• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lekra dalam perkembangan Politik di Indonesia 1950 1965

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lekra dalam perkembangan Politik di Indonesia 1950 1965"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

i

LEKRA DALAM PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA 1950-1965

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

THERESIA JABUT NIM : 121314004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada

saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Kedua orang tua saya tercinta, Ayahanda Silvester Nyandang dan Ibunda

Yasinta Inta yang menjadi kekuatan bagi saya.

3. Adik saya terkasih, Teodorus Mambang yang telah menjadi penyemangat

(5)

v

MOTTO

Mengenal diri sendiri membuat kita berlutut dengan rendah hati

(Bunda Teresa)

Jika anda jatuh ribuan kali, berdirilah jutaan kali karena anda tidak

tahu seberapa dekat anda dengan kesuksesan.

(Herman Ohoitimur)

Percaya, yakin pada diri sendiri, jangan takut, dan mencurahkan

tenaga serta pikiran melebihi orang lain.

(6)
(7)
(8)

viii

ABSTRAK

LEKRA DALAM PERKEMBANGAN POLITIK

DI INDONESIA 1950-1965

Oleh: Theresia Jabut Universitas Sanata Dharma

2017

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang berdirinya Lekra (2) Proses Lekra dalam mengembangkan kebudayaan (3) Dampak perkembangan Lekra di bidang politik dan sosial.

Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu ilmu politik.sosial, dan budaya dengan model penelitian bersifat deskritif analitis.

(9)

ix

ABSTRACT

LEKRA IN POLITICAL DEVELOPMENTS IN INDONESIA 1950-1965

By: Theresia Jabut Sanata Dharma University

2017

This study aimed to describe and analyze three main issues, namely (1) The background of establishing Lekra (2) The process of Lekra development in culture, and (3) The impact of Lekra development in the political and social fields. This study was conducted based on factual historical research methods involving phases: topic selection, heuristics (sources collection), verification (source criticism), interpretation and historiography (historical writing). The approach used in this study was multidimensional approach, in terms of politic, social, and cultur, using descriptive analytical model.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan anugerah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Lekra Dalam Perkembangan Politik di Indonesia 1950-1965”. Skripsi ini disusun

untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas

Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu

Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini tidak terlepas dari bimbingan,

dukungan, dan peran serta pihak-pihak yang telah memberi bantuan langsung

maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata

Dharna,

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah

sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran

serta masukan selama penyusunan skripsi.

5. Seluruh dosen dan sekretariat program studi Pendidikan Sejarah yang telah

memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di

(11)

xi

6. Seluruh keluarga penulis, khusus kedua orang tua penulis, Ayahanda

Silvester Nyandang, Ibunda Yasinta Inta, dan adik tersayang Teo Dorus

Mambang yang telah banyak memberikan dorongan spiritual dan material

sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

7. Pacar saya, Herman Ohoitimur yang telah memberikan dukungan dan

semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2012 yang telah

memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam menyelesaikan skripsi.

9. Teman-teman Olivie, Epi, Devi, dan Dita yang telah memberikan dukungan

dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Serta semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu yang turut membantu

penulis untuk menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari bahwa dalam hasil penelitian laporan ini masih jauh

dari sempurna. Penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang

membangun untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Penulis

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Kajian Pustaka ... 7

F. Landasan Teori ... 15

G. Metode dan Pendekatan Penelitian ... 22

H. Sistematika Penulisan ... 27

(13)

xiii

A. Revolusi Pasca Kemerdekaan 1945 ... 30

B. Lahirnya Lembaga Kebudayaan Rakyat... 37

BAB III. PROSES LEKRA DALAM MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN ... 43

A. Struktur Organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat ... 43

B. Lembaga-Lembaga Kreatif Lekra ... 56

BAB IV. DAMPAK PERKEMBANGAN LEKRA DI BIDANG POLITIK DAN SOSIAL ... 66

A. Bidang Politik ... 66

B. Bidang Sosial ... 80

BAB V. KESIMPULAN ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakakang Masalah

Jepang merupakan negara terakhir menjajah Indonesia setelah kekalahannya

terhadap sekutu. Kekalahan Jepang menyebabkan kekosongan kekuasaan di tanah

jajahan yaitu Indonesia. Kekosongan kekuasaan tersebut dimanfaatkan bangsa

Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kemerdekaan Indonesia ini mendapatkan respon dari bangsa kolonial karena

sebulan setelah itu tentara Inggris mendarat di Jakarta. Kedatangan tentara Inggris

ini mewakili tentara Sekutu dan memberikan bantuan kepada pemerintah Belanda

untuk menyusun kembali administrasinya di Indonesia.1

Kemerdekaan Indonesia seakan-akan tidak memiliki arti apa-apa dengan

melihat keteguhan negara-negara kolonial yang masih berusaha kembali menjajah,

salah satunya ialah Belanda. Hal ini dibuktikan dengan berbagai cara yang

dilakukan oleh Belanda seperti Agresi Militer pertama, Agresi Militer kedua,

Konferensi Meja Bundar (KMB), membagi wilayah Indonesia menjadi Republik

Indonesia Serikat (RIS), dan masih banyak lagi.

Indonesia tidak seratus persen merdeka sebagai suatu negara yang berdaulat.

Tahun-tahun awal kemerdekaan merupakan masa rentan bagi negara yang baru

saja berdiri. Selain Belanda yang masih berusaha untuk kembali menduduki

Indonesia, pemerintah pula memikul beban berat dalam mengurus rakyatnya

sendiri. Berabad-abad rakyat hidup dalam masa penjajahan memberi dampak

1Asnawi Murani, dkk, Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni,

(15)

buruk pada mental bangsa seperti rasa tertinggal, rasa bodoh, kurang percaya diri

dan sebagainya. Oleh sebab itu, Soekarno dengan gencar menyuarakan kembali

revolusi. Menurut Soekarno, Revolusi Agustus 1945 dianggap gagal karena

Indonesia masih belum mampu keluar dari pengaruh Imperialisme, Kolonialisme,

dan Feodalisme.2

Mental lemah yang terjadi merupakan akibat dari berabad-abad lamanya

dibawah masa penjajahan kolonial. Dalam menyikapi hal tersebut, maka

diperlukan revolusi disegala bidang tidak terkecuali dibidang kebudayaan,

khususnya kesenian. Sebenarnya, dalam bidang kebudayaan para seniman telah

lama memperjuangkan suara rakyat. Seperti yang terjadi pada masa penjajahan

Jepang. Para seniman pelukis membentuk sanggar-sanggar untuk

mengekspresikan realitas kehidupan pada saat itu. Tema seni lukis secara

sosiologis bersumber pada unsur sosial, ekonomi, dan politik yang kondisinya

semakin berat.

Pengembangan paradigma kerakyatan makin menguat seiring dengan

munculnya sanggar-sanggar. Sanggar dengan visi kerakyatan yang paling besar

dan menonjol ialah sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) yang berdiri pada

tahun 1946 dan sanggar Pelukis Rakyat yang berdiri pada tahun 1947. Secara

eksplisit sanggar Pelukis Rakyat mempunyai slogan “seni untuk rakyat” dan

dalam aktivitas keseniannya mendorong kehidupan komunal serta kerja kooperatif

para anggotanya.

2Dalam Budaya, Yogyakarta, diterbitkan Djawatan Kebudayaan Pusat Departemen P.D.K. Urusan

(16)

Dalam perkembangannya, seni lukis yang semula berempati pada kehidupan

masyarakat yang menderita berubah menjadi ungkapan para pejuang ideologi

sosialisme untuk menyuarakan rakyat bawah. Pada tahun 1950-an, benih

pandangan ini menggerakkan para seniman membentuk sebuah Lembaga

Kebudayaan Rakyat atau yang lebih dikenal dengan Lekra.3 Secara definitif

Lekra berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan diluncurkannya Mukadimah

Lekra.4 Lembaga ini menjadi wadah aspirasi dari setiap ide kreatif para seniman

dan rakyat kecil. Lekra berkerja khususnya di bidang kebudayaan. Tujuan

dibentuk Lekra adalah untuk mendukungrevolusi dengan cara membangun

kebudayaan nasional.5

Usaha yang dilakukan Lekra di atas merupakan langkah untuk menghapus

kebudayaan kolonial dan menggantikannya dengan kebudayaan asli Indonesia.

