• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percakapan Lintas Budaya Indonesia Malay

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Percakapan Lintas Budaya Indonesia Malay"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Ditulis untuk pemantik diskusi Cross Cultural Understanding (CCU) mahasiswa Universiti Putra Malaysia (UPM) di FMIPA, UNY, pada Jumat, 1 April 2016

Percakapan Lintas Budaya Indonesia-Malaysia

dalam Perspektif Historis dan Politis: di Mana Posisi Kita?

Rony K. Pratama

E-mail: ronykamtis@gmail.com|FB: Rony K. Pratama|Website: noktahpendidikan.tumblr.com

Hubungan Indonesia-Malaysia dibentuk oleh kuasa kata “historis” dan “politis”. Pada kurun waktu dua ribu tahun, Indonesia-Malaysia bersemuka di balik garis batas Selat Malaka. Ia tak memisahkan, melainkan mempersatukan di balik perjanjian persaudaraan Nusantara.

i balik jarak puluhan kilo meter di antara Selat Malaka, Indonesia-Malaysia membentuk peradaban luhur di kawasan Asia Tenggara. Relasi di antara keduanya telah dimulai sejak ribuan tahun

lampau.1 Konsekuensi logis atas kausalitas

relasional tersebut berimplikasi pada silang kebudayaan. Karena itu, terjadilah perkongsian maupun percakapan pendidikan yang berdampak positif bagi Indonesia-Malaysia. Hal demikian merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat terhindarkan.

Apabila dewasa ini negara-negara Asia Tenggara sedang membahas wacana trans-nasional Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2016, sebetulnya ia bukan merupakan wacana baru bagi Indonesia-Malaysia. Sejarah mencatat, hubungan Indonesia-Malaysia dalam perspektif ekonomi dan kebudayaan telah terjalin “bebas” jauh sebelum MEA 2016 diperbincangkan di

forum akademik maupun media massa

internasional. Kalau MEA 2016 bukan hal baru, maka pertanyaan lain yang perlu dicatat ialah: ada agenda “implisit” apa di balik MEA 2016?

Sebelum MEA 2016 dirumuskan oleh negara-negara ASEAN, di dataran Eropa telah muncul

European-Union (Uni Eropa) yang mempunyai visi-misi di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan

pendidikan.2 Wujud nyata atas kesepakatan itu

berdampak pada konstelasi ekonomi yang bersifat

transaksional. Mata uang Euro pun muncul.

Dalam kurun waktu beberapa tahun, Euro

1

Lebih lanjut lihat: Adelar, K. Alexander & Prentice D.J. 1996. Malay: its history, role, and spread. In S.A. Wurm, P. Mühlhäusler & D.J. Tryon (eds) Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia, and the Americas. Mouton de Gruyter, Berlin, pp. 673.

2

Perumusan CEFR bisa dilihat: Finch, Andew. 2007. Europas and the CEFR: Implications for Language Teaching in Korea. English Language & Literature Teaching, Vol. 15, No. 2 Summer 2009.

menyaingi dolar Amerika. Pada konteks ini terlihat, bahwa Eropa segan “di-intervensi” Amerika sehingga akhirnya muncul bentuk oposisi bentuk baru.

Demikian pula di bidang pendidikan. Eropa,

melalui agenda internasionalnya, merumuskan The

Common European Framework (The CEFR). Rumusan itu telah dikembangkan selama 30 tahun. Pelbagai riset ilmiah mendasari “agenda penstandaran” tersebut. Impliasinya, kebijakan pendidikan di Eropa selama dekade ini mengacu kepadanya. Karena itu, pengembangan pedagogis di negara-negara Eropa tak bersifat sektoral, sebagaimana satu abad sebelumnya, melainkan telah terintegrasi dan tersistem secara sentralistik.

Kemunculan “peradaban baru Eropa abad ke-21” itu—disadari atau tidak—berdampak pada terbentuknya MEA 2016. Kalau ASEAN tak melakukan “renaisans” dengan memunculkan strategi dan siasat baru, boleh jadi ia akan “tergilas” oleh transformasi global yang “menjerat peradaban”, khususnya bagi Indonesia-Malaysia. Oleh sebab itu, MEA 2016 merupakan antitesis terhadap perkembangan global saat ini.

Namun, apakah ia hal baru bagi peradaban Nusantara? Sebagaimana uraian di awal: MEA 2016 bukan hal baru. Kalau bukan hal baru, maka ia hanya sekadar “arus balik” (baca: mengulang) peristiwa pada masa lampau. Kendati demikian, manusia Indonesia-Malaysia tak boleh lengah sedikit pun atas kehadirannya.

