• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH :

CLINTONY DONEY NIM. 131000762

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

SHIFT KERJA DAN STRES KERJA PADA PERAWAT RAWAT INAP BAGIAN ICU DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN

TAHUN 2017

Skripsi ini diajukan sebagai Salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

CLINTONY DONEY NIM : 131000762

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “SHIFT KERJA DAN STRES KERJA PADA PERAWAT RAWAT INAP BAGIAN ICU DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2017” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, April 2018 Yang membuat pernyataan,

Clintony Doney

(4)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul

SHIFT KERJA DAN STRESS KERJA PADA PERAWAT RAWAT INAP BAGIAN ICU DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN

TAHUN 2017

Yang disiapkan dan dipertahankan Oleh:

CLINTONY DONEY NIM : 131000762

Disahkan Oleh : Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes. Arfah Mardiana Lubis, S.Psi., M.Psi.

NIP. 196202061992031002 NIP. 198203012008122002

Medan, April 2018 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si NIP.196803201993082001

(5)

ABSTRAK

Faktor yang menyebabkan stres kerja adalah lingkungan kerja yang kurang nyaman, konsultasi yang tidak efektif dan konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan instansi. Penelitian kualitatif perlu dilakukan untuk memperoleh informasi dan gambaran shift kerja dan stres kerja pada perawat rawat inap bagian ICU di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap informan agar diketahui secara jelas dan lebih mendalam tentang shift kerja dan stres kerja pada perawat rawat inap bagian ICU di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.

Sebagian besar informan mengeluhkan kondisi ruang yang kurang nyaman yang menyebabkan perawat mengalami cepat lelah dalam bekerja dan menimbulkan gejala stres kerja. Adanya pertemuan triwulan yang diadakan oleh seluruh perawat rawat inap bagian ICU dapat mengurangi masalah yang dihadapi oleh perawat.

Saran kepada perawat yang mengalami masalah keluarga, terkait dengan pekerjaan, interaksi dengan atasan maupun pihak pengelola rumah sakit serta masalah yang terjadi disebabkan oleh interaksi dengan rekan kerja atau pasien hendaknya dilakukan konsultasi yang efektif oleh seluruh perawat rawat inap bagian ICU sehingga dapat mengurangi masalah yang dialami oleh perawat rawat inap bagian ICU Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.

Kata Kunci: Perawat, Kerja Gilir, Stres Kerja

(6)

ABSTRACT

Factor the cause of job stress is uncomfortable working environtment, uneffective consultations and conflicts between family and company demands.

Purpose of this qualitative research is to get work shift and work stress overview ofNurses Inpatient part ICU at the Hospital Saint Elisabeth Medan.

This research method is qualitative research indepth interview with informants againts so that knowed clearly and more depth about work shift and work stress of Nurses Inpatient part ICU at the Hospital Saint Elisabeth Medan.

Most informants complained less comfortable space conditions that cause Nurses to experience rapid fatigue in working and symptoms of raised job stress.Their quarterly meeting held by all nurses of Nurses Inpatient part ICU can reduce the problems faced by Nurses.

Suggestion of Nurses is experienced the problem that is family, work related, interactions with superior or official of the Hospitals as well as problems that occur are caused by the interactionwith co-workers or patients should be an effective consultation conducted by the entire inpatient Nurse part ICU so that it can reduce the problems experienced by Nurse inpatient part ICU Hospital Saint Elisabeth Medan

Keyword: Nurse, Shift, Stress Work

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul

“Shift Kerja dan Stres Kerja pada Perawat Rawat Inap Bagian ICU Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2017”.

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan penulisan ini banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun cara penyajiannya, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan serta saran yang bersifat membangun dimasa mendatang.Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan meluangkan waktu, memberikan saran, dukungan, nasihat, serta arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

(8)

4. Arfah Mardiana Lubis, S.Psi., M.Psi, selaku Dosen Pembimbing IIterima kasih atas bimbingan, dukungan, serta arahan Ibu kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

5. dr. Mhd. Makmur Sinaga, MS, selaku Dosen Penguji I terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

6. Isyatun Mardhiyah Syahri, SKM., M.Kes, selaku Dosen Penguji II terima kasih atas bimbingan dan dukungan Ibu kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

7. Drs., Tukiman, MKM., selaku Dosen Pembimbing Akademikyang telah membimbing dan mengarahkan selama belajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU, terutama Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral selama perkuliahan.

9. Teristimewa untuk Ayah dan Ibu penulis, (Alm) Jhonny Sitorus S.E dan Penny Elfrida Malau yang setia memberi dukungan doa, semangat setiap harinya dan materiil selama pengerjaan skripsi ini. Semoga anakmu bisa dan tetap memberikan yang terbaik untuk kalian.

10. Saudara penulis, Pangeran Robsony Sitorus S.IP dan Winny Octoria Sitorus A.md yang selalu memberi dukungan doa dan semangat kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini. terima kasih untuk segala nasihat yang selalu

(9)

diberikan, semoga nantinya aku bisa membanggakan seperti abang dan kakak.

11. Sahabat terkasih dan teman-teman penulis di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dan menemani penulis selama pengerjaan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf sebesar-besarnya.

Medan, April 2018 Penulis

Clintony Doney

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

RIWAYAT HIDUP ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres Kerja ... 11

2.1.1 Pengertian Stres Kerja ... 11

2.1.2 Faktor – Faktor Stres Kerja ... 12

2.1.3 Sumber Stres Kerja... 15

2.1.4 Pengaruh Stres Kerja ... 26

2.1.5 Manajemen Stres Kerja ... 29

2.2 Shift Kerja ... 31

2.2.1 Pengertian Shift Kerja ... 31

2.2.2 Sistem Shift Kerja ... 32

2.2.3 Dampak Shift Kerja ... 34

2.3 Stres kerja ditinjau dari Shift kerja... .. .. 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 42

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 42

3.2.2 Waktu Penelitian ... 42

3.3 Informan Penelitian ... 42

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 43

3.5 Instrumen Pengambilan Data ... 43

3.6 Metode Analisis Data ... 43

3.8.1 Reduksi Data ... 44

3.8.2 Penyajian Data... 44

3.8.3 Penarikan Kesimpulan... 44

(11)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 46

4.1.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan ... 46

4.1.2 Visi Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan... 46

4.1.3 Misi Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan ... 46

4.1.4 Falsafah Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan .. 46

4.1.5 Tujuan dan Fungsi Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan... ... 47

4.2 Hasil Penelitian ... 47

4.2.1 Stres Kerja ... 47

4.2.2 Shift Kerja ... 56

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Gambaran Stres Kerja Perawat Rawat Inap Bagian ICU.. 62

