Bab IV berisi dampak perkembangan Lekra bagi politik dan sosial
PROSES LEKRA DALAM MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN
B. Bidang Sosial
Selama lima belas tahun berdiri, Lekra memberikan sumbangan yang cukup besar bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Pada tahun 1950-an, Lekra bersama dengan PKI, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan BTI atau Barisan Tani Indonesia berusaha memperhatikan kehidupan rakyat kecil, seperti para petani kecil yang tidak memiliki tanah garapannya sendiri. Untuk mengetahui keadaan para petani di desa-desa, Lekra mengadakan Turba dengan tinggal, makan, dan
berkerja bersama dengan para petani.185 Usaha ini dilakukan untuk membebaskan
rakyat dari tuan tanah, tengkulak, penguasa setempat, bandit desa, kapitalis birokrat yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok.
Lekra berusaha melawan para penguasa yang tidak memperhatikan kesejahteraan petani. Petani hanya dijadikan ladang upeti dan pajak tinggi tanpa diiringi dengan upah yang cukup. Usaha Lekra ini didukung dengan dikeluarkannya undang-undang baru, yakni Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) dan Undang-undang Bagi Hasil (UUBH).186 Di samping itu, Lekra juga
menampilkan kesenian di desa-desa seperti ketoprak, wayang kulit, wayang
orang, ludruk, kuda lumping, reong Ponorogo, dan sebagainya.187 Hal ini
184Peter Kasenda, op.cit., hlm. 134-135.
185
Marwati Djoened Poeponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1984, Jakarta, PN Balai Pustaka, hlm. 336-337.
186Ibid., hlm. 367-368.
dimaksudkan untuk memberikan kesadaran tentang pentingnya kebudayaan daerah yang terus dilestarikan dalam kehidupan masyarakat.
Bagi para seniman Lekra, prinsip politik sebagai panglima memberikan semangat dalam menghasilkan karya-karya perjuangan. Ide-ide pembuatan karya tidak muncul begitu saja atau diperoleh dari bangku sekolah, melainkan dari realitas kehidupan masyarakat. Dari pengalaman-pengalaman turba, para seniman dapat menuangkannya ke dalam karya-karyanya yang nantinya dapat dipentaskan kepada masyarakat luas. Karya-karya tersebut dapat ditampilkan pada acara 17
Agustusan, sekatenan, ketoprak keliling, maupun pameran seni rupa.188
Hal serupa juga dilakukan oleh para seniman Sanggar Bumi Tarung, yang kerap melakukan diskusi tentang seni bertemakan buruh tani. Peran Lekra melalui Sanggar Bumi Tarung terwujud dengan sikapnya yang perduli dan membela ketertindasan rakyat dari imperialisme dan kapitalisme Barat berserta
kompradornya.189 Tokoh seniman Sanggar Bumi Tarung, yaitu Amrus Natalsya
banyak menyorot isu buruh dan tani. Pameran perdana Sanggar Bumi Tarung
pada 1962, Amrus memajang lukisan Tangan-tangan yang Agung berceritakan
kapitalis yang membuat buruh seperti robot. Dalam lukisan-lukisannya yang lain,
seperti Peristiwa Jengkol, Melapaskan Dahaga di Mata Air yang Bening, dan
Mereka yang terusir dari Tanahnya. Amrus menggambarkan petani-petani yang
menjadi korban sistem feodal.190
Lekra juga selektif dalam menampilkan cerita-cerita rakyat, terutama yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang memiliki istri lebih dari satu. Isi cerita rakyat
188 Tempo, op.cit., hlm. 34.
189M. Agus Burhan, op.cit., hlm. 63.
yang dianggap tidak sesuai dengan garis perjuangan Lekra dihapus, seperti lakon
Suminten Edan berujung dengan poligami diubah ceritanya. Hal ini terjadi pula
dalam cerita Bandung Bondowoso yang bercerita tentang pembuatan seribu candi.
