• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otitis Media Supuratif Kronis - Uji Efek Antibakteri Jintan Hitam Dan Madu Terhadap Bakteri Pseudomonas Aeruginosa Pada Otitis Media Supuratif Kronis Secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otitis Media Supuratif Kronis - Uji Efek Antibakteri Jintan Hitam Dan Madu Terhadap Bakteri Pseudomonas Aeruginosa Pada Otitis Media Supuratif Kronis Secara In Vitro"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otitis Media Supuratif Kronis

Otitis media supuratif kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media perforate (OMP) atau dikenali sebagai congek di Indonesia. OMSK ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus (persisten) atau hilang timbul (rekuren). Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. Angka kejadian OMSK tinggi di negara berkembang disebabkan sosio-ekonomi yang rendah, nutrisi buruk dan kurangnya pengetahuan tentang

kesehatan. OMSK dapat diklasifikasi kepada dua jenis tipe, yaitu tipe tubotimpanal (tipe jinak) dan tipe atikoantral (tipe ganas). Perbedaan tipe klinik OMSK dibuat berdasarkan perbedaan anatomi yaitu pars tensa atau pars plasida membran timpani (Djafar, 2001; Dhingra, 2007) .

2.1.1 Etiologi

OMSK jinak bermula sejak usia anak. Tipe ini merupakan lanjutan dari penyakit otitis media akut yang diikuti dengan demam ruam dan menyebabkan perforasi yang letaknya sentral. Perforasi ini menetap dan memudahkan terjadinya infeksi berulang dari telinga luar. Otorrheamenjadi persisten akibat mukosa telinga tengah yang terpapar kepada lingkungan luar yang penuh dengan aero allergen sehingga terjadinya sensitisasi. Infeksi bisa terjadi secara ascending melalui tuba eustachia. Infeksi tonsil, adenoid dan sinus bisa menimbulkan otorrhea yang persisten atau rekuren (Dhingra, 2007).

Penyebab yang lain adalah perubahan tekanan udara tiba-tiba, alergi,

(2)

2.1.2 Patofisiologi

OMSK dimulakan dengan suatu infeksi akut. Patofisiologi OMSK bermula dengan proses irritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah. Respon inflamasi menimbulkan edema pada mukosa. Inflamasi yang berkelanjutan akan menyebabkan ulserasi pada mukosa dan kerusakan pada sel epitel. Penjamu akan menghasilkan suatu jaringan granulasi (respon terhadap inflamasi) yang bisa membentuk polip pada permukaan rongga telinga tengah. Siklus infalamasi, ulserasi, infeksi dan pembentukan jaringan granulasi akan menghancurkan tulang sehingga menimbulkan komplikasi (Parry, 2011).

2.1.3 Gejala klinis

Gejala klinis pada tipe tubotimpani pertama adalah sekret telinga (otorrhea) dengan ciri mukoid, mukopurulen yang menetap atau intermittent. Sekret ini sering muncul pada keadaan infeksi saluran pernafasan atas atau masuknya air ke dalam telinga. Kedua, terdapat tuli tipe konduktif yang bervariasi dan jarang melebihi 50 dB. Kadang-kadang pasien bisa mendengarkan lebih baik pada keadaan telinga penuh dengan sekret berbanding telinga bersih. Keadaan ini bisa berlanjut sehingga terjadinya pula tuli sensorineural. Ketiga, adanya perforasi yang letaknya sentral dimana posisinya bisa anterior, posterior, inferior kepada letak malleus. Keempat, mukosa telinga tengah dapat dilihat apabila perforasi membrane timpani besar. Mukosa ini terlihat merah, edem dan membengkak pada keadaan inflamasi (Dhingra 2007).

Pada tipe atikoantral, sekret telinga hanya sedikit dan berbau. Selain itu, terdapatnya tuli terutamanya tuli konduktif dan bisa ditambah adanya tuli sensorineural. Perdarahan dapat dijumpai pada tipe ini akibat granulasi atau

(3)

atau posterosuperior pars tensa. Kolesteatoma pada tipe ini dapat dilihat pada kantong retraksi (Dhingra 2007).