5.1.1 Lingkungan Kerja ... 64

5.1.2 Konsultasi yang tidak efektif... 66

5.1.3 Konflik Antara Tuntutan Keluarga dan Tuntutan Instansi ... 68

5.2 Gambaran Shift Kerja Perawat Rawat Inap Bagian ICU.. 70

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 73

6.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

LAMPIRAN ... 78

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Responden Penelitian ... 47 Tabel 4.2 Hasil Wawancara Mengenai Tempat Kerja pada Perawat

Rawat Inap Bagian ICU di Rumah Sakit Santa Elisabeth

Medan ... 49 Tabel 4.3 Hasil Wawancara Mengenai Konsultasi yang Tidak Efektif

pada Perawat Rawat Inap Bagian ICU di Rumah Sakit Santa

Elisabeth Medan ... 50 Tabel 4.4 Hasil Wawancara Mengenai Konfik Antara Tuntutan

Keluarga dan Tuntutan Instansi pada Perawat Rawat Inap

Bagian ICU di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan ... 53 Tabel 4.5 Shift Kerja ... 57

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Wawancara ... 78

Lampiran 2. Transkrip Wawancara ... 79

Lampiran 3. Surat SK Pembimbing ... 90

Lampiran 4. Surat Selesai Penelitan ... 91

Lampiran 5. Dokumentasi ... 92

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Clintony Doney yang dilahirkan pada tanggal 13 November 1995 di Tangerang. Beragama Kristen Protestan, tinggal di Jalan Murai Barat, Pondok Sejahtera, Kutabumi, Tangerang Kode Pos 15112. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda (Alm) Jhonny Sitorus, SE dan Ibunda Penny Elfrida Malau.

Pendidikan formal penulis dimulai di Sekolah Taman Kanak – Kanak Anugerah Kudus pada tahun 2000 dan selesai tahun 2001, Sekolah Dasar Anugerah Kudus pada tahun 2001 dan selesai tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Pasar Kemis pada tahun 2007 dan selesai tahun 2010, Sekolah Menengah Atas Negeri 24 Tangerang pada tahun 2010 dan selesai tahun 2013, pada tahun 2013 melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Sumatera Utara Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan selesai di tahun 2018.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberian pelayanan kesehatan menjadi prioritas utama bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja yang handal merupakan kebutuhan mendesak yang dialami instansi rumah sakit, baik swasta maupun pemerintah. Salah satu pelayanan sentral di rumah sakit adalah bagian Intensive Care Unit (ICU). Bagian ICU membutuhkan sumber daya tenaga dokter dan perawat terlatih yang spesifik dan jumlahnya pada saat ini di Indonesia sangat terbatas (Hanafie, 2007).

Menurut Wijono (2010) yang mengutip pendapat Beehr dan Newman, mendefenisikan bahwa stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi diantara manusia dengan pekerjaan. Secara umum, stres didefenisikan sebagai rangsangan eksternal yang mengganggu fungsi mental, fisik, dan kimiawi dalam tubuh seseorang. Menurut Wijono (2010) yang mengutip pendapat Smith, mengemukakan bahwa konsep stres kerja dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu: pertama, stres kerja merupakan hasil dari keadaan tempat kerja. Kedua, stres kerja merupakan hasil dari dua faktor organisasi yaitu keterlibatan dalam tugas dan dukungan organisasi. Ketiga, stres terjadi karena faktor “workload” juga faktor kemampuan melakukan tugas. Keempat, akibat dari waktu kerja yang berlebihan. Kelima, adalah faktor tanggung jawab kerja dan yang terakhir adalah tantangan yang muncul dari tugas.

(16)

Menurut Tarwaka (2015) mengutip pendapat Manuaba, stres adalah segala rangsangan atau aksi dari tubuh manusia baik yang berasal dari luar maupun dari tubuh itu sendiri yang dapat menimbulkan bemacam-macam dampak yang merugikan mulai dari menurunnya kesehatan sampai kepada dideritanya suatu penyakit. Dalam kaitanya dengan pekerja, semua dampak dari stres tersebut akan menjurus kepada menurunnya performansi, efisiensi, dan produktivitas kerja yang bersangkutan. Akibat beban kerja yang terlalu berat dapat mengakibatkan seorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja. Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik atau mental dan reaksi–reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan dan mudah marah.

Sedangkan pada beban kerja yang terlalu sedikit dimana pekerjaan yang terjadi karena pengulangan gerak akan menimbulkan kebosanan, rasa monoton.

Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan sehingga secara potensial membahayakan pekerja. Beban kerja yang berlebihan atau rendah dapat menimbulkan stres kerja.

Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pasal 165 menjelaskan bahwa pengelolaan tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja. Berdasarkan pasal tersebut maka pengelola tempat kerja di rumah sakit mempunyai kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya, salah satunya adalah melalui upaya kesehatan kerja disamping keselamatan kerja. Rumah sakit harus menjamin kesehatan dan keselamatan baik

(17)

terhadap pasien, penyediaan layanan atau pekerja maupun masyarakat sekitar dari berbagai potensi bahaya di rumah sakit. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut untuk melaksanakan upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di rumah sakit dapat dihindari (Kemenkes RI, 2010).

Salah satu upaya keselamatan dan kesehatan kerja dalam sebuah perusahaan adalah memperhatikan waktu kerja. Waktu kerja bagi seseorang menentukan kesehatan yang bersangkutan, efisisensi, efektivitas dan produktivitas kerjanya. Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6- 10 jam, sisanya 14-18 jam digunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan lain-lain (Suma‟mur, 2009).

Winarsunu (2008) mengemukakan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas dan keuntungan perusahaan secara maksimal ialah dengan menambah jam kerja karyawannya dengan menggunakan shift kerja (kerja gilir).

Shift kerja (kerja gilir) merupakan suatu sistem yang diterapkan perusahaan untuk meningkatkan produksi secara maksimal dan kontinyu dengan bekerja selama 24 jam dalam sehari. Selain itu juga untuk mengoptimalkan daya kerja mesin-mesin industri dan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Hal ini akan berdampak negatif pada karyawan sehingga menimbulkan kelelahan mental atau stres.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No HK.02.02/MENKES/148/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, definisi perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat

(18)

baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Seorang perawat dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perawat dituntut untuk lebih profesional agar kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan semakin meningkat, semakin meningkatnya tuntutan tugas yang dimiliki seorang perawat maka dapat menyebabkan timbulnya stres.