Konsepsi Kebudayaan Nasional memberikan kebebasan yang besar kepada setiap

pandangan hidup dan keyakinan seni dengan syarat mendahulukan kepentingan

nasional dan kepentingan rakyat.6 Para seniman diberi kebebasan dalam

mengekspresikan diri melalui karya-karya yang dibuat olehnya.

Bidang kebudayaan memiliki peran penting dalam mempertahankan

kemerdekaan Indonesia melalui berbagai karya seni yang dihasilkan. Karya-karya

seni tersebut menceritakan kesengsaraan masyarakat pada masa itu. Karya seni

haruslah sejalan dengan semangat revolusi. Para seniman penyendiri dan sibuk

6 Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Lekra Tak Membakar Buku, Yogyakarta, Mekarasumba, 2008, hlm.

(17)

memikirkan imajinasi personal serta tidak perduli pada politik dianggap sebagai

musuh revolusi.7 Oleh karena itu, seni memiliki peran besar dalam usaha

mendukung jalannya revolusi. Ini berarti bahwa revolusi tidak hanya menjadi

tanggungan pemerintah tetapi juga tanggung jawab para pekerja seni.

Lembaga Kebudayaan Rakyat berusaha berjuang untuk menghancurkan

sisa-sisa imperialisme, feodalisme, dan budaya Barat yang masih ada di

Indonesia. Kebudayaan Barat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa

diusahakan untuk dihapusdan digantikan dengan kebudayaan asli Indonesia. Hal

yang terpenting bagi Lekra ialah menghidupkan kembali kebudayaan-kebudayaan

asli dari berbagai daerah. Oleh sebab itu, karya-karya dari para seniman Lekra

lebih banyak bertemakan semangat revolusi untuk melakukan perubahan dalam

bidang kebudayaan dengan mengusung kesenian dari berbagai daerah.

Lekra mempunyai program yang biasa dikenal dengan turun ke bawah

(turba) bersama dengan buruh dan tani. Dalam menjalankan program ini, Lekra

menjalin relasi dengan banyak kalangan dan lembaga-lembaga lainnya. Salah satu

contohnya ialah di bidang seni rupa.Dalam usaha untuk mempererat kehadiran

karya seni di tengah massa, para pelukis mempertunjukkan karya-karyanya pada

kaum buruh, tani, pemuda, dan wanita berkerja samadengan SOBSI, BTI, Pemuda

Rakyat, dan Gerwani.8

Pemikiran dasar Lekra ialah memerdekakan kehidupan rakyat dalam bidang

kebudayaan. Hal ini lebih menekankan pada terpenuhi hak-hak rakyat, seperti hak

atas kehidupan yang layak, hak atas pendidikan, dan hak kebebasan berekpresi.

7 Tempo, op.cit., hlm. xi.

(18)

Hak-hak ini tidak pernah diperoleh pada masa kolonial. Pada masa penjajahan,

kehidupan rakyat merasa tertekan karena dipaksa untuk berkerja dengan upah

yang kecil. Kemerdekaan yang diusung Lekra ialah memperjuangkan kehidupan

rakyat secara layak melalui seni dan kebudayaan-kebudayaan nasional.

Lembaga Kebudayaan Rakyat merupakan laskar kebudayaan yang

memagari moralitas keluarga dan anak-anak Indonesia dengan intensif dari

amukan bacaan-bacaan cabul, komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang

mempertontonkan kevulgaran, dan musik ngak-ngik-ngok.9 Menurut Lekra,

budaya ini tidaklah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang

berkebudayaan timur. Oleh sebab itu, kebudayaan yang diusung oleh Lekra

haruslah sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang telah mulai tergusur oleh

kebudayaan asing. Kebudayaan asing akan diambil dan diterima dengan sikap

yang lebih kristis serta disaring atas kepentingan praktis dari Rakyat Indonesia

sendiri.

Tidak hanya Lekra, lembaga kebudayaan lainnya ialah Manifes Kebudayaan

yang didirikan oleh para penyair dan pengarang pada tanggal 17 Agustus 1963.

Dalam perkembangannya, kedua lembaga kebudayaan ini terlibat dalam berbagai

perselisihan. Perselisihan ini merupakan dampak dari kondisi pergolakan politik

di Indonesia pada masa itu.

Pada masa itu, seni dan politik selalu beriringan serta saling melengkapi

satu sama lain. Seni menjadi pendukung jalan politik dan begitu pula sebaliknya.

Seiring perkembangannya, Lekra menjadi sangat dekat dengan salah satu partai

(19)

besar saat itu yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia). Kedekatan ini dikarenakan

sebagian dari para pendiri Lekra merupakan petinggi-petinggi PKI, seperti Njoto

dan D.N. Aidit.Selain itu, banyaknya kesamaan prinsip dan paham membuat

keduanya saling membutuhkan. Lembaga kebudayaan ini memiliki banyak

anggota dengan berbagai kegiatan merakyat sehingga mendapat simpati dari

rakyat-rakyat kecil. Kedekatan antara Lekra dan PKI akhirnya memberi dampak

buruk bagi Lekra, terlebih pasca meletusnya Peristiwa 65.

Seiring dengan tumbangnya ideologi Komunis di Indonesia dan bergantinya

penguasa politik, akhirnya Lekra dibubarkan berdasarkan Tap MPRS Nomor

XXV/MPRS/ tahun 1966 tentang pelaranggan Komunisme, Leninisme, dan

pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya.10 Para seniman Lekra

kemudian ikut diburu dan ditangkap oleh pemerintah pada masa itu dan Lekra

dinyatakan sebagai lembaga terlarang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan

yang hendak diteliti dalam skripsi berjudul Lekra dalam Perkembangan Politik di

Indonesia 1950-1965 ini. Rumusan permasalahan tersebut sebagai berikut:

1. Apakah latar belakang berdirinya Lekra ?

2. Bagaimana proses Lekra dalam mengembangkan kebudayaan ?

3. Apa dampak perkembangan Lekra di bidang politik dan sosial ?

(20)

C. Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan dari skripsi ini yang ingin dicapai antara lain adalah:

1. Untuk menjelaskan latar belakang berdirinya Lekra.

2. Untuk mendeskripsikan proses Lekra dalam mengembangkan kebudayaan.

3. Untuk menjelaskan dampak perkembangan Lekra di bidang politik dan

sosial.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan dari Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta. Diharapkan hasil dari penelitian ini akan dapat

menambah ilmu, pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam memahami

sumbangan Lembaga Kebudayaan Rakyat untuk Bangsa Indonesia. Penelitian

skripsi ini juga memberi pengalaman tersendiri bagi penulis. Skripsi ini pun dapat

digunakan sebagai kajian lebih lanjut bagi institusi atau lembaga terkait,

mahasiswa, dan pihak lain yang membutuhkan.

E. Kajian Pustaka

Sebelum masuk pada pembahasan mengenai permasalahan tersebut di atas,

maka penulis berusaha mencari sumber-sumber yang diperlukan untuk menjawab

permasalahan tersebut di atas. Sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam

menyusun skripsi ini antara lain buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan

Muhidin M Dahlan berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar

(21)

2008. Buku ini memberikan gambaran tentang perjuangan Lekra dalam

membangkitkan kembali kebudayaan-kebudayaan daerah dan semangat revolusi

dalam melenyapkan kebudayaan kolonialis dan imperialis. Menurut Rhoma Dwi

Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Lembaga Kebudayaan Rakyat menjadikan

dirinya sebagai generator bangkitnya kebudayaan rakyat sekaligus memfasilitasi

tumbuh-kembangnya organisasi-organisasi kebudayaan yang sudah hidup dalam

masyarakat.11 Gerakan kebudayaan ini menjadi salah satu aksi nyata dalam

mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari amukan budaya luar yang tidak

sesuai dengan kepribadian bangsa.

Buku lainnya adalah buku yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada

tahun 2003, berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia karya Pramoedya

Ananta Toer. Buku ini membahas paham realisme-sosialis yang disebut-sebut

sebagai ideologi dari Lembaga Kebudayaan Rakyat dalam menjalankan

program-program kebudayaannya. Menurut Pramoedya Ananta Toer, realisme merupakan

istilah dalam kesenian dan kesusasteraan yang berbeda dari istilah yang dikenal

oleh dunia Barat selama ini.