2.1.4 Pengobatan

Pada OMSK tipe tubotimpani, tujuan utama pengobatan adalah mengendalikan infeksi ,membersihkan sekret telinga dan selanjutnya memperbaiki ketulian dengan operasi. Pertama dilakukan pembersihan pada liang telinga dari sekret dengan Aural toilet. Kedua, penggunaan antibiotik topikal yang mengandungi neomisin, polimiksin atau gentamisin. Obat ini dikombinasikan dengan steroid yang mempunyai efek anti inflammasi. Obat ini diberi 3-4 kali per hari. pH asam sangat bermanfaat dalam membunuh infeksi bakteri pseudomonas dengan irrigasi menggunakan 1,5% asam asetik.

Pada penggunaan obat ini harus diperhatikan efek ototoksik dari beberapa sedian dan tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik adalah dari hasil kultur bakteri penyebab dan uji resistensi (Djafar, 2001; Dhingra, 2007).

(4)

2.2Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas merupakan kelompok bakteri yang tersebar luas dalam tanah dan air. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan salah kelompok pseudomonas dan tergolong kelompok patogen yang besar pada manusia, kadang membentuk koloni dalam tubuh manusia. P. aeruginosa bersifat invasif dan toksigenik sehingga pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah dapat menyebabkan infeksi. Ia merupakan patogen nosokomial yang penting (Brooks, Butel dan Morse, 2007).

2.2.1 Klasifikasi bakteri P. aeruginosa Klasifikasikan bakteri P.aeruginosa :

Tabel 2.1 Klasifikasi bakteri P.aeruginosa Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gamma Proteobacteria Order : Pseudomonadales Family : Pseudomonadadaceae Genus : Pseudomonas

Species : aeruginosa

(Sumber : Todar, 2008)

(5)

2.2.2 Morfologi dan identifikasi

P. aeruginosa dengan ciri khasnya berbentuk batang, motil dan berukuran sekitar 0,6 x 2 mm. Bakteri ini tergolong kelompok bakteri gram negatif dan dapat muncul dalam bentuk tunggal, berpasangan atau kadang-kadang dalam bentuk rantai pendek. P. aeruginosa dapat tumbuh dengan baik pada suhu 37-42ºC. Bakteri ini tidak memfermentasi karbohidrat dan bersifat oksidase-positif, tetapi banyak strain mengoksidasi glukosa. P. aeruginosa dapat diidentifikasi berdasarkan morfologi koloni, sifat oksidase-positif, adanya pigmen yang khas, dan pertumbuhan pada suhu 42ºC (Brooks, Butel dan Morse, 2007).

P. aeruginosa adalah bakteri obligat aerob yang dapat tumbuh dengan mudah pada banyak jenis medium biakan dan beberapa strain dapat menyebabkan hemolisis darah. Koloni P. aeruginosa adalah bulat halus dengan warna fluoresensi kehijauan. Bakteri ini sering menghasilkan piosianin yang tidak dihasilkan spesies pseudomonas lain, pigmen kebiru-biruan yang tidak berfluorensi, yang berdifusi ke dalam agar. P. aeruginosa juga banyak memproduksi pigmen pioverdin yang berfluorensi, yang memberikan warna kehijauan pada agar. Beberapa strain menghasilkan pigmen piorubin yang berwarna merah gelap atau pigmen piomelanin yang hitam (Brooks, Butel dan Morse, 2007).

P. aeruginosapada biakan dapat membentuk berbagai jenis koloni. Setiap koloni dapat mempunyai aktivitas biokimia, enzimatik dan pola kerentanan antimikroba yang berbeda. Pada biakan pasien dengan fibrosis kistik sering membentuk koloni P. aeruginosa yang mukoid akibat produksi berlebihan dari alginate, suatu eksopolisakarida yang berfungsi menghasilkan matriks sehingga organisme dapat hidup dalam biofilm (Brooks, Butel dan Morse,

(6)

2.2.3 Struktur antigen dan toksin

Struktur dari permukaan sel yang menjulur pili (fimbria) membantu pelekatan pada sel epitel inang. Sifat endotoksik P. aeruginosa karena lipopolisakarida yang ada dalam berbagai immunotype. Jenis-jenis bakteri P. aeruginosa dapat dibedakan berdasarkan kerentanannya terhadap piosin (bakteriosin) dan immunotype lipopolisakarida. Kebanyakan bakteri P. aeruginosa yang diambil dari infeksi klinis menghasilkan enzim ekstraselullar, termasuk elastase, protease, dan hemolisin (fosfolipase C dan glikolipid) (Brooks, Butel dan Morse, 2007).