Dampak Historis

ika dilihat dalam perspektif global, Indonesia-Malaysia dalam konteks historis, berada pada “dunia ketiga”, yakni negara netral yang tak mendukung pada salah satu blok. Sepanjang Perang Dunia I dan II, posisi Indonesia-Malaysia masih berada pada cengkeraman Belanda dan Inggris. Intervensi dari dua negara di kawasan Eropa itu sedikit atau

D

(2)

Ditulis untuk pemantik diskusi Cross Cultural Understanding (CCU) mahasiswa Universiti Putra Malaysia (UPM) di FMIPA, UNY, pada Jumat, 1 April 2016

banyak membentuk sikap “anti-kolonial”, karena ia berdampak buruk pada persatuan dan kesatuan

antarmasyarakat.3

Masyarakat Nusantara, sejak imperium

Majapahit berjaya di perairan Khatulistiwa, tak mengenal pertumpahan darah yang mengakibatkan disintegrasi sosial. Bagi orang Eropa yang menyebut dirinya sebagai bangsa Barat, memposisikan Indonesia-Malaysia pada

identitas Timur.4 Ia dikenal dengan negeri yang

masyhur, damai, penuh cinta, dan kaya akan limpahan alam.

Atas pemosisian itu, bangsa Barat melakukan ekspansi politik, ekonomi, dan kebudayaan di kawasan Nusantara. Mereka membawa misi 3G,

yakni Gold, Gospel, dan Glory. Pada mulanya

Portugis, lalu diikuti oleh Inggris, Spanyol, dan Belanda. Menjelang Revolusi Industri di kawasan Eropa, ketiga negara itu juga berada dalam kendali Prancis. Karena itu, warisan kolonial bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara sebetulnya berhulu pada satu komando di bawah Prancis. Namun demikian, realitas ini merupakan salah satu versi dari tafsir sejarah. Bukankah sejarah dibentuk oleh penafsir, yakni “sang pemenang” itu sendiri?

Persamaan nasib sebagai bangsa “terjajah” itulah yang mempererat Indonesia-Malaysia selama berabad-abad. Walaupun demikian, posisi “terjajah” ini bukan diksi yang tepat untuk menggambarkan nasib dua negara itu.

Indonesia-Malaysia mempunyai sifat dermawan

antarmanusia sehingga kedatangan bangsa Eropa diartikannya sebagai “orang yang membutuhkan” hasil alam Nusantara yang berlimpah-ruah. Karena itu, Indonesia-Malaysia bersedekah kekayaan alam kepada bangsa Eropa. Bukankah memberi lebih baik daripada meminta?

Namun demikian, sejarah dunia memang tak pernah adil dalam mencatat. Kalau pun adil, ia hanya sekadar iktikad manipulatif yang merugikan sebelah pihak semata. Demikian pula sejarah bangsa Indonesia-Malaysia yang secara kuantitatif ditulis oleh bangsa Barat. Ia menulis melalui sudut pandang Barat sebagai peradaban yang turut ambil andil dalam “memberadabkan” bangsa Timur, yakni Nusantara.

3

Uraian lebih detil dapat dilihat dibuku: Leur, J.C. Van. 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History. Hoeve: The Hague.

4

Perihal poskolonialisme maupun oposisi biner dapat ditemukan lebih lanjut di uraian: Said, Edward W. 1978.

Orientalism. New York: Vintage Books.

Seolah-olah, bangsa Barat melakukan “rekonstruksi” peradaban di atas teks tertulis sehingga pada hari depan dunia melihat, bahwa apa yang ditulis bangsa Barat merupakan bentuk dari standar keilmiahan yang terbukti secara empiris. Sementara itu, sejarah yang ditulis oleh bangsa Timur—dalam hal ini Indonesia-Malaysia—dikategorikan fiksional, mitos, atau pun rekaan yang tak dapat diterima sebagai kebenaran ilmiah. Karena itu, dewasa ini berlaku, bahwa kadar ilmiah bukan dimiliki oleh “objektivitas ilmu”, melainkan pengaruh Barat yang adikuasa.

Di lain hal, pernahkah Indonesia-Malaysia meriset berapa ribu manuskrip kuno Nusantara yang “dijarah” oleh Inggris dan Belanda selama periode penjajahan? Konon, di perpustakaan Leiden Belanda, terdapat tiga tingkat di suatu ruangan yang berisi ribuan manuskrip kuno itu. Namun, peraturan di sana berlaku: tak seorang pun boleh mengaksesnya secara bebas, kecuali “orang-orang” yang dibolehkan oleh pihak kerajaan Belanda.