Dari cerita pembuatan seribu candi ini, Lekra lebih menekankan kerja paksa yang
menindas rakyat. Kemudian cerita keluarga nelayan yang ditindas oleh “tuan
ikan”. Para suami yang berpergian menangkap ikan di tengah laut, sementara istri
dipaksa untuk melayani nafsu dari tuan-tuan ikan.191
Sepanjang 1965, grup ludruk dan ketoprak di Jawa Timur semakin
berkembang pesat. Lakon-lakon yang provokatif, seperti Gusti Allah Dadi Manten
dan Malaikat Kimpoi sering kali dipentaskan. Dalam perayaan Paskah, yaitu
penyaliban Yesus yang diganti judulnya menjadi Patine Gusti Allah yang
berujung pada isu Lekra anti-Tuhan.192 Ludruk, ketoprak, dan wayang menjadi
tontonan yang banyak digemari masyarakat bawah. Tema pentas tidak jarang menghadirkan kritik sosial yang menggungah rasa ingin tahu masyarakat.
Lekra juga berperan besar dalam mengembangkan puisi sebagai pendukung revolusi. Puisi-puisi yang dihasilkan termuat dalam lembaran halaman Harian Rakyat edisi Minggu. Puisi menyumbangkan semangat dalam mendongkel imperialisme dan membabat akar-akar feodalisme. Para aktivis Lekra dan PKI melihat puisi sebagai senjata kebudayaan yang efektif dan di tengah front derajatnya sama tinggi dengan gerakan kebudayaan lain, seperti seni rupa, seni
pertunjukan, film, dan sebagainya.193
191Ibid., hlm. 34.
192Ibid., hlm. 86-87.
Menurut Lekra, puisi harus berpihak dan memperjuangkan sastra demi kepentingan rakyat. Puisi merupakan salah satu jenis kesusasteraan yang sudah akrab dalam kehidupan rakyat. Lekra menyadari pentingnya menghormati tradisi yang telah berlangsung sejak lama dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai usaha dalam melenyapkan kepentingan-kepentingan borjuois lokal yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Bagi sastrawan Lekra, puisi
tidak boleh berkhianat pada rakyat yang telah melahirkannya.194
Sekitar tahun 1955, Pramoedya Ananta Tour memprotes pengajaran sastra di sekolah-sekolah yang dirasakan tidak efektif. Sebagai seorang sastrawan, Pram
merasa tidak puas dengan pengajaran yang dilakukan oleh para guru.195 Lekra
memandang peredaran buku-buku perpustakaan dan buku yang menjadi bahan belajar anak-anak di kelas hanyalah sebagai persiapan untuk ujian. Pengajaran sastra lepas dari fungsi yang sebenarnya mendidik anak-anak dalam kesadaran sastra. Hal ini telah disadari oleh para sastrawan dan guru-guru sastra, namun keterbatasan sumber dalam mengajar membuat guru-guru menggunakan buku-buku yang ada.
Pendidikan merupakan hal yang tidak kalah penting dalam mendidik generasi muda. Bagi Lekra, persoalan buku pelajaran juga persoalan politik. Pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir anak-anak ke depannya. Oleh sebab itu, baik Lekra maupun PKI berusaha sekuat tenaga mengendalikan dan melindungi buku-buku dari pengaruh manikebuis atau para pialang-pialang intelektual nekolim yang menawarkan kebebasan semu dan melemahkan poros
194Idem.
195Ajib Rosidi, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia, Jakarta, Pustaka Jaya, 1973, hlm. 61.
persatuan bangsa. Keyakinan ini disadari oleh Soekarno yang sudah memberi
lajur bahwa generasi-genarasi muda adalah sokoguru revolusi di kemudian hari.196
Bidang seni rupa pula menjadi perhatian dalam rangka membina anak-anak di sekolah, seperti taman kanak-kanan, SR, SLP, SLA, dan sampai ke Perguruan Tinggi. Dalam rangka pendidikan kesenian di sekolah-sekolah, para guru dilibatkan secara aktif dalam membimbing para siswa. Pentingnya pendidikan kesenian di sekolah-sekolah, karena mereka merupakan tunas-tunas yang akan
mendukung dan mengembangkan seni Indonesia.197
Usaha Lekra memupuk kesadaran akan pentingnya kesenian di bidang pendidikan perlahan-lahan membuahkan hasil. Pada tanggal 9 Maret 1959, dalam rangka perayaan Dies Natalis ke IX Dewan Mahasiswa Universitas mengadakan malam Multatuli. Malam Multatuli ini dimaksudkan mengapresiasi para penulis Belanda yang telah membela masyakat Indonesia dari penderitaan dan penindasan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.
