• Tidak ada hasil yang ditemukan

PSIKODIAGNOSTIK IV INTELIGENSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PSIKODIAGNOSTIK IV INTELIGENSI"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

PSIKODIAGNOSTIK IV

INTELIGENSI

PENYUSUN: Herlina, Dra., Psi. Ifa Hanifah Misbach, S.Psi., Psi.

Ita Juwitaningrum, S.Psi. Medianta Tarigan, S.Psi. Sri Maslichah, S.Psi., Psi.

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA DIKTAT KULIAH

(2)

BAB I

PENGANTAR INTELIGENSI

1. HAKIKAT INTELIGENSI

Untuk masyarakat awam, istilah IQ seringkali disamakan sebagai singkatan dari inteligensi. Hal ini merupakan miskonsepsi yang terlanjur populer, sehingga perlu ditinjau kembali konotasi umum dari konstruk ”inteligensi”.

IQ tidaklah sama dengan inteligensi. Arnorld Buss menyebutkan bahwa inteligensi dapat dipandang sebagai temperamen. Suatu kecenderungan tingkah laku ”quasi-biologis” (seolah-olah tingkah laku biologis), pada hakekatnya bersifat konstitusional, yang merupakan tanda untuk membedakan individu satu dengan individu lainnya. Namun beberapa ahli psikologi menyatakan bahwa temperamen hanyalah merupakan tingkah laku emosional; hal inilah yang membatasi inteligensi sebagai temperamen. Buss memberikan pendekatan yang lebih luas yaitu bahwa inteligensi dipandang merupakan sebagian dari kepribadian, sedangkan temperamen dipandang sebagai penentu perbedaan individu.

Dari sudut bawaan (nature), pada awal kehidupan seorang individu dipandang hanya memiliki inteligensi umum, tidak berbeda-beda dan bersifat plastis (luwes). Setelah terjadi interaksi dengan lingkungan, inteligensi individu menjadi berbeda-beda. Piaget membuka rahasia tentang proses diferensiasi, dimana dalam proses diferensiasi ini penggunaan bahasa memainkan peran penting. Setelah individu tumbuh menjadi anak yang matang, ia dikatakan menguasai (mastery) tugas-tugas yang berkaitan dengan proses diferensiasi untuk membedakan. Selanjutnya, tumbuh rasa ingin tahu (curiousity) untuk menguasai pengetahuan di segala bidang sehingga individu mulai dapat menspesialisasikan berbagai hal.

Sekalipun demikian, inteligensi individu yang digeneralisasikan sebelumnya merupakan bagian dari individualitasnya. Kita masih dapat membedakan orang dewasa yang satu dengan orang dewasa lainnya atas dasar inteligensi umumnya.

2. DEFINISI INTELIGENSI

Wechsler mendefinisikan inteligensi sebagai:

“Intelligence is the aggregate or global capacity of the individual to act purposefully, to think rationally, and to deal effectively with this environment”.

Artinya :

Inteligensi merupakan suatu agregat atau kapasitas global dari individu untuk dapat bertingkah laku secara terarah, berpikir secara rasional, serta berhubungan secara efektif dengan lingkungannya.

(3)

Dari pengertian di atas, dapat dijelaskan bahwa:

• Inteligensi bersifat global, karena inteligensi mencirikan tingkah laku individu sebagai keseluruhan.

Inteligensi merupakan sebuah akumulasi (aggregate), karena komposisinya terbentuk dari elemen-elemen kecakapan, yang meskipun tidak sepenuhnya berdiri sendiri tetapi secara kualitatif dapat dibedakan satu dari yang lainnya. Agregat disamakan dengan pembangkit, diesel. Wechler menyamakan inteligensi dengan listrik, sebab kita tidak dapat melihat listrik secara langsung. Tiga unsur utama yang dapat diihat dari listrik adalah efek magnetisnya, efek thermisnya, dan efek kimiawinya. Sama halnya seperti inteligensi. Dengan mengukur kecakapan-kecakapan yang tampak dari tingkah laku seseorang, maka kita akan dapat mengukur inteligensi seseorang. Kita dapat membedakan apakah tingkah laku seseorang termasuk inteligen atau tidak. • Meskipun kecakapan-kecakapan ini termasuk dalam inteligensi, namun inteligensi tidak sama dengan

sekedar penjumlahan dari kecakapan-kecakapan ini. Artinya, inteligensi bukan sekedar jumlah total dari kecakapan-kecakapan ini, tapi bersifat melebur/inklusif.

Wechsler mengemukakan tiga alasan mengapa pernyataan di atas diajukan:

• Hasil dari perilaku inteligen bukan hanya merupakan suatu fungsi dari sejumlah kecakapan atau kualitas kecakapan tersebut, tapi juga tergantung pada konfigurasi kecakaan-kecakapan tersebut (cara kecakapan-kecakapan tersebut dikombinasikan).

• Ada faktor-faktor selain kecakapan intelektual, misalnya dorongan (drive) dan hadiah (incentive), yang melebur dengan perilaku inteligen.

• Karena tingkah laku inteligen mempersyaratkan berbagai derajat kecakapan intelektual, maka kecakapan-kecakapan tertentu bisa saja memberikan sumbangan yang kurang berarti terhadap perilaku sebagai suatu keseluruhan.

Definisi ini menunjukkan bahwa, dari sisi inteligensi umum, kecakapan intelektual hanya merupakan kecakapan minimum. Tapi di luar itu, kecakapan ini tidak akan membantu banyak dalam keberhasilan hidup seseorang. Adalah benar jika beberapa kecakapan memiliki porsi yang lebih besar, misalnya kecakapan menalar ketika dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan matematika tertentu. Kemampuan menalar yang luar biasa dari seorang ahli matematika lebih berkorelasi tinggi dengan sesuatu yang kita ukur sebagai inteligensi daripada kemampuan memori, tapi bukan berarti bahwa seseorang yang memiliki kecakapan ini disimpulkan secara keseluruhan sebagai orang yang berinteligensi tinggi.

3. LATAR BELAKANG STUDI INTELIGENSI

Pada mulanya, cara mengukur inteligensi berasal dari Alfred Binet (1905). Ia meneliti baik anak yang memiliki keterlambatan mental maupun anak yang normal untuk diidentifikasikan sebelum mereka mengalami

(4)

hambatan di sekolah. Ia merancang suatu ukuran untuk mengidentifikasikan anak yang memiliki kemampuan-kemampuan tertentu di sekolah. Binet tidak memiliki teori inteligensi tertentu, tetapi ia bekerja di bidang tes-tes yang menunjukkan sampel tingkah laku anak dan membedakan kemampuan dari tingkat umur yang berbeda-beda. Ia menemukan teori bahwa pada setiap tingkat umur, beberapa anak lebih baik daripada kemampuan anak lainnya. Metode Binet sangat sederhana dan unik. Binet menyusun masalah yang melibatkan kemampuan penyesuaian mental. Untuk bisa dimasukkan ke dalam konsepsi komponen inteligensi, maka problema harus melibatkan :

1. Kecenderungan untuk mencapai arah tertentu.

2. Kecakapan membuat penyesuaian dalam pelaksanaan dengan mengurangi hambatan untuk mencapai tujuan.

3. Kekuatan kritik pribadi.

Bersama Frechman dan Theodore Simon, ia menyusun sekelompok tugas yang harus dilaksanakan untuk pekerjaan tertentu di sekolah. Dengan demikian, tes inteligensi pertama-tama digunakan untuk meramalkan kesuksesan anak di sekolah.

Telah diakui bersama bahwa anak yang lebih tua dapat menyelesaikan tugas-tugas yang tidak dapat dilakukan oleh anak yang lebih muda. Binet menggunakan fakta ini sebagai dasar untuk merumuskan ”usia mental” sebagai dasar untuk menentukan tingkat berfungsinya mental anak. Binet mendasarkan tesnya pada perbandingan anak tertentu dengan kelompok umurnya. Seseorang anak yang berada di atas rata-rata dalam hal inteligensinya dapat menjawab pertanyaan lebih banyak daripada kebanyakan anak dari kelompok umurnya. Apabila ia hanya dapat mengerjakan/menjawab pertanyaan yang sama dengan kelompok umurnya, maka ia dianggap memiliki inteligensi rata-rata. Anak yang performance-nya di bawah rata-rata dari kelompok umurnya maka ia dianggap memiliki inteligensi di bawah rata-rata. Contohnya, seorang anak dapat memiliki umur kronologis 10 tahun, tetapi memiliki umur mental 11 jika ia dapat menjawab pertanyaan yang dapat dijawab oleh kelompok anak umur 11 tahun.

Binet memandang bahwa selama masa kanak-kanak, inteligensi bertambah sejalan dengan pertambahan umur. Oleh sebab itu, item-item tes harus disusun dengan memperhatikan tingkat umur yang berbeda-beda.” Binet memberikan contoh, misalnya item diberikan 10% untuk anak umur 5 tahun, 40% untuk anak umur 6 tahun, dan 60% untuk anak umur 7 tahun.

Tes Binet diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan direvisi oleh Lewis bersama teman-temannya di Stanford University. Revisi ini dilakukan berturut-turut pada tahun 1916, 1937 dan 1960 yang menjadi tes inteligensi terstandar yang disebut Stanford-Binet Test.

(5)

4. ISTILAH IQ

Konsep inteligensi Binet selanjutnya mendapat sumbangan pemikiran dari William Stern tentang konsep IQ (Intelligence Quotient), yang akhirnya memunculkan rumus untuk mencari tingkat inteligensi seseorang dengan merasiokan umur mental dengan umur kronologis, yang ditunjukkan dengan IQ. Selanjutnya teori tentang IQ ini terkenal sampai sekarang dan masih banyak digunakan oleh para ahli untuk mencari tingkat inteligensi seseorang.