Lekra menggunakan paham realisme-sosialis hanyalah sebagai penamaan

satu metode di bidang sastra dan hubungan filsafat dalam metode penggarapan

dengan estetiknya sendiri. Istilah Realisme-sosialis mencakup persoalan taktik

dan strategi mengembangkan sastra seperti dalam mengemukakan plot, gaya

(22)

bahasa, perbendaharaan kata, pilihan kata, metode penyampaian, kontras, dan

sebagainya yang sifatnya sama sekali telah akademik.12

Paham realisme sosialis juga diceritakan pada buku Laporan Dari Bawah:

Sehimpunan Cerita Pendek Lekra: Harian Rakyat 1950-1965, karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri yang diterbitkan oleh Merakesumba. Buku

ini merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh para seniman Lekra dalam

koran Harian Rakyat pada tahun 1961, menghimpun 97 cerpen dari 111 penyair

Lekra dalam menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa itu. Tulisan para

eksponen Lekra merupakan contoh gaya realisme sosialis yang ditemukan, di

dalam dan dipraktikkan di lapangan kesustraan Indonesia.13

Buku berikutnya berjudul Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa

-Lekra 1950-1965, karya Antariksa yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Cerneti pada tahun 2005. Buku ini menceritakan hubungan sosial politik Lekra dengan

seni rupa. Antariksa memaparkan kemunculan sanggar-sanggar kesenian pada era

1950-1960an yang termotivasi akan kesadaran rakyat tentang kebudayaan asli

Indonesia pada saat itu. Keprihatinan Lekra terhadap budaya Barat yang

berkembang dan merusak citra serta budaya asli. Lekra berkerja dengan

menggarap ladang-ladang kebudayaan yang berasal dari kehidupan rakyat

sehari-hari. Kehidupan rakyat yang diekspresikan oleh para seniman Lekra tidak lepas

dari seni rupa, tari, drama, lundruk, puisi dan sebagainya.

12Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia , Jakarta, Lentera Dipantara,

2003, hlm. 18-22.

13 Realisme sosialis merupakan realisme yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme

(23)

Dalam mengembangkan lembaga kebudayaannya, Lekra mengadakan

Kongres I di Solo pada tahun 1959 yang diceritakan pada buku Laporan

Kebudayaan Rakyat. Buku yangditerbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat pada tahun 1959 ini, berisi tentang hasil kongres nasional ke-I yang dilaksanakan

di Solo pada tanggal 22-28 Januari 1959. Kongres ini merupakan kongres

terpenting bagi Lekra karena membahas langkah-langkah Lekra ke depannya.

Segala hal yang berkaitan dengan Lekra disusun dan diperbaharui kembali

sehingga dapat menjadi suatu pegangan dalam melaksanakan program-program

kerja. Kongresini juga dihadari oleh para undangan dari luar negeri.

Kongres I ini, selain membahas langkah-langkah Lekra ke depan, juga

membicarakan sumbangan Lekra pada jalannya revolusi. Revolusi Agustus selain

memberi kebebasan politik bagi Indonesia dari penjajahan dan feodalisme juga

memberikan dasar baru bagi perkembangan kebudayaan. Menurut Lekra,

Revolusi Agustus telah membebaskan kesenian dan ilmu dari belenggu yang

mengikat selama penjajahan Belanda dan pendudukan tentara Jepang.14

Gerakan kebudayaan juga diceritakan dalam buku yang berjudul Seni Lukis

Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra, karya M. Agus Burhan yang diterbitkan oleh UNS PRESS pada tahun 2013, menggambarkan keberadaan seni lukis yang

menyuarakan penderitaan kehidupan rakyat. Melalui buku ini, M. Agus Burhan

mencoba membahas pengaruh paradigma kerakyatan dalam perkembangan seni

lukis, yang telah muncul pada masa kolonial Belanda. Situasi sosial ekonomi yang

merosot pada masa itu ikut memberikan dorongan bagi timbulnya pemikiran

14

(24)

humanis liberal di kalangan elite pelajar di Hindia Belanda. Berawal dari

pemikiran inilah lahir pergerakan nasional. Kesadaran nasional yang tumbuh pada

saat ini juga berpengaruh terhadap sikap dan cara pandang para seniman.

Pemikiran humanis liberal menggugah para seniman dalam mentransformasikan

ide dan tema-tema karyanya yang berpihak pada kehidupan rakyat.15

Pada masa pendudukan tentara Jepang, kesenian dijadikan sebagaialat

politik untuk menghadapi superioritas Barat. Pada saat itu, Jepang berusaha

mendapatkan simpati yang besar dari masyarakat Indonesia untuk memperkuat

kedudukannya.16 Hal serupa juga terjadi pada periode 1950-1965, dimana

kebudayaan terjebak dalam persaingan politik para elit penguasa. Sanggar-sanggar

seni kala itu terpecah menjadi partisan politik dan berhaluan bebas.17 Kebudayaan

tidak lagi murni dalam bidangnya namun terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran

politik kaum elite.

Intervensi para elite penguasa terhadap kebudayaan juga diceritakan Tod

Jones dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia:

Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi, yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada tahun 2015. Buku ini merupakan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Tod Jones terhadap hubungan kebudayaan dan

kekuasaan di Indonesia. Menurut Tod, praktik kebudayaan dan cara hidup

komunitas dibentuk dalam negosiasi dengan kekuasaan negara dan politik lokal.

Hal inilah yang menyebabkan perkembangan suatu kebudayaan dapat

(25)

memperkuat kedudukan politik dan pada kesempatan lain bisa pula

menumbangkan kekuasaan politik tersebut.

Kebijakan-kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap perkembangan

berbagai sektor kehidupan, termasuk di dalamnya kebudayaan nasional. Hal ini

dapat dilihat dari intervensi negara seperti penyensoran dan ulasan-ulasan politik

terhadap berbagai bentuk kebudayaan.18 Seiring meningkatnya sumber daya yang

dikendalikan negara, versi budaya nasional yang demikian itulah yang menyebar

di seluruh Indonesia. Setiap warga negara harus menyesuaikan diri dengan budaya

Indonesia versi negara.

Keterkaitan antara kebudayaan dan kekuasaan juga dijelaskan pula oleh

Taufiq Ismail dan D. S Moeljanto dalam buku yang berjudul Prahara

Budaya:Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI DDK (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah), yang diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1995. Buku ini menggambarkan peristiwa-peristiwa politik yang dipahami sebagai panglima kehidupan pada masa

Orde Lama. Pada waktu itu pengaruh politik sangat kuat, sehingga eksistensinya

tidak dapat dielakkan. Lembaga-lembaga kebudayaan pun menjadi sarat

bermuatan politik dan ajang pertarungan politik. Pendekatan kebudayaan menjadi

sarana ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan politik.19 Seperti yang terjadi pada

Lekra dibawah pengaruh PKI. Menurut Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto, revolusi

sosial dipimpin oleh politik yang di dalamnya terdapat gerakan kebudayaan,

18

Tod jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Reformasi, Yayasan Pusat Obor Indonesia, 2015. hlm. 5.

19Taufiq Ismail dan D. S Moeljanto, Prahara Budaya:Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI DDK

(26)

gerakan pendidikan, gerakan kesenian, dan gerakan kesusasteraan yang

revolusioner.

Kuatnya pengaruh politik saat itu berimbas pada kehidupan kebudayaan,

salah satunya Lekra. Lembaga kebudayaan ini juga ikut terseret didalamnya. PKI

sebagai partai besar memiliki satu organisasi kecil didalamnya untuk

mendapatkan pengaruh dari rakyat kecil, yaitu Lekra. Disamping Lekra, PKI juga

memiliki dua koran yaitu Harian Rakyat dan Bintang Timur untuk menyebarkan

pengaruhnya. Pada saat itu pengaruh PKI bersama Lekra cukup besar dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaanya semakin terdukung oleh

konsep Bung Karno tentang Nasakom dan Manifesto Politik.

Kedekatan antara Lekra dan PKI juga dijelaskan oleh Ajib Rosidi dalam

buku yang berjudul Lekra Bagian dari PKI, yang diterbitkan PT Dunia Pustaka

Jaya pada tahun 2015. Ajib Rosidi memberi gambaran tentang hubungan antara

Lekra dan PKI. Hubungan ini semakin diperkuatoleh jargon Njoto (petinggi PKI)

yang menyerukan “politik sebagai panglima”,yang kemudian dijadikan pedoman

oleh Lekra. Ia juga mengemukakan Lekra merupakan organisasi kecil bagian dari

PKI. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Lekra yang selalu berdasarkan garis

politik dan kesetiaan akan mematuhi semua kebijakan politik pimpinan partai.

