BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Sejak krisis multi dimensi tahun 1998 hingga saat ini masalah utama yang
dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat. Kebutuhan tersebut meliputi makanan, air minum, pendidikan,
kesehatan dan perumahan. Ketidakberdayaan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan tersebut membuat mereka jatuh kejurang kemiskinan.
Tercatat pada September 2014 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
pengeluaran per-kapita per-bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai
27,73 juta orang (10,96 persen). Dengan rincian 10,36 juta orang berada di perkotaan
dan 17,37 juta orang berada di pedesaan. Data tersebut menegaskan bahwa kondisi di
pedesaan menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Ditambah lagi jika dilihat
berdasarkan kepulauan, angka kemiskinan di pedesaan yang ada di pulau sumatera
(4.061.590 jiwa) meduduki peringkat kedua terbanyak setelah pulau jawa (8.167.880
jiwa). Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di pedesaan masih
membutuhkan perhatian yang lebih serius (Berita Resmi Statistik No. 06/01/Th.
XVIII, 2015 : 1&3).
Berdasarkan data yang telah dipaparkan sebelumnya sebagian besar
masyarakat miskin di pedesaan adalah rumah tangga sektor pertanian. Banyak
masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian kesulitan dan tidak
berdaya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Padahal para petani yang menjadi
penyedia kebutuhan pokok masyarakat indonesia seharusnya bisa memiliki
kesejahteraan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan beragam faktor baik eksternal
Menyikapi kondisi tersebut, diperlukan perhatian lebih ke wilayah pedesaan
dalam mengentaskan kemiskinan. Hal ini juga dikarenakan Indonesia adalah sebuah
negara agraris yang memiliki corak pembangunan yang cukup berbeda dengan
negara – negara industri. Dimana pedesaan selain menjadi sumber pangan juga
menjadi kekuatan sumber sosial ekonomi lokal yang peranannya tidak bisa
diabaikan.
Pengentasan kemiskinan baik di pedesaan ataupun diperkotaan merupakan
bagian dari proses pembangunan, yang pada dasarnya pembangunan tersebut
merupakan perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki kondisi menuju kearah
yang lebih baik seperti kebutuhan dalam peningkatan kualitas hidup. Pembangunan
yang dibutuhkan dalam memberantas kemiskinan adalah pembangunan yang
berfokus pada sumber daya manusia. Dalam Millenium Development Goals (MDGs)
juga dijelaskan dalam pembangunan yang menjadi titik sentral adalah manusia, atau
berpusat pada peningkatan kualitas kehidupan manusia, hal ini di pertegas terkait
salah satu poin dalam kesepakatan MDGs yaitu pengurangan kemiskinan dan
kelaparan (Anwas, 2013 : 43).
Ada tiga modal pembangunan yakni modal manusia, modal alam dan modal
sosial. Sebagian besar ke tiga komponen tersebut berada dipedesaan. Maka dari itu
pembangunan nasional Indonesia yang kokoh harus bermuara dari pembangunan
pedesaan yang kuat, dimana nantinya akan dapat menanggulangi kemiskinan serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Chozin, Sumardjo, Poerwanto, Khomsan,
Fauzi, Toharmat, Hardjanto & Seminar, 2010 : 100). Seperti strategi besar Cina yang
memusatkan dan mengutamakan pembangunan pedesaan, telah berhasil mengurangi
tingkat kemiskinan dari 65% pada tahun 1985 hingga menjadi 7% saat ini (Untung,
Adapun pembangunan yang dilakukan pemerintah yang dimuat dalam
kebeberapa program yang telah dilaksanakan untuk mengatasi masalah kemiskinan
wilayah pedesaan, diantaranya Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), Program Asuransi
Kesejahteraan Sosial (Askesos), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program
Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Namun dalam realisasinya, program tersebut
(yang memberikan bantuan berupa materi) ternyata tidak mudah. Masyarakat lebih
suka mengaku sebagai fakir miskin atau orang miskin dengan harapan mendapat
bantuan gratisan tersebut. Akibatnya sifat ketergantungan semakin tinggi (Anwas,
2013 : 85).
Bantuan langsung tunai (BLT) contohnya, sebagai salah satu program
pemerintah yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2005, menuai pandangan negatif
dari banyak pihak. Program ini dinilai tidak memiliki dampak yang berarti dalam
membantu masyarakat miskin keluar dari keterpurukannya. Mantan Menteri
Keuangan Chatib Basri juga menilai bahwa dengan menaikkan jumlah bantuan
langsung tunai sekalipun tidak akan memberikan dampak positif yang lebih banyak,
karena pemberian bantuan yang bersifat tunai hanya akan menimbulkan kemalasan,
dimana masyarakat penerima bantuan langsung sementara ini akan lebih malas
bekerja dan hanya mengharapkan bantuan tersebut
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/09/26/154800726/Menkeu.Jumlah.BL
SM.Ketinggian.Orang.Jadi.Malas.Kerja, diakses pada tanggal 26 Februari 2015
Pukul 15.48 WIB).