Stern membuat konsep bahwa terdapat rasio antara umuir mental dan umur kronologis, dengan rumus IQ sebagai berikut : Mental Age = Intelligence Quotient Chronologial Age atau : MA = IQ CA

Perhitungan dengan rumus tersebut selalu menghasilkan angka desimal. Untuk menjadikan angkanya menjadi bulat, hasil itu harus dikalikan 100, sehingga rumus itu menjadi :

MA

X 100 = IQ CA

Untuk menggabungkan teori Binet dan hasil tesnya dengan IQ, terdapat dua alasan :

1. Pengukuran inteligensi dipelopori oleh Binet, yang masih banyak digunakan dalam tes-tes kemampuan mental.

2. Konsep IQ merupakan titik tolak untuk membicarakan kemampuan mental. Karena itu, konsep ini dijadikan konsep dasar dalam mengadakan pembahasan inteligensi.

Sebagai contoh :

Jika seorang anak memiliki 6 CA dan memiliki 8 MA, IQ-nya sama dengan 133, berasal dari [(8 :6) x 100].

Menurut teori Stern, nantinya anak yang memiliki 12 CA akan memiliki 16 MA, dan IQ-nya akan tetap ketemu 133.

Sekali lagi skor tes inteligensi yang diperoleh individu sangat bergantung kepada item-item yang dimasukkan dalam tes itu. Justru dengan demikian, ketepatan pengukuran inteligensi seseorang ditentukan juga

(6)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENENTU INTELIGENSI

Inteligensi merupakan suatu fungsi, dalam arti faktor-faktor yang menentukan inteligensi merupakan suatu fungsi secara keseluruhan. Faktor-faktor tersebut meliputi pembawaan, kematangan dan pembentukan. 1. Faktor Pembawaan

Faktor pembawaaan merupakan faktor pertama yang berperan di dalam inteligensi. Semua individu membawa sifat-sifat tertentu sejak lahir. Sifat-sifat alami ini yang menentukan pembawaan kita. Contohnya, terdapat anak-anak yang dengan susah payah dapat mengikuti pelajaran di bangku sekolah dasar (SD), termasuk ada yang dengan sangat mudahnya dapat mencapai gelar di universitas. Tetapi di sisi lain, betapapun giatnya mengikuti pelajaran-pelajaran tambahan di luar sekolah sekalipun, namun ada anak-anak yang tidak sanggup mengikuti pelajaran yang lebih tinggi dari SD. Artinya, mereka tidak memiliki kesanggupan yang memadai untuk mengikuti pelajaran, berkaitan dengan kekurangan faktor pembawaan. 2. Faktor Kematangan

Kematangan adalah pertumbuhan dari dalam. Faktor kematangan terkait dengan bagaimana kesiapan individu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Contohnya, anak normal yang berusia 7 tahun, tidak akan menjumpai kesulitan dengan hitungan 8+9. Tetapi saat dihadapkan pada persoalan setingkat lebih sulit yang menyangkut persamaan seperti: 5+x=8, ia kesulitan untuk menyelesaikannya. Bisakah kita langsung memberi label bahwa anak tersebut bodoh?. Tentu tidak!. Bahkan mungkin ia seorang anak yang cerdas, hanya saja ia belum matang untuk membuat soal hitungan persamaan semacam itu, karena hitungan semacam itu masih terlampau abstrak baginya. Andaikata anak itu normal dan berusia sekitar ± 14 tahun, besar kemungkinan hitungan itu tidak akan sulit diselesaikan.

3. Faktor Pembentukan

Faktor pembentukan, yakni perkembangan di bawah pengaruh keadaan-keadaan dari luar.

Misalnya, seorang anak normal yang berusia 14 tahun, pada umumnya tidak akan menjumpai kesulitan dengan persoalan hitungan sederhana. Akan tetapi, tidak setiap anak normal 14 tahun dapat membuat hitungan seperti itu. Jika anak itu tinggal di sebuah dusun yang terpencil dan tidak pernah bersekolah, ia akan sulit menyelesaikan hitungan tersebut, sekalipun ia telah memiliki kematangan untuk hitungan tersebut. Jadi pembentukan merupakan faktor yang sangat penting dalam inteligensi. Dan dalam pembentukan, sekolah dan lingkungan memegang peranan yang sangat penting.

Untuk dapat memperjelas ketiga faktor di atas, maka akan diketengahkan dua perspektif yang banyak mempengaruhi faktor-faktor inteligensi.

(7)

A. PERSPEKTIF NATURE

1. Apakah Inteligensi Bersifat Bawaan (Hereditas) ?

Metode dasar penentuan bahwa inteligensi bersifat hereditas adalah menguji IQ individual yang memiliki perbedaan hubungan darah. Buss menyimpulkan bahwa IQ orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah dapat tidak berkorelasi. Mereka yang memiliki hubungan darah hanya akan memiliki korelasi positif yang rendah. Anak-anak dari orang tua yang sama akan memiliki korelasi yang lebih tinggi. Sedangkan anak kembar akan memiliki korelasi yang tinggi. Kecenderungan bagi mereka yang memiliki hubungan darah akan memiliki korelasi yang tinggi menunjukkan bahwa inteligensi diwariskan.

Setelah penelitian terhadap individu yang memiliki hubungan darah dilakukan terhadap 52 kasus selama bertahun-tahun, pada tahun 1963 disimpulkan bahwa hereditas merupakan penentu inteligensi dengan korelasi yang tinggi. Faktor lingkungan juga memainkan peranan, tetapi tidak setinggi faktor hereditas.

Hasil penelitian di atas didukung pula oleh penelitian di Inggris (Burt, 1966), yang mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Hipotesis tentang faktor umum pada setiap tipe proses kognitif menunjukkan spekulasi yang berasal dari neurologi dan biologi. Perbedaan dalam faktor umum ini tergantung pada faktor genetik individu.

2. Konsep pembawaan, kemampuan umum dan kemampuan kognitif merupakan abstraksi yang konsisten dengan fakta-fakta empiris.

Pada tahun 1969, sebuah artikel kontroversial ditulis oleh Arthur R. Jensen, seorang profesor psikologi pendidikan dari University of California, Berkeley. Ia mempertanyakan ”Seberapa banyak IQ yang kita gunakan dalam mencapai prestasi di sekolah?”. Ia mengungkapkan topik dari sudut pandang nature dan nurture, mengenai :

1. Peran hereditas dan lingkungan terhadap inteligensi dan prestasi skolastik.

2. Evaluasi terhadap berbagai usaha untuk meningkatkan IQ dan prestasi skolastik bagi anak-anak miskin 3. Posisi dalam kelas sosial dan perbedaan ras dalam inteligensi

4. Kemampuan belajar asosiatif, status sosial ekonomi dan inteligensi.

Kontroversi ini memicu perdebatan seru karena sebelumnya pada awal tahun 1960-an di Amerika, tokoh-tokoh Head Start telah meneliti murid-murid yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi lemah. Mereka terhalang stimulinya sehingga berakibat pada perkembangan intelektual dan kognitifnya. Hambatan sensori berasal dari lemahnya stimulasi auditif dan visual dan miskinnya keterampilan verbal yang diwarnai oleh perkembangan bahasa anak di rumah. Anak-anak ini pun biasanya gagal di sekolah. Pada tahun 1960, Bernstein, seorang ahli sosiologi dari Inggris, memberikan perhatian atas masalah ini. Ia mengatakan bahwa anak dari latar belakang kehidupan ekonomi dan kultur rendah menggunakan bahasa informal untuk

(8)

mengungkapkan kebutuhan-kebutuhannya, anak kelas menengah menggunakan bahasa yang lebih formal dalam menyampaikan konsep-konsep dalam tugas-tugas akademik.

Tujuan program pendidikan pra-sekolah dilakukan untuk memberikan pengayaan kepada anak yang lemah dengan berbagai pengalaman sensori dan keterampilan bahasa. Pendidikan kompensatoris ini yakin bahwa kondisi lingkungan yang terbaik dapat mempengaruhi perkembangan intelektual dan perkembangan akademik anak. Dengan demikian dapat diatasi perbedaan anak-anak tersebut dengan anak pandai di sekolah itu. Tahun 1961 J.Mc V. Hunt menyatakan bahwa dengan Psikologi pendidikan ilmiah, pengalaman pertama dapat mempengaruhi level inteligensi”.

Ketika lulusan program Head Start dievaluasi pada akhir kelas pertama dan dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti program itu, Commission on Civil Rights (1967) menyimpulkan : “Program Head Start tidak menunjukkan prestasi partisipasi murid setelah dinilai komisi”.

Banyak orang tidak sepakat dengan kesimpulan itu. Tetapi ada yang menganggap bahwa Program Head Start terlambat. Dampak kelemahan lingkungan sudah dimulai sebelum umur pra-sekolah. Program yang efektif harus dimulai segera setelah kelahiran.

Jensen menyimpulkan bahwa program pendidikan di Amerika saat itu memiliki kelemahan, karena hanya memusatkan pada pengalaman lingkungan sebagai faktor penentu perkembangan intelektual. Perbedaan IQ sebanyak 80% terjadi karena perbedaan genetik sedangkan faktor lingkungan sedikit membantu atau menunjang perbedaan individual.

Jensen (1969) menyatakan bahwa kemampuan asosiatif (memori) berdistribusi sama bila dibandingkan berbagai kelompok yang ada. Sedangkan kemampuan perseptual berdistribusi berbeda antara kelompok rendah dengan kelompok menengah.

Korelasi antara 2 variabel merupakan indikasi statistik mengenai hubungannya. Penentuan korelasi diperoleh dari rumus matematik. Hal ini penting bagi kita untuk menginterpretasikan arti dari sebuah korelasi. Jika 2 variabel bertambah secara proporsional, misalnya antara umur dengan berat anak, korelasinya adalah positif. Sedangkan korelasi itu menjadi negatif apabila variabel yang satu bertambah dan variabel yang lain berkurang.

Perlu ditekankan di sini bahwa korelasi tidaklah selalu menunjukkan kausalitas. Berarti walaupun dua variabel memiliki korelasi (misalnya pecandu rokok dengan kanker paru-paru), walaupun korelasi tinggi, tetapi variabel pertama belum tentu merupakan sebab dari variabel lainnya.