Bukankah kenyataan ini merupakan bentuk dari “penghapusan peradaban” yang dilakukan oleh agresi kolonial lampau?—menurut teori peradaban, penghancuran peradaban bangsa cukup dengan menghilangkan manuskrip-manuskrip kunonya sehingga generasi mendatang tak tahu-menahu ihwal kemajuan pendahulunya.

Politik Disintegrasi

urun waktu beberapa tahun terakhir, hubungan Indonesia-Malaysia memburuk. Pertikaian di antara keduanya tak terjadi tanpa sebab. Kalau menyelisik secara komprehensif, pertikaian antarkeduanya dibangun oleh kepentingan politik global. Keadaan aman dan tenteram yang terjalin beberapa abad, membuat pihak yang mempunyai kepentingan itu terusik. Skenario pun ia jalankan demi tersulutnya emosi di antara dua bangsa besar di kawasan Asia Tenggara itu.

Kasus klaim kebudayaan, perselisihan militer di atas perairan, dan pembakaran hutan rawa di Sumatera yang berakibat asap mengepul di langit Kuala Lumpur pun tak luput dari pembahasan global. Apakah semuanya terjadi begitu saja sehingga sekat primordialisme masing-masing meninggi? Apakah ada intrik kepentingan di belakang peristiwa itu? Tentu, dua pertanyaan itu dapat disikapi dengan pelbagai tafsir yang berdampak pada sikap arif maupun naif.

(3)

Ditulis untuk pemantik diskusi Cross Cultural Understanding (CCU) mahasiswa Universiti Putra Malaysia (UPM) di FMIPA, UNY, pada Jumat, 1 April 2016

Banyak kepentingan yang berseteru demi mendapatkan “posisi strategis” di gelanggang politik Indonesia-Malaysia. Oleh karenanya, pelbagai hal dilakukan demi mencapainya, meskipun jalan tercela pun dilakukan. Kenyataan ini bukan hal baru di jagat politik, mengingat kawasan Selat Malaka sejak lampau telah menjadi saksi gejolak politik global.

Hal terpenting yang mesti disadari oleh segenap bangsa Indonesia-Malaysia ialah jangan

sampai terbawa oleh “skenario global” itu.5

Kesadaran akan “kedaulatan diri” yang tak boleh di-dikte oleh siapa pun perlu dipertahankan sebagai fondasi utama. Apalagi, “tatanan dunia” yang bersumber pada satu komando telah dikibarkan berabad-abad lampau.

Baik melalui politik, ekonomi, pendidikan, maupun kebudayaan, perwujudan “tatanan dunia” yang bersifat sentralistik itu tetap berjalan. Banyak negara yang “tunduk” karenanya. Karena itu, nasib bangsa Indonesia-Malaysia di hari depan tetap—dan akan selalu—berada di pundak para pemuda, yakni “kita”.[]

Yogyakarta, 31 Maret 2016

5

Referensi

Dokumen terkait

disaksikan oleh saksi saksi dari Partai Politik, dan diawasi oleh Pengawas Pemilu Lapangan Luar Negeri menyelesaikan rekapitulasi hasil suara untuk Pemilihan Umum Anggota

Puskesmas Mampu Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita adalah Puskesmas dengan kriteria: • Mempunyai Tim Asuhan Gizi terlatih, terdiri dari dokter, bidan/perawat, dan tenaga gizi..

Namun, terminator rho-dependent berisi dua urutan tambahan: urutan 50-90 nukleotida- pasangan hulu dari urutan berulang terbalik yang menghasilkan untai RNA dengan banyak c

Dala6 rangka6eningkatkan6utu7anke!ela6atana!ien9RSTN 6enerakan 6et#7erootcauseanalysisRCAatauanali!akar6a!ala89-aitu !uatu kegiatan in=e!tiga!iter!truktur-ang

Pengaruh pestisida nabati Casnic ter- hadap populasi serangga hama penggerek buah kopi pada pengamatan terakhir (1 bulan setelah aplikasi keempat) terlihat bahwa perlakuan

Perubahan status badan hukum Pegadaian dari Perum menjadi PT Persero tidak memberikan dampak negatif terhadap penyaluran kredit kepada masyarakat menengah ke

Kebiasaan makan dapat dilihat dari frekuensi kejadian plankton pada lambung ikan bandeng dimana jenis plankton dari divisi Bacillariophyta yaitu genus Nitzschia longissima paling

permasalahan yang telah disediakan oleh panitia dan seluruh aktifitas Assessee selama kegiatan diskusi berlangsunbg dilakukan penilaian oleh 2 Assessor. 30) Setelah