• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Keluarga menurut Ahmadi (1991:20) merupakan kelompok primer yang paling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Keluarga menurut Ahmadi (1991:20) merupakan kelompok primer yang paling"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keharmonisan Keluarga A.1. Pengertian Keluarga

Keluarga menurut Ahmadi (1991:20) merupakan kelompok primer yang paling penting di dalam masyrakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan, dimana hubungan tersebut sedikit banyak belangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat manusia. Dalam hal ini pada sebuah keluarga terdapat 4 (empat) macam sifat yang terpenting, yaitu:

1. Hubungan suami istri

Hubungan ini berlangsung seumur hidup dan mungkin dalam waktu singkat saja. Ada yang berbentuk monogami dan ada pula yang berbentuk poligami. Bahkan masyarakat yang sederhana yang terdapat group married, yaitu sekelompok wanita kawin dengan sekelompok laki-laki.

2. Bentuk perkawinan dimana suami istri itu diadakan dan dipelihara.

Dalam pemilihan jodoh dapat dilihat bahwa calon suami istri itu dipilih olehorangtua mereka. Sedangkan pada masyarakat lainnya diserahkan pada orang-orang yang bersangkutan. Selanjutnya perkawinan ini ada yang berbentuk endogami ( yaitu kawin didalam golongan sendiri ) dan ada pula yang berbentuk exogami ( yaitu kawin di luar golongannya sendiri ).

(2)

3. Susunan nama-nama dan istilah-istilah termasuk dalam cara menghitung keturunan.

Di dalam beberapa masyarakat, keturunan dihitung melalui garis laki-laki, misalnya di Batak. Ini disebut Patrilinial. Ada yang melalui garis perempuan, misalnya di Minangkabau. Ini disebut Matrilinial, dimana kekuasaan terletak pada perempuan.

4. Milik atau harta benda

Pada umumnya keluarga itu pasti memiliki harta untuk kelangsungan hidup para anggota keluarganya.

Walaupun pada beberapa suku bangsa suami mengikuti istri, sistem ini disebut matrilokal. Sebaliknya apabila istri yang mengikuti ke dalam keluarga suami disebut patrilokal.

Disamping sifat-sifat tersebut, keluarga juga mempunyai sifat-sifat khusus yang menurut Kartono (1992:33) terdiri dari:

1. Universalitet, yaitu merupakan bentuk yang universal dari seluruh organisasi sosial.

2. Dasar emosional, yaitu rasa kasih sayang, kecintaan sampai kebanggaan suatu ras.

3. Pengaruh yang normatif, yaitu keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi seluruh bentuk hidup yang tertinggi, dan membentuk watak daripada individu.

4. Besarnya keluarga yang terbatas. 5. Kedudukan sentral dan struktur sosial.

6. Petanggungan jawab antara anggota-anggota.

7. Adanya aturan-aturan homogen. Karena beberapa sebab misalnya karena perekonomian, pengaruh uang, produksi atau pengaruh individualisme, sistem

(3)

kekeluargaan ini semakin kabur. Hal ini disebabkan karena: Urbanisasi, Emansipasi sosial wanita dan adanya pembatasan kelahiran yang disengaja. Akibat dari pengaruh perkembangan keluarga, menurut Haditomo(1990:35) dapat menyebabkan hilangnya peranan-peranan sosial, yaitu:

1. Keluarga berubah fungsinya, dari kesatuan yang menghasilkan menjadi kesatuan yang memakai semata-mata. Dahulu keluarga menghasilkan sendiri untuk keluarganya, tetapi lama-kelamaan fungsi ini makin jarang karena telah di kerjakan oleh orang-orang tertentu.

2. Tugas untuk mendidik anak-anak sebagian besar diserakan kepada sekolah-sekolah, kecuali anak-anak kecil yang masih hidup dalam hubungan kekeluargaan

3. Tugas bercengkrama didalam keluarga menjadi mundur, karena tumbuhnya perkumpulan-perkumpulan modern, sehingga waktu untuk berada di tengah-tengah keluarga semakin lama semakin kecil.

Ahmadi (1991:34) menyatakan bahwa dalam sejarah kehidupan keluarga terdapat empat tingkat sebagaai berikut:

1. Formatif pre-naptial stage, yaitu tingkat persiapan sebelum berlangsungnya perkawinan. Dalam tingkat ini adalah masa berkasih-kasihan, hubungan yang makin lama makin menjadi erat antara pria dan wanita masing-masing berusaha memperbesar cita-citanya.

2. Napteap stage, yaitu tingkat sebelum anak-anak/bayi lahir yang merupakan permulaan daripada keluarga itu sendiri. Dalam tingkat ini suami istri hidup bersama menciptakan rumah tangga, mencari pengalaman baru dan sikap baru terhadap masyarakat.

(4)

3. Child rearing stage, yaitu pelaksanaan keluarga itu sendiri. Pertanggung jawaban mereka selalu bertambah, berhubungan dengan anak-anak mereka. 4. Maturity stage, yaitu keberadaan anak-anak yang tidak lagi membutuhkan

pemeliharaan orangtuanya setelah dilepaskan dari pertanggungan jawab, kemudian anak-anak itupun mempunyai aktifitas yang baru menggantikan yang lama.