Pustaka yang tidak kalah berharga lainnya adalah Seri Tempo: Lekra dan

Geger 1965, yang dicetak oleh PT Gramedia pada tahun 2014 yang menjelaskan pembentukan Lekra oleh sejumlah seniman dan politikus melalui konsep seni

untuk rakyat. Hubungan Lekra dengan Partai Komunis Indonesia sangat erat,

(27)

Kedekatan diantara kedua lembaga semakin jelas terlihat dari eratnya hubungan

antara Njoto dan seniman-seniman muda Lekra, salah satunya Amrus Natalsya.20

Meskipun kedua lembaga ini cukup dekat namun tidak ada bukti menunjukkan

secara tegas bahwa Lekra adalah bagian dari PKI.

Pustaka lain berupa skripsi, berjudul Lekra vs Manikebu: Perdebatan

Kebudayaan Indonesia 1950-1965, karya Alexander Supartono yang diterbitkan Wacana Sosialis pada 2000. Skripsi ini menceritakan sejarah Indonesia pada

periode 1950-1965 dengan fokus perseteruan politik yang merambat pada ranah

kebudayaan penuh kontroversi. Alexander Supartono menjelaskan, perdebatan

antara kelompok pro Manifes Kebudayaan dan kelompok pro Lekra tidak bisa

dikatakan sebagai perdebatan kebudayaan. Hal ini dikarenakan terdapat

kepentingan-kepentingan politik kelompok dalam mempertahankan eksistensi

masing-masing.

Sumber berikutnya yang dapat menjadi bukti tentang

kepentingan-kepentingan kelompok ialah pada terbitan Tempo, edisi 22 September 2013

berjudul Trubus, Dimanakah Anda?. Majalah ini menceritakan seorang seniman

kesayangan Presiden Soekarno yang hingga kini tidak diketahui nasibnya pasca

tragedi 65. Trubus Sudarsono dikenal sebagai pelukis andal dan tokoh Lekra yang

aktif dalam dunia politik sebagai anggota DPRD Yogyakarta mewakili Partai

Komunis Indonesia.21 Tema yang sering diusungnya ialah buruh dan petani,

meskipun hampir semua lukisan serta patung Trubus mengangkat tema

20Ibid, hlm.18.

(28)

perempuan. Soekarno sendiri tidak jarang memesan patung-patung wanita pada

Trubus, salah satunya ialah patung yang dipanggil si Denok.

Kedekatan trubus dengan PKI dan Presiden Soekarno membuat dirinya

menjadi salah satu seniman yang masuk dalam daftar orang yang paling dicari

pasca tragedi 65. Trubus berhasil ditangkap di Lereng Gunung Merapi dan setelah

itu nasibnya tidak lagi diketahui. Ia dikabarkan meninggal pada tahun 1966

lantaran dibunuh sebagai dampak politik G-30-S.22

F. Landasan Teori

Sebelum masuk pada pokok pembahasan, penulis perlu menguraikan

beberapa konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini yakni mengenai konsep

kebudayaan, rakyat, dan politik pada kurun waktu 1950-1965. Hal ini bertujuan

untuk memperjelas arti dari beberapa kata penting yang sering digunakan dalam

pembahasan sehingga ada kesamaan pandangan.

Setiap kebudayaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Menurut

Koentjaraningrat, kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta buddayah

yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal. Kebudayaan

merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.23

Keseluruhan dari kegiatan dan hasil tindakan yang diperoleh dengan terus belajar

dan tersusun dalam kehidupan masyarakat.

J.W.M. Bakker juga menjelaskan pengertian kebudayaan yang merupakan

proses mencipta, menertibkan, dan mengolah nilai-nilai insani oleh manusia.

22Ibid.,hlm. 68.

(29)

Aktivitas ataupun hasil ini dari proses dapat dibentuk dan dibentuk kembali.24

Sedangkan M. Hatta mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil karya suatu bangsa

yang bermulti-corak termasuk didalamnya agama, bahasa, karya seni, dan

lain-lain. Ia melihat bahwa agama, bahasa, seni, arsitektur, dan pranata sebagai budaya

untuk mencapai kehidupan lebih baik.25

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi kehidupan manusia,

salah satunya ialah dalam hal menghadapi kekuatan alam. Pada masyarakat,

kebudayaan dapat menumbuhkan ide kreativitas seperti teknologi untuk

melindungi diri.26 Dalam menumbuhkan ide, tidak jarang suatu masyarakat

mengadopsi kebudayaan lain dikarenakan keadaan yang terjadi di lingkungan

sekitarnya dengan adanya kontak antar kelompok. Suatu kelompok sosial akan

mengadopsi suatu kebudayaan tertentu apabila kebudayaan tersebut berguna

untuk mengatasi atau memenuhi tuntutan hidupnya.

Unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki suku-suku di Indonesia berbeda

antara satu dengan lainnya. Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur-unsur yang

berkaitan erat antara yang satu dengan lainnya sehingga tercipta tata prilaku

manusia yang terwujud dalam unsur kebudayaan sebagai suatu kesatuan.

Unsur-unsur kebudayaan dapat dilihat dari sistem norma yang memungkinkan kerja

sama antara para anggota masyarakat dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.

Unsur-unsur kebudayaan juga mencakup organisasi ekonomi, alat-alat dan

lembaga pendidikan, keluarga, kekuasaan politik dan sebagainya.27

24

Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang,Yogyakarta, Jalasutra, 2008, hlm. 10.

25Ibid., hlm. 11.

26Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakata, Kencana, 2006, hlm. 34-42.

27

(30)

Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang

berbeda namun mempunyai sifat atau ciri budaya yang sama. Sifat tersebut bukan

diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Sifat-sifat budaya

terkandung ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa

membedakan faktor ras, lingkungan alam, ataupun pendidikan tetapi bersifat

hakiki dan berlaku umum bagi semua budaya. Budaya itu terwujudkan dari

perilaku masyarakat dan telah lebih dulu ada sebelum lahirnya suatu generasi

tertentu serta tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.28

Beberapa jenis kebudayaan antara lain kebudayaan lokal dan kebudayaan

nasional.Kebudayaan lokal ialah suatu kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh

masyakat pedesaan secara tradisional dan dilakukan oleh sekelompok masyarakat

tertentu.29 Pada umumnya, kebudayaan terkandung nilai-nilai kehidupan antara

lain taqwa, harga diri, harmoni, tertib, tolong-menolong, musyawarah-mufakat,

kreativifitas, kerja keras, rukun, kebersamaan, hormat dan sebagainya. Nilai-nilai

ini menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat. Setiap masyarakat harus tetap

menaati budaya yang memang telah mendarah daging sebagai salah satu

pengendalian pergaulan hidup sehari-hari.

Menurut Dr. M. Junus Melalatoa, bahasa daerah menjadi salah satu hal

penting yang menandai kemajemukan masyarakat Indonesia. Kebudayaan

berkaitan erat dengan bahasa sebagai sistem lambang dan sistem makna yang

disepakati oleh kelompok penutur bahasa tersebut untuk berkomunikasi, bekerja

28M. Suprihadi Sastrosupono, Menghampiri Kebudayaan, Bandung, Penerbit Alumi, 1982, hlm.

53-55.

(31)

sama, dan mengidentifikasi diri. Bahasa berfungsi sebagai pengembang

kebudayaan dan penerus kebudayaan.30

Menurut Sartono Kartodirdjo, kebudayaan nasional adalah suatu totalitas

dari proses dan hasil segala aktivitas bangsa Indonesia dalam bidang estetis, moral

dan ideasional. Hasil dari setiap kegiatan yang dilakukan bangsa Indonesia

dengan keberagamannya ini, melalui Pancasila dengan fungsi teleologis akan

memberikan payung ideologis bagi berbagai unsur dalam masyarakat Indonesia.31

UUD 1945: P-4 GBHN menjelaskankebudayaan bangsa merupakan hasil

dari buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya termasuk kebudayaan lama

dan kebudayaan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di

daerah-daerah di seluruh Indonesia.32Bangsa Indonesia berusaha mengembangkan

kebudayaannya dengan terbuka terhadap kebudayaan asing demi memperkaya

kebudayaan bangsa. Namun hal ini harus tetap disesuaikan dengan kepribadian

bangsa.