Perawat ICU berbeda dengan perawat bagian lain. Tingkat pekerjaan dan pengetahuan perawat ICU lebih kompleks dibandingkan dengan perawat bagian lain di rumah sakit, karena bertanggung jawab mempertahankan homeostatis pasien untuk berjuang melewati kondisi kritis/terminal yang mendekati kematian.

Karakteristik perawat ICU, yaitu memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik daripada perawat lain dalam menangani pasien yang memiliki kondisi kritis. Perawat ICU minimal memiliki sertifikat BTCLS (Basic Training Cardia Life Support) (Hudak, 2004).

Perawat ICU juga rentan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dibandingkan dengan perawat umum (Mealer, 2007). Berdasarkan penelitian mealer di dapatkan hasil bahwa dari 230 perawat ICU, terdapat 54 responden yang mengalami PTSD (24%), sedangkan dari 121 responden dari perawat umum terdapat 17 responden yang mengalami PTSD (14%). Menurut Hudak (2004), hasil dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa penyebab stres kerja pada perawat ICU adalah konflik interpersonal dengan perawat, memberi perawatan pada pasien, isu-isu mengenai administrator dan manajer keperawatan, kurangnya dukungan dari administrator dan manajer keperawatan, pola

(19)

komunikasi, pemantauan dan perencanaan staf, politik interdisiplin pada tingkat manajer keperawatan dan dokter, penghargaan (termasuk gaji dan promosi, dan kesempatan untk memperoleh pendidikan), penyediaan dukungan dari departemen lain di luar bidang keperawatan, serta isu etika yang berhubungan dengan pasien- pasien menjelang kematian.

Tugas pokok perawat di ICU, mengharuskan perawat siap untuk merespon dalam kondisi apapun dan segera berpikir cepat mengingat jenis pasien dan penyakitnya memerlukan tindakan berbeda dan segera. Perawat ICU bertugas penuh dalam perawatan secara total care dan memberikan tindakan jika ada keadaan yang kritis pada pasiennya.

Tugas yang harus diselesaikan dengaan cepat, tepat dan cermat dapat menyebabkan banyaknya kesalahan atau bahkan menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan. Hasil penelitian pada perawat ICU menunjukkan perawat yang bekerja di ruang ICU mengalami stres kerja dengan presentase sebagai berikut : 71,43% stres ringan, 21,43% mengalami stres sedang dan 7,14% mengalami stres berat (Kusbiantoro, 2008).

Stres kerja dapat menimbulkan berbagai konsekuensi pada individu pekerja, baik secara fisiologis, psikologis dan perilaku. Stres yang dialami secara terus-menerus dan tidak terkendali bisa menyebabkan terjadinya burnout yaitu kombinasi kelelahan secara fisik, psikis dan emosi. Stres di tempat kerja dapat berakibat pada rendahnya kepuasan kerja, kurangnya komitmen terhadap organisasi, terhambatnya pembentukan emosi positif, pengambilan keputusan yang buruk dan rendahnya kinerja. Stres di tempat kerja pada akhirnya bisa

(20)

menyebabkan terjadinya kerugian finansial yang tidak sedikit jumlahnya (Saragih,2010).

Perawat ICU dapat mengalami burnout bila memiliki persepsi yang sia-sia terhadap pemberian asuhan keperawatan pada pasien dalam keadaan terminal yang lama, bahkan sampai berbulan-bulan tetapi tidak mengalami perbaikan kondisi kesehatan. Berdasarkan penelitian Meltzer & Huckabay (2004), Persepsi yang sia-sia dapat menyebabkan kelelahan emosional yang mengarah kepada terjadinya burnout. Dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh dari 60 perawat ICU pada dua buah rumah sakit di California selatan. Meltzer &

Huckabay menemukan hubungan yang positif dan signifikan dari uji korelasi product moment Pearson (r=0,317, p=0,05).

Di Indonesia, salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh sebuah lembaga manajemen di Jakarta pada tahun 2002 menemukan bahwa krisis ekonomi yang berkepanjangan, PHK, pemotongan gaji, dan keterpaksaan untuk bekerja pada bidang kerja yang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki merupakan stressor utama pada saat itu (Saragih,2010).

Northwestern National Life Insurance melakukan penelitian tentang

dampak stres ditempat kerja, kesimpulannya yaitu satu juta absensi ditempat kerja berkaitan dengan masalah stres, 27% mengatakan bahwa aspek pekerjaan menimbulkan stres paling tinggi dalam hidup mereka, 46% menganggap tingkat stres kerja sebagai tingkat stres yang sangat tinggi, satu pertiga pekerja berniat untuk langsung mengundurkan diri karena stres dalam pekerjaan mereka dan 70%

(21)

berkata stres kerja telah merusak kesehatan fisik dan mental mereka (Losyk,2007).

Shift kerja (kerja gilir) merupakan salah satu faktor terjadinya stres kerja.

Menurut Hart dalam Caruso (2013) shift kerja (kerja gilir) dan waktu kerja yang panjang menjadi alasan utama untuk meninggalkan profesi perawat. Studi terbaru oleh American Nurses Association (2011), 74% dari perawat yang pertama dikatakan adalah tentang kekhawatiran mereka mengenai dampak yang akut maupun kronis dari efek stres dan terlalu banyak pekerjaan.

Shift kerja (kerja gilir) merupakan suatu sistem yang diterapkan rumah sakit untuk meningkatkan pelayanan secara maksimal dan kontinyu dengan bekerja selama 24 jam dalam sehari. Shift kerja (kerja gilir) dijalankan jika dua karyawan atau lebih yang merupakan kelompok bekerja dalam urutan waktu dan pada tempat kerja yang sama. Setiap shift kerja (kerja gilir) seorang karyawan diulang dengan pola yang sama. Secara individual, shift kerja (kerja gilir) berarti hadir pada suatu tempat kerja yang sama (kontinyu) atau dengan waktu yang berbeda-beda (Rotasi), Kroemer dalam Winarsunu (2008).

Kroemer dalam Winarsunu (2008) menerangkan lebih lanjut bahwa, model bekerja sepanjang hari yaitu selama 24 jam menjadi sangat umum, yang dibagi menjadi 2 shift masing-masing siang dan malam selama 12 jam atau dibagi menjadi 3 shift yaitu, pagi, siang, dan malam masing-masing selama 8 jam. Pada awal abad 20, sistem kerja yang menggunakan 6 hari kerja dengan 10 jam per hari menjadi semakin berkurang. Dengan kecenderungan ini, maka jumlah hari dan jam kerja semakin berkurang, menjadikan pekerja memperoleh weekend 2 hari

(22)

untuk bebas kerja sehingga bisa mengurangi stres kerja dan memperoleh kapasitas kerja baru.