Hal serupa juga dilakukan oleh Badan Kerja Sama Kesenian Mahasiswa Indonesia di Jakarta. Acara yang berkenaan dengan ulang tahun BKSKMI ini berlangsung pada tanggal 16-23 April 1959. Pada Pentas Seni Mahasiswa ini, digelar pameran lukisan seniman-seniman mahasiswa dari Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Selain itu, diadakan simposiun sastra yang diisi pula oleh Joebar Ajoeb (membahas politik dan kesusasteraan) dan Wiratmo Sukito (membahas Manusia, Sastra, dan Politik). Dalam acara ini, hadir Pramoedya Ananta Toer,
196Rhoma Dwi Aria Yuliantri, op.cit., hlm. 456.
197Budaya, Yogyakarta, diterbitkan Djawatan Kebudayaan Pusat Departemen P.D.K. Urusan Kesenian Jogyakarta, 1962, hlm. 126-127.
Bujung Saleh, F.L. Risakotta, Nugroro Notosusanto, dan Drs. Slamet Muljono
turut memberikan pandangan-pandangannya tentang sastra.198
Dalam usaha menjaga moralitas bangsa, Lekra yang berada di Yogyakarta
membuat program melakukan sweeping atas pemakaian baju-baju norak nekolim
atau you-can-see. Sikap keras Lekra ini berkaitan dengan semangat anti
neokolonialisme dalam bentuk budaya asing, seperti Inggris dan Amerika. Bagi
Lekra, PKI, dan pemerintah, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see, bikini,
film cabul, sastra cabul, dan majalah cabul ialah bagian yang harus dilenyapkan. Pada tanggal 7 Januari 1965, puncak penertiban semua produk yang dianggap merusak mental bangsa adalah pembakaran buku-buku USIS yang menjadi simbol
dari kekuatan asing.199
Pembakaran buku-buku USIS merupakan langkah dalam melenyapkan produk-produk asing. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan berdampak buruk bagi perkembangan anak-anak yang masih dalam masa perkembangan. Dampak buruk dari kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia harus disadari oleh semua rakyat. Lekra berusaha menjunjung tinggi budaya Timur yang menjadi moralitas bangsa.
Realitas yang ada dalam kehidupan rakyat menjadi tema dalam puisi para sastrawan Lekra. Secara fungsional, puisi menjadi sarana respon yang tanggap atas kenyataan masyarakat. Para penyair Lekra yang terkemuka antara lain Agam Wispi, S Anantaguna, Sobron Aidit, Amarzan Ismail Hamid, Hadi S, S Rukiah, Sisakotta, Kusni Sulang, Setiawan Hs, Putu Oka, dan Toga Tambunan. Mereka
198Ibid., hlm. 217.
melahirkan banyak karya.200 Dalam proses penggarapan puisi, para sastrawan
melibatkan perasaan yang mendalam, pemikiran, dan menampung aspirasi-aspirasi kalangan bawah. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan karya yang memiliki nilai dalam menggugah semangat semua kalangan.
Para seniman Lekra membawa sastra menjelajahi kampung dan pabrik-pabrik. Masyarakat dan anak-anak muda diajari menulis puisi, cerpen, dan sebagainya. Selain itu, Lekra intensif merevitalisasi dongeng-dongeng Nusantara dengan memanggungkannya di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, dan pameran lukisan. Lagu-lagu dan tarian daerah juga tidak luput dari perhatian Lekra. Para seniman Lekra dengan semangat mengumpulkan dan mendata lagu-lagu dan tarian yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Menurut Lekra, semua ini merupakan pondasi kebudayaan Indonesia sehingga dapat
menyelamatkan budaya asli dari amukan budaya Asing.201
Dalam usaha melestarikan budaya daerah, para seniman Lekra menjadikan turba sebagai agenda yang terprogram. Hal serupa diikuti oleh beberapa sanggar lainnya, seperti Pelukis Rakyat, Gempa Langit di Jawa Tengah, Bumi Tarung di Yogyakarta, Maris di Jawa Barat, dan Mawar Merah di Sumatra. Sanggar-sanggar
ini yang menjadikan turba sebagai usaha mencari ide berkesenian.202 Untuk
mendapatkan ide pembuatan karya seni, Lekra harus terjun langsung ke desa-desa dan merasakan sendiri kehidupan rakyat.
200Ibid., hlm. 8.
201Ibid., hlm. 489-490.