William Stockley (1971) pun telah memberikan persetujuan atas pengungkapan inteligensi secara genetik. Ditunjang lagi pendapat tersebut oleh Richard Herrenstein (1971) dan H.J Eysenck (1971). Mereka banyak membahas tentang inteligensi ini dan menunjang teori inteligensi genetik yang telah dibahas oleh banyak ahli.

(9)

Data yang sangat favorabel mengenai hereditas ini diungkapkan oleh studi korelasi antara kembar identik yang berasal dari ibu yang berbeda; kembar bersaudara dari telur yang sama, dua bersaudara (laki-laki), orang tua dengan anak dan orang tua angkat dengan anak. Hasilnya seperti nampak pada tabel 1 di bawah ini. Tabel ini menunjukkan distribusi median koefisien korelasi hasil tes inteligensi. Angka-angkanya menunjukkan dukungan terhadap teori inteligensi yang dipengaruhi genetik.

Tabel 1 :

No Pasangan Jumlah kelompok

yang diselidiki

Median Koofisien Korelasi

1 Kembar identik dari telur yang sama 14 0,87

2 Kembar identik dari telur yang berbeda 4 0,75

3 Dua bersaudara (laki-laki) 20 0,53

4 Orang tua kandung dengan anak kandung 12 0,50

5 Dua saudara kandung (perempuan) 35 0,49

6 Dua orang tak bersaudara dari satu keluarga 5 0,23

7 Orang tua angkat dengan anak 3 0,20

8 Dua orang tak bersaudara dari keluarga yang berbeda

4 -0.01

Apabila kita membandingkan kembar identik dari telur yang sama dengan dua bersaudara, faktor lingkungan relatif konstan dan memanipulasi hereditas. Korelasi IQ-nya berubah dari 0,87 untuk kembar identik dan 0,53 untuk dua bersaudara (laki-laki). Sedangkan kembar identik dengan telor yang berbeda (0,75) menunjukkan hereditas konstan dan manipulasi lingkungan hanya berpengaruh kecil. Skor kembar identik dari telur yang berbeda (0,75) lebih besar daripada skor dua bersaudara laki-laki (0,53), berarti hereditas lebih berpengaruh terhadap IQ daripada lingkungan. Untuk anak kembar, skor-skor inteligensi menunjukkan bahwa hubungannya besar dengan level pendidikan ibu aslinya. Lain halnya dengan ibu angkat yang memiliki korelasi lebih rendah (Honzik, 1967).

Penemuan ini bukan tidak mendapatkan tantangan dari para penganut empirimentalis yang menolak pendapat bahwa variabel lingkungan berpengaruh kecil. Anak bisa lahir dari orang yang berbeda tetapi memiliki lingkungan yang sama. Disini tidak ada perbedaan pengaruh lingkungan terhadap IQ. Di pihak lain, ada anak yang lahir dari keluarga yang sama tetapi memiliki lingkungan yang berbeda. Disini ada perbedaan pengaruh lingkungan terhadap IQ.

(10)

Hasil penyelidikan itu hanyalah diberlakukan untuk orang-orang kulit putih di Amerika. Padahal di sana ada orang Negro. Sehingga Gage (1972) mempertanyakan : “Apakah perbedaan lingkungan orang-orang Negro dan orang-orang kulit putih juga menyebabkan perbedaan IQ?”. Tidak seorang pun yang mengetahui karena penyelidikan tentang hal ini pada saat itu belum dilakukan.

B. Tinjauan Kritis Pengaruh Hereditas Terhadap Inteligensi

Berbagai hal harus diperhatikan dalam menginterpretasikan pengaruh hereditas :

1. Data empiris dalam kesamaan-kesamaan familial tunduk pada distorsi karena pengaruh faktor-faktor lingkungan tidak diperhitungkan. Misalnya ada bukti bahwa anak-anak kembar monozygotis bersama-sama memiliki lingkungan yang lebih mirip daripada anak-anak kembar dizygotis (Anastasi, 1958; Koch, 1966). Dan lingkungan keturunan yang dibesarkan bersama bisa memiliki makna psikologis yang cukup berbeda (Daniels & Plomin, 1985). Kesulitan lain adalah pasangan anak-anak kembar yang dibesarkan terpisah tidak ditempatkan secara acak pada berbagai rumah asuhan, sebagaimana akan mereka alami dalam suatu eksperimen ideal. Karena penempatan ke rumah-rumah asuh bersifat selektif yang terkait dengan ciri-ciri anak dan keluarga asuh. Karena itu, lingkungan rumah asuh anak-anak kembar dalam masing-masing pasangan memiliki kemungkinan menunjukkan kesamaan untuk menjelaskan korelasi antara skor-skor tes mereka. Ada juga bukti bahwa data anak-anak kembar tidak dapat digeneralisasikan terhadap populasi umum karena semakin tingginya kerentanan anak-anak kembar terhadap trauma pra-kelahiran yang mengakibatkan keterbelakangan mental yang parah. Dimasukkannya kasus-kasus keterbelakangan yang parah seperti ini dalam sampel bisa amat meningkatkan korelasi anak kembar dalam skor-skor tes intelgensi (Nichols & Broman, 1974).

2. Indeks-indeks heriditas merujuk pada populasi dimana heritabilitas itu ditemukan pada waktunya. Heritabilitas adalah proporsi dari perbedaan sifat individu dalam suatu populasi yang dapat dihubungkan pada perbedaan genetis individual dalam populasi tersebut; konsep ini menunjuk pada suatu karakteristik dalam populasi dan tidak dapat diterapkan pada beberapa individu dalam populasi tersebut. Perubahan apapun dalam kondisi-kondisi hereditas atau lingkungan akan dapat mengubah indeks heritabilitas. Contohnya, peningkatan dalam perkawinan dalam keluarga, seperti di sebuah pulau terpencil akan dapat mengurangi varians yang dianggap disebabkan oleh hereditas dan dengan begitu memperendah indeks heritabilitas. Sedangkan meningkatkan homogenitas lingkungan di lain pihak, akan mengurangi varians yang dianggap disebabkan oleh lingkungan, dan karenanya meningkatkan indeks hereditas. Lebih jauh lagi sebuah indeks heritabilitas yang dihitung dalam satu populasi tidak dapat diaplikasikan terhadap sebuah analisa perbedaan-perbedaan dalam kinerja tes antara dua populasi, seperti misalnya kelompok etnis yang berbeda.

(11)

3. Hereditas tidak menunjukkan derajat modifikasi sebuah sifat. Bahkan jika indeks hereditas sebuah sifat dalam sebuah populasi adalah 100%, tidak berarti lalu bahwa kontribusi lingkungan pada sifat itu tidak penting. Contoh ekstrem akan diketengahkan sebagai berikut : andaikan terdapat hipotesa bahwa dalam suatu komunitas orang dewasa, setiap orang memiliki menu makanan yang sama dengan jumlah yang sama. Kontribusi makan pada varians total kesehatan dan kondisi jasmani adalah nol, karena varians makanan tidak bertanggung jawab terhadap perbedaan-perbedaan faktor individual, kesehatan dan jasmani. Tetapi jika suplai makanan mendadak dipotong, maka seluruh komunitas akan mati kelaparan. Sebaliknya, memperbaiki kualitas makanan akan berakibat pada perbaikan kualitas kesehatan komunitas tersebut.

2. PERSPEKTIF NURTURE

Seberapa Besar Peran Modifikasi Lingkungan Terhadap Inteligensi ?

Terlepas dari besaran indeks hereditas yang ditemukan untuk menguji IQ dalam berbagai populasi, satu fakta empiris telah ditetapkan, ”IQ bukan sesuatu yang tetap dan tidak berubah. IQ bisa dipengaruhi oleh intervensi lingkungan. Terdapat bukti berkaitan dengan studi-studi longitudinal mengenai pengaruh lingkungan dari sudut nurture. Terdapat kemajuan dalam mengidentifikasikan ciri-ciri lingkungan yang mengalami kemajuan dan kemunduran. Kenaikan dan penurunan dalam IQ juga bisa berakibat dari perubahan-perubahan menguntungkan dari lingkungan yang muncul dalam kehidupan anak dan intervensi lingkungan yang direncanakan. Perubahan-perubahan besar dalam struktur keluarga, pendapatan finansial yang secara tajam mengalami kenaikan atau penurunan, atau adopsi ke dalam rumah asuhan bisa mempengaruhi peningkatan atau penurunan IQ.

Di Venezuela, diadakan program 10 tahun dalam peningkatan perkembangan “keterampilan-keterampilan berpikir” dari masa anak-anak sampai masa tua. Program ini memprakarsai negara-negara lain yang juga mengadakan proyek serupa. Sejumlah peneliti juga memusatkan perhatian pada tingkat-tingkat usia lebih lanjut, bekerja bersama mahasiswa universitas dan sekolah-sekolah profesional. Peneliti-peneliti lain telah berkonsentrasi pada anak-anak dan orang-orang dewasa yang mentalnya terbelakang, yang mengalami perbaikan signifikan. Program-program ini menyediakan pelatihan dalam keterampilan-keterampilan kognitif yang dapat diterapkan secara luas, strategi pemecahan masalah, dan kebiasaan belajar yang efisien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada orang tua juga menghasilkan bukti proses belajar dan efek-efek transfer yang terjadi setelah intervensi penelitian. Meskipun orang yang tua diperlengkapi dengan teknik-teknik belajar yang efisien, bisa menyimpan informasi lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak kecil, namun tidak realistis untuk mengharapkan hal ini terjadi selama program pelatihan yang singkat. Semakin tua orangnya, semakin besar kesenjangan pengetahuan yang harus diisi. Kegagalan memahami hal ini bisa mengakibatkan kekecewaan dan memperlemah kepercayaan terhadap kualitas program pelatihan semacam ini.