Selanjutnya Ahmadi (1991:43) menambahkan bahwa ketiadaan anak bukan berarti menggugurkan ikatan keluarga. Memang salah satu faktor mengapa individu itu membentuk keluarga adalah mengharapkan anak atau keturunan. Tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Disamping faktor mengharapkan keturunan ada faktor-faktor lain mengapa individu membentuk keluarga antara lain ialah:

1. Untuk memenuhi kebutuhan biologis atau kebutuhan seks.

2. Untuk memenuhi kebutuhan sosial, status, penghargaan dan sebagainya.

3. Untuk pembagian tugas misalnya, mendidik anak, mencari nafkah dan sebagainya.

4. Demi hari tua kelak, yaitu pemeliharaan di hari tua.

Suatu ikatan keluarga ditandai atau didahului dengan suatu perkawinan. Hal ini dimaksudkan bahwa perkawinan adalah syarat mutlak untuk terbentuknya keluarga. Tanpa didahului suatu perkawinan dua orang antara laki-laki dan perumpuan tinggal satu rumah belum berhak disebut sebagai sebuah keluarga. Jadi faktor-faktor penting dalam suatu keluarga ialah adanya ikatan antara laki-laki dan perempuan. Ikatan itu didahului oleh perkawinan (Ahmadi 1991:45).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah satu kesatuan sosial yang terkecil yang terdiri atas suami istri yang diikat oleh sebuah perkawinan, yang dilengkapi oleh kehadiran anak dari hasil perkawinan tersebut. Dari pengertian tersebut

(5)

ketiadaan anak tidaklah menggugurkan status keluarga. Suami istri yang kebetulan tidak dikaruniai anak, akan tetap mempunyai status sebagai suatu keluarga.

A.2. Fungsi-fungsi Keluarga

Fungsi-fungsi keluarga ada beberapa jenis. Menurut Soelaeman (1994:45) fungsi keluarga adalah sangat penting, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Jenis-jenis fungsi keluarga adalah:

1. Fungsi edukatif

Adapun fungsi yang berkaitan dengan pendidikan anak serta pembinaan anggota keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, dalam hal ini si pendidik hendaknya dapatlah melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tujuan pendidikan.

2. Fungsi sosialisasi

Tugas keluarga dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup pengembangan individu agar menjadi pribadi yang mantap, akan tetapi meliputi pula upaya membantunya dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Orangtua dapat membantu menyaipkan diri anaknya agar dapat menempatkan dirinya sebagai pribadi yang mantap dalam masyarakat dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

3. Fungsi lindungan

Mendidik pada hakekatnya bersifat melindungi yaitu melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik dari hidup yang menyimpang dari norma-norma. Fungsi lindungan ini dapat dilaksanakan dengan jalan melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan-perbuatan yang tidak diharapkan,

(6)

menganjurkan ataupun menyuruhnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, memberi contoh dan teladan dalam hal-hal yang diharapkan.

4. Fungsi afeksi dan fungsi perasaan

Pada saat anak masih kecil, perasaannya memegang peranan yang penting, dapat merasakan ataupun menangkap suasana yang meliputi orangtuanya pada saat anak berkomunikasi dengan mereka. Anak sangat peka akan suasana emosional yang meliputi keluarganya. Kehangatan yang terpancar dari keseluruhan gerakan, ucapan, mimik serta perbuatan orangtua, juga rasa kehangatan dan keakraban itu menyangkut semua pihak yang tergolong anggota keluarga.

5. Fungsi religius

Keluarga berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga kepada kehidupan beragama. Tujuannya bukan sekedar mengetahui kaedah-kaedah agama, melainkan untuk menjadi insan beragama. Pendidikan dalam keluarga itu berlangsung melalui identifikasi anak kepada orangtua. 6. Fungsi ekonomi

Melaksanakan fungsi ekonomis keluarga oleh dan untuk semua anggota keluarga mempunyai kemungkinan menambah saling mengerti, solidaritas dan tanggung jawab bersama dalam keluarga itu serta meningkatkan rasa kebersamaan dan ikatan antara sesama anggota keluarga.

7. Fungsi rekreasi

Rekreasi itu dirasakan orang apabila ia menghayati suatu suasana yang tenang dan damai, jauh dari ketegangan batin, segar dan santai serta kepada yang bersangkutan memberikan perasaan bebas terlepas dari ketegangan dan kesibukan sehari-hari.

(7)

8. Fungsi biologis

Fungsi ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis anggota keluarga. Diantaranya adalah kebutuhan akan keterlindungan fisik, kesehatan, dari rasa lapar, haus, kedinginan, kepanasan, kelelahan bahkan juga kenyamanan dan kesegaran fisik. Termasuk juga kebutuhan biologis ialah kebutuhan seksual.

Menurut Sarlito (dalam nggrid, 2004:35) fungsi utama yang harus dijalankan keluarga adalah keluarga sebagai suatu unit yang berfungsi memberi atau memenuhi kepuasan-kepuasan primer-biologik pada anggotanya. Seperti sandang pangan dan seksual bagi suami istri.

A.3. Pengertian Keharmonisan Keluarga

Keluarga adalah unit kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu ada kepala keluarga sebagai tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga yang diasuh dan dibinanya. Karena keluarga sendiri terdiri dari beberapa orang, maka terjadi interaksi antar pribadi, dan itu berpengaruh terhadap keadaan harmonis dan tidak harmonisnya pada salah seorang anggota keluarga, yang selanjutnya berpengaruh pula terhadap pribadi-pribadi lain dalam keluarga ( Gunarsa 1995:31). Daradjad (1994:37) juga mengemukakan bahwa keluarga-keluarga tersebut menjadi satu dan setiap anggota menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing, terjalin kasih sayang, saling pengertian, dialog dan kerjasama yang baik antara anggota keluarga. Dengan demikian keharmonisan keluarga tersebut merasakan kesejahteraan lahir dan batin.