Banyak strain P. aeruginosa yang menyebabkan nekrosis jaringan dan bersifat letal untuk binatang jika disuntikkan dalam bentuk murni dengan

menghasilkan eksotoksin A. Mekanisme Toksin tersebut serupa seperti mekanisme toksin difteri yaitu dengan cara menghambat sintesis protein ,walaupun struktur kedua toksin tersebut tidak sama. Beberapa serum manusia menunjukkan sifat antitoksin terhadap eksotoksin A termasuk pasien yang telah sembuh dari infeksi berat P. aeruginosa(Brooks, Butel dan Morse, 2007).

Pada OMSK, bakteri ini menggunakan pili untuk menempel pada sel epitel yang nekrosis atau berpenyakit pada telinga tengah. Setelah itu, organisme ini akan menghasilkan proteases, lipopolysaccharide dan enzim lainnya untuk mencegah serangan dari sistem imun tubuh. Hasil sekresi enzim bakteri dan inflamasi akan menambah kerusakan, nekrosis dan akhirnya erosi pada tulang (menimbulkan komplikasi) (Parry, 2011).

2.2.4 Biofilm bakteri

Biofilm adalah kumpulan bakteri interaktif yang dibungkus dalam matriks

(7)

berlendir dibentuk biofilm pada permukaan keras dan terjadi di seluruh alam. Satu spesies bakteri atau lebih dapat terlibat dan berkumpul bersama untuk membentuk biofilm (Brooks, Butel dan Morse, 2007).

Pada infeksi manusia yang bersifat persisten dan sulit ditangani biofilm memainkan peran yang penting sebagai contoh pada penderita kistik fibrosis yang diinfeksi P aeruginosa pada jalan nafas. Pembentukan biofilm pertama adalah kolonisasi permukaan. Kolonisasi bermula apabila bakteri berada di atas permukaan dimana bakteri dapat menggunakan flagel untuk bergerak. Pili dapat digunakan beberapa bakteri untuk menarik diri bersama-sama menjadi satu kelompok dan bakteri lainnya bergantung pada pembelahan sel untuk memulai pembentukan koloni. Secara berterusan bakteri

menyekresikan suatu sinyal antara sel Quorum sensing (Brooks, Butel dan Morse, 2007). Dua sistem Quorum sensing yang dikenali dengan nama las dan rhl. Sinyal ini disekresi dalam kadar rendah yang merupakan suatu molekul dalam kadar rendah misalnya sinyal N-acyl homoserine lactone (AHL) (Karatuna dan Yagci, 2010).Semakin banyak jumlah bakteri,semakin banyak pula konsentrasi sinyal tersebut. Apabila ambang rangsang tercapai, bakteri akan memberi respon dan mengubah aktivasi gen sehingga mengubah perilakunya (Brooks, Butel dan Morse, 2007).

Pada bakteri P. aeruginosa dihasilkan alginate. Gen-gen diaktivasi dapat memengaruhi jalur metabolik dimana bakteri di dalam matriks cenderung mengalami penurunan metabolisme dan produksi faktor virulensi. Matriks eksopolisakarida dapat melindungi bakteri dari mekanisme imun penjamu. Beberapa antimikroba menunjukkan sawar difusi untuk matriks, sedangkan antimikroba yang lain dapat berikatan dengannya. Resistensi terhadap beberapa antimikroba oleh beberapa bakteri dalam biofilm dengan yang

(8)

2.2.5 Temuan klinis

P. aeruginosa merupakan suatu patogen nosokomial. Menurut Centers for Disease Control and Prevention(CDC), rata-rata infeksi P. aeruginosadi RS Amerika Serikat adalah 0,4% (4 per 1000 pasien) . Bakteri ini merupakan penyebab infeksi nosokomial keempat dengan persen dari keseluruhan RS 10,1% (Todar, 2008). Di Intensive Care Unit (ICU) RS. Fatmawati, Indonesia P.aeruginosa merupakan 26,5% bakteri yang dijumpai (Radji, Fauziah dan Aribinuko, 2011). Selain itu, di Indonesia Rumah Sakit (Jakarta dan sekitarnya) dari tahun 2004-2010, 12-19% bakteri P.aeruginosa didapat dari hasil kultur bakteri kelompok gram negatif (Moehario et al., 2012).