Kebudayaan nasional merupakan suatu budaya yang dihidupi oleh suatu

bangsa dan terlepas dari kebudayaan suku. Setiap kebudayaan terwujud dan

berkembang dalam kondisi tertentu. Kebudayaan nasional pada hakikatnya

berkaitan dengan eksistensi bangsa. Pada negara Indonesia, terdapat masyarakat

majemuk (heterogen) yang menjadi modal dasar serta tumpuan budaya bersama.

Kebudayaan nasional berfungsi dalam menjaga kelestarian eksistesi bangsa

dengan menumbuhkan identitas, mendorong integrasi nasional, dan memberikan

30

M. Junus Melalatoa, Sistem Budaya Indonesia, Jakarta, PT. Pamator, 1997, hlm. 251.

31 Sartono Kartodirdjo, Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta, Gajah

Mada University Press,1987, hlm. 32-33.

(32)

dinamika kehidupan bangsa. Oleh karena itu, kebudayaan nasional memiliki

peranan penting dalam menentukan kebijakan untuk pembangunan bangsa

termasuk pelaksanaannya.

Perkembangan kebudayaan nasional nampak pada bahasa nasional (bahasa

Indonesia), lagu-lagu nasional, melalui karya-karya seni lainnya, dan Pancasila.

Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai filsafat namun juga dapat dikatakan

sebagai salah satu hasil kebudayaan nasional. Indonesia merupakan satu-satunya

negara yang menganut paham Pancasila yang tidak terdapat di negara lain.

Pancasila merupakan hasil penghayatan dari nilai-nilai kehidupan bangsa.

Rumusannya mencerminkan pemikiran-pemikiran maju yang tidak semuanya

terdapat dalam kebudayaan suku, salah satunya ialah demokrasi.

Dalam proses mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia, rakyat

memiliki peran yang besar dalam menciptakan kebudayaan. Rakyat menjadi

bagian dari suatu negara atau pemerintahan dan unsur penting dari kebudayaan.

Rakyat terdiri dari beberapa orang yang mempunyai ideologi, tinggal di daerah

atau pemerintahan, dan mempunyai hak, dan kewajiban yang sama, yaitu untuk

membela negara.33

Indonesia terdiri dari keanekaragaman suku dan kekayaan budaya yang

telah ada sejak lama. Kebudayaan nasional dapat diambil dari budaya daerah yang

berceritakan kehidupan masyarakat setempat. Kebudayaan tersebut dapat

ditampilkan di festival-festival dalam negeri maupun luar negeri oleh anak muda

Indonesia dengan tema kehidupan rakyat. Kebudayaan bertemakan kerakyatan

(33)

tidak melihat soal daerah dan diperoleh dari suku mana yang ditampilkan, namun

yang terpenting merupakan hasil karya putra putri Indonesia.34 Dari pengertian di

atas dapat disimpulkan, kebudayaan merupakan hasil tindakan masyarakat yang

dijadikan kebiasaan dan terus dihidupi dari generasi ke generasi.

Menurut Ali Moertopo, kebudayaan dapat menjadi suatu strategi dalam

kehidupan politik, ekonomi, sosial, hubungan regional, hubungan internasional,

pertahanan dan keamanan.35 Kebudayaan nasional dipandang sebagai suatu

kekuatan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan nasional. Dilihat hal ini,

tidak mengherankan apabila kebudayaan sering dijadikan alasan bagi tercapainya

tujuan-tujuan tertentu, salah satunya ialah tujuan politik.

Dalam kebudayaan, politik ikut mewarnai perkembangan suatu masyarakat.

Menurut Dr. M. Junus Melalatoa, politik ialah usaha untuk mencapai dan

mewujudkan cita-cita atau ideologi. Kekuatan politik sangat mempengaruhi setiap

bidang kehidupan. Politik mempengaruhi perkembangan pikiran, ideologi,

nilai-nilai, struktural sosial dan ekonomi serta budaya. Pelaku-pelaku politik banyak

melibatkan partai politik, angkatan bersenjata, pemuda, mahasiswa, kaum

intelektual dan golongan penguasa.36 Melihat arti penting dari bidang kebudayaan,

tidak jarang elite penguasa ataupun kelompok memanfaatkan hal tersebut untuk

mencapai tujuan tertentu.

34Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka

Utama, 1974, hlm. 119.

35 Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan, Jakarta, Center For Strategic And Internasional Studies,

hlm. 4-5.

(34)

Menurut Aristoteles, manusia selalu berusaha untuk menentukan posisinya

dalam suatu masyarakat.37 Mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadinya

melalui sumber yang tersedia. Tindakan-tindakan yang diterapkan berupaya untuk

mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Dalam dunia politik,

untuk mencapai kedudukan tidak jarang seseorang atau kelompok menjatuhkan

lawan politiknya.

Menurut Maswadi Rauf, ciri pertama dari kekuasaan politik adalah

subjeknya mencakup masyarakat secara menyeluruh. Kekuasaan politik

mencakup setiap orang yang menjadi bagian dari suatu bangsa atau yang didalam

wilayah kekuasaan penguasa politik.38 Kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa

berfungsi mencegah warga masyarakat untuk melakukan tindakan yang

merugikan orang lain. Warga masyarakat menjadi taat patuh pada penguasa

disebabkan dengan adanya kepentingan masyarakat itu sendiri. Kepentingannya

antara lain ialah ketenangan dan perlindungan dari penguasa politik.

Dalam dunia politik Indonesia, partai politik ikut mewarnai dari masa

kependudukan kolonial hingga sekarang. Menurut Carlton Clymer Rodee, budaya

politik dalam masyarakat menempatkan pemimpin dalam posisi tertinggi telah

memudahkan para elit untuk menghimpun massa ke dalam partai politik yang

dibentuknya.39 Hal ini sejalan dengan berkembangnya gagasan bahwa rakyat

merupakan faktor yang harus diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses

kegiatan politik. Menurut Goerge B. de Huszar dan Thomasn H. Stevenson, partai

37

Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Rajawali Pers, 1988, hlm. 3.

38 Maswadi Rauf, Konsensus dan konflik politik, Diktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen

Pendidikan Tinggi, 2001, hlm.21.

(35)

politik ialah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan

merebut atau mempertahankan pengawasan terhadap pemerintah bagi pimpinan

partainya. Tugas dari partai politik adalah sebagai penghubung antara rakyat dan

pemerintah.40

Seiring perkembangannya, dunia perpolitikan tidak selalu berjalan mulus.

Setiap partai politik memiliki masing-masing ideologi. Ideologi yang dianut ini,

yang berbeda-beda tidak jarang dapat menjadikan konflik antara partai politik.

Misalnya, PNI (Partai Nasional Indonesia) yang beraliran nasionalis sekuler

terlibat konflik dengan Masjumi karena perbedaan pandangan yang bersumber

dari ideologi masing-masing. Tidak hanya itu, terkadang-kadang antara NU dan

Masjumi mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan baik, meskipun

keduanya berdasarkan Islam. Ada perbedaan pandangan diantara keduanya.

Masjumi sering diklasifikasikan sebagai modernis sedangkan NU ortodoks,

sehingga membuat hubungan diantara keduanya sering mengalami kesulitan.41

G. Metodologi Dan PendekatanPenelitian

1. Metode Penelitian

Secara metodologis, penelitian ini mendasarkan diri pada tahapan penelitian

sejarah secara umum. Menurut Kuntowijoyo42, penelitian sejarah mempunyai lima

tahapan, yakni: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verivikasi

(kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi berupa analisis dan sintesis,

dan (5) penulisan atau historiografi.

40

Soelistyati Ismail Gani, op.cit., hlm. 111-113.

41 Maswadi Rauf, Konsensus dan konflik politik, Diktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen

Pendidikan Tinggi, 2001, hlm. 117.

(36)

a. Pemilihan Topik

Pemilihan topik merupakan langkah awal dalam penulisan sejarah. Dalam

penelitian ini, penulis telah menentukan topik “Lekra Dalam Perkembangan

Politik di Indonesia 1950-1965”. Topik ini dipilih atas keinginan dari dalam diri

penulis. Syarat terpenting dalam pemilihan topik yaitu adanya kedekatan

intelektual dan kedekatan emosional. Kedekatan intelektual ialah penulis memiliki

kemampuan yang memadai dalam pembahasan akan topik yang dikaji. Sedangkan

kedekatan emosional yaitu rasa ketertarikan penulis terhadap topik yang dipilih

sehingga penelitian sejarah yang dilakukan terasa lebih menyenangkan.