(12)

Para penganut aliran empirisme juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa terjadi perubahan skor IQ apabila anak memiliki lingkungan yang memperkaya dan memotivasi. Skeels et.al. (1938) dan Skeels (1966) membuktikan bahwa anak yang tinggal di asrama yatim piatu IQ-nya lebih rendah daripada anak yang memiliki lingkungan penuh stimulasi.

Bloom (1964) membuktikan juga bahwa dari berbagai penyelidikan, kondisi lingkungan dapat menyebabkan perbedaan 20% dalam skor tes inteligensi pada umur 17 tahun. Kalau pernyataan ini benar maka 2 individu yang memiliki potensi intelektual yang sama dapat memiliki skor tes IQ 100 dan 120 karena perbedaan lingkungan.

3. PERSPEKTIF INTERAKSI NATURE-NURTURE

Perbedaan mengenai pengaruh hereditas dan lingkungan ini terus berlanjut dan memicu kontroversi sampai tahun 1900-an. Kita semua dapat dibingungkan oleh argumentasi yang sama-sama kuatnya.

Isue nature-nurture merupakan isu konseptual pokok dalam psikologi perkembangan. Pada dasarnya, isu ini berkaitan dengan cara variabel nature (seperti herediter) dan variabel nurture (misalnya lingkungan) memberikan sumber-sumber perkembangan perilaku.

Memusatkan perhatian pada isu tersebut bukan masalah khusus psikologi saja. Filsafat, yang berturut-turt didukung oleh Plato, Descartes, dan juga abad pertangahan kristen merupakan contoh dari posisi nativistic (nature), yang memperkokoh bahwa ada aspek innate dari perilaku manusia. Di sisi lain, filsuf dari sekolah empiris Inggris – John Locke – berada pada posisi empiris (nurture), yang mempertahankan bahwa sumber perilaku manusia adalah lingkungan.

Dalam psikologi, kontroversi nature-nurture melibatkan banyak area, sebagai contoh: persepsi, kepribadian, dan belajar. Isu ini ada dalam psikologi karena para psikolog telah mengajukan pertanyaan yang salah tentang sumbangan relatif herediter dan lingkungan. Menurut Anastasi pertanyaan seperti “which one” (herediter atau lingkungan) atau “how much” (dari masing-masing faktor) didasarkan pada logika yang salah. Karena tidak ada seseorang pun dalam lingkungan tanpa herediter, juga tidak ada satu pun tempat untuk bisa melihat efek herediter tanpa lingkungan, maka seseorang harus menyadari bahwa kedua fakor tersebut selalu ada dalam perkembangan perilaku. Jadi, pengaruh faktor herediter maupun lingkungan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terikat, masing-masing memberikan kontribusi 100 persen terhadap seluruh perilaku. Dengan demikian, pertanyaan yang benar adalah “Bagaimana?”

A. Pengaruh Motivasi Terhadap Inteligensi

Dalam menginterpretasikan skor-skor tes, kepribadian dan kemampuan tak dapat dipisahkan terus menerus. Kinerja seseorang pada tes bakat dan juga kinerjanya di sekolah, di pekerjaan, atau dalam konteks

(13)

lainnya dipengaruhi oleh dorongan berprestasi, ketekunan, sistem nilai, kebebasannya dari masalah-masalah emosional yang mengganggu, dan hal-hal lain yang secara tradisional dimasukkan dalam konteks “kepribadian”. Minat, sikap dan konsep diri individu sebagai pembelajar mempengaruhi keterbukaannya pada tugas belajar, hasrat belajarnya, perhatian yang ia berikan pada guru, dan waktu yang digunakan untuk tugas itu. Ada bukti bahwa reaksi-reaksi individual terkait secara signifikan dengan prestasi dalam pendidikannya (Baron, 1982; Dreger, 1968; J.McV. Hunt, 1981). Pada tingkat yang lebih dasar, ada semakin banyak konsensus bahwa bakat tak bisa lagi diteliti secara mandiri terhadap variabel-variabel afektif (Anastasi, 1985b, 1994). Berbagai macam studi dilakukan, didapat bukti bahwa perkembangan intelektual seseorang dapat diperbaiki dengan memadukan informasi tentang motivasi dan sikap dengan skor tes bakat.

Salah satu cara bagaimana motivasi dan variabel-variabel afektif lainnya bisa memberikan sumbangan pada perkembangan bakat adalah:

1. Melalui “jumlah waktu” yang diluangkan individu pada aktivitas tertentu dibandingkan dengan aktivitas-aktivitas lain yang menuntut perhatiannya juga. Menurut Atkinson dan rekan kerja (Atkinson, 1974; Atkinson, O’Malley & Lens, 1976), konsep kuncinya adalah waktu-pada-tugas, yaitu waktu yang diluangkan individu pada salah satu jenis aktivitas, misalnya studi atau menjalankan fungsi yang terkait dengan kerja. Motivasi mempengaruhi baik efisiensi pelaksanaan tugas maupun waktu yang diluangkan untuk pelaksanaan tugas tersebut dibandingkan pelaksanaan tugas-tugas yang lain. Tingkat kinerja tergantung pada kemampuan-kemampuan relevan individu dan pada efisiensi caranya menerapkan kemampuan-kemampuan pada tugas yang dihadapinya. Prestasi atau produk finalnya mencerminkan pengaruh gabungan dari tingkat kinerja dan waktu yang ia luangkan pada pekerjaan.

2. Komponen lain menurut Atkinson adalah efek kumulatif yang bertahan dari kinerja tugas pada perkembangan kognitif dan motivasi individu sendiri. Efek waktu pada tugas diperkuat oleh kontrol perhatian. Seberapa jauh seseorang memberikan perhatian, seberapa dalam perhatian terfokus, dan seberapa lama perhatian bertahan, memberikan kontribusi pada pertumbuhan kognitif seseorang. Selektivitas perhatian mengarah pada pembelajaran selektif - dan seleksi ini akan berbeda-beda di antara orang-orang yang dihadapkan pada situasi langsung yang sama. Lagipula, proses belajar selektif semacam ini bisa mempengaruhi perkembangan relatif bakat-bakat yang berbeda dan karenanya memberikan kontribusi pada pembentukan pola-pola ciri yang berbeda-beda (Anastasi, 1970, 1983a, 1986b). Pada dasarnya berbagai aspek kontrol perhatian berfungsi untuk mengintensifkan efek waktu yang diluangkan pada aktivitas-aktivitas relevan dan karenanya meningkatkan pengaruhnya pada perkembangan bakat.

B. Pengaruh Kepribadian Terhadap Inteligensi

Hubungan antara kepribadian dan intelektual bersifat resiprokal. Ciri-ciri kepribadian tidak hanya mempengaruhi perkembangan intelektual, tetapi tingkat intelektual juga bisa mempengaruhi perkembangan

(14)

kepribadian. (Data ini diperkuat oleh studi Plant dan Minium (1967). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kelompok orang-orang yang berkemampuan-tinggi melakukan perubahan kepribadian yang lebih “positif secara psikologis” daripada kelompok orang-orang yang berkemampuan-rendah.

Keberhasilan yang dicapai individu dalam pengembangan dan penggunaan kemampuannya pasti mempengaruhi penyesuaian emosional, hubungan antar pribadi, dan konsep diri seseorang. Dalam konsep diri, kita bisa melihat dengan paling jelas pengaruh timbal balik bakat dan sifat-sifat kepribadian. Prestasi anak di sekolah, di lapangan bermain, dan dalam situasi-situasi lainnya, membantu membentuk konsep-dirinya; dan konsep diri ini pada tahap manapun mempengaruhi kinerja selanjutnya, dalam suatu spiral yang berkesinambungan. Dalam hal ini, konsep diri beroperasi sebagai semacam ramalan yang memenuhi dirinya sendiri.

Beberapa penelitian telah menemukan korelasi substansial antara peringkat perilaku anak-anak pada variabel-variabel kepribadian dan perkembangan kognitif selanjutnya yang dinilai oleh instrumen seperti WISC-R dan Stanford-Binet (Birns & Golden, 1972; R.B. McCall, 1976; Palisin, 1986; Yarrow & Padersen, 1976). Pada umumnya, anak-anak yang menunjukkan afeksi positif, minat aktif, dan sikap responsif dalam sebuah situasi tes memiliki kemungkinan belajar lebih maju dan lebih cepat dalam perkembangan kognitif sebagai akibat pengalaman awal mereka. Mereka juga memiliki kemungkinan memberikan respon yang baik dalam aktivitas akademik selanjutnya yang melibatkan interaksi dengan orang dewasa dalam tugas-tugas. Keuntungan lain dari pengaruh perilaku anak-anak semacam itu bahwa mereka akan berinteraksi sosial dengan orang dewasa dengan baik, yang nantinya akan meningkatkan kesempatan anak untuk belajar (Haviland, 1976; Wilson & Matheny, 1983)

(15)

BAB III ARTI SKOR IQ

1. ARTI SKOR IQ

Kemungkinan diantara kita menjadi bingung tentang apa yang diukur oleh tes inteligensi. Tes-tes tersebut tidaklah mengukur kemampuan alami atau kemampuan pembawaan untuk mempelajari tingkah laku yang baru. Tes inteligensi mengukur kemampuan terutama tingkah laku yang diharapkan oleh tes pada saat tes itu dilangsungkan. Dengan demikian, jika orang berbicara tentang inteligensi individu, maka ia menunjukkan skor tes seseorang (Ausubel dan Robinson, 1969). Skor tes itu sendiri diperoleh dari hasil pengerjaan tes pada periode waktu tertentu. Apabila seseorang mengerjakan tes inteligensi pada waktu lain, tentu hasilnya akan berbeda.