P. aeruginosa menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar sehingga menimbulkan pus hijau kebiruan, pada pungsi lumbal bisa terjadi meningitis dan penggunaan kateter dan instrument lain atau dalam larutan untuk irigasi dapat menimbulkan infeksi saluran kemih. Pneumonia nekrotik terjadi karena keterlibatan saluran napas terutamanya akibat respirator yang terkontaminasi (Brooks, Butel dan Morse, 2007).

Pada organ mata, bakteri ini merupakan salah satu penyebab keratitis dan etiologi kepada opthalmia neonatal (Todar, 2008). Pada perenang bakteri ini sering ditemukan pada otitis eksterna ringan dan pada pasien diabetes dapat menjadi invasif (bersifat maligna) (Brooks, Butel dan Morse, 2007).

2.2.6 Uji diagnostik laboratorium

Untuk uji diagnostik laboratorium, spesimen diambil dari lesi kulit, pus, urin, darah, cairan spinal, sputum, dan bahan lainnya diindikasikan sesuai dengan jenis infeksinya. Pada sediaan apus bakteri batang gram negatif sering dilihat. Tidak ada karekteristik morfologi spesifik yang dapat membedakan

(9)

Untuk membedakan spesimen, di oleskan pada agar darah dan medium diferensial yang biasanya digunakan untuk menumbuhkan bakteri batang gram negatif enterik. Pseudomonas tumbuh dengan mudah pada sebagian besar medium ini, tetapi pertumbuhan pseudomonas lebih lambat daripada bakteri enterik. P. aeruginosa mudah dibedakan dari bakteri yang memfermentasi laktosa karena tidak menfermentasikan laktosa (Brooks, Butel, dan Morse, 2007).

2.2.7 Pengobatan

Oleh karena tingkat keberhasilan pengobatan dengan terapi obat tunggal rendah, maka pada infeksi P. aeruginosa yang berat secara klinis bakterinya dapat dengan cepat menjadi resistan. Penisilin yang aktif melawan P.

aeruginosa seperti tikarsillin atau peperasillin dapat digunakan dalam kombinasi dengan aminoglikosida, biasanya tobramisin (Brooks, Butel, dan Morse, 2007).

Obat lainnya yang bisa digunakan adalah azteronam, imipenem, dan golongan kuinolon yang baru, seperti ciprofloxacin dan juga golongan sefalosporin yang baru, seftazidim dan sefoperazon. Seftazidim digunakan sebagai terapi primer infeksi P. aeruginosa. Uji kepekaan obat antimikroba harus dilakukan sebagai penunjang dalam memilih terapi (Brooks, Butel, dan Morse, 2007).

2.3 Antimikroba

Antimikroba dapat dibagi kepada agen antibakteri, antifungal dan antiviral. Agen ini terdiri dari komponen alami (antibiotik) dan komponen sintetis yang dihasilkan di laboratorium. Antibiotik merupakan sejenis substansi yang dihasilkan oleh satu mikroba dan menginhibisi pertumbuhan dan viabilitas

(10)

2.3.1 Prinsip kerja obat antimikroba

Toksisitas selektif adalah agen antimikroba yang ideal berbahaya bagi pathogen tanpa membahayakan sel inang. Sifat toksisitas selektif sering kali relatif dan bukan absolut yang bermaksud suatu obat dalam suatu konsentrasi tertentu dapat ditoleransi oleh inang dan merusak mikroorganisme penyebab infeksi. Toksisitas selektif dapat berfungsi sebagai reseptor spesifik yang diperlukan untuk pelekatan obat, atau dapat bergantung pada inhibisi proses biokimia yang penting bagi pathogen tetapi tidak bagi penjamu. Mekanisme kerja obat antimikroba dapat dibagi kepada empat cara yaitu inhibisi sintesis dinding sel, inhibisi fungsi membran sel, inhibisi sintesis protein (inhibisi translasi dan transkripsi bahan genetik) dan inhibisi sintesis asam nukleat (Jawetz, 1997). Prinsip kerja obat antimikroba dapat dibagi menjadi empat