Disini penulis memiliki ketertarikan dalam membahas tentang “Lekra dalam

Perkembangan Politik di Indonesia 1950-1965”. Penulis memilih topik ini

dikarenakan lembaga ini pada zamannya memberikan sumbangan yang cukup

besar bagi kebudayaan-kebudayaan nasional dengan peran para seniman.

Kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia akhirnya menjadikan sebuah

organisasi/lembaga terlarang oleh Orde Baru pasca Peristiwa 1965.

Topik harus memiliki nilai yang perlu dimaknai. Peristiwa-peristiwa penting

dimasa lalu membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat bahkan hingga

saat ini. Topik yang dipilih penulis memiliki nilai sangat mendalam bagi

perkembangan Indonesia pada awal kemerdekaan dalam semangat revolusi.

Dalam bentuk memperjuangkan kemerdekaan diperlukan sikap nasionalisme dan

semangat revolusi. Pengabdian Lekra terhadap negara ialah mengangkat kembali

(37)

b. Heuristik atau Pengumpulan Sumber

Heuristik merupakan langkah untuk mencari, menemukan, dan

mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Penelitian ini merupakan penelitian

pustaka, sehingga data-data yang diperoleh berupa laporan-laporan penelitian

tentang Lekra dalam perkembangan politik di Indonesia. Laporan-laporan tersebut

terdapat dalam buku, jurnal-jurnal, artikel, majalah, dokumen, dan internet.

Penelitian pustaka dilakukan pertama-tama untuk mendapatkan

informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan penelitian ini. Karena keterbatasan

sumber di perpustakaan Sanata Dharma, maka penulis juga mencari

sumber-sumber terkait di toko-toko buku, di perpustakaan Kampus Universitas Gajah

Mada, monumen pers Solo dan beberapa tempat foto copyan buku yang

menyediakan sumber buku secara online dipinggir jalan Kampus Universitas

Negeri Yogyakarta.

c. Verifikasi atau Kritik Sumber

Setelah proses pengumpulan data selesai dilakukan, tahap selanjutnya

adalah kritik sumber. Verifikasi atau kritik sumber merupakan tahap

penelitian/penulisan setelah pengumpulan data. Kritik sumber bertujuan untuk

mengetahui kredibilitas (dapat dipercaya atau tidaknya sebuah sumber) dan

otensitas (asli atau tidaknya) sumber data yang dipakai. Oleh karena itu dapat

dikatakan bahwa kritik sumber dalam penelitian/penulisan sejarah merupakan

(38)

atau untuk mengetahui apakah data yang ada dapat dipertanggungjawabkan

keasliannya atau tidak.43

Data-data yang didapatkan harus kembali diperhatikan, dikritik dan disaring

sehingga diperoleh fakta-fakta yang seobjektif mungkin. Kritik tersebut berupa

kritik tentang otensitasnya (kritik ekstern) maupun kredibilitasnya (kritik intern),

dilakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung. Sumber sejarah

yang telah dikritik menjadi data-data sejarah.

d. Interpretasi

Interpretasi adalah langkah penulis dalam menafsirkan fakta-fakta dan

mengaitkan serta merangkainya sehingga menjadi peristiwa yang teruji

kebenarannya. Dalam sebuah penelitian, interpretasi merupakan hal yang sangat

penting karena didalam interpretasi terdapat unsur penafsiran terhadap sumber

yang telah dinilai kebenarannya. Untuk menilai kebenaran suatu sumber perlu

melakukan pengolahan data secara cermat dan teliti, karena didalam data itu

sendiri muncul subyektivitas yang mewarnainya. Interpretasi ini akan dijadikan

pegangan atau arah yang akan menentukan tujuan dari penelitian ini. Akan dicari

kebenarannya melalui analisis-analisis selama penelitian. Selanjutnya adalah

analisis data yaitu mengolah data-data dari sumber-sumber yang ditemukan.

Dalam penulisan ini terdapat permasalahan politik, sosial, dan budaya dalam

memahami perkembangan Lekra selama lima belas tahun. Dari permasalahan

budaya dan sosial ini kemudian ditarik kedalam permasalahan politik.

(39)

e. Historiografi atau Penulisan

Tahap terakhir yang dilakukan adalah penulisan. Penyajian hasil penelitian

dalam bentuk tulisan yang telah melewati seluruh aturan, tahap ataupun proses

yang telah direncanakan. Penulisan ini berdasarkan data-data yang diperoleh dari

sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan. Dalam penulisan ini, penulis

harus memperhatikan penyusunan cerita yang berurutan, penyusunan berbagai

kejadian sesuai kurun waktu, hal yang berhubungan dengan sebab akibat dari

suatu peristiwa, dan daya pikir untuk menciptakan sesuatu yang ada di pikirannya

berdasarkan pengalaman.

2. Pendekatan Penelitian

Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan ilmu sosial

lainnya. Maka dari itu sejarah meminjam teori dan konsep ilmu sosial yang

lainnya dan digunakan dalam pendekatan. Dengan menggunakan pendekatan ilmu

sosial maka penelitian sejarah akan lebih berdaya guna. Pendekatan menjadi

sangat penting, sebab dari pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu

akan menghasilkan pola deskripsi kejadian tertentu.44 Dalam penulisan ini penulis

menggunakan pendekatan politik, sosial, dan budaya.

Pendekatan politik ialah pendekatan yang berorientasi pada

pengaruh-pengaruh politik bagi lahir, berkembang, dan runtuhnya Lekra sebagai lembaga

kebudayaan yang hadir pada kurun waktu selama 15 tahun. Kondisi politik yang

panas pada masa itu ikut mewarnai perkembangannya sehingga lembaga ini

terseret ke dalam persoalan-persoalan politik.

(40)

Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang berorientasi pada

perilaku-perilaku masyarakat pada tahun 1950 sampai 1965. Pendekatan ini digunakan

untuk melihat perkembangan bangsa Indonesia dalam menghadapi situasi politik

masa itu. Kuatnya pengaruh politik berdampak pula bagi kehidupan masyarakat

terutama bagi rakyat kecil. Keputusan-keputusan politik yang tidak

menguntungkan pada akhirnya menyengsarakan rakyat. Hal inilah yang

diperjuangkan Lekra dalam membebaskan rakyat dari penderitaan melalui

kebudayaan.

Pendekatan budaya adalah pendekatan yang berorientasi pada

kegiatan-kegiatan serta sumbangan Lembaga Kebudayaan Rakyat bagi bangsa Indonesia,

khususnya pada bidang kebudayaan. Karya-karya seniman yang bertemakan

kerakyatan merupakan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan

Indonesia dari amukan budaya kolonial. Kebudayaan nasional yang diambil dari

kebudayaan daerah diyakini Lekra mampu menghapus sisa-sisa budaya Barat.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam menyusun skripsi ini, penyusunan

dibagi menjadi lima bab. Dalam setiap bab akan terbagi menjadi beberapa sub

bab. Hasil penelitian ini dituangkan dalam sistematika sebagai berikut:

Bab I pendahuluan. Didalamnya terdiri dari beberapa sub bab diantaranya

Latar Belakang Masalah yang menerangkan alasan dan minat dalam penelitian,

Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Landasan Teori, Metodologi

(41)

Bab II menjelaskan latar belakang berdirinya Lekra dalam perkembangan

politik di Indonesia.

Bab III menguraikan proses Lekra dalam mengembangkan kebudayaan,

program-program kerja Lembaga Kebudayaan Rakyat, dan keterlibatannya dalam

dunia politik bersama Partai Komunis Indonesia.

Bab IV berisi dampak perkembangan Lekra bagi politik dan sosial.

Bab V penutup berisi kesimpulan. Bab ini berisi pernyataan penulis

mengenai hasil penelitian sekaligus jawaban atas permasalahan yang terdapat

(42)

29

BAB II

LATAR BELAKANG BERDIRINYA LEKRA

Pada akhir pemerintahan Hindia Belanda, pemerintah kolonial dengan

bangga mengatakan bahwa rust en orde (damai dan tertib) telah pulih kembali.

Perubahan-perubahan yang terjadi sejak awal abad ke-20 seringkali menimbulkan

ketegangan sosial seiring dengan kegiatan pergerakan nasional.Setelah kekuasaan

pemerintahan kolonial Belanda, rakyat Indonesia kembali diduduki oleh bangsa

Asing, yaitu tentara Jepang.45

Pada masa pendudukan tentara Jepang, semua jabatan pemerintahan

dipegang oleh orang-orang Indonesia, terutama struktur hukum dan

pendidikan.Perubahan besar juga terjadi dengan bahasa Indonesia yang dijadikan

sebagai bahasa persatuan oleh Kongres Pemuda Indonesia pada tahun 1928.

Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi dan sebagai bahasa pengantar

di sekolah-sekolah seluruh Indonesia.46Kekuasaan tentara Jepang tidak

berlangsung lama di Indonesia.Kekalahan Jepang pada Perang Dunia Kedua

mengakibatkan kekosongan kekuasaan di Indonesia.Kekosongan kekuasaan ini

dimanfaatkan oleh para pejuang bangsa untuk memproklamasikankemerdekaan

Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.47 Kemerdekaan yang telah lama

dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia ini tentu memberi harapan baru untuk

menentukan nasibnya sendiri.

45

Asnawi Murani, dkk, Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia, 1884, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 228.

46Ibid., hlm. 228-229.

(43)

A. Revolusi Pasca Kemerdekaan 1945

Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 disebut pula sebagai Revolusi

Agustus 45.Revolusi Agustus 45 membuktikan bahwa rakyat merupakan

pahlawan dari pergerakan kemerdekaan dalam melepaskan bangsa Indonesia dari

penjajahan.Revolusi berarti bergerak untuk bebas merdeka dalam melakukan

berbagai perubahan-perubahan dalam menentukan nasib dan kehidupan yang

layak. Menurut Soekarno, bergerak adalah langkah pertama menuju revolusi.

Gerakan ini diistilahkan dengan “massa aksi” dalam melakukan perubahan ke

dalam hal yang baru. Gerakan ini tidak dapat dilakukan oleh orang per orang

secara individu melainkan harus serentak bergerak dibawah satu aksi massa.48

Dalam mencapai revolusi diperlukan kerja sama semua pihak, terlebih

rakyat. Revolusi yang terjadi tidak hanya didukung oleh kekuatan politik tetapi

juga bidang kehidupan yang lainnya.Presiden Soekarno menegaskan bahwa

revolusi yang terjadi mencakup beberapa persoalan seperti di bidang politik,

ekonomi, sosial, kebudayaan, dan sebagainya.49Oleh sebab itu, revolusi tidak

dapat bergerak tanpa adanya dukungan dari segala aspek.

Tujuan Revolusi Agustus adalah mewujudkan kemerdekaan, perdamaian,

demokrasi, dan kebebasan berkebudayaan sehingga dapat berkembang dengan

bebas.50Perubahan-perubahan yang terjadi ialah sebagai suatu usaha untuk

melepaskan diri rakyat Indonesia dari penjajahan dan penindasan feodal.Hidup

48Hadji Schmad Notosoetardjo, Kepribadian Revolusi Bangsa Indonesia , Penerbitan Bersama

Endang-Pemuda Lembaga Penggalian dan Perhimpuanan Sedjarah Revolusi Indonesia, 1962, hlm. 14-15.

49Hadji Schmad Notosoetardjo, op.cit., hlm. 16.

(44)

selama berabad-abad dibawah tekanan tentu saja tidak memberikan kebebasan dan

hak secara penuh dalam menentukan kehidupan sendiri.

Kewajiban-kewajiban revolusi ialah membebaskan Indonesia dari semua

bentuk imperialisme dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Presiden Soekarno mengemukakan bahwa revolusi Indonesia bersifat nasional dan

demokratis.Revolusi nasional artinya menentang kolonialisme/imperialisme,

sedangkan revolusi demokratis menentang feodalisme dan otoritas atau

kediktaktoran, baik militer maupun perseorangan.51

Cita-cita hari depan revolusi Indonesia adalah masyarakat yang adil dan

makmur atau yang sering diserukan Soekarno tentang sosialisme ala Indonesia.

Sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi rakyat, alam, rakyat, adat istiadat,

psikologi, dan kebudayaan Indonesia.52Namun, revolusi yang terjadi di Indonesia

masih pada taraf nasional.Kemerdekaan yang sepenuhnya masih belum dirasakan

oleh rakyat kecil.Misalnya, rakyat belum memiliki hak untuk bersuara dan

kepemilikan tanah hanya dimiliki oleh tuan-tuan tanah.

Hal ini membuktikan bahwa sisa-sisa dari imperialis, kolonialis dan feodalis

masih ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Peristiwa Revolusi Indonesia

itu sendiri tidak memiliki arti apa-apa bila tidak diiringi dengan gejolak sosial

yang berusaha membongkar dasar-dasar kehidupan masyarakat lama dan

mempengaruhi masyarakat yang sedang tumbuh, terutama di Jawa dan Sumatra.53

51

Budaya, Jogyakarta, diterbitkan Djawatan Kebudayaan Pusat Departemen P. D. K. Urusan Kesenian Jogjakarta, 1962, hlm. 92.

52Hadji Schmad Notosoetardjo, op.cit, hlm. 63.

(45)

Revolusi sosial yang berlangsung setelah kemerdekaan berupa penentangan

terhadap pranata sosial yang sudah tertanam dan mengakar kuat selama masa

penjajahan.Tokoh-tokoh masyarakat yang identik dengan kaum feodal ialah para

raja, bupati,tuan-tuan tanah, dan penguasa setempat.Mereka ini merupakan

orang-orang yang menjadi kaki tangan para pemerintah kolonial dalam memungut upeti

ataupun hasil perkebunan milik para petani.Kondisi kehidupan rakyat yang serba

terbelakang, terutama yang disebabkan oleh sistem feodal.54

Dalam usaha untuk lepas dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, dan

feodalisme diperlukan perubahan dalam diri masyarakat.Revolusi sosial

merupakan perjuangan menuju pada tujuan kehidupan masyarakat sejahtera dan

terpenuhinya hidup yang layak.Revolusi sosial dipimpin oleh gerakan politik yang

di dalamnya terkandung gerakan kebudayaan, pendidikan, kesenian, dan

kesusastraan yang revolusioner.55Semua gerakan tersebutbersumber dari

konsep-konsep revolusi.Revolusi artinya mengabdikan diri kepada hidup bangsa.Revolusi

yang dijalankan disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia.Menurut Bung

Karno, kepribadian bangsa Indonesia tercermin pada sikap gotong royong yang

termuat dalam Pancasila.56

Revolusi atau gerakan nasional merupakan gerakan politik,sekaligus

gerakan kebudayaan.Pada masa revolusi, gerakan politik tidak dapat dipisahkan

dari gerakan kebudayaan, kedua-duanya saling membutuhkan satu dengan

54Anton Haryono, Sejarah (Sosial) Ekonomi: Teori Metodologi Penelitian dan Narasi Kehidupan,

Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 2011, hlm. 106-107.

55D.S. Moeljanto, Prahara Budaya: Kilas-Balik Lekra/PKI DKK (Kumpulan Dokumen Pergolakan

Sejarah), 1995, Bandung, Mizan, hlm. 108.

(46)

lainnya. gerakan kebudayaan tidak dapat diisolasi dari gerakan politik, dan

sebaliknya.57

Usaha dan syarat mutlak untuk mencapai tujuan revolusi harus revolusioner

dan melibatkan rakyat didalamnya.58Tanpa keterlibatan dan campur tangan rakyat,

cita-cita revolusi hanya menjadi sebuah mimpi. Kesadaran rakyat akan bahayanya

budaya imperialisme dan kolonialisme yang mengancam keberlangsungan

kehidupan bangsa. Revolusi yang terjadi tidak hanya bersifat material, tetapi juga

mental. Gerakan kebudayaan berusaha membongkar pemikiran terjajah dengan

pemikiran yang baru dan merdeka.Rakyat diajak berjuang bersama melawan

kebudayaan imperialisme dan menciptakan kebudayaan nasional yang sesuai

dengan kepribadian Indonesia.