Pada tahun 1971, Rowher mempersoalkan apakah skor tes inteligensi anak merupakan refleksi akurat dari kemampuan belajarnya atau tidak. Ia menyatakan bahwa ketidakjelasan ‘performance’ anak pada tes inteligensi karena adanya asumsi bahwa umur kronologis yang sama berimplikasi dengan kesempatan belajar yang sama. Tes inteligensi membandingkan apa yang telah dipelajari anak pada periode tertentu dengan apa yang telah dipelajari oleh kelompok temannya. Tetapi tidak semua anak dari umur kronologis yang sama akan memiliki kesempatan yang sama mempelajari materi yang diteskan dalam tes inteligensi. Karena ketidaksamaan inilah, maka merupakan kesalahan jika guru menyimpulkan bahwa skor seorang anak yang tes intelijnensinya rendah, berarti ‘kurang cakap belajar’. Anak yang paling baik dalam tes disebut “bright” (pandai/cemerlang) oleh gurunya. Anak yang paling rendah dalam tes disebutnya “poor” oleh gurunya. Hal ini merupakan kesalahan menginterpretasikan arti skor tes. Karena skor tes hanyalah menggambarkan sesuai dengan ruang lingkup materi yang dimasukkan dalam tes itu. Oleh sebab itu, dalam membuat tes kita harus harti-hati memilih materi yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai.

2. IQ ORANG DEWASA

Konsep umur mental didasarkan atas fakta, bahwa anak lebih matang akan lebih banyak memiliki informasi dan dapat menyelesaikan problem yang lebih sulit. Tetapi setelah adolesen, penambahan umur belum tentu atau tidak selalu diikuti oleh penambahan kemampuan memecahkan masalah. Pada tes yang mengukur kecepatan dan konsentrasi terjadi kenaikan pada masa dewasa awal, kemudian makin menurun pada usia tua. Dengan demikian Tes Stanford-Binet memunculkan masalah baru. Apakah konsep umur mental berlaku juga untuk orang dewasa?

Problem tersebut dijawab oleh adanya deviasi IQ, yang disusun oleh Wechsler (1939). Perhitungan didasarkan atas dua alat distribusi frekuensi, yaitu Mean (rata-rata) dan standar deviasi.

Apabila Mean dan deviasi standar dari suatu distribusi frekuensi telah dihitung, maka perhitungan itu dapat digunakan untuk menentukan kebaikan yang dikerjakan oleh individu. Setelah diketahui Mean dan deviasi standar, kita dapat menentukan kedudukan masing-masing skor individu penyimpangannya terhadap mean.

(16)

Mean dan deviasi standar ini dijadikan dasar deviasi IQ. Wecsler mencobakan item-item kepada orang dewasa dalam berbagai kelompok umur. Untuk masing-masing kelompok umur (mialnya umur 20 tahun, 21 tahun, 22 tahun, dsb), ia susun skor-skornya dalam distribusi frekuensi. Setelah dihitung mean dan deviasi standar, ia menunjukkan skor masing-masing individu dalam kurva, apakah berada di bawah atau di atas mean pada deviasi standar. Bila di atas mean, berarti positif, sedangkan di bawah mean berarti skor negatif. Untuk menghilangkan angka desimal seperti yang ada pada Stanford-Binet, Wechsler menyederhanakan dengan menyusun Mean = 100 dan deviasi standar 15.

Deviasi IQ bukanlah ”quotient” (hasil bagi). Umur mental juga tidak dimasukkan, karena perhitungan didasarkan atas unit-unit standar deviasi. Dengan demikian jika seseorang dengan skor 1 deviasi di atas mean pada suatu distribusi skor, maka ia memiliki IQ 115. Angka tersebut diperoleh dari [100 + (1 X 15)] = 115. Bila ada orang memiliki skor 2 deviasi standar di bawah mean,maka ia memiliki IQ 70. Angka ini diperoleh dari [100 – (2 X 15)] = 70.

Harus dicatat bahwa setiap orang dibandingkan dengan kelompok umurnya. Orang yang berumur 25 tahun dibandingkan dengan kelompok umur 25 tahun, umur 30 tahun juga dengan kelompok umur 30 tahun.

Demikian cara menghitung IQ orang dewasa dengan analisa Wechsler. Tentu saja kita harus dibekali cara analisa statistik terlebih dahulu.

3. PERBEDAAN INDIVIDU DAN IQ

Kebanyakan tes inteligensi disusun dengan memiliki skor rata-rata 100. Hampir 2/3 sampel random skor bergerak antara 85 sampai dengan 115, 11% skor berada di atas 120, dan 1,6% skor di atas 140. Tabel 2 akan menunjukkan distribusi itu. Akan tetapi distribusi dari suatu tes akan berbeda dengan tes yang lain. Tingkat perbedaan ini tergantung pada reliabilitas tes (ketetapan tes), ciri-ciri karakteristik, dan faktor-faktor yang dimasukkan dalam tes dan standardisasi yang dipakai tes itu untuk menentukan distribusi.

Individu yang memiliki IQ di atas 120 biasanya disebut individu yang ”gifted” (cemerlang, cerdas). Individu yang IQ-nya di bawah 70 disebut ”mentally retarded” (lambat mental).

Apakah skor tes inteligensi yang tinggi memiliki arti tertentu? Sepanjang pebtelidikan Lewis Terman, pertanyaan itu terjawab ”ya”. Dimulai pada tahun 1920, Terman dan Oden (1925-1954) telah meneliti beratus-ratus anak ”gifted” dengan hasil tes 140 atau lebih. Mereka berdua mengikuti kehidupan subjek penelitiannya selama 25 tahun untuk menentukan apakah ada hubungan antara IQ masa kanak-kanak dengan tingkah laku ketika sudah dewasa.

Penelitian tersebut menemukan bahwa inteligensi yang tinggi memiliki hubungan dengan perkembangan fisik awal, beberapa subjek berada di atas rata-rata dalam hal karakteristik fisiknya, termasuk tinggi, berat dan kesehatannya. Terman dan Oden menemukan bahwa subjek mereka menjadi dapat menyesuaikan diri dengan baik, lebih populer, dan biasanya menjadi pemimpin daripada anak-anak yang memiliki kemampuan rata-rata. Individu-individu ini juga mendapatkan penghargaan dengan tingkat yang lebih tinggi daripada teman-temannya. Setelah dewasa mereka penuh dengan kesuksesan, memperoleh banyak uang,

(17)

lebih banyak menduduki jabatan manajerial, dan lebih banyak berperan memberikan sumbangan dengan menciptakan berbagai literatur dan ilmu pengetahuan daripada orang dewasa lainnya.

Pada tahun 1972, Jencks telah mengadakan penelitian dan atau studi yang bersifat kontroversial dengan penelitian di atas. Ia mengadakan penilaian kembali akibat pengaruh keluarga dan sekolah di Amerika. Penelitian menyatakan bahwa tes-tes IQ tidak tepat untuk mengukur kesuksesan berbagai pekerjaan orang dewasa. Lebih dari itu, orang yang memiliki skor tes IQ dan skor tes prestasi yang tinggi tidaklah menunjukkan hal yang lebih baik daripada orang yang hasil tesnya rata-rata saja setelah mereka masuk dalam dunia kerja dan dalam berbagai situasi. Tidak ada korelasi antara IQ manusia dengan penampilan kerja atau kesuksesan di bidang keuangan.

Pada umumnya skor tes inteligensi memiliki korelasi yang tinggi dengan prestasi akademik di sekolah. Dengan demikian dapat dijadikan prediksi (ramalan) terhadap kesuksesan skolastik. Walaupun kita mengetahui bahwa sejumlah variabel non skolastik juga mempengaruhi ke kesuksesan skolastik, namun tidak ada faktor prediktif seperti inteligensi. Faktor-faktor non skolastik tersebut antara lain adalah motivasi, faktor kepribadian, kesehatan fisik, minat, cita-cita, dan sebagainya.

Hasil penemuan tersebut tidak begitu mengherankan, sepanjang tes inteligensi dan tes prestasi belajar disusun untuk menentukan potensi skolastik anak. Jika inteligensi berpengaruh terhadap kemampuan belajar, tentu saja harus ada hubungan antara IQ dengan kesuksesan belajar di sekolah. Terutama jika tes inteligensi itu disusun berkaitan dengan kurikulum sekolah. Coleman dan Cureton (1954) telah membuktikan bahwa kebanyakan materi tes inteligensi 90%-95% ”overlapping” dengan materi pada tes-tes prestasi akademik. Hal ini menunjukkan dekatnya hubungan antara tes inteligensi dengan tes prestasi akademik. Tentu saja skor hasil tes inteligensi akan memiliki korelasi tinggi dengan tes prestasi akademik di sekolah.

Perbedaan individu dalam tingkat inteligensinya bisa digambarkan dengan hasil tes inteligensi. Stanford-Binet telah membuat sebuah skala yang menunjukkan angka-angka dengan kualifikasi tertentu. Klasifikasi IQ tersebut nampak seperti pada tabel berikut.

KLASIFIKASI IQ

Klasifikasi Rentangan IQ % Populasi

Sangat Superior 140-169 1.6

Superior 120-139 11.3

Rata-rata Tinggi 110-119 18.1

Normal 90-109 48.5

Rata-rata Rendah 80-89 14.5

Batas Lemah Pikiran 70-79 5.6

Gangguan Mental 30-69 2.6

Dari Terman and Merrill, Stanford-Binet Scale: Manual for the Third Revision, Form L-M (Boston: Houghton Mifflin, 1960, p.18)

Dari table di atas, kita dapat mengartikan bahwa orang-orang yang memiliki IQ 140 -169 disebut sangat superior. Jumlah orang yang memiliki IQ tersebut sekitar 1.6%. Sedangkan orang-orang yang memiliki IQ 120-139 disebut superior dan jumlahnya sekitar 11.3%. Begitu seterusnya. Tentu saja klasifikasi tersebut didasarkan

(18)

atas skor hasil tes inteligensi. Namun skor hasil tes inteligensi itu sendiri sangat bergantung kepada item-item yang dimasukkan dalam tes itu. Itulah sebabnya beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang berinteligensi tinggi belum menjamin kesuksesan hidup seseorang dalam segala bidang.