(8)

Menurut Mahali ( dalam Inggrid,2004:44) keluarga yang harmonis adalah keluarga yang dapat mengantarkan seseorang hidup lebih bahagia, lebih layak dan lebih tentram. Keluarga merupakan tempat para penghuninya beristirahat dari suatu kepenatan aktivitas, sehingga keluarga haruslah menyenangkan.

A.4. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

Menurut Gunarsa (1994:50) ada banyak aspek dari keharmonisan keluarga diantaranya adalah:

1. Kasih sayang antara keluarga.

Kasih sayang merupakan kebutuhan manusia yang hakiki, karena sejak lahir manusia sudah membutuhkan kasih sayang dari sesama. Dalam suatu keluarga yang memang mempunyai hubungan emosianal antara satu dengan yang lainnya sudah semestinya kasih sayang yang terjalin diantara mereka mengalir dengan baik dan harmonis.

2. Saling pengertian sesama anggota keluarga.

Selain kasih sayang, pada umumnya para remaja sangat mengharapkan pengertian dari orangtuanya. Dengan adanya saling pengertian maka tidak akan terjadi pertengkaran-pertengkaran antar sesama anggota keluarga.

3. Dialog atau komunikasi yang terjalin di dalam keluarga.

Komunikasi adalah cara yang ideal untuk mempererat hubungan antara anggota keluarga. Dengan memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien untuk berkomunikasi dapat diketahui keinginan dari masing-masing pihak dan setiap permasalahan dapat terselesaikan dengan baik. Permasalahan yang dibicarakanpun beragam misalnya membicarakan masalah pergaulan

(9)

sehari-hari dengan teman, masalah kesulitan-kesulitan disekolah seperti masalah dengan guru, pekerjaan rumah dan sebagainya.

4. Kerjasama antara anggota keluarga.

Kerjasama yang baik antara sesama anggota keluarga sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Saling membantu dan gotong royong akan mendorong anak untuk bersifat toleransi jika kelak bersosialisasi dalam masyarakat. Kurang kerjasama antara keluarga membuat anak menjadi malas untuk belajar karena dianggapnya tidak ada perhatian dari orangtua. Jadi orangtua harus membimbing dan mengarahkan belajar anak.

Sementara Kartono (1994:48) menjelaskan bahwa aspek-aspek keharmonisan di dalam keluarga seperti adanya hubungan atau komunikasi yang hangat antar sesama anggota keluarga, adanya kasih sayang yang tulus dan adanya saling pengertian terhadap sesama anggota keluarga.

A.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga

Gunarsa (1993:33) menyatakan bahwa suasana rumah dapat mempengaruhi keharmonisan keluarga. Suasana rumah adalah kesatuan serasi antara pribadi-pribadi. Kesatuan antara orangtua dan anak. Jadi suasana rumah menyenangkan akan tercipta bagi anak bila terdapat kondisi:

1. Anak yang menyaksikan bahwa ayah dan ibunya terdapat saling pengertian dan kerjasama yang serasi serta saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya. 2. Anak dapat mersakan bahwa orangtuanya mau mengerti dan dapat menghayati

pola perilakunya, dapat mengerti apa yang diinginkannya, memberi kasih sayang secara bijaksana.

(10)

3. Anak dapat merasakan bahwa saudara-saudaranya mau memahami dan menghargai dirinya menurut kemauan, kesenangan dan cita-citanya, anak dapat merasakan kasih sayang yang diberikan saudara-saudaranya..

Faktor lain dalam keharmonisan keluarga adalah kehadiran anak dari hasil perkawinan suatu pasangan. Gunarsa (1995:55) menyebutkan bahwa kehadiran seorang anak ditengah keluarga merupakan satu hal yang dapat lebih mempererat jalinan cinta kasih pasangan.

Selain faktor-faktor diatas maka kondisi ekonomi diperkirakan juga akan berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga. Seperti apa yang dikemukakan oleh Gunarsa (1993:57) bahwa tingkat sosial ekonomi yang rendah seringkali menjadi penyebab terjadinya permasalahan dalam sebuah keluarga. Akibat banyaknya masalah yang ditemui karena kondisi keuangan yang memprihatinkan ini menyebabkan kondisi keluarga menjadi tidak harmonis. Dengan banyaknya problem yang dihadapi keluarga, ini akan berpengaruh kepada perkembangan mental anak disekolah. Sebab pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan yang diperoleh anak dirumah, tentu akan terbawa pula ketika anak berangkat ke sekolah.

Sementara itu, Haditono (dalam Inggrid,2004:32) berpendapat bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keharmonisan keluarga meliputi adanya saling pengertian sesama keluarga, adanya kasih sayang sesama saudara-saudara serta adanya dukungan tingkat sosial ekonomi yang cukup memadai.