87
BAB V
KESIMPULAN
Setelah meneliti Lahirnya Lekra Dalam Perkembangan Politik di Indonesia pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis menarik beberapa kesimpulan menyangkut Lekra.
Kehidupan pada sekitar tahun 1950-1960an merupakan masa yang menegangkan. Tidak hanya semangat revolusi yang kembali disuarakan, tetapi juga banyaknya organisasi atau lembaga yang secara serempak bangkit mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satu lembaga kebudayaan yang ikut mendukung revolusi adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, yang bergerak di bidang kesenian dan ilmu pengetahuan. Kehadirannya menjadi wadah bagi para seniman dalam menuangkan ide-ide kreatifnya dalam berbagai karya seni. Melalui karya seni, Lekra menyuarakan aspirasi kaum kecil yang tertindas oleh tuan-tuan dan penguasa yang tidak perduli pada kehidupan mereka.
Lembaga Kebudayaan Rakyat membuka lembaran baru dalam sejarah kebudayaan bangsa Indonesia. Lekra menentang kebudayaan Barat yang berusaha meracuni pikiran anak bangsa dan melemahkan ketahanan nasional. Dipundak para pekerja seni terdapat beban berat yang harus dipikul. Kemajuan bangsa harus menjadi perhatian bersama dalam membebaskan diri dari belenggu kolonialisme dan feodalisme yang mengikat. Kemerdekaan dalam seluruh aspek kehidupan tidak didapatkan dengan begitu mudah. Oleh karena itu, para seniman Lekra
berusaha mendukung jalannya revolusi dengan mengaktifkan kembali kebudayaan daerah yang akan menjadi kebudayaan nasional.
Sebagai lembaga kebudayaan yang perduli pada nasib rakyat kecil, Lekra menghimpun para seniman dari berbagai kalangan. Sikap Lekra yang terbuka dengan siapa saja yang ingin bergabung demi memperjuangkan kehidupan rakyat membuatnya berkembang begitu pesat. Lekra membangun lembaga-lembaga kreatif, seperti Lesrupa, LFI, Lestra, LSDI, LMI, dan Lembaga Seni Tari Indonesia. Lembaga-lembaga kreatif ini tersebar sampai ke desa-desa untuk menampung aspirasi dan menjadi penggerak para pekerja seni dalam mempelajari realitas kehidupan rakyat. Lekra merupakan salah satu lembaga yang secara tegas berpihak pada kepentingan rakyat.
Dalam menjalankan program-program kerjanya, Lekra berpedoman pada Mukadimah Lekra dan berasaskan politik sebagai panglima, realisme sosialis, seni untuk rakyat dan yang semuanya terangkum dalam Turba. Turba dilakukan untuk mencari ide-ide dari realitas kehidupan rakyat di lapangan. Para seniman terjun mencari dan menggali sendiri peristiwa yang terjadi. Karya yang dihasilkan bukan berasal dari membaca buku dan ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah.
Selama lima belas tahun berdiri, banyak sumbangan Lekra bagi negeri ini baik dalam bidang politik maupun sosial. Dalam bidang politik, Lekra menjadi lembaga kebudayaan yang memiliki banyak massa pendukung. Pergerakannya bersama dengan Partai Komunis Indonesia membuat Lekra berkarya tidak hanya terbatas di bidang seni, tetapi juga mampu memperjuangkan nasib rakyat melalui
karya. Pemikiran kebudayaannya yang memuat nasionalisme, patriotisme, dan berkepribadian nasional telah menjadi watak dalam menghadapi imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme. Sikap Lekra yang tidak mengenal kompromi kepada mereka dianggap sebagai musuh dari revolusi. Sesuai dengan prinsipnya, Politik sebagai Panglima, kehadiran Lekra dalam mendukung jalannya revolusi banyak dimanfaatkan berbagai pihak baik dalam menjalin kerja sama maupun menjadi lawannya.
Sesuai dengan garis perjuangannya yang memperhatikan rakyat kecil, para pekerja kebudayaan Lekra dilatih untuk peka terhadap situasi dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Fokus perhatian tidak hanya pada budaya daerah, tetapi juga pada moral bangsa. Lekra berusaha menghadang budaya Barat yang mulai meracuni pikiran anak bangsa. Hal ini tentu sangat berbahaya untuk perkembangan generasi muda yang merupakan penerus bangsa.
90