menurut (Jawetz, 1997) :

i. Cara kerja obat antimikroba dengan inhibisi sintesis dinding sel. Bakteri mempunyai dinding sel yang merupakan suatu lapisan luar yang kaku. Dinding sel mengandung polimer kompleks peptidoglikan yang khas secara kimiawi dan terdiri dari polisakarida dan polipeptida dengan banyak hubungan silang. Lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri gram positif lebih tebal daripada bakteri gram negatif. Dinding sel berfungsi mempertahankan bentuk dan ukuran mikroorganisme, yang mempunyai tekanan osmotik internal tinggi. Kerusakan pada dinding sel seperti akibat terkena enzim lisozim atau inhibisi pada pembentukan dinding sel dapat menyebabkan sel menjadi lisis. Obat-obat golongan B-laktam merupakan bekerja dengan mekanisme inhibisi sintesis dinding sel bakteri sehingga aktif membunuh bakteri yang merupakan salah satu dari beberapa aktivitas obat. Obat-obat yang bekerja dengan cara inhibisi sintesis dinding sel adalah penisilin, sefalosporin, vankomisin, dan sikloserin. Obat-obat lain bekerja

(11)

ii. Cara kerja obat antimikroba dengan inhibisi fungsi membran sel. Semua sitoplasma sel hidup diikat oleh membran sitoplasma yang berperan sebagai barier permeabilitas selektif. Membran sitoplasma mengontrol komposisi internal sel dengan transport aktif. Jika fungsi sitoplasma ini terganggu dapat mengakibatkan kerusakan atau kematian sel karena makromolekul dan ion dapat keluar dari sel. Obat-obat yang bekerja dengan cara inhibisi fungsi membrane sel adalah polimiksin, amfoterisin B, kolistin, dan imidazol serta triazol.

iii. Cara kerja obat antimikroba dengan inhibisi sintesis protein.Ribosom berperan sebagai tempat sintesis protein. Bakteri mempunyai ribosom 70S. Pada mikroba normal sintesis protein, pesan mRNA secara

simultan “dibaca” oleh beberapa ribosom yang memanjang di sepanjang untai mRNA yang disebut sebagai polisom. Obat-obat yang bekerja dengan cara inhibisi sintesis protein adalah eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan kloramfenikol.

iv. Cara kerja obat antimikroba dengan inhibisi sintesis asam nukleat. Obat-obat yang bekerja dengan cara inhibisi sintesis asam nukleat adalah kuinolon, pirimetamin, rifampin, sulfonamide, trimetoprim, dan trimetreksat. Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri dengan secara kuat berikatan pada RNA polymerase dependen-DNA bakteri. Obat-obat golongan kuinolon dan fluorokuinolon menghambat sintesis DNA mikroba dengan menghambat DNA girase. Mikroorganisme mempunyai asam p-aminobenzoat (PABA) yang merupakan metabolit penting dalam sintesis asam folat. Cara kerja spesifik PABA berupa kondensasi suatu pteridin yang bergantung adenosine trifosfat (ATP) dengan PABA untuk menghasilkan asam dihidropteroat, yang

(12)

Sulfonamid dapat masuk ke dalam reaksi di tempat PABA dan bersaing untuk pusat aktif enzim sehingga mentuk analog asam folat non fungsional yang mencegah pertumbuhan sel bakteri lebih lanjut.