Pada awal kemerdekaan, suasana revolusi belum dapat dikelola secara baik

oleh para pemimpin, tetapi telah adakesadaran akan kekuatan terbesar ialah

rakyat.Menurut Soekarno, Revolusi 1945 belum selesai.Oleh karena itu, Soekarno

memerintahkan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan untuk mengambil

tindakan dibidang kebudayaan guna melindungi dan menjamin perkembangan

kebudayaan nasional.59Hal-hal yang harus dihapus seperti tari-tarian, musik, dan

tulisan Barat yang merupakan kebudayaan luar.Usaha menghapus Kebudayaan

Imperialis ialah dengan mengaktifkan kembali kebudayaan asli Indonesia dari

berbagai daerah.

Kemerdekaan yang diperoleh tidak hanya berimbas pada hal yang bersifat

politik tetapi juga memberikan dasar baru bagi lahirnya kebudayaan baru.Revolusi

57D.S. Moeljanto, op.cit., hlm. 107.

58Hadji Schmad Notosoetardjo, op.cit., hlm. 66-67.

(47)

Agustus mendorong perkembangan yang lebih maju dalam bidang kesusasteraan,

seni rupa, musik, film, seni drama, seni tari, ilmu pengetahuan, dan

pendidikan.60Hal ini merupakan usaha untuk membebaskan kesenian dan ilmu

dari belenggu penjajahan yang mengikat dan membelenggu kebebasan

berekspresi.Revolusi Agustus 1945 sebagai peletak dasar bagi perkembangan

kesenian dan ilmu pengetahuan yang diabdikan pada rakyat.

Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka berusaha menunjukkan

dirinya kepada dunia.Hal ini berguna untuk melepaskan diri dari pengaruh

Belanda yang masih ingin kembali menguasai Indonesia.Kemerdekaan Indonesia

yang dilangsungkan pada 17 Agustus 1945 tidak serta merta membuat penjajah

meninggalkan Indonesia.Kegembiraan yang dirasakan rakyat tidak berlangsung

lamasebab Belanda merasa berhak memperoleh kembali tanah jajahannya.Bangsa

Indonesia merasa lebih berhak mempertahankan tanah airnya dan untuk itu

melakukan berbagai perlawanan terhadap musuh.61

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, rakyat mulai

mengadakan pembangunan untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan bersama

dengan Amanat Proklamasi.Tantangan yang dihadapi oleh Soekarno dan rakyat

lebih sulit dibandingkan dahulu.Pertentangan kelompok dengan ideologi yang

bermacam-macam memperkeruh keadaan.Dilain hal, pembangunan tidak dapat

berjalan semestinya akibat sering bergantinya kabinet selama demokrasi Liberal.62

Kebudayaan Nasional dapat diambil dari kebudayaan warisan nenek

moyang, misalnya cerita-cerita rakyat.Cerita rakyat terkadang mengandung

60Laporan Kebudayaan Rakyat, op.cit., hlm. 14.

61Peter Kasenda, Bung Karno Panglima Revolusi, 2014, Yogyakarta, Galang Pustakan, hlm. 163.

(48)

tahayul dan mistis, oleh sebab itu bagian yang dianggap tahayul tidak

dipopulerkan namun tidak menghilangkan nilai-nilai di dalamnya. Sementara, sisi

nilai-nilai kehidupan dan perjuangan lebih ditonjolkan.Hal ini merupakan suatu

usaha untuk mendukung jalannya revolusi.

Kebudayaan merupakan suatu hal yang dapat berkembang dalam suasana

terbuka dan bebas tekanan.63Oleh sebab itu, ia tidakdapat direkayasa karena akan

terus menerusberlangsung bersamaan dengan kehidupan masyarakat.Kebudayaan

yang dihidupi oleh suatu masyarakan tidak akan berakhir meskipun kehidupan

masyarakat tersebut telah berakhir. Hal ini disebabkan bahwa kebudayaan

memiliki peran yang cukup penting bagi suatu masyarakat.Keyakinan ini menjadi

pegangan oleh para seniman dalam berkembang.

Pada masa orde lama, kebudayaan berperan penting dalam perkembangan

kehidupan bangsa.Para seniman memainkan peran dalam mendukung jalan

revolusi.Revolusi terjadi disegala bidang, terlebih bidang politik.Ditahunawal

kemerdekaan Indonesia, situasi politik Indonesia kembali memanas.Bangsa

Indonesia tidak hanya berusaha untuk lepas dari intervensi Belandatetapi

jugasibuk dalam berbenah diri.

Kebudayaan menjadi bagian penting bagi setiap negara,tidak terkecuali

Indonesia. Kebudayaan merupakan identitas dari keberagaman setiap suku sebagai

harga diri bagi suatu negara. Keberagaman agama, adat istiadat, dan budaya dari

setiap suku merupakan kekayaan untuk Bangsa Indonesia.Selama berabad-abad

Indonesia berada dalam masa penjajahan tanpa disadari kebudayaan asing ikut

63 Franz Magis-Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-Butir Pemikiran Kritis, 1992, Jakarta,

(49)

membaur dalam kehidupan rakyat sehingga lambat laun mengaburkan

kebudayaan asli Indonesia.

Pada masa revolusi kemerdekaan, panggilan menjadi seniman masih

merupakan panggilan yang berat.Menjelang pendudukan tentara Jepang sampai

masa revolusi kemerdekaan, angkatan muda terpelajar pada umumnya mengalami

pergolakan jiwa melawan norma-norma lama yang feodal dan sistem politik yang

kolonial.64Hal ini ikut berpengaruh terhadap sikap dan perilaku serta pandangan

sehari-hari.Dalam hal melakukan perubahan dalam bidang kesenian seringkali

para seniman dihadapkan pada konflik-konflik dengan kebudayaan lama,

norma-norma agama, hubungan keluarga dan masyarakat.

Revolusi Indonesia diperjuangkan atas dasar prinsip-prinsip nasionalisme

yang diwarnai sosialisme. Baik pemimpin maupun organisasi-organisasi sosial

budaya di masa revolusi pada umumnya adalah kelompok sayap kiri.65Pada masa

Revolusi Agustus 1945, sastrawan Indonesia mudah sekali terinfiltrasi.Hal ini

dikarenakan belum cukupnya kesadaran politik, belum teratur, dan terpimpin yang

mengakibatkan para sastrawan dan seniman sebagai pejuang Revolusi belum

memiliki sasaran yang tepat.Infiltrasi kebudayaan kalangan Imperialis Belanda

dilakukan secara teratur yang mengakibatkan sebagian seniman dan sastrawan

meninggalkan kubu revolusi dan menjadi kontrarevolusioner.

Kehadiran kebudayaan menjadi bagian yang tidak dapat dipandang sebelah

mata. Perjuangan dalam bidang kebudayaan dalam melawan budaya kolonial

64

M. Agus Burhan, Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra, 2013, Surakarta, UNS PRESS, hlm. 44.

65Peter Kasenda, Soekarno Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi

Referensi

Dokumen terkait

Lima lapis abacca dan keramik memiliki diameter kerusakan yang lebih kecil dibandingkan dengan tujuh dan sembilan lapis, sementara energi yang diserab oleh keramik adalah sama,

Mata kuliah metode penelitian anak berkebutuhan khusus membahas; konsep penelitian pendidikan dalam pendekatan kuantitatif , masalah dan judul penelitian, variable

Jika opini yang anda berikan untuk kelompok ditolak, maka sikap anda adalah.... Merasa kecewa dan setelahnya mencoba melupakan

Nilai indeks ini berada dalam taraf optimis, artinya persepsi mayoritas konsumen (rumah tangga) terkait dengan pendapatan nominal yang diterima selama triwulan berjalan

Hal ini menunjukkan bahwa besarnya asset growth (AG) pada perusahaan property dan real estate berpengaruh tidak signifikan terhadap return saham , dan mengindikasikan

Perusahaan Saudara diminta untuk membawa Dokumen Asli sesuai dengan Dokumen Kualifikasi yang telah anda isi dan unggah (upload) untuk membuktikan kebenaran dan keabsahan data

Paskibraka yang menjadi salah satu wadah untuk menempa rasa cinta tanah air pada siswa menjadi salah satu kegiatan yang patut untuk dikaji lebih mendalam.Namun

Mengacu pada Gambar 1, yang memperlihatkan gambar detail tampak depan secara lengkap penambahan pegangan dan pijakan pada sisi kiri dan kanan pada kapal pencari korba