Program PNPM (Mandiri) juga tidak memberikan dampak positif dibeberapa
wilayah pedesaan. Program PNPM (Mandiri) yang ada di pedesaan dan berfokus
Pedesaan). Di sebagian wilayah, program yang bersifat nasional ini tidak dapat
menumbuhkan usaha produktif yang mampu mengurangi angka kemiskinan yang
ada. Program ini justru menimbulkan dampak negatif yaitu kecemburuan sosial yang
dikarenakan tidak meratanya penerima bantuan (Martanti, F. (2012) Evaluasi
Implementasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan sebagai Upaya
Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Journal of Economic Education.Vol. 1 No. 2.
Hal. 102).
Begitu pula dengan program lainnya yang cenderung tidak berjalan dengan
baik. Ada kecendrungan program nasional tidak berlandaskan pada potensi di masing
– masing wilayah pedesaan yang seharusnya bisa dijadikan modal untuk melakukan
program penanggulangan kemiskinan ataupun pengembangan desa dengan
menanamkan sifat kemandirian. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus
dibangun dalam melakukan pengembangan di desa. Selain itu pelaksanaan yang
berbeda dari perencanaan sering terjadi, hal ini terkait kuantitas dan kualitas bantuan.
Untuk itu dalam mengurangi angka kemiskinan ataupun mengurangi penduduk
hampir miskin yang ada dipedesaan perlu dilakukan program dengan melibatkan
potensi alam, potensi sumberdaya manusia, kebutuhan dan masalah yang ada di
masyarakat suatu daerah sebagai dasar dari program tersebut.
Melihat kompleksnya masalah kemiskinan yang membedakan potensi dan
kebutuhan masyarakat miskin ataupun hampir miskin di masing – masing pedesaan,
peran pemerintah saja sangat tidak cukup. Dalam pemberantasan kemiskinan
diperlukan kerjasama dari berbagai kalangan, salah satunya Yayasan atau Lembaga
pembangunan masyarakat desa adalah Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan
Indonesia ( BITRA Indonesia).
BITRA Indonesia memfokuskan target group mereka kepada masyarakat di
daerah Sumatera Utara khususnya Serdang Bedagai dan Deli Serdang. Kedua
kabupaten tersebut merupakan kabupaten dengan sektor pertaniannya yang luas.
Komoditas pertanian yang dominan di dua kabupaten tersebut adalah komoditas
padi.
Pada umumnya permasalahan petani padi di setiap desa yang ada di kedua
kabupaten tersebut tergolong sama. Revolusi hijau yang dahulu dicanangkan
pemerintah dengan tujuan meningkatkan hasil panen beras agar Indonesia dapat
swasembada beras telah berdampak negatif dalam beberapa tahun setela h revolusi
tersebut dilaksanakan. Revolusi hijau telah mengubah cara pandang petani dalam
mengelola pertaniannya yaitu dengan menggunakan bahan – bahan kimia.
Adapun berbagai permasalahan yang dialami petani anorganik sebagai
dampak revolusi hijau di daerah tersebut yaitu kesalahan manajemen di lahan
pertanian. Pemakaian pupuk kimia, pestisida dan sejenisnya yang secara berlebihan,
berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia akibat
selalu tercemar bahan-bahan sintetis tersebut. Kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan yaitu terjadi penurunan ketebalan kesuburan tanah di lahan pertanian
yang diakibatkan pupuk kimia.
Penurunan kualitas tanah membuat petani meningkatkan pemberian jumlah
pupuk per-lahanya agar mendapat hasil seperti yang diharapkan. Ini memberikan
dampak negatif terhadap keuangan para petani karena harga pupuk yang semakin
mahal. Petani yang memiliki modal akan bertahan tetapi petani yang tidak memiliki
Selain itu ketersediaan pupuk juga menjadi salah satu permasalahan petani
anorganik didaerah tersebut. Pupuk membuat para petani pada posisi yang kurang
diuntungkan karena harus bergantung pada pemerintah dan perusahaan pemasok
pupuk. Jika para pemasok pupuk melakukan kecurangan maka harga dan stok pupuk
menjadi tidak terkendali, akibatnya para petani akan dirugikan karena masa
pemupukan telah terjadwal. Ketergatungan ini pula yang dapat membuat petani
didaerah tersebut menjadi sulit dalam meningkatkan kesejahteraannya
(http:/bitra.or.id/2012/community-dev/organic-farming/ diakses pada 27 februari
pukul 02.35 WIB).