Salah satu penyebab stres dalam bekerja adalah sistem kerja bergilir/shift kerja (kerja gilir). Shift kerja (kerja gilir) merupakan suatu sistem yang diterapkan tempat kerja untuk meningkatkan pelayanan secara maksimal dan kontinyu dengan bekerja selama 24 jam dalam sehari. Hal ini akan berdampak negatif pada pekerja sehingga menimbulkan kelelahan mental atau stres (Winarsunu, 2008).

Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan merupakan salah satu industri jasa yang bekerja selama 24 jam dengan pengaturan jadwal:

a. Shift pagi dimulai pada pukul 06.50 WIB sampai 14.15.

b. Shift sore dimulai pukul 13.50 WIB sampai 21.15 WIB c. Shift malam dimulai pukul 22.00 WIB sampai 07.30 WIB.

Salah satu unit pelayanan perawatan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan yang membutuhkan pengawasan yang maksimal selama 24 jam adalah pasien yang berada di ruang perawatan intensif ICU. Diagnosa pasien yang sering di rawat di ruang perawatan intensif Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan adalah pasien Post operasi (prostat, batu saluran kemih, laparatomi, craniatomi), stroke, gangguan sistem pernafasan, kelainan jantung, dan pembuluh darah, yang membutuhkan perawatan khusus untuk pemulihan kesadaran dan kesehatan kembali. Pemulihan kesadaran ini dapat berlangsung satu jam, beberapa jam atau lebih lama. Pengawasan pada fungsi alat-alat vital tubuh perlu mendapatkan perawatan khusus karena jiwa pasien dalam kondisi sangat bahaya. Pelayanan perawatan pasien di unit perawatan ICU berada di bawah pengawasan tim dokter

(23)

ahli dan membutuhkan tenaga keperawatan yang kompeten, memiliki dasar ilmu pengetahuan perawatan serta keterampilan dalam melakukan tindakan keperawatan.

Pada kesempatan ini, penulis melakukan prasurvei dengan beberapa perawat ICU yang bersumber dari Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan terkait dengan shift kerja (kerja gilir) dan stres kerja dalam bekerja. Dari hasil prasurvei, diperoleh bahwa shift kerja (kerja gilir) sangat berhubungan dengan meningkatnya stres kerja. Dari 11 responden perawat rawat inap bagian ICU, 9 responden mengatakan mengalami stres akibat pembagian shift kerja (kerja gilir) perawat yang tidak teratur yaitu pembagian shift kerja (kerja gilir) tidak sesuai dengan waktu yang diharapkan, misalnya shift kerja (kerja gilir) yang sudah ditentukan dapat berubah apabila jumlah pasien meningkat. Sehingga perawat harus masuk bekerja sekalipun bukan shifnya bekerja. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis shift kerja (kerja gilir) dan stres kerja pada perawat rawat inap bagian ICU DI Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana shift kerja (kerja gilir) dan stres kerja pada perawat rawat inap bagian ICU Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2017.

(24)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan tentang shift kerja (kerja gilir) dan stres kerja pada perawat rawat inap bagian ICU di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2017.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan serta wawasan baru bagi tenaga keperawatan dalam mengatur shift kerja (kerja gilir) dengan baik sehingga stres kerja yang timbul akibat pelaksanaan shift kerja (kerja gilir) yang buruk pada perawat rawat inap dapat teratasi dengan baik.

2. Bagi Peneliti lain

Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya dan dapat menambah informasi tambahan bagi peneliti lain yang terkait dengan shift kerja (kerja gilir) dan stres kerja pada perawat rawat inap bagian ICU di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres Kerja

2.1.1 Pengertian Stres Kerja

Stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian diperantarai oleh Perbedaan-perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang (Gibson dalam Azzaniar, 2011).

Stres kerja menurut Kahn dalam Azzaniar (2011) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan. Stres akibat kerja menurut NIOSH yang dikutip oleh Tarwaka (2010) adalah respon emosional dan fisik yang bersifat mengganggu atau merugikan yang terjadi pada saat tuntutan tugas tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya, atau keinginan pekerja.

Menurut Mandasari (2015) mengutip pendapat Spears, mendefinisikan stres kerja sebagai reaksi seseorang terhadap tekanan yang berlebihan atau tuntutan ditempat kerja yang bersifat merugikan. Stres kerja adalah suatu kondisi dimana individu mendapatkan tekanan dari pihak internal maupun eksternal.

Menurut Kavaganh, Hurst, dan Rose dalam Wijono (2010), stres kerja merupakan suatu ketidakseimbangan persepsi individu tersebut terhadap kemampuannya untuk melakukan tindakan. Beehr & Newman dalam Wijono

(26)

(2010) mendefinisikan bahwa stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi diantara manusia dengan pekerjaan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa stres kerja sebagai reaksi atau respon terhadap situasi yang menekan ataupun tekanan yang berlebihan terhadap tuntutan pekerjaan internal dan eksternal yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan fisik, psikis, dan sosial yang dapat merugikan seseorang.

2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja

Robbins (2014), ada tiga kategori faktor stres berupa: lingkungan, organisasi, dan pribadi.

a. Faktor-Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi tingkat stres kerja pada karyawan dalam organisasi seperti desain struktur organisasi, pemerintahan baru di dalam suatu perusahaan, ekonomi perusahaan, iklim politik dan interaksi dengan orang- orang di dalam perusahaan.

b. Faktor-Faktor Organisasi

Faktor Organisasi juga mempengaruhi timbulnya stres kerja pada karyawan, seperti tekanan untuk menyelesaikan tugas dengan waktu yang singkat, menghindari kesalahan, beban kerja yang berlebihan, atasan yang selalu menuntut dan tidak peka dan hubungan yang tidak baik dengan rekan kerja. Beberapa tuntutan kerja seperti :

1. Tuntutan tugas, merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang.

Tuntutan tugas tersebut meliputi bentuk pekerjaan individu (otonomi,

(27)

keragaman tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak fisik pekerjaan. Penelitian Monk dan Tepas (1985) menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik. Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.

2. Tuntutan peran, berkaitan dengan tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkannya dalam organisasi.

Konflik peran menciptakan ekspektasi yang mungkin sulit untuk diselesaikan atau dipenuhi. Beban peran yang berlebihan dialami ketika karyawan diharapkan melakukan lebih banyak daripada waktu yang ada. Ambiguitas peran tercipta ketika ekspektasi peran tidak dipahami secara jelas dan karyawan tidak yakin apa yang harus ia lakukan.