B. Perilaku Seks Pra-Nikah B.1. Pengertian Seks

Dalam kehidupan sehari-hari, kata seks secara harfiah berarti kelamin, pengertian kerap hanya mengacu pada aktivitas biologis yang berhubungan dengan alat kelamin

(11)

atau genitalia. Arti seks juga dikonotasikan dengan persentuhan sex act yang berdasarkan tujuannya dapat dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, bertujuan untuk memiliki anak (sex as procreational). Kedua, untuk sekedar mencari kesenangan ( sex

recreational) dan ketiga, dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan penyatuan rasa seperti

cinta (sex relational) (Gunawan, 1993:43).

Menurut Rosyadi (1993:34) seks mencakup hubungan intim antara manusia, terutama antara dua orang yang berbeda jenis kelamin. Sarwono (dalam Fadlan, 2002:40) menambahkan seksual adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan seks, baik secara sempit maupun luas.

Seks dalam arti sempit berarti kelamin. Yang dimaksud dengan pengertian kelamin adalah alat kelamin, anggota-anggota dan ciri-ciri badaniah lainnya yang membedakan wanita dengan pria ialah kelenjar-kelenjar dan hormon dalam tubuh yang mempengaruhi kerja alat kelamin, hubungan kehamilan dan proses pembuahan, kehamilan dan kelahiran.

Seks dalam arti luas berarti segala yang terjadi akibat adanya perbedaan jenis kelamin, antara lain : perbedaan tingkah laku, lembut, kasar, feminisme, maskulin, perbedaan peran dan pekerjaan dan perbedaan atribut ( pakaian, nama ).

Menurut Julian dan Korlblum (dalam Tiara, 1994:27) seks adalah energi psikis yang mendorong aktivitas manusia dan memotivasi tingkah laku manusia. Menurut Alam (1992) seks merupakan suatu tanggapan psikis yang mempunyai tujuan utama mencari kepuasan. Selanjutnya Tobing (1990:21) mengartikan seks sebagai sifat, reaksi dan sikap seseorang terhadap dirinya sebagai laki-laki atau perempuan terhadap lawan jenis dan merupakan bagian dari keseluruhan perilaku manusia yang mencakup mulai dari kepribadian, sikap dan perilaku sehari-hari.

(12)

B.2. Pengertian Perilaku Seksual

Remaja yang mulai mengalami proses kematangan fungsi reproduksi akan mengembangan minat remaja pada hal yang berhubungan dengan perilaku seksual. Pada mulanya ketertarikan ini disebabkan karena kebutuhan remaja untuk mencari jawaban atas keingintahuannya tentang seks, namun karena ketidaktahuan remaja akan perilaku seksual yang benar akibatnya remaja melakukan berbagai macam aktivitas seksual bahkan sampai pergaulan seks pra-nikah ( Wiratna1994:30).

Seksual atau seksualitas secara psikologi adalah mencakup keseluruhan kompleks reaksi, perasaan dan sikap yang mencirikan suatu kepribadian sebagai laki-laki dan wanita. Seks (sexux) berarti sempit hanya mengenai jenis kelamin, anatomi dan fisiologisnya. Sedangkan seksualitas adalah semua yang berhubungan dengan manifestasi seksual. Naluri seksual berarti merupakan rangsangan psikis yang mempunyai tujuan utama mencari kepuasan (Alam, 1992:33).

Sarwono (1994:31) mengemukakan perilaku seksual adalah bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenis atau dengan diri sendiri. Bentuk tingkah laku seksual itu bisa bermacam-macam mulai dengan perasaan tertarik sampai pada tingkah laku berkencan sampai bercumbu. Objek seksual bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.

B.3. Pengertian Perilaku Seks Pra-Nikah

Sarwono (1989:42) mengatakan bahwa perilaku seks pra-nika adalah segala tingkah laku yang didorong hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah. Kemudian ditambahkan lagi oleh Wirawan (dalam Fadlan, 2002:48) menurutnya perilaku seks pra-nikah adalah segala tingkah laku yang

(13)

didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua jenis kelamin yang berbeda yang berada diluar perkawinan yang sah.

Tukan (1994:47) mengatakan bahwa perilaku seks pra-nikah adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh dua orang yang tidak hidup bersama dalam perkawinan. Perilaku seks pra-nikah adalah hubungan seksual antara seorang pria dan wanita diluar pernikahan atau tidak resmi, baik seks itu dilakukan dengan pelacur, samen leven, maupun orang lain, dengan prinsip bahwa hubungan seks itu dilandasi perkawinan secara sah.

Bentuk-bentuk intensif dalam hubungan seksual adalah lip-kissing yaitu berciuman biasa pada bibir, deep-kissing yaitu berciuman dimana lidah salah seorang memasuki mulut orang lain, genital stimulation yaitu merangsang alat kelamin atau genital, yaitu aktif memegang meraba alat kelamin, petting adalah kontak jasmaniah antara dua jenis kelamin yang berlawanan, tanpa melakukan persetubuhan. Seksual

intercourse (coitus) yaitu hubungan kelamin yang dilakukan oleh pria dan wanita

(Simanjuntak, 1984:39).

B.4. Perkembangan Libido Seksual

Perkembangan kehidupan manusia, yaitu sejak dilahirkan hingga menjadi manusia dewasa, manusia memiliki dorongan-dorongan yang dinamakan libido. Libido adalah dorongan seksual yang sudah ada sejak manusia dilahirkan. Menurut Freud (dalam Rahayu, 1989:35) dorongan seks telah ada pada anak sejak lahir, hanya bentuknya pada masa kanak-kanak berbeda dengan masa remaja dan dewasa. Dorongan seks menurut Pangkahila (1998:45) mulai muncul pada masa remaja sebagai akibat kerja hormon seks.

(14)

Freud (dalam Koesnadi,1992:49) proses perkembangan psikoseksual sejak bayi (anak) sampai dewasa dapat dibagi menjadi 5 fase atau masa perkembangan yaitu:

1. Masa oral (0 sampai dengan 1 tahun). Pada masa ini, bayi memperoleh serta merasakan kepuasan dan kenikmatan yang bersumber pada daerah mulutnya. Kepuasan dan kenikmatan ini timbul oleh adanya hubungan antara perasaan lapar dan haus sehingga menimbulkan kehausan. Sifat dari kepuasan dan kenikmatan ini masih sangat egosentris.

2. Masa anal (1 sampai dengan 3 tahun). Pada masa ini terjadi perpindahan pusat kenikmatan dari daerah mulut ke daerah anus (dubur). Rangsangan pada daerah ini berkaitan dengan kegiatan buang air besar. Masa anal ini berhubungan dengan soal kebersihan, keteraturan dan kerapian yang ingin diterapkan orangtua kepada anak. Anak bukan lagi pribadi yand pasif, tetapi telah berkembang sehingga dia mulai dapat menentukan diri sendiri.

3. Masa phalic (3 sampai 5 tahun). Pusat kenikmatan berpindah ke daerah kelamin. Dia mulai menaruh perhatian terhadap perbedaan-perbedaan anatomi antara laki-laki dan perempuan. Pada masa phalic, anak memasuki perkembangan yang oleh Freud disebut Oedipus Complex. Anak laki-laki akan mengalami dorongan erotis terhadap ibunya, sedangkan ayahnya akan dimusuhinya sebab dianggap sebagai saingannya. Dalam hal ini Freud menggaris bawahi ambivalensi perasaan yang menyertai Oedipus Complex, yaitu cinta akan ibu bisa saja berbarengan dengan agresivitas, sedangkan benci terhadap ayah dapat dicampur dengan simpati. Pada anak perempuan juga terjadi hal yang sama.

4. Masa latent (6 sampai dengan 12 tahun). Masa latent merupakan masa aktivitas seksual tenang, terpendam dan tidak aktif. Perkembangan kognitif mulai

(15)

nampak serta perkembangan moral dan sosial. Pada masa ini anak mulai berusaha untuk mendapat penyesuaian diri dalam lingkungan sosial.

5. Masa genital (12 sampai keatas). Pada masa ini, seksualitas seakan-akan bangun kembali dari tidurnya. Dorongan ini timbul karena faktor fisiologis seseorang telah matang, khususnya mulai berfungsinya kelenjar-kelenjar kelamin sehingga menimbulkan daerah-daerah erogen pada alat kelamin sebagai sumber kenikmatan dan kepuasan. Dorongan seks dalam arti sebenarnya mulai muncul. Objek cinta berpindah dari cinta incest ke cinta heteroseksual yang tidak incest. Karena perkembangan seksualitas genital yang berfungsi untuk melakukan persetubuhan sebagai tujuannya, berarti pula bahwa kecenderungan naluriah dari masa lampau teristimewa dari masa oral dan anal tidak hilang begitu saja, tetapi diintegrasikan dan ditaklukkan pada seksualitas diri kita.

B.5. Remaja dan Perilaku Seks Pra-Nikah

Perilaku seks pra-nikah remaja dewasa ini semakin bergerak dalam rangka persentase yang makin tinggi. Di Indonesia persentase perilaku seks pra-nikah ini semakin meninggi dari tahun ke tahun. Menurut Sarwono (dalam Rosyadi,1993:23) bahwa 10% sampai dengan 20% kaum remaja Indonesia pernah melakukan hubungan seks (coitus) sebelum mereka memasuki perkawinan yang sah. Selain seksual intercourse ini, bentuk-bentuk lain aktifitas seksual pra-nikah remaja diantaranya lip

kissing, deep kissing, genital stimulation dan petting, seperti yang telah diklasifikasikan

oleh Schofield (dalam Nimpoeno,1990:45).

Salah satu penyebab terjadinya hubungan seks pra-nikah adalah bertambahnya usia kawin para remaja, Tobing (dalam Dhaini,1995:32). Sementara dorongan dari diri

(16)

Tuntutan untuk menyalurkan hubungan seks yang sudah terangsang semakin kuat. Sadar atau tidak kondisi ini akan mendorong remaja putra dan putri untuk berpacaran dengan kontak seksual yang makin lama makin dalam.

B.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pra-Nikah Remaja

Dari beberapa ahli yang mengatakan bahwa perilaku seks Pra-nikah yang dilakukan oleh remaja menunjukkan angka yang meningkat dan ini sangat mengkhawatirkan sehingga kita perlu untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan remaja melakukan perilaku seks pra-nikah. Menurut Sarwono (dalam Dhaini,1995:40) penyebab terjadinya seks pra-nikah adalah:

1. Meningkatnya libido seksual

Perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual atau libido seksual remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. Sesuai dengan perkembangan fisiknya, secara hormonal anak pada usia remaja sudah mulai meningkat menuju puncak kematangannya. Disini aspek emosional pun mulai berkembang luas. Anak sudah mulai tertarik pada lawan jenisnya, mulai ada perasaan terangsang yang timbul jika menghadapi lawan jenis yang menarik hatinya. Berbagai cara dilakukan untuk menarik lawan jenis dan berbagai cara dilakukan oleh remaja dalam menanggapi perasaan-perasaan yang tadi.

2. Penundaan usia perkawinan.

Penyaluran seksual tersebut tidak segera dilakukan karena adanya usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah sedikitnya enam belas (16) tahun untuk wanita dan sembilan belas (19) tahun untuk laki-laki, maupun

(17)

karena norma sosial yang semakin lama semakin sulit, menurut persyaratan yang semakin tinggi untuk perkawinan seperti persiapan pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental dan lain-lain.

3. Tabu-larangan

Norma-norma agama tetap berlaku dimana seseorang dilarang melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkan larangan berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan mastrubasi. Bagi remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan melanggar larangan-larangan tersebut.

4. Pergaulan bebas

Tidak dapat dipungkiri adanya kecenderungan pergaulan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria. Sarwono (1994:44) juga mengatakan komunikasi antara anak dan orangtua yang kurang lancar yang menyebabkan semakin besar kemungkinan remaja melakukan perilaku seks pra-nikah.

Penelitian Clayton dan bokermeir tahun 1980 (dalam Faturrochman, 1990:34) yang menyatakan dorongan seks belum tentu bisa terealisasikan tanpa ada kesempatan untuk mewujudkannya. Oleh sebab itu faktor kesempatan juga ikut mempengaruhi perilaku seks pra-nikah.

Torsina (dalam Fadlan,2002:45) mengatakan faktor-faktor yang mendukung perilaku seks pra-nikah adalah:

1. Tekanan dari sesama teman dari pasangan sendiri untuk melakukan seks pra-nikah.

(18)

2. remaja saat ini cenderung memberontak terhadap aturan-aturan orangtua, termasuk seks sebagai suatu yang dilarang.

3. rasa ingin tahu dan penasaran akibat pemberitaan-pemberitaan yang merangsang atau yang dibesarkan-besarkan dalam media massa.

Faktor lain sebagai penyebab terjadinya perilaku seks pra-nikah adalah ekonomi. Pada mulanya mereka adalah remaja baik-baik, namun karena bebasnya pola pacaran mereka, sehingga menyebabkan hilangnya kehormatan mereka. Karena merasa malu dan akhirnya terjerumus melakukan seks bebas sambil mencari masukan sekedar untuk mencukupi kebutuhan sekunder seperti perlengkapan dan membeli busana yang sedang tren dikalangan anak muda (Sarwono, 1994:46).

C. Remaja

C.1. Pengertian Remaja

Dalam bahasa Indonesia, remaja diterjemahkan dari kata yang dalam bahasa Inggris yaitu adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menuju ke tahap kematangan (Hurlock, 1996:11). Dalam hal ini khususnya mengenai masalah remaja Gunarsa (1982:20) mengatakan bahwa anak remaja sebagai anak dalam perkembangan menuju kemasa dewasa mengalami suatu masa peralihan yang mencakup berbagai macam perubahan dan perubahan ini meliputi perubahan fisik yang terlihat dari aktivitas kewanitaan dan kejantanan serta perubahan yang tidak mudah tampak atau diamati oleh orang lain.

Banyak pendapat dan pengertian yang luas tentang seorang remaja, bahwa remaja bukan lagi anak-anak dan batasan usia bagi seorang remaja antara dua belas (12) tahun sampai dengan dua puluh satu (21) tahun. Selain itu, cirri-ciri umum yang dapat terlihat dari seorang remaja adalah bagi wanita telah mengalami haid dan pria mengalami

(19)

mimpi basah. Seorang remaja memiliki tugas perkembangan yang harus dilalui, karena apabila remaja mampu melalui tanpa hambatan, remaja akan mampu membawa dirinya sendiri sampai dewasa yaitu dapat berdiri sendiri terlepas dari orangtua, dapat menyesuaikan diri dalam hubungan interpersonal sesuai dengan kematangan seksualnya dan dapat membina hubungan yang sehat dengan teman sebaya. Menurut Zulkifli (1992:43) tugas perkembangan remaja meliputi pertumbuhan fisik, perkembangan seksual, emosi yang meluap-luap dan mulai tertarik dengan lawan jenis.

C.2. Ciri-ciri Masa Remaja

Erikson (dalam Hurlock, 1980:45) mengatakan masa remaja adalah masa dimana individu mengalami krisis identitas. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat.

Dalam setiap fase perkembangan manusia mempunyai ciri-ciri berbeda, demikian pula dengan remaja. Hurlock (1980:50) mengatakan ciri-ciri remaja sebagai berikut:

1. Masa remaja sebagai periode penting.

Pada masa remaja ini terjadi perkembangan fungsi fisik dan psikis. Dimana secara fisik organ tubuh remaja mulai mencapai kematangan dan secara psikis anak mulai memasuki dewasa dan mulai meninggalkan masa kanak-kanak. Perkembangan fisik yang cepat akan disertai dengan perkembangan mental yang cepat pada awal masa remaja.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Pada masa remaja ini terjadi masa peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dalam setiap periode peralihan status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada

(20)

masa ini remaja bukan lagi dianggap seperti anak-anak dan bukan pula orang dewasa.

3. Masa remaja sebagai masa perubahan

Tingkat perubahan dalam setiap perilaku semasa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ada 4 perubahan yang sama yang hampir bersifat universal, yaitu:

a. meningginya emosi yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

b. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh masyarakat. c. Perubahan minat dari pola perilaku serta nilai-nilai.

d. Sebagai remaja bersifat ambivaiensi terhadap setiap perubahan.

4. Masa remaja mempunyai kesulitan untuk menyesuaikan masalah yang dihadapinya dan pada usia remaja ini mereka ingin mandiri dan berusaha mengatasi masalah dengan caranya sendiri, tetapi karena tidak memiliki pengalaman mereka menjadi sulit untuk mencari penyelesaiannya.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas.

Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuain diri pada kelompok masih penting. Lambat laun remaja mulai mendambakan identitas diri dan tidak lagi puas menjadi sama dengan teman-teman sekelompoknya.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.

Pada masa ini remaja takut dengan stereotip yang berlaku di masyarakat yang mempunyai anggapan remaja cenderung merusak dan mempunyai perilaku yang negatif serta tidak dapat dipercaya.

(21)

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Pada masa ini remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistik dan remaja cenderung memandang kehidupan melalui cara pikir mereka sendiri tanpa melihat kenyataan. Remaja melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan dan bukan sebagaimana mestinya.

8. Masa remaja sebagai masa ambang dewasa

Dengan semakin dekatnya usia kematangan, para remaja semakin gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa remaja sudah hampir dewasa.

C.3. Aspek-aspek perkembangan pada masa Remaja C.3.1. Perkembangan Fisik

Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001:56). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalamPapaliadanOlds,2001:60).

C.3.2. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001:30), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan

(22)

didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.

Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001:68) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001:45). Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001:56).

C.3.3. Perkembangan Kepribadian Dan Sosial

Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan

(23)

perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001:76). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001:70).

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001:80). Remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001:82). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991:56).

Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001:78) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup.

C.3.4. Perkembangan Emosi

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode ”badai dan tekanan ” suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan

(24)

selama ada kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu (Hurlock, 1993:67).

Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahunterjadi perbaikan perilaku emosional. Menurut Gesell, dkk ( Hurlock, 1993:73) remaja empat belas tahun sering kali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung ”meledak”,tidak berusah mengendalikan perasaannyam, remaja emambelas tahun mengatakan bahwa mereka ”tidak punya keprihatinan.” jadi adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.

Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah. Anak laki-laki dan permpuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak ”meledak”emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidaklagibereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Dengan demikian, remaja mengabaikan banyak rangsangan yang tadinya dapat menimbulkan ledakan emosi. Akhirnya, remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya.

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.

(25)

Adapun caranya adalah dengan membicarakan berbagi maalahnya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi oleh sebagian rasa aman dam hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada ”orang sasaran”(yaitu orang yang kepadanya remaja mau mengutarakan berbagai kesulitannya, dan oleh tingkat penerimaanorang sasaran itu.

Bila remaja ingin memcapai kematang emosi, ia juga harus belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya. Adapun yang dapat dilakukan adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis.( Hurlock, 1993:77)

C.3.5. Perkembangan Moral

Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemidian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.

Mitchell (Hurlock, 1993:87) mengatakan ada lima perubahan dasar moral yang harus dilakukan oleh remaja sebagai berikut:

1. Pandangan moral individu maki lama makin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.

2. Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.

3. Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ini memndaorong remaja lebih berani menganalisis kode sosial dan kode pribadi dari pada masa kanak-kanak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral.

(26)

5. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.

Menurut Piaget (Hurlock,1993:90) mengatakan bahwa pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertangung jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proposisi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari beberapa sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagiai dasar pertimbangan.

Selanjutnya menurut Kohlberg (Hurlock,1993:98), tahap perkembangan moral ketiga, moralitas pascakonvensional (postconventional morality) harus dicapai selam masa remaja, tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlaj prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap yang pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakina moral sehingga di mugkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar moral apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal yang diinternalisasikan lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.

Sekalipun dengan dasar yang terbaik, ketiga tugas pokok dalam mencapai moralitas dewasa, yaitu mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum, merumuskan konsep yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai pedoman perilaku, dan melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri, merupakan tugas yang sulit bagi kebanyakan remaja.

(27)

D. Kerangka Pemikiran

Masa remaja ini adalah masa dimana seorang remaja masih mencari identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran penting dalam hidup. Pada masa ini juga terjadi perubahan dan perkembangan yang sering menimbulkan kegoncangan pada diri seorang remaja. Dalam pergaulan sehari-hari ia tidak diterima dalam dunia anak-anak, dipihak lain ia juga belum diakui sebagai anggota masyarakat dewasa. Disaat-saat demikian diperlukan bimbingan yang bijaksana dari keluarga terutama dari kedua orangtua.

Peran keluarga dalam hal perkembangan seorang remaja itu sangat penting dalam pembentukan karakter remaja, karena keluarga merupakan unit kelompok sosial terkecil. Dimana sebelum remaja memasuki kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat kepribadian remaja ditempah terlebih dahulu didalam keluarga.

Keluarga terdiri dari beberapa individu, setiap individu berinteraksi dengan indivudi lainnya dan hal ini berpengaruh terhadap keadaan harmonis dan tidak harmonisnya pada salah seorang anggota keluarga. Sebagai perwujudan dari keharmonisan atau tidak dalam keluarga, maka dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya kasih sayang antar anggota keluarga, saling pengertian, komunikasi yang terjalin dalam keluarga. Yang paling sering kena dampak dari masalah-masalah dalam keluarga ini adalah para remaja, sehingga mengakibatkan remaja sering melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap perilakunya, salah satu dari penyimpangan itu ialah penyimpangan seks khususnya perilaku seks pra-nikah. Perilaku seks pra-nikah ini bermacam-macam dari bentuk berciuman sampai merangsang alat kelamin. Perilaku seks pra-nikah pada remaja merupakan tindakan atau tingkah laku yang tidak terpuji yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

(28)

Bagan I Alur Pemikiran

KELUAR GA

REMAJA

- terjalin kasih sayang antar anggota

keluarga

- saling pengertian - terjalin komunikasi

yang baik antar anggota keluarga - banyaknyafrekuensi

pertemuan keluarga

- kasih sayang yang kurang terjalin antar anggota keluarga - terjadi kurang

pengertian antar anggota keluarga - tidak terjalin

komunikasi yang baik - sedikitnya frekuensi

pertemuan keluarga

PERILAKU SEKS PRA_NIKAH

(29)

E. Definisi Konsep

Konsep merupakan abstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan kelompok atau individu tertentu (Singarimbun, 1981). Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

Untuk lebih mengetahui mengenai konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini

1. Remaja adalah bagian dari keluarga dan masyarakat yang berusia 12 sampai 21 tahun

2. Perilaku seks pra-nikah adalah tingkah laku yang didorong oleh hasrat yang dilakukan oleh dua (2) jenis kelamin yang berbeda yang diluar ikatan pernikahan.

3. Keluarga adalah unit kelompok sosial terkecil dalam masyarakat dan merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri serta anak. 4. Keharmonisan keluarga adalah keluarga yang dapat mengantarkan

seseorang hidup lebih bahagia, lebih layak, dan lebih tenteram dimana dalamnya terjalin kasih sayang, saling pengertian, dialog, dan kerjasama yang baik antara anggota keluarga.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel ( Singarimbun, 1989:46 ). Agar memudahkan peneliti dalam melaksanakan penelitian di lapangan, maka perlu operasionalisasi

(30)

diamati dengan kata-kata yang dapat diuji dan diketahui kebenarannya oleh orang lain. Definisi operasional dari penelitian ini adalah:

F.1. Variabel Bebas ( Independent Variable)

Variabel bebas (x) segala gejala, faktor, atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi ada atau munculnya gejala atau faktor atau unsur kedua yang disebut sebagai variabel terikat. Tanpa variabel ini, maka variabel berubah sehingga akan muncul menjadi variabel terikat yang berbeda atau bahkan sama sekali tidak ada yang muncul (Nawawi, 1991).

Variabel bebas (x) dalam penelitian ini adalah “Keharmonisan keluarga” dengan indikator sebagai berikut:

1. frekuensi berkumpul dengan keluarga 2. kedua orangtua kandung lengkap

3. komunikasi yang terjadi dalam keluarga 4. cara pola asuh orangtua

5. Tingkat religius siswa.

F.2. Variabel Terikat ( Dependent Variable )

Variabel terikat (y) adalah sejumlah gejala atau faktor maupun unsur yang ada atau muncul dipengaruhi atau ditentukan adanya variabel bebas dan bukan karena adanya variabel lain (Nawawi, 1991)

Variabel terikat (y) dalam penelitian ini adalah “perilaku seks pra-nikah” dengan indikator:

1. pernah atau memiliki pacar 2. perilaku seks remaja.

(31)

G. Hipotesis

Hipotesis adalah generalisasi atau rumusan kesimpulan yang bersifat tentatif (sementara), yang hanya akan berlaku apabila telah diuji kebenarannya (Nawawi, 1991)

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

Ho : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku seks remaja pada siswa di SMA Dharmawangsa Medan

Ha : terdapat hubungan yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku seks remaja pada siswa di SMA Dharmawangsa Medan.

Referensi

Dokumen terkait

Data pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa pola tanam agroforestri pada kedua varietas padi akan menghasilkan produksi padi gogo yang lebih sedikit jika dibandingkan

Manfaat yang akan diperoleh setelah mempelajari topik ini adalah dapat menentukan harga opsi tipe Eropa Black Scholes dengan formula yang diperoleh dari penyelesaian

Seluruh hutang Mestikasawit Intijaya akan lunas apabila seluruh Aset telah terjual kepada Pihak Ketiga dan hasil penjualan tersebut diserahkan kepada CIMB

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar mahasiswa di Prodi Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas PGRI Semarang sudah memenuhi kriteria

Budaya merupakan suatu komponen yang sangat berarti bagi suatu bangsa karena budaya merupakan perekat bangsa dan menjadi ciri khas dari suatu negara.Dengan adanya kebudayaan maka

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui peningkatkan kemampuan berpikir kritis matematika siswa dengan diterapkannya model Problem Based Learning berbantuan

Jika Anda ingin menulis surat pengantar untuk pekerjaan atau magang, kuliah, atau kesempatan lain, terkadang ada deskripsi atau petunjuk tentang apa yang harus ditulis dalam

Kegiatan pembukaan adalah salah satu upaya yang dilakukan guru untuk mengkondisikan atau menciptakan suasana siap belajar baik secara fisik, mental, emosional,