2.3.2 Resistensi terhadap obat antimikroba

Menurut Jawetz (1997) mekanisme resistensi bakteri terhadap obat antimikroba adalah seperti berikut :

i. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang menginaktivasi aktivitas obat. Staphylococcidan bakteri batang gram negatif lain yang resisten terhadap penisilin G menghasilkan sejenis enzim beta-laktamase yang menginaktivasi obat tersebut.

ii. Mikroorganisme juga dapat mengubah permeabilitas sel membrannya

terhadap obat yang menganggu transpor aktif ke dalam sel seperti pada tetrasiklin didapat dalam jumlah yang banyak pada bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten

iii. Mikroorganisme dapat mengubah struktur sasaran atau reseptor bagi obat. Pada organism yang rentan terdapat resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya atau perubahan protein spesifik pada subunit 30S ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor tempat bekerja obat.

iv. Mikroorganisme bisa mengubah jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat ini. Pada beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan asam p-aminobenzoat (PABA) yang merupakan metabolit penting, tetapi dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk sebelumnya.

v. Mikroorganisme dapat mengubah enzim yang tetap dan dapat melakukan fungsi metabolismenya seperti pada mutan yang resisten sulfonamid , dihidropteroat sintetase mempunyai afinitas yang jauh

(13)

2.3.3 Ciprofloxacin

Ciprofloxacin merupakan obat golongan fluorokuinolon yang merupakan analog asam nalidiksat yang difluorinasi. Obat ini aktif terhadap berbagai bakteri gram positif dan gram negatif. Obat ini bekerja dengan menghambat kerja DNA girase (topoisomerase II) yaitu enzim yang bertanggungjawab terhadap terbuka dan tertutupnya lilitan DNA sehingga mencegah relaksasi DNA superkoil yang dibutuhkan untuk transkripsi dan duplikasi normal (Chambers, 2004).

Setelah pemberian per oral, ciprofloxacin diabsorbsi dengan baik (keberadaan hayati oral 70%) dan didistribusikan secara luas dalam cairan tubuh dan jaringan. Waktu paruh dalam serum berkisar antara 3-5 jam.

Setelah menelan 500 mg, maka kadar puncak serum adalah 2,4mikrogram/mL. Absorpsi per oral terganggu oleh adanya kation divalent seperti antasida. Ekskresi obat terutamanya melalui ginjal dengan mekanisme sekresi tubulus (dapat dihambat oleh probenesid) atau filtrasi glomerulus. Sampai 20% dari dosis dimetabolisasi di dalam hati (Chambers, 2004).

(14)

2.4 Jintan Hitam

Jintan hitam adalah suatu jenis tumbuhan herbal dari keluarga “Ranunculaceae” yang ditanam bagi memperolehi biji-biji ataupun bunganya. Jintan hitam dikenali dengan nama Nigella Sativa dan dikenali dengan banyak nama seperti “Panacea” yang bermaksud “mengobati semua” (latin lama); “Habbah Sawda” atau “Habbat el Baraka” yang diterjemahkan sebagai “biji yang berkat” (Arab); “Kalonji” (india) dan “Hak Jung Chou” (China). Ia merupakan tumbuhan herba yang tumbuh dengan tinggi kira-kira 45 cm. Secara tradisional, biji dan minyak dari jintan hitam digunakan untuk mengobati pelbagai jenis penyakit (Padhye et al., 2008; Rajsekhar dan Kuldeep,2011).

(15)

2.4.1 Klasifikasi

Klasifikasi jintan hitam :

Tabel 2.2 Klasifikasi Jintan Hitam

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Ranunculales Famili : Ranunculaceae Genus : Nigella

Spesies : N. Sativa

(Sumber : Rajsekhar dan Kuldeep, 2011)

2.4.2 Komposisi

Jintan hitam mengandungi nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Selain itu, jintan hitam mempunyai vitamin dan zat-zat ion yang diperlukan tubuh seperti tiamin, riboflavin, piridoksin, niasin, folasin ,kalsium , zat besi, kuprum, fosfor dan sebagainya. Ia juga mempunyai asam lemak monounsaturated fatty acids (MUFA) dan polyunsaturated fatty acids (PUFA) (Rajsekhar dan Kuldeep, 2011).

Ia juga mengandung minyak seperti α-thujene, 2(1H)-naphthalenone, α -pinene, α-phellandrene, limonene, thymoquinone, mystricin yang memberi kontribusi dalam efek antimikroba (Gerige et al., 2009).

(16)

Tabel 2.3 menunjukkan komposisi jintan hitam

(17)

2.4.3 Manfaat

Manfaat jintan hitam secara farmakologis menurut Sharma et al. (2009) adalah mempunyai efek antimikroba, aktivitas hepatoprotektif, antidiabetik, antifertility, antioxytoxic, sitotoksik, antihelmintic, analgesik dan sebagainya.

Rajsekhar dan Kuldeep (2011) menyatakan bahwa jintan hitam mempunyai efek analgesik, anti inflamasi, antidiabetik, anti kanker, antimikroba, antistress, antiepilepsi, antioksidan, aktivitas gastroprotektif, antirheumatik, agen antielastase dan pengurangan sel darah sabit.

Penelitian secara in vivo menunjukkan gejala pada penderita rhinitis allergi berkurang setelah konsumsi jintan hitam dan direkomendasi untuk

digunakan untuk mengobati penyakit ini apabila ada kontraindikasi dengan obat lain (Nikakhlagh et al., 2011).

2.4.4 Efek antimikroba

Minyak jintan hitam mempunyai α-thujene, 2(1H)-naphthalenone, α -pinene, α-phellandrene, limonene, thymoquinone, mystricin yang memberi kontribusi dalam efek antimikroba (Gerige et al., 2009). Jintan hitam mempunyai efek antibakteri karena thymoquinone, thymol, apinene, dan p-cymene dengan cara thymoquinone sebagai komponen utama dapat menghambat pembentukan asam nukleat (RNA) dan sintesis protein (Alsawaf dan Alnaemi, 2010).

Thymoquinone dan thymohdroquinone merupakan komponen terbesar jintan hitam. Kedua-duanya menunjukkan efek antimikroba. Thymoquinone menghambat pembentukan biofilm bakteri dan juga mempunyai KHM dengan konsentrasi 8-32 μg/ml terhadap beberapa strain bakteri terutamanya

(18)

Pada suatu penelitian uji efek antimikroba jintan hitam terhadap multi-drug resistant bakteri yang diisolasi dari beberapa sumber, dikatakan minyak jintan hitam menunjukkan ketergantungan pada dosis yang diberikan. Bakteri yang sensitif adalah Staphylococcus aureus,S. epidermis,Streptococcus pyogenes dan Pseudomonas aeruginosa(Salman et al.,2008).

2.5 Madu

Madu adalah suatu substansi yang dihasilkan dari kumpulan nektar tumbuhan setelah dikumpulkan, dimodifikasi dan disimpan dalam sarang lebah (National Honey Board, 2003). Madu sering digunakan sebagai obat tradisional untuk infeksi mikroba pada zaman dahulu (Sherlock et al., 2010).

2.5.1 Komposisi

Gula dan air merupakan komponen utama madu. Gula pada madu sebanyak 95-99% yaitu monosakarida (85-95%) dimana fruktosa (38,2%) dan glukosa (31,3%). Gula ini berbentuk 6 rantai karbon yang mudah diserap oleh tubuh. Selain itu, terdapat juga disakarida seperti maltose, sukrosa, dan isomaltosa. Oligosakarida ada dalam jumlah yang kecil (Olaitan, Adeleke dan Ola, 2007).

Air merupakan komponen kedua terpenting setelah gula. Air berperan dalam penyimpanan madu. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi air seperti cuaca dan kelembapan di dalam sarang, keadaan madu dan pengobatan lewat ekstraksi dan penyimpanan. Terdapat 0,57% asam organik termasuk asam glukonik (produk pencernaan enzim glukosa). Asam organik ini berperan dalam mengatur keasaman dan rasa dari madu (Olaitan, Adeleke dan Ola, 2007).

(19)

lebah terutamanya invertase (saccharase), diastase (amylase) dan glucose oxidaseberperan penting dalam pembentukan madu juga terdapat pada madu. Vitamin C, B (tiamin) dan B2 komplek seperti riboflavin, asam nikotinik dan B6 asam panthothenik juga didapati pada madu (Olaitan, Adeleke dan Ola, 2007).

2.5.2 Manfaat

Madu berperan dalam penatalaksanaan penyembuhan luka dengan mencegah dan menghambat pertumbuhan bakteri sehinggu mengurangkan beban pada luka. Mekanisme kerja ini diakibatkan faktor biokimia yang menghasilkan hidrogen peroksida dengan enzim glukose oksidase dengan tambahan mekanisme non peroksid (Lee, Sinno And Khachemoune, 2011).

Pada suatu studi madu, konsumsi madu setiap hari selama 2 minggu pada mencit betina yang menunjukkan simptom menopause memberikan hasil yang bermanfaat dan protektif. Madu yang digunakan menunjukkan pencegahan atrofi uterus, atrofi epitel vagina, mempromosi peningkatan densitas tulang dan mensuppresi peningkatan berat badan pada keadaan menopause (Zaid et al., 2010). Selain itu, madu mencetus proses apoptosis pada sel karsinoma ginjal (Samarghandian, Afshari and Davoodi, 2011)

Oligosakarida di dalam madu berpotensi sebagai prebiotik yang penting bagi saluran cerna manusia. Dua flora normal yang penting di usus yaitu Lactobacillus spp. (bagian distal usus halus) dan Bifidobacterium spp. (kolon). Lactobacillus spp. dapat membantu tubuh mempertahankan dari infeksi Salmonella. Bifidobacterium spp. pula dapat memantau pertumbuhan

(20)

2.5.3 Efek antimikroba

Madu sering digunakan sebagai obat tradisional untuk infeksi mikroba sejak zaman dahulu. Potensi efek antibakteri berbeda bagi setiap madu tergantung beberapa faktor seperti asal geografis sehingga proses penyimpanan madu. Efek antibakteri adalah karena osmolaritas, pH, produksi hidrogen peroksida dan adanya komponen fitokimia lainnya seperti metilgloksal (MGO) (Sherlock et al., 2010).

Madu mempunyai dua mekanisme kerja dalam melawan infeksi yaitu melalui komponen bakterisid yang aktif membunuh sel dan gangguan pada

Quorum sensing yang melemahkan koordinasi faktor virulensi bakteri. Pada Pseudomonas aeruginosa konsentrasi rendah madu menghambat ekspresi MvfR, las dan rhl regulons termasuk faktor virulensi lainnya pada jaringan Quorum sensing ( Wang et al., 2012). Mekanisme jalur peroksid madu dalam membunuh bakteri melibatkan penghasilan radikal hidroksil dari hidrogen peroksida dan juga beberapa komponen yang tidak diketahui dalam madu .Ini akan menghasilkan efek sitotoksik sehingga menghambat pertumbuhan bakteri dan degradasi DNA. Efek antibakteri ini melalui Fenton-type reaction dan efek bakteriostatik madu ini tergantung kepada dosis yang diberikan (Brudzynski dan Lannigan, 2012).

Madu menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, S. aureus, Actinobacter dan Stenotrophomonas. Selain itu, madu efektif terhadap bakteri methicillin-resistant S.aureus dan

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi bakteri P.aeruginosa
Gambar 2.2 menunjukkan bunga (kiri) dan biji jintan hitam (kanan)
Tabel 2.2 Klasifikasi Jintan Hitam
Tabel 2.3 menunjukkan komposisi jintan hitam

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitian saya ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kehamilan dengan gangguan pendengaran dan gangguan telinga dalam yang dalam hal

peauagut ea I PEDA dan penyet

Saran : Berdasarkan kesimpulan hasil-hasil dalam siklus I dan siklus II saran dari peneliti adalah: (1) Kepada kepala sekolah, dengan adanya pelaksanaan layanan bimbingan

Dalam hal ini undang-undang nasional maupun internasional telah mengatur ketentuan penjabaran atas asas praduga tidak bersalah dan asas kedudukan yang sama dihadapan hukum,

Fakultas Ekonomi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nobel Indonesia, 2019, hlm 3.. penelitian menyimpulkan bahwa fasilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap

[r]

Persediaan adalah suatu kekayaan berupa barang milik pemerintah desa yang dinilai dengan uang baik berupa uang kertas maupun surat berharga dalam periode normal, antara lain

Dengan menemukan prasyarat keberhasilan/keberlanjutan dari kelompok-kelompok ini, maka dapat diketahui substansi persoalan dari tantangan keberlanjutan pengelolaan sumber