3. Tuntutan antarpribadi, merupakan tekanan yang diciptakan oleh karyawan.

Hubungan dengan rekan kerja yang tidak baik dapat menyebabkan stres kerja, terutama di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial tinggi.

c. Faktor-faktor Pribadi

Masalah diluar jam kerja setiap minggunya dapat terbawa ke dunia kerja.

Faktor-faktor ini terutama adalah masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang. Selain faktor–

faktor tersebut tentunya masih banyak faktor penyebab terjadinya stres akibat kerja. Faktor–faktor lain yang kemungkinan besar dapat menyebabkan stres akibat kerja antara lain:

(28)

a. Ancaman pemutusan hubungan kerja. Faktor ini sering kali menghantui para karyawan di perusahaan dengan berbagai alasan dan penyebab yang tidak pasti.

b. Perubahan politik nasional. Perubahan politik secara cepat berakibat kepada pergantian pemimpin secara cepat pula, diikuti dengan pergantian kebijaksanaan pemerintah yang sering kali menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Kondisi demikian tidak jarang menimbulkan kegelisahan para pegawai, akibatnya motivasi kerja menurun, angka absensi meningkat, mogok kerja, dan lain-lain. Keadaan tersebut juga merupakan bentuk dari adanya stres.

c. Krisis ekonomi nasional. Krisis ekonomi yang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Indonesia menyebabkan banyak perusahaan melakukan efisiensi dalam bentuk perampingan organisasi. Akibatnya, ribuan karyawan terancam berhenti kerja atau pensiun muda dan pencari kerja kehilangan lowongan pekerjaan. Stres dan depresi menjadi bahasa popular pada kalangan masyarakat pekerja maupun pencari kerja.

Dari berbagai penelitian terbaru tentang stres akibat kerja mengindikasikan bahwa terdapat rentang variabel yang cukup luas yang mendefenisikan pekerjaan penyebab stres. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pekerjaan sebagai penyebab stres ditandai dengan :

1. Tingkat tuntutan tugas yang tinggi (beban kerja).

2. Tingkat kontrol tugas yang rendah (pembuat keputusan).

(29)

3. Tingkat pelaksanaan tugas tidak menentu (kemampuan kerja dan keterampilan teknis).

4. Dukungan organisasi rendah (pengakuan dan penghargaan terhadap individu pekerja).

2.1.3 Sumber Stres Kerja

Sumber stres (stressors) menurut Wijono (2010) adalah suatu kondisi, situasi atau peristiwa yang dapat menyebabkan stres. Ada berbagai sumber stres yang dapat menyebabkan stres di perusahaan di antaranya adalah faktor pekerjaan itu sendiri dan di luar pekerjaan, hal ini sependapat dengan Hariandja (2005) yang mengatakan pada dasarnya stres bisa bersumber dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan bisa juga bersumber dari luar pekerjaan. Stressor yang bersumber dari pekerjaan misalnya beban pekerjaan yang terlalu besar atau terlalu kecil, konflik peran, ketidakjelasan peran, wewenang yang tidak sesuai dengan pelaksanaan tanggung jawab, lingkungan kerja yang tidak menyenangkan dan lain-lain.

Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi dan transaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya, Wijono (2010) menggolongkan dua faktor terjadinya stres kerja yaitu faktor-faktor di pekerjaan dan faktor-faktor diluar pekerjaan.

2.1.3.1 Faktor-faktor di pekerjaan

Banyak faktor-faktor dari pekerjaan yang dapat menyebabkan stres kerja, berdasarkan hasil penelitian Soewondo dalam Wijono (2010) yang telah mengidentifikasi sumber stres terhadap 200 karyawan di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang perminyakan. Hasilnya antara lain adalah

(30)

sumber stres dapat berhubungan dengan tempat bekerja, isi pekerjaan, syarat syarat pekerjaan, dan hubungan interpersonal. Munandar (2001) faktor-faktor di pekerjaan:

1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Termasuk dalam kategori ini adalah tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik meliputi: bising, vibrasi, higiene. Sedangkan tuntutan tugas mencakup: kerja shift, beban kerja, dan penghayatan dari resiko dan bahaya.

a. Tuntutan Fisik

Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor).

1) Bising

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pada pendengaran. Bising dalam kesehatan kerja, diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran, baik secara kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran) maupun secara kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, dan pola waktu. Kebisingan yang terjadi tidak hanya dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, tetapi juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis. Dampak sosial dari bising yang berlebih ialah

(31)

mengurangi toleransi dari tenaga kerja terhadap pembangkit stres yang lain, dan menurunkan motivasi kerja (Buchari, 2007).

2) Vibrasi

Vibrasi merupakan sumber stres yang kuat yang mengakibatkan peningkatan

taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan neurological.

3) Hygiene

Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stres. Para pekerja dari industri baja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor, akomodasi pada waktu istirahat yang kurang baik, juga toilet yang kurang memadai. Hal ini dinilai oleh para pekerja sebagai faktor tinggi pembangkit stres (Munandar, 2001).

b. Tuntutan Tugas

Tuntutan tugas yang dapat menyebabkan terjadinya stres kerja dapat dilihat dalam dua hal yaitu:

1) Kerja Shift

Pekerjaan shift adalah pekerjaan yang mempunyai jadwal diluar jam kerja normal (jam 9.00-17.00). Jadwal shift kerja (kerja gilir) yang berlaku sangat bervariasi. Biasanya adalah shift kerja (kerja gilir) 8 jam atau 12 jam dalam sehari (Mardi, 2008). Menurut Dewi (2006) dalam Monk dan Folkard, mengkategorikan 3 jenis sistem shift kerja (kerja gilir), yaitu shift permanen, sistem rotasi cepat, dan sistem rotasi shift lambat

Pada sidang ke-77 di Jenewa tanggal 26 Juni 1990 dibahas mengenai standar internasional bagi pekerja malam. Standar yang dimaksud adalah The Night Work

(32)

Convention and Recommendation. The Night Work Convention membahas mengenai kesehatan dan keselamatan, transfer kerja siang hari, perlindungan bagi kaum wanita, kompensasi dan pelayanan sosial. Recommendation membahas mengenai batas waktu kerja normal, waktu istirahat yang minimum antar shift, transfer kerja siang pada situasi khusus, kesempatan pelatihan (Dewi, 2006).

Munandar (2001) mengatakan bahwa para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. pengaruhnya adalah emosional dan biological, karena gangguan Circadian rhythm dari tidur/ daur keadaan bangun, pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin.

2) Beban Kerja

Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit „kuantitatif”, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit „kualitatif‟, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja (Munandar, 2001).