Salah satu desa yang mengalami permasalahan tersebut adalah Desa Lubuk
Bayas. Para petani di desa tersebut mulai kesulitan dalam mengelola hasil pertanian
mereka untuk mendapat hasil maksimal karena keterbatasan modal. Sebagian besar
petani di Desa Lubuk Bayas juga memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Hal ini yang
menyulitkan para petani di desa tersebut untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kondisi perumahan di Desa Lubuk Bayas juga memprihatinkan. Berdasarkan
kriteria rumah tangga miskin menurut BPS, rata – rata perumahan di Desa Lubuk
Bayas masuk dalam kriteria yang ditentukan BPS. Berdasarkan kunjungan penulis ke
desa tersebut, rata – rata rumah di Lubuk Bayas menggunakan dinding tembok yang
tidak diplester. Bahkan beberapa rumah masih non permanen (dinding dari bambu).
Permasalahan persediaan pupuk, pemahaman akan bahaya kimia dan kondisi
petani di Desa Lubuk Bayas yang tidak berdaya mulai disadari BITRA Indonesia.
BITRA Indonesia melakukan intervensi terhadap petani di desa tersebut dan
menerapkan program pertanian organik sebagai bagian dari pengembangan
masyarakat di desa tersebut. BITRA Indonesia berencana mengarahkan petani untuk
tujuan utama BITRA Indonesia yaitu mendampingi masyarakat dalam
mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya manusia baik perorangan
maupun kelompok dalam usaha meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan sosial dan
martabat dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Pemilihan program pertanian organik di Desa Lubuk Bayas juga didukung
oleh potensi yang dimiliki desa tersebut, yaitu berupa peternakan sapi dan kerbau,
sebagaimana kotoran dari ternak tersebut dapat diolah menjadi pupuk organik. Selain
itu luas lahan pertanian yang ada di desa tersebut cukup menjanjikan untuk dijadikan
permulaan padi organik. Terdapat 385 ha lahan pertanian dari 483 ha luas Desa
Lubuk Bayas, dimana semua lahan pertanian tersebut tidak ada lahan pertanian
bukan padi. Kemudian irigasi di desa tersebut sangat baik sehingga dapat membantu
proses pertanian organik. Terdapat 373 irigasi teknis dan 20 irigasi non-teknis
(Katalog Badan Pusat Statistik No. 1102002.1218.100 (2014). Statistik Daerah
Kecamatan Perbaungan 2014. Hal 34 - 36).
Pertanian organik modern yang diterapkan BITRA Indonesia sangat berbeda
dengan pertanian alamiah di zaman dahulu. Dalam pertanian organik modern
dibutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk organik, pengendalian
hama dan penyakit menggunakan agen hayati atau mikroba serta manajemen yang
baik untuk kesuksesan pertanian organik tersebut. Pertanian organik didefinisikan
sebagai “sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara
mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga
menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan”.
(http:/bitra.or.id/2012/community-dev/organic-farming/ diakses pada 27 februari
BITRA Indonesia juga mengarahkan petani untuk mengolah pupuk organik
sendiri untuk meningkatkan kemandirian para petani. Hal tersebut perlu dilakukan
untuk menghilangkan ketergantungan petani terhadap pemasok pupuk. Selain itu
BITRA Indonesia juga bertujuan menekan biaya produksi agar para petani mendapat
keuntungan yang lebih besar.
Selain berfokus pada masalah yang dihadapi para petani, pemilihan padi
organik sebagai solusi juga didorong oleh peluang yang ada. Pemasaran padi organik
semakin menjanjikan, masyarakat menengah ke atas mulai semakin meminati padi
organik. Tidak hanya di Indonesia bahkan di luar negeri seperti Singapura semakin
meminati. Selain itu harga beras organik juga lebih mahal dari beras anorganik, beras
organik bisa mencapai Rp18.000,-/kg sedangkan beras anorganik biasa sekitar Rp
12.000,-/kg. (www.pikiran rakyat.com. Diakses pada 5 maret 2015 pukul 01.40
WIB).
Saat ini sebenarnya tidak hanya petani di Desa Lubuk Bayas yang menjadi
kelompok dampingan BITRA Indonesia, petani di Desa Namu Landor yang ada di
Kabupaten Deli Serdang juga menjadi dampingan. Kedua desa tersebut memiliki
permasalahan yang sama. Akan tetapi perkembangan pertanian organik diantara
Namu Landor dan Lubuk Bayas masih sangat berbeda jauh. Selain dari jumlah
populasi, luas lahan pertanian organik juga sangat berbeda.
Di desa Namu Landor luas lahan dan jumlah petani dampingan sampai tahun
ini masih sedikit. Menurut informasi yang diketahui penulis dari pegawai BITRA
Indonesia, populasi dampingan BITRA Indonesia di Desa tersebut hanya 7 orang
dengan luas lahan 2,5 ha. Jumlah ini berkurang dari tahun 2010 dimana populasi 12
orang dengan luas lahan 4 ha. Produksi padi para petani di desa ini juga masih
persawahan (masih terpisah – pisah), sehingga masih tercemar bahan kimia dari
lahan sawah anorganik yang berada di sekitar lahan mereka.
Hal ini berbeda dengan yang ada di Desa Lubuk Bayas. Petani organik di
desa ini setiap tahun semakin bertambah. Pada tahun 2008 jumlah petani organik
dampingan BITRA Indonesia masih 15 orang dengan luas lahan 3 ha. Sedangkan
2011 sudah menjadi 30 orang dengan luas lahan 8 ha, hingga sekarang sudah
mencapai 62 orang dengan luas lahan 21 ha. Kemudian produksi padi oleh kelompok
dampingan di desa ini sudah banyak yang organik, hal ini dikarenakan lahan
pertanian organik di desa ini berada di satu wilayah persawahan.
Tercapainya produksi padi organik di Desa Lubuk Bayas sebagaimana tujuan
dari program, menjadi salah satu alasan penulis untuk melakukan penelitian di desa
tersebut. Selain itu partisipasi yang baik dari para petani di desa tersebut juga
menjadi daya tarik untuk mengukur dampak program pengembangan masyarakat
sektor pertanian organik di desa tersebut. Partisipasi menjadi salah salah satu
indikator dalam pengembangan masyarakat. Jika partisipasi target grup rendah maka
sudah bisa dikatakan bahwa tujuan dari pengembangan masyarakat tersebut tidak
akan tercapai, akan tetapi jika partisipasi target grup tinggi maka ada kemungkinan
tujuan akhir dari program pengembangan masyarakat akan tercapai.
BITRA Indonesia sudah melakukan penyuluhan mengenai pertanian organik
pada tahun 2007 di Desa Lubuk Bayas. Namun penerapan program pertanian organik
dilakukan pada musim tanam B 2008. Hal tersebut dikarenakan butuh waktu untuk
merubah pola pikir petani dari cara bertani anorganik (konvensional) ke organik. Di
masa itu BITRA Indonesia melakukan pendampingan dari mulai persiapan masa
Setelah 6 tahun program pertanian organik oleh BITRA Indonesia terlaksana
secara berkesinambungan di Desa Lubuk Bayas, membuat penulis tertarik untuk
mengetahui pengaruh program pertanian organik di desa tersebut terhadap sosial
ekonomi petani. Maka berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penulis
tertarik untuk meneliti dan menyusunnya ke dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok
Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai”.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, adapun
masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada pengaruh positif
program pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan BITRA
Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang
Bedagai?”
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari
program pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan BITRA
Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang
Bedagai.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Pengembangan konsep dan teori – teori yang berkaitan dengan pemberdayaan
masyarakat melalui program pertanian organik oleh Yayasan BITRA Indonesia.
2. Pengembangan model pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui program
pertanian organik oleh Yayasan BITRA Indonesia.
1.4.Penelitian Sebelumnya
Sebelumnya sudah ada dua penelitian di desa Lubuk Bayas yang
berhubungan dengan penelitian ini. Penelitian pertama ketika kurang dari 2 tahun
program pertanian organik berjalan yaitu pada tahun 2010 dengan judul Analisis
Komparatif Tingkat Sosial Ekonomi Petani Dampingan Bitra dengan Petani
Anorganik (studi Kasus Padi Sawah Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai). Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa tingkat
sosial ekonomi responden petani organik dan petani anorganik tidak menunjukkan
adanya perbedaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa adanya pertanian
organik di Desa Lubuk Bayas dampingan Bitra tidak memberi pengaruh pada
peningkatan sosial ekonomi para petani organik.
Kemudian penelitian kedua dilakukan pada tahun 2014 dengan judul
Partisipasi Petani dalam Penerapan Pertanian Organik (Studi Kasus Desa Lubuk
Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai). Dalam penelitian
tersebut disimpulkan bahwa partisipasi petani dalam menerapkan pertanian organik
termasuk kategori sedang. Berdasarkan indikator partisipasi yang ditentukan peneliti,
hanya partisipasi dalam menyumbangkan tenaga dan waktu untuk mengikuti
penyuluhan yang berada di kategori tinggi. Selain itu peneliti juga menyimpulkan
bahwa ada hubungan nyata antara lama berusaha tani degan tingkat partisipasi
1.5.Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat dan penelitian, penelitian sebelumnya serta
sistematika penulisan.
BAB I I : TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan obyek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep
dan definisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Berisikan deskripsi mengenai lokasi/tempat peneliti melakukan penelitian.
BAB V : ANALISA DATA
Berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya.
BAB VI : PENUTUP