Sedangkan menurut Wechsler, klasifikasi IQ adalah sebagai berikut:

Klasifikasi Rentangan IQ % Populasi

Very Superior 130 ke atas 2.2

Superior 120 – 129 6.7 Bright Normal 110 – 119 16.1 Average 90 - 109 50.0 Dull Normal 80 – 89 16.1 Borderline 70 – 79 6.7 Defective 69 ke bawah 2.2

C.W. Valentine dalam bukunya ”The Normal Child” membuat klasifikasi IQ yang lain yang dikatakannya sebagai distribusi yang representatif. Ia juga menyusun rentangan prosentase masing-masing kelas interval skor IQ, sehingga bila digambarkan dalam kurva, prosesntase tersebut menggambarkan kurva normal. Hal ini berarti bahwa orang yang memiliki IQ sangat tinggi sedikit, yang memiliki IQ sedang banyak jumlahnya, dan orang yang ber-IQ rendah makin sedikit lagi.

Tabel 3 : DISTRIBUSI IQ DALAM KESELURUHAN POPULASI

IQ PROSENTASE POPULASI 145 – 154 atau lebih 1% 135 – 144 2% 125 – 134 5% 115 – 124 10% 105 – 114 20% 95 – 104 24% 85 – 91 20% 75 – 84 10% 65 – 74 5% 55 – 64 2% 54 ke bawah 1%

Dari C.W. Valentine, The Normal Child, and Some of his Abnormalitis, London: The whitefriars Press Ltd, Penguin Books, 1956, hal.237

Tetapi harus diingat bahwa populasi yang dites oleh Valentine adalah anak-anak dimana ia hidup. Dengan demikian hasil tes tersebut banyak diwarnai oleh latar belakang budaya para testee dan kevaliditasan tesnya. Namun Valentine juga telah melengkapi khasanah ilmu pengetahuan tentang inteligensi dari hasil penelitiannya.

(19)

BAB IV

TEORI dan MODEL-MODEL INTELIGENSI

Secara umum, teori inteligensi dapat dilihat dari salah satu dari dua perspektif berikut (Mucller, 1974). Perspektif pertama adalah faktor umum yang harus diperhitungkan dalam kemampuan mental. Perspektif kedua adalah adanya faktor khusus.

Dalam pembahasan kali ini, akan digambarkan bagaimana teori-teori inteligensi dikembangkan dari indeks tunggal (hanya ditunjukkan dengan IQ) kepada multi-indeks (melibatkan pengukuran verbal, numerikal, perseptual dan spatial/ruang).

Penjelasan teori menunjukkan kepada tokoh-tokoh yang membahas tentang teori inteligensi. Di antara para ahli yang dapat disebutkan di sini adalah dari Stern, Spearman, Thomson, Thorndike, Thurstone dan Thorndike serta sumbangan pemikiran dari W.P Alexander.

1. TEORI UNI-FAKTOR dari WILLIAM STERN

Pada tahun 1911, William Sern memperkenalkan teori uni-faktor tentang inteligensi. Teori ini merupakan teori kapasitas umum atau teori kecakapan umum (general capacity-theory). Ide Stern ini berkembang di luar pemikiran Binet. Akan tetapi setidaknya Stern juga sangat menghargai pendekatan Binet dalam mengkonstruksi analisa perbandingan IQ.

Apabila digambarkan, teori Stern akan nampak sederhana, seperti pada gambar 4.1 di bawah ini :

G

GAMBAR 4.1

Teori Uni-Faktor tentang inteligensi dari Stern, menunjukkan inteligensi yang hanya berisi satu kapasitas umum (G)

Teori inteligensi Stern membahas tentang kemampuan umum. Kemampuan tunggal ini diberi tanda G seperti yang tertera pada Gambar 4.1.

Ciri inteligensi yang tidak berbentuk menunjukkan bahwa tidak akan pernah ada dua individu yang memiliki ukuran yang sama. Hal ini memiliki implikasi bahwa tidak pernah ada seseorang yang berpikir, bertindak dan memecahkan masalah persis sama dengan cara orang lain.

Pada pandangan Stern, jumlah G (kapasitas umum) yang dimiliki individu dapat diarahkan ke banyak aktivitas. Kapasitas umum (G) dalam jumlah yang kita miliki secara natural dapat memecahkan multi problem. Pertanyaan yang muncul adalah : “dapatkan seseorang memecahkan satu tipe problem lebih baik daripada

(20)

tipe-tipe yang lain?”. Jawaban Stern adalah “ya”. Lingkungan seseorang akan menentukan aktivitas yang dianggapnya paling baik.

Selanjutnya Stern mengatakan bahwa semua orang lahir dengan jumlah G yang tidak sama. Efisiensi dalam menerapkannya tergantung pada lingkungan mereka masing-masing. Contohnya, individu X lahir dengan jumlah G lebih kecil daripada individu Y. Tetapi X memiliki kemampuan memecahkan persoalan matematika lebih baik daripada Y, karena X memiliki lingkungan yang lebih banyak memberikan stimulus dalam memecahkan masalah matematika daripada Y. Kita boleh mengasumsikan bahwa hal ini akan terjadi demikian terus, atau Y dapat diberikan kesempatan untuk memiliki lingkungan yang sama dengan X, yaitu dengan diberikan latihan-latihan terus-menerus, sampai akhirnya Y melebihi X di bidang matematika.

Teori Stern adalah teori inteligensi yang paling sederhana, karena hanya memiliki/berisi satu faktor.

2. TEORI DUA-FAKTOR dari SPEARMAN

Charles Spearman adalah seorang ahli matematika berkebangsaan Inggris. Pada tahun 1904, Speaman mengemukakan teori dua-faktor.

Faktor pertama seperti yang dikemukakan oleh Stern, yaitu kapasitas umum. Hubungan teori Spearman dan Stern adalah digunakannya huruf yang sama. Spearman menggunakan huruf g, sedangkan Stern menggunakan huruf G untuk menggambarkan kemampuan umum inteligensi. Tetapi Spearman tidak seperti Stern, yang hanya menggambarkan G sebagai satu faktor tunggal. Spearman lebih jauh membahas bahwa inteligensi merupakan komposisi faktor umum (g) yang mendasari fungsi-fungsi mental dan faktor-faktor khusus (s) yang berhubungan dengan tugas-tugas dan situasi.

Dalam teori Spearman, orang berbeda karena tingkat faktor umum dan karena faktor-faktor khusus yang terlibat dalam suatu tugas sehingga seseorang dapat memiliki inteligensi yang lebih daripada orang lain. Hal ini mungkin disebabkan karena seseorang tinggi di bidang g dan rendah di bidang s.

Kadang-kadang seorang guru heran karena berbagai macam inteligensi berisi pertanyaan-pertanyaan yang berbeda-beda tetapi murid-murid yang mengikuti tes dapat dibandingkan. Hal ini bukan disebabkan oleh faktor umum yang sama, tetapi karena adanya faktor-faktor khusus. Sebagai contoh tes membaca dan tes hitungan. Faktor g pada dua tes itu adalah arti perbendaharaan kata. Ukuran inteligensi pada kasus ini adalah kemampuan umum walaupun kemampuan-kemampuan khusus juga memainkan peranan (misalnya keterampilan perhitungan dan kecepatan membaca)

(21)

Gambar 4.2

Teori Dua-Faktor Spearman, dengan kapasitas umum (g) dan 3 jenis inteligensi khusus (s)

Gambar 4.2 menggambarkan teori dua-faktor Spearman. Di dalamnya ada huruf g yang menunjukkan inteligensi umum. Di luarnya terdapat 3 ruang yang lebih kecil dan diberi tanda huruf s1, s2 dan s3 yang disebut terakhir oleh Spearman diberi nama inteligensi khusus. Ia menyelidiki inteligensi dengan metode statistik yang akurat.

Ia mulai dengan g (kapasitas umum), kemudian menelitinya dengan metode-metode statistik. Akhirnya ia mengambil intinya s (inteligensi khusus) yang tidak sama dengan inteligensi umum dalam berbagai hal. Dengan demikian penyelidikan Spearman memisahkan faktor g dengan faktor-faktor s.

Pada gambar 4.2, s1 s2 dan s3 menunjukkan jenis inteligensi khusus yang porsinya tidak sama dengan faktor umum. Porsi inteligensi yang sama dengan faktor general ditunjukkan dengan adanya arsir berwarna abu-abu. Yang diarsir dari s1 dan g lebih besar daripada yang diarsir di daerah s2 dan g. Perbedaan ini sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa s2 lebih independen daripada s1 terhadap g.

Penalaran di atas menggambarkan bahwa setiap faktor s berbeda ruang ukurannya. Hal ini berarti pula bahwa dalam diri 2 orang tidak akan pernah sama ukuran dan kualitas faktor g maupun faktor-faktor s-nya. Berarti pula dalam diri seseorang, jenis inteligensi khususnya tidak sama. Dua orang dapat sama jumlah faktor s-nya, sedangkan ukuran atau ruang dan bentuk faktor-faktor s itu yang berbeda antara orang satu dengan orang lainnya.

Apabila diikhtisarkan, teori Spearman tentang teori perbedaan individual adalah sebagai berikut: 1. Orang memiliki jumlah g (kapasitas general) yang berbeda.

2. Dalam diri seseorang, jumlah faktor-faktor s berbeda. 3. Orang memiliki perbedaan jumlah dan jenis faktor g dan s.

Spearman tidak memberikan nama tertentu terhadap faktor g dan faktor-faktor s ini. Ia hanya menyebutkan bahwa faktor g adalah energi mental umum yang dimiliki individu. Sedangkan faktor s merupakan pola syaraf atau mesin yang bekerja melalui faktor g. (Bandingkan dengan Teori multi-faktor dari

g s1

s2 s3

(22)

Namun demikian Spearman tidak menstabilisasikan ide-idenya. Sebagai seorang yang ahli statistik, ia kemudian menyempurnakan teknik dan metode korelasinya. Gambar 4.3 merupakan hasil final kebrilianan Spearman dalam bidang mental.

Gambar 4.3

Teori Dua-Faktor Spearman, dengan kapasitas umum (g) dan 5 jenis inteligensi khusus (s) dan faktor kelompok (daerah hitam)

Dalam Gambar 4.3 kita temukan dua bidang baru, yaitu s4 dan s5. Teori ini merupakan hasil akhir pembahasan Spearman. Kita lihat dalam gambar, bahwa s4 dan s5 memiliki "overlapping" (tumpang-tindih). Daerah itu membuat dua ide baru; daerah arsiran lebih hitam, sebagai tiga gabungan faktor g, s4 dan s5 dan daerah lebih kelabu yang merupakan gabungan s4 dan s5 saja. Spearman tidak pemah memberikan arti terhadap daerah yang diarsir lebih hitam untuk faktor g, s4 dan s5 . Kita hanya dapat meraba-raba saja. Kita hanya tahu bahwa hal ini merupakan salah satu kemajuan pembahasannya saja. Dia hanya memberikan nama "faktor' kelompok," yang jumlahnya ada 5 daerah. Dia memberikan nama-nama untuk masing-masing daerah: kemampuan verbal, kemampuan numerikal, kemampuan mekanikal, perhatian, dan imaginasi. Imaginasi ini disebut kecepatan mental. Pada akhirnya Spearman memberikan nama dan tanda untuk 3 daerah non-intelektual itu. Nama-nama dan tanda-tanda tersebut adalah: 1. "perseveration" ( P ) atau ketabahan/keteguhan hati.

2. "oscillation" ( 0 )atau kegoncangan 3. "will factor" (W) atau keinginan.

Dengan demikian, kita lihat bahwa teori inteligensi telah mengalami kemajuan dari teori "sesuatu yang tunggal" (Stern) yang mengungkapkan kemampuan memecahkan masalah, menuju ke teori yang lebih kompleks (Spearman) yang menunjukkan bahwa inteligensi kita berisi kemampuan umum dan 5 kemampuan khusus

3. TEORI MULTI-FAKTOR dari THORNDIKE

Edgar Lee Thorndike adaIah ahli psikologi pendidikan dari Amerika. Teori Thorndike muncul sekitar g s1 s2 s3 s4 s1 s5

(23)

tahun 1905, 1914 dan 1926. Teorinya tumbuh dari prosedur statistis, tetapi juga berisi dasar neurologis (yang berkaitan dengan syaraf). Sejalan dengan teori Thomson adalah teori yang kesamaannya terlihat pada kenyataan, bahwa tidak ada teori yang hanya berisi g saja (konsep kemampuan general).

Berbeda dengan pandangan Spearman, Thorndike (1927) yang tidak disukai Spearman telah yakin bahwa inteligensi merupakan kemampuan khusus. Konsep inteligensi Thorndike disebut “teori multi-faktor”.

Thorndike menggambarkan teorinya dengan menggunakan grafik.

Gambar 4.4

Teori Multi-Faktor Thorndike, menunjukkan jumlah faktor yang tidak terhingga dengan pendekatan neurologis Untuk membuat Gambar 4.4 tentang hipotesa Thorndike, seseorang dapat melanjutkan gambar itu sampai tak terbatas jumlah faktornya. Thorndike beranggapan bahwa inteIigensi kita berisi multi-proses khusus. Ia tidak memberikan nama terhadap multi multi-proses khusus ini, tetapi ia menjelaskan bahwa proses itu adalah neurologis.

Aktivitas mental merupakan jumlah yang tidak tentu dan merupakan kombinasi hubungan syaraf yang tidak terhingga jumlahnya. Dalam Gambar 4.4, setiap hubungan atau setiap kombinasi hubungan sel-sel urat syaraf digunakan oleh tingkah-laku mental kita. Tingkah-Iaku mental khusus ini digambarkan pada masing-masing kolom. Masing-masing kolom memiliki panjang dan luas yang berbeda-beda. Perbedaan ini menunjukkan bahwa jumlah hubungan syaraf tidak pernah sama antara tingkah-laku mental yang satu dengan tingkah-laku mental lainnya. Hal ini juga menggambarkan bahwa ada tingkat-tingkat kesulitan dalam tingkah-laku mental. Kolom yang lebih luas berarti lebih besar hubungan syaraf yang ada di dalamnya. Kolom yang lebih tinggi berarti bahwa tingkah-laku mentalnya lebih kompleks.

Bagi Thorndike, faktor g (kemampuan general) itu tidak ada. Yang ada hanyalah ke-kompleks-an tingkah-laku mental spesifik. Oleh para ahli psikologi, istilah ini dipergunakke-kompleks-an untuk:

1. Meneliti bagaimana munculnya berbagai hubungan sel syaraf.

Makin tidak tentu

(24)

2. Mengklasifikasikan hubungan tersebut ke dalam tingkat kesulitan problem yang akan dipecahkan oleh tingkah-laku mental.

Thorndike sendiri mengakui, bahwa teori multi-faktornya sangat teoritis. Untuk masuk ke dalam dunia praktis, dalam mengukur inteligensi yang abstrak, ia membuat tes yang diberi nama CAVD.

C adaIah simbul dari "sentence completion" (melengkapi kalimat), A adalah simbol dari ''arithmetical reasoning'' (penalaran perhitungan), V adalah simbol dari "vocabulary" (perbendaharaan kata), dan D adalah simbol dari "following direction" (pengarahan lanjut).

Pada tulisan terakhirnya, Thorndike mengutarakan bahwa ada tiga macam inteligensi, yaitu: 1. Inteligensi sosial, yaitu kemampuan untuk berhubungan antar manusia.

2. Inteligensi konkrit/praktis, yaitu kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas/mekanisme tertentu yang berkaitan dengan aktifitas sensori-motorik atau dalam memanipulasi objek.

3. Inteligensi abstrak, yaitu kemampuan untuk memecahkan ide-ide atau simbol-simbol verbal dan matematik. CAVD merupakan suatu contoh tes inteligensi abstrak.

4. TEORI KEMAMPUAN PRIMER dari THURSTONE

Thurstone (1938) adalah orang Amerika yang bersama isterinya Thelma Gwinn Thurstone, merupakan ahli di bidang psikologi statistik. Di samping sebagai ahli psikologi, mereka adalah ahli statistik yang brilian.

Thurtone mengadakan analisa faktor yang berkaitan dengan inteligensi. Thurnstone (1983) yang tidak sepakat dengan teori Spearman telah menyelenggarakan 56 tes dengan hasil tidak ada faktor inteligensi umum. Thurstone mengambil kesimpulan bahwa tidak ada faktor umum dalam inteligensi. Inteligensi adalah sejumlah kemampuan mental yang bersifat primer. Penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan mental dapat dikelompokkan menjadi 7 faktor. Inteligensi dapat diukur dengan mengambil sample ‘performance’ atau penampilan/prestasi individu melalui 7 bidang:

1. kemampuan di bidang angka, yaitu kecepatan dan ketepatan dalam perhitungan aritmatika sederhana 2. kemampuan dalam kelancaran kata, yaitu kecepatan menyebutkan kata-kata dalam kategori tertentu,

misalnya menyebutkan nama makanan yang dimulai dengan huruf s.

3. kemampuan dalam ingatan asosiatif, yaitu keterampilan dalam tugas-tugas yang menuntut ingatan, misalnya belajar mengasosiasikan pasangan item-item yang tidak berhubungan

4. kemampuan dalam penalaran induktif, yaitu kemampuan menemukan hukum-hukum.

5. kemampuan dalam penguasaan ruang, yaitu memvisualisasikan bagaimana objek tiga dimensi dapat tampak jika dirotasikan atau dipecah-pecahkan.

6. kemampuan dalam pemahaman verbal, yaitu kemampuan dalam jumlah kosa kata, pemahaman bacaan, dan analogi verbal.

7. kemampuan dalam kecepatan perceptual, yaitu kemampuan dalam tugas-tugas klerikal sederhana, seperti memeriksa kesamaan dan perbedaan detail visual.

(25)

Thurstone mengasumsikan bahwa kombinasi faktor-faktor itu muncul dalam "performance" (penampilan/prestasi) pada berbagai tugas intelektual. Konsepnya sampai kini masih digunakan da1am tes yang disebut tes "Kemampuan Mental Primer." Teori inteligensi Thurstone banyak disebut para penulis sebagai teori "multi-faktor". Gambar 4.5 menunjukkan isi ide-ide elementer teori Thurstone.

Gambar 4.5

Teori Multi-Faktor Thurstone, menunjukkan kemampuan-kemampuan mental primer yang satu sama lain berkaitan dan berhubungan dengan kemampuan atau kecakapan umum Gambar 4.5 berusaha menggambarkan 3 ide dasar, yaitu:

1. Jumlah Kemampuan mental primer pada teori Thurstone.

2. Hubungan masing-masing kemampuan mental primer dengan kemampuan mental primer lainnya. 3. Hubungan antara kemampuan mental primer dengan kemampuan mental general (umum).

Ke-3 ide dasar tersebut akan dibahas satu persatu, untuk memperoleh gambaran tentang teori inteligensi Thurstone.

Ad.1. Jumlah Kemampuan Mental Primer.

Gambar 4.5 menunjukkan 7 Kemampuan mental yang terpisah-pisah; angka, penguasaan kata, arti verbal, memori, penalaran, ruang dan kecepatan perseptual. Kecepatan mental masing-masing tidak ditentukan secara aktual oleh Thurstone dalam penelitiannya. Tetapi kemampuan ini dimasukkan karena ada hubungannya dengan testing di masa-masa mendatang.

Berbeda dengan tes-tes yang biasa dilaksanakan dengan pelemparan dadu atau kartu, Thurstone secara arbitrare menggunakan 60 sub-tes untuk ujian. Ujian ini dilaksanakan, dengan teknik statistik yang disebutnya analisa faktor. Dengan menggunakan metode ini, ia menyempurnakan 60 sub-tes itu menjadi 2. Tetapi oleh para ahli psikologi 21 tes tersebut hanya 11 tes yang biasa digunakan untuk mengukur kemampuan mental primer.

ad 2. Hubungan Antar Kemampuan Mental Primer.

Masing-masing kemampuan mental pada gambar 4.5 telah digambarkan sedemikian rupa, sehingga nampak kaitan antar masing-masing kemampuan mental primer dengan kemampuan yang lain.

(26)

Persilangan tersebut menunjukkan hubungan satu, sama lain secara positif. Di dalamnya terdapat angka-angka, yang menunjukkan koefisien korelasi. Bukan tugas kita untuk mencari koefisien korelasi tersebut. Koefisien korelasi ini menunjukkan koefisien korelasi antar kemampuan mental yang saling berkaitan. Thurstone telah menguji koefisien korelasi tersebut dengan caranya sendiri.

Dengan melihat gambar 4.5, dapat kita ketahui bahwa ada 2 set kemampuan mental yang memiliki koefisien korelasi yang sama besar, yaitu:

a. Penalaran dengan angka.

b. Penalaran dengan penguasaan kata. Keduanya memiliki koefisien korelasi 0,54.

Dua kemampuan mental yang memiliki koefisien korelasi kecil adalah ruang dan memori. Korelasi dari kedua kemampun mental tersebut hanya 0,14.

Kemampuan mental yang tidak memiliki korelasi sama sekali adalah kecepatan perseptual, sebab Thurstone tidak menunjukkannya.

ad 3. Hubungan antara Kemampuan-kemampuan Mental Primer dengan Kemampuan Umum. Pada gambar 4.5, semua kemampuan mental primer setelah berjalan horizontal, kemudian berbelok turun sehingga memotong kemampuan lainnya, kemudian bergabung dengan bidang yang luas yang memiliki tanda G (kemampuan mental umum). Masuknya ke dalam daerah G memiliki kedalam kedalaman yang berbeda-beda. Sebagai contoh, penalaran menancap paling dalam ke daerah G (0,84). Hal ini berarti bahwa penalaran dengan kemampuan mental umum memiliki korelasi yang paling tinggi. Korelasi terkecil dimiliki oleh kemampuan ruang dengan kemampuan mental umum (0,33). Sedangkan yang tidak ada korelasi sama sekali adalah kecepatan perseptual dengan kemampuan mental umum, karena Thurstone tidak menunjukkannya.

Hasil korelasi pada gambar 4.5, tidak sama dengan hasil tes dari studi lainnya dengan responden yang berbeda. Dalam memandang kemampuan mental umum (G), Thurstone mempertanyakan; “Apakah faktor umum yang unik itu dapat ditentukan?." Pertanyaan ini menimbulkan kekhawatiran pada konsep Spearman. Seperti telah kita ketahui bahwa Spearman mulai bahasannya dengan premis sebuah faktor general. Kemudian Spearman mengembangkan lebih lanjut bahwa faktor-faktor khusus dapat muncul di luar faktor general ini. Sedangkan Thurstone berangkat dari faktor-faktor primer atau kemampuan mental primer kemudian menuju pada kemampuan mental umum. Setidak-tidaknya dua teori itu memiliki kesa-maan. Perbedaan hanya terletak pada sistem pendekatannya. Spearman dari umum ke khusus, sedangkan Thurstone dari khusus ke umum.

Dalam teori Thurstone, kemampuan mental primer berkorelasi dengan faktor general melalui ma-sing-masing faktor primer. Setiap kemampuan mental primer dipandang sebagai suatu kombinasi kemampuan mental independen dengan suatu kemampuan mental general. Thurstone menganggap bahwa interpretasi psikologis tentang kemampuan mental general itu hanyalah tentatif belaka. Untuk

(27)

memperjelas konsep Thurstone tentang inteligensi, berikut ini dibahas khusus tentang Kemampuan Mental Primer.

5. TEORI MODEL INTELIGENSI dari GUILFORD

Salah satu teori inteligensi multifaktor telah dikemukakan oleh Guilford (1959). Kemudian terus direvisi sampai tahun 1988. Ia menggunakan teknik “analisis faktor” statistik untuk mengembangkan model berbentuk kubus yang ia sebut sebagai model “struktur intelek” atau dalam bahasa Inggris disebut Structure of Intellect (SOI). Ia membuat hipotesis untuk mengklasifikasikan komposisi sistem kemampuan intelektual menurut “tiga dimensi”.

Sistem kemampuan intelek tersebut terdiri atas : 1. Material atau isi yang diproses

2. Proses atau operasi dari material

3. Bentuk atau produk informasi yang telah diproses

Model pemikiran Guilford tentang teori inteligensi mulitifaktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 4.6 Structure of Intellect (SOI)

Gambar 4.6 menunjukkan tiga jenis faktor intelek dalam bentuk model kubus. Secara teoritis dari model itu meliputi kategori-kategori yang berbeda-beda (5 isi x 6 operasi x 6 produk) sehingga dapat ditemukan 180 sel dalam model ini atau 180 kemampuan yang berbeda-beda. Model ini mengungkapkan bahwa inteligensi individu tidak dapat diukur dengan alat yang hanya menghasilkan skor tunggal.

Dimensi pertama, yaitu isi. Dimensi ini berisi 5 sub-kategori :

1. Isi visual/figural, yang menunjukkan objek-objek konkrit yang langsung diterima (misalnya model-model, bagan, diagram dan sebagainya).

(28)

2. Isi simbolik, yang menunjukkan tulisan; huruf; angka; bentuk-bentuk konvensional dan sebagainya. 3. Isi pendengaran, yang menunjukkan menerima stimulus auditory.

4. Isi semantic, yang menunjukkan arti ide-ide verbal/kata-kata.

5. Isi behavioral adalah inteligensi social, yang menunjukkan kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan pikiran, perasaan, dan sikap orang lain.

Dimensi kedua yaitu operasi. Dimensi ini berisi 6 sub-kategori : 1. Kognisi yaitu pendalaman informasi

2. Memori retensi yaitu menahan informasi

3. Memori reproduksi yaitu proses pengutaraan kembali atau memproduksi kembali informasi

4. Pemikiran konvergen yaitu proses menghasilkan jawaban yang tepat dan benar dari informasi yang telah diketahui dan diingat pada satu arah.

5. Pemikiran divergen yaitu proses pikiran terhadap arah yang berbeda-beda dan beraneka ragam dari informasi yang telah ada.

6. Evaluasi yaitu proses pengambilan keputusan atas informasi yang diterima

Penerapan operasi mental ke dalam dimensi isi menghasilkan jenis produk tertentu (dimensi ke-3 model Guilford). Dimensi produk dibagi ke dalam 6 sub-kategori ;

1. Unit yaitu pekerjaan mental yang terpisah misalnya kata-kata atau imaginasi khusus 2. Kelas atau kelompok-kelompok unit informasi yang ada pada karakteristik umum

3. Relasi yang menunjukkan hubungan unit-unit informasi. Misalnya “lebih tinggi daripada”, “lebih besar daripada”.

4. Sistem yang berupa penstrukturan informasi yang kompleks,

5. Transformasi menunjukkan perubahan informasi yang ada sebelumnya menjadi informasi selanjutnya 6. Implikasi menunjukkan penunjukkan atau prediksi yang diperoleh dari pengetahuan yang dimiliki sekarang

dan diterapkan pada waktu yang akan datang

Pada tahun 1969, Meeker telah menggunakan model Guilford ini untuk menilai kurikulum dan kemampuan anak. Ia yakin bahwa apabila kita membicarakan inteligensi para pendidik harus mempertanyakan ; apa itu inteligensi ? Bidangnya apa? Kemudian ia menyatakan bahwa apabila anak yang memiliki kemampuan rata-rata gagal belajar maka skor IQ bukanlah ukuran kegagalan itu.

Model Guilford memberikan suatu jalan untuk mengorganisasikan kemampuan-kemampuan dalam kurikulum. Dalam mengorganisasikan kurikulum sekolah kita dapat menentukan kemampuan-kemampuan mana yang perlu mendapatkan perhatian. Dalam bidang isi, misalnya kita menitikberatkan pada kemampuan semantic dan kemampuan simbolik dengan keterampilan figural dan behavioral. Dapat juga kita menekankan pada kognisi, memori dan pemikiran, konvergen pada operasi bisa juga semua bidang operasi diambil. Sedangkan pada bidang produk kita mengambil unit dan kelas. Ini hanya sebagai contoh. Tentu saja pengambilan masing-masing sub kategori bergantung

Gambar

Tabel  ini  menunjukkan  distribusi  median  koefisien  korelasi  hasil  tes  inteligensi
Tabel 3 : DISTRIBUSI IQ DALAM KESELURUHAN POPULASI
Gambar 4.6  Structure of Intellect (SOI)

Referensi

Dokumen terkait

struktur teks, dan unsur kebahasaan teks interaksi transaksional lisan dan tulis yang melibatkan tindakan memberi dan meminta informasi terkait perbandingan jumlah

Berdasarkan peraturan diatas enam sampel krim malam pemutih wajah yang telah terbukti mengandung hidrokuinon, maka langkah mengantisipasi bagi Industri

Pembuatan perangkat lunak dengan cara kerja sistem dimulai ketika sensor loop mendeteksi mobil yang tepat berada diatas kawat lilitan, data dari sensor itu dikirim ke

Dari hasil data kuesioner yang disebarkan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta didapatkan hasil bahwa miopia memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan penggunaan media Ular Tangga dan Teka-Teki Silang (TTS) terhadap prestasi belajar siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1

Clustering Using REpresentatives (CURE) merupakan metode campuran hierarchical dan pertitional yang memiliki kekuatan dalam mengatasi outliers dan dapat mengidentifikasi

Partisipasi merupakan pengambilan bagian atau keterlibatan anggota masyarakat dengan cara memberikan dukungan (tenaga, pikiran maupun materi) dan tanggung jawabnya

Dengan data tersebut peneliti dan guru kelas menyimpulkan bahwa rata-rata kemampuan membaca siswa kelas V semester 2 pada mata pelajaran bahasa Indonesia pada pra