
menimbulkan masalah pada kemampuan atau kekuatan tubuh. Akibatnya,
aktivitas kerja terganggu dan tubuh jadi mudah lelah dan lemas.
Ginjal merupakan peran kunci dalam tubuh, tidak hanya dengan
menyaring darah dan mengeluarkan produksi-produksi sisa namun juga dengan
menyeimbangkan tingkat elektrolit di dalam tubuh, mengontrol tekanan darah dan
menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah.
Ginjal memiliki kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh,
konsentrasi dari elektrolit seperti sodium dan potasium, dan keseimbangan asam
basa dari tubuh. Ginjal menyaring produk sisa dari metabolisme tubuh, seperti
urea, dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA. Dua produk sisa
dalam darah dapat diukur: Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Creatinie (Cr). Ginjal
<