(33)

2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia lakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya.

a. Konflik Peran

Konflik peran telah didefinisikan sebagai ketidakcocokan bersama antara tuntutan peran kerja dan permintaan peran keluarga. Konflik peran adalah kemunculan dua atau lebih penyampai peran secara bersamaan yang saling bertentangan. Konflik peran muncul saat ini yang terjadi lebih dari satu permintaan dari sumber yang berbeda yang menimbulkan suatu ketidakpastian pada pegawai. Konflik peran ini dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap perilaku pegawai, seperti munculnya ketegangan kerja yang akhirnya menimbulkan perasaan tidak nyaman ketika berada dilingkungan kerjanya (Nurnazirah, 2015)

Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:

1. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus dilakukan dan antara tanggung jawab yang dimiliki.

2. Tugas-tugas yang harus dilakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya

3. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya atau orang lain yang dinilai penting baginya.

(34)

4. Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya (Munandar,2001)

b. Ketaksaan (Ketidakjelasan) Peran

Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran menurut Everly dan Girdano dalam Munandar (2001) ialah:

1) Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran kerja 2) Kesamaran tentang tanggung jawab 3) Ketidakjelasan tentang prosedur kerja

4) Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain

5) Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk kerja pekerjaan.

3. Pengembangan Karier (Career Development)

Pengembangan karier merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan,promosi berlebih, dan promosi yang kurang. Pengembangan karier terdiri dari:

a. Job Insecurity

Ketakutan kehilangan pekerjaan, ancaman bahwa pekerjaannya dianggap tidak diperlukan lagi merupakan hal-hal biasa yang dapat terjadi dalam kehidupan kerja. Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan

(35)

masalah baru yang dapat mempunyai dampak pada perusahaan.

Reorganisasi dirasakan perlu untuk dapat menghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan yang baru. Introduksi hasil-hasil teknologi yang canggih ke dalam perusahaan juga memberikan dampak pada jumlah dan macam pekerjaan yang ada (Munandar, 2001).

b. Over dan Under Promotion

Setiap organisasi industri mempunyai proses pertumbuhan masing- masing. Ada yang tumbuhnya cepat dan ada yang lambat, ada pula yang tidak tumbuh atau setelah tumbuh besar mengalami penurunan, organisasinya menjadi lebih kecil. Pola pertumbuhan organisasi industri berbeda-beda. Salah satu akibat dari proses pertumbuhan ini ialah tidak adanya kesinambungan dari mobilitas vertikal dari para tenaga kerjanya.

Stres yang timbul karena over promotion memberikan kondisi yang sama seperti beban kerja berlebih, harga diri yang rendah dihayati oleh seseorang tenaga kerja yang mendapatkan promosi terlalu dini, atau yang dipromosikan ke jabatan yang menuntut pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

4. Hubungan dalam Pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Hubungan sosial yang menunjang dengan rekan-rekan kerja, atasan, dan bawahan di pekerjaan,

(36)

tidak akan menimbulkan tekanan-tekanan antarpribadi yang berhubungan dengan persaingan. Kelekatan kelompok, kepercayaan antarpribadi dan rasa senang dengan atasan, berhubungan dengan penurunan dari stres pekerjaan dan kesehatan yang lebih baik.

5. Struktur dan Iklim Organisasi

Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumber-sumber stres potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi. Kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi.

Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku yang negatif, misalnya menjadi perokok berat. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan unjuk kerja, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik (Munandar, 2001).

2.1.3.2 Faktor-faktor di Luar Pekerjaan

Menurut Tosi dalam Wijono (2010) ada beberapa faktor diluar pekerjaan yang dapat menjadi sumber stres, terutama yang berhubungan dengan faktor- faktor lingkungan di luar pekerjaan seperti:

1. Perubahan-perubahan Struktur Kehidupan

Ada tiga dimensi struktur kehidupan yang dapat menyebabkan stres, yaitu:

a. Dimensi budaya sosial yang dilakukan bersama keluarga, religius, keturunan, struktur pekerjaan, dan faktor-faktor sosial yang luas lainnya. Hardjana

(37)

(2002) mengatakan bahwa keluarga yang merupakan kesatuan inti dalam masyarakat, dapat menjadi sumber stres tersendiri. Meskipun jumlahnya terbatas, setiap anggota keluarga memiliki perilaku, kebutuhan dan kepribadian yang berbeda-beda. Disamping hal-hal yang datang dari hubungan antar pribadi dan situasi keluarga yang ada, keluarga dapat menjadi sumber stres karena peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan para anggota keluarga.

b. Hubungan dengan orang-orang lain dalam dunia budaya sosial, seperti seorang pribadi berperan sebagai suami/istri, rekan kerja, orang tua, rakyat sebuah negara dan sebagainya.

c. Aspek dari individu sendiri. Seperti umur, jenis kelamin, individu mempunyai kecenderungan ciri-ciri yang tidak tahan terhadap tekanan, ancaman, dan mudah cemas.

Menurut Greenberg yang dikutip oleh Hardjana (2002) semakin tua seseorang maka semakin mudah terserang stres, hal ini disebabkan karena semakin tua seseorang maka semakin berkurangnya daya tahan tubuh terhadap tekanan dan beban yang diterimanya.

2. Dukungan Sosial

Menurut Katz dan Kahn yang dikutip oleh Wijono (2010) kehilangan suatu pekerjaan akan menyebabkan individu mengalami stres sehingga menunjukkan kecenderungan munculnya gejala-gejala seperti radang sendi, kenaikan kadar kolesterol, dan kepala terasa nyeri. Walaupun demikian, situasi seperti ini perlu dinetralisir melalui salah satu cara yaitu menggunakan sistem dukungan sosial.

(38)

Dukungan sosial merupakan salah satu cara komunikasi yang positif karena berisi tentang perasaan suka, keyakinan, penghargaan, penerimaan diri dan kepercayaan diri seorang terhadap kepentingan orang lain.

3. Locus of Control

Konsep ini didasarkan pada teori pembelajaran sosial bahwa individu belajar dari lingkungan melalui pembuatan model dan pengalaman lampau. Ketika individu yang ber-locus of control internal menghadapi stres potensial, mereka sebelumnya akan mempelajari terlebih dahulu peristiwa-peristiwa yang dianggap mengancam dirinya, kemudian ia bersikap tertentu secara rasional dalam menghadapi stres kerja tersebut. Sebaliknya, individu yang ber-locus of control eksternal menganggap bahwa segala peristiwa yang ada dalam lingkungan kerja di sekitarnya sangat mempengaruhi dirinya.

4. Kepribadian

Setiap individu mempunyai ciri-ciri kepribadian yang berbeda satu dengan lainnya. Secara umum kepribadian individu digolongkan ke dalam dua sifat, yaitu introvert dan ekstrovert. Individu yang mempunyai sifat introvert akan cenderung

mengalami stres bila dihadapkan pada persoalan-persoalan yang membuat dirinya terancam atau tertekan dalam kaitannya dengan hubungan antarmanusia dibandingkan dengan individu yang mempunyai ciri-ciri kepribadian ekstrovert.

5. Harga Diri

Menurut Tosi yang dikutip oleh Wijono (2010) harga diri setiap individu berbeda, terutama dalam menghadapi stres di lingkungannya. Harga diri merupakan cara penerimaan seseorang dan usaha untuk melakukan evaluasi

(39)

terhadap diri sendiri atau disebut sebagai konsep diri. Jika seseorang memiliki konsep diri positif, maka ia mempunyai harga diri yang tinggi sehingga ia dapat mengembangkan diri dalam menghadapi kondisi, situasi atau peristiwa yang mengganggu, menekan atau mengancam dirinya, akibatnya ia akan mengalami stres kerja yang rendah. Sebaliknya, jika ia mempunyai harga diri yang rendah dalam menghadapi kondisi, situasi atau peristiwa yang mengganggu, menekan atau mengancam dalam pekerjaannya, maka ia akan mengalami stres kerja yang tinggi karena rasa percaya dirinya rendah.

6. Fleksibilitas/Kaku

Orang yang mempunyai kecenderungan yang fleksibel adalah orang yang dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan atau tekanan-tekanan karena lebih baik dalam melakukan kerja sama dengan orang lain dibandingkan dengan orang yang kaku.

Orang yang mudah menyesuaikan diri secara fleksibel terhadap tuntutan-tuntutan dalam situasi tertentu dan menunjukkan prestasi yang baik, maka ia dapat mengurangi tekanan-tekanan karena dirinya dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Sebaliknya, orang yang kaku adalah orang yang menunjukkan sikap tertutup, berorientasi pada dogma-dogma yang sifatnya umum, cenderung ingin kelihatan rapi, tidak toleran dan senang mengkritik orang lain dan mudah mengalami tekanan-tekanan atau stres dalam pekerjaannya.

7. Kemampuan

Kemampuan merupakan salah satu aspek yang dapat memengaruhi respons- respons individu terhadap kondisi, situasi, atau peristiwa yang menimbulkan

(40)

stres. Individu yang mempunyai kemampuan tinggi cenderung mempunyai pengendalian stres daripada individu yang mempunyai kemampuan rendah dalam menghadapi stres.

Ada tiga alasan yang mengatakan bahwa individu yang mempunyai kemampuan tinggi lebih baik dalam menghadapi stres:

a. Dengan kemampuan yang lebih tinggi dari orang lain, memungkinkan ia dapat mengerjakan tugas-tugasnya yang sarat dengan peran secara kuantitatif maupun kualitatif.

b. Orang yang mempunyai kemampuan yang tinggi ada kecenderungan mengetahui batas akhir kemampuannya untuk melaksanakan tugas-tugasnya.

c. Orang yang mempunyai kemampuan tinggi dalam pekerjaannya cenderung mempunyai pengendalian diri yang lebih terhadap kondisi, situasi atau peristiwa yang menimbulkan stres kerja dibandingkan dengan orang yang mempunyai kemampuan yang lebih rendah dalam member respons terhadap stres kerja.

2.1.4 Pengaruh Stres Kerja

Berdasarkan Tarwaka (2015) reaksi tubuh terhadap stressor pada seseorang sangat bervariasi dan berbeda dari masing-masing orang yang menerimanya. Perbedaan reaksi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

(41)

1. Reaksi Psikologis

Stres biasanya merupakan perasaan subjektif seseorang sebagai bentuk kelelahan, kegelisahan dan depresi. Reaksi psikologis akibat stres dapat dievaluasi dalam bentuk beban mental, kelelahan dan perilaku.

2. Respon Sosial

Setelah beberapa lama mengalami kegelisahan, depresi, konflik dan stres di tempat kerja, maka pengaruhnya akan dibawa ke dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial.

3. Respon Stres Kepada Gangguan Kesehatan atau Reaksi Fisiologis

Bila tubuh mengalami stres, maka akan terjadi perubahan fisiologis sebagai jawaban atas terjadinya stres. Adapun sistem di dalam tubuh yang mengadakan respon adalah diperantarai oleh saraf otonom, hypothalamic-pituitari axis dan pengeluaran katekolamin yang akan mempengaruhi fungsi-fungsi organ di dalam tubuh seperti sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal dan gangguan penyakit lainnya.

4. Respon Individu

Dalam menghadapi stres, individu dengan kepribadian introvert akan bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian ekstrovert.

Sedangkan pengaruh stres di tempat kerja dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

(42)

1. Pengaruhnya terhadap individu seseorang a. Reaksi Emosional

Dalam keadaan stres tingkat emosi seseorang sangat tidak stabil dimana sering kita lihat orang tersebut mudah marah, emosi yang tidak terkontrol, curiga yang berlebihan perasaan tidak aman, depresi, iritabilitas, dan lain-lain.

b. Reaksi Perubahan Kebiasaan atau Mental

Dalam kedaan stres atau tertekan seseorang dengan tanpa sadar mencari pelarian dari permasalahan yang diterima yang terkadang mempengaruhi kebiasaan seseorang. Sebagai contoh: perubahan kebiasaan untuk merokok, minum-minuman keras dan peggunaan obat-obatan terlarang. Pengaruh terhadap mental atau kejiwaan: gangguan persepsi, konsentrasi, motivasi, akurasi dan kreativitas.

c. Perubahan Fisiologis

Dalam keadaan stres, otot-otot kepala dan leher menjadi tegang yang menyebabkan sistem imunitas melemah, sakit kepala, susah tidur, perasaan lelah, gangguan selera makan, gangguan kardiovaskuler, dan lain-lain.

2. Pengaruhnya Terhadap Organisasi

Pengaruh yang dapat timbul akibat stres pada organisasi yaitu, tingginya angka tidak masuk kerja, hubungan kerja menjadi tegang dan rendahnya kualitas pekerjaan. Keadaan tersebut akan dapat mengganggu performansi kerja dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan kerja, menurunkan produktivitas kerja, dan menyebabkan biaya kompensasi pekerja meningkat.

(43)

2.1.5 Manajemen Stres Kerja

Timbulnya stres dalam pekerjaan dapat dicegah dan dapat dihadapi tanpa memperoleh dampak yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni belajar menanggulanginya secara adaptif dan efektif, hal ini sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh.

Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja (Baden, 2012).

Berdasarkan sudut pandang organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres yang ringan. Karena pada tingkat stres tertentu akan memberikan akibat positif, hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik. Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau ringan yang berkepanjangan akan membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk memberikan tugas yang menyertakan stres ringan bagi karyawan untuk memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan sebagai tekanan oleh karyawan, maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu

(44)

pendekatan individu dan pendekatan organisasi. Seorang karyawan dapat mengurangi level stresnya dengan cara pendekatan individual.

Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu: pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi stres yang dihadapi pekerja perlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai, sebagai strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan mengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.

Pendekatan organisasional dapat dilihat bahwa beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Strategi- strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengatasi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental (Baden, 2012).

(45)

2.2 Shift kerja (kerja gilir)

2.2.1 Pengertian Shift kerja (kerja gilir)

Menurut Firdaus (2005) yang mengutip pendapat Munchinsky, sistem shift adalah suatu sistem pengaturan kerja yang memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan. Sistem shift digunakan sebagai suatu cara yang paling mungkin untuk memenuhi tuntutan akan kecenderungan meningkatnya permintaan barang-barang produksi. Sistem ini dipandang akan mampu meningkat produktivitas suatu perusahaan yang menggunakannya.

Shift kerja (kerja gilir) merupakan pola waktu kerja yang diberikan kepada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu oleh perusahaan dan biasanya dibagi kepada kerja pagi, sore dan malam. Proporsi kerja shift semakin meningkat dari tahun ke tahun, ini disebabkan oleh investasi yang dikeluarkan untuk pembelian mesin - mesin yang mengharuskan penggunaanya secara terus-menerus siang dan malam untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibatnya pekerja juga harus bekerja siang dan malam. Hal ini menimbulkan banyak masalah terutama bagi tenaga kerja yang tidak atau kurang dapat menyesuaikan diri dengan jam yang tidak lazim (Suma‟mur, 2014).

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa shift kerja (kerja gilir) merupakan suatu sistem pengaturan waktu kerja yang memanfaatkan keseluruhan waktu, yaitu dengan cara bergantian antara satu kelompok kerja dengan yang lain, sehingga kegiatan operasional perusahaan dapat berjalan secara kontinyu, dengan tujuan untuk meningkatkan hasil produksi.

(46)

2.2.2 Sistem Shift kerja (kerja gilir)

Sistem shift kerja (kerja gilir) dapat berbeda antar instansi atau perusahaan, walaupun biasanya menggunakan tiga shift setiap hari dengan delapan jam kerja setiap shift. Menurut William yang dikutip oleh Sri Rahmayuli dalam Firdaus (2005) dikenal dua macam sistem shift kerja (kerja gilir) yang terdiri dari:

1. Shift permanen

Tenaga kerja bekerja pada shift yang tetap setiap harinya. Tenaga kerja yang bekerja pada shift malam yang tetap adalah orang-orang yang bersedia bekerja pada malam hari dan tidur pada siang hari.

2. Sistem Rotasi

Tenaga kerja bekerja tidak terus menerus di tempatkan pada shift yang tetap.

Shift rotasi adalah shift yang paling mengganggu terhadap irama circadian rhythm dibandingkan dengan shift permanen bila berlangsung dalam jangka

waktu panjang.

Berdasarkan International Labour Office (1983) adalah 8 jam / shift.

Biasanya, terdapat 3 pembagian shift kerja (kerja gilir) dalam sehari (Yulinda,2015) yakni:

a) Shift pagi : pukul 07.00 – 15.00 b) Shift sore : pukul 15.00 – 23.00 c) Shift malam : pukul 23.00 – 07.00

(47)

Menurut Winarsunu (2008) mengkategorikan tiga tipe sistem shift kerja (kerja gilir), yaitu:

1. Sistem shift permanen

Setiap individu bekerja hanya pada satu bagian dari 3 shift kerja (kerja gilir) setiap 8 jam.

2. Sistem rotasi shift cepat

Tenaga kerja secara bergilir bekerja dengan periode rotasi kerja 2-3 hari.

Sistem shift ini lebih banyak disukai karena dapat mengurangi kebosanan kerja, kerugiannya menyebabkan kinerja shift malam dan waktu tidur terganggu sehingga diperlukan 2-3 hari libur setelah kerja malam.

Berdasarkan faktor sosial dan fisiologis diusulkan sistem rotasi shift cepat, yaitu sistem 2-2-2 dan 2-2-3 yang disebut sistem Metropolitan dan Continental. Sistem rotasi shift 2-2-2 yaitu rotasi shift kerja (kerja gilir)

pagi, siang dan malam dilaksanakan masing-masing 2 hari, dan pada akhir periode shift kerja (kerja gilir) malam di beri libur 2 hari dan kembali lagi ke siklus shift kerja (kerja gilir) semula. Sistem rotasi 2-2-3 yaitu rotasi shift kerja (kerja gilir) dimana salah satu shift dilaksanakan 3 hari bergiliran setiap periode shift dan dua shift lainnya dilaksanakan masing-masing 2 hari. Pada akhir periode shift kerja (kerja gilir) diberi libur 2 hari.

3. Sistem rotasi shift lambat, merupakan kombinasi antara sistem shift permanen dan sistem rotasi shift cepat. Rotasi shift kerja (kerja gilir)

(48)

dapat berbentuk mingguan, atau bulanan. Sistem ini menyebabkan circadian rhythm.

Rotasi shiftsetiap minggu biasanya tidak direkomendasikan atau sebaiknya dihindari oleh karena circadian rhythm akan berubah. Menurut International Labour Organization (2012) yang dikutip oleh Yulinda

(2015) sistem shift kerja (kerja gilir)terbagi 2 yaitu :

1) Sistem 3 shift 4 kelompok (sistem 4x8 hours continous shift work), artinya 3 kelompok shift bekerja setiap 8 jam sedang 1 kelompok lagi istirahat. Sistem shift ini digunakan untuk aktivitas produksi terus menerus dan tidak ada hari libur.

2) Sistem 3 shift kelompok (3x8 hours semi continuous shift work), artinya kelompok shift bekerja setiap 8 jam dan pada akhir minggu libur. Rotasi shift kerja (kerja gilir) 5 hari.

2.2.3 Dampak shift kerja (kerja gilir)

Menurut Nurmianto (2000) mengutip pendapat Knauth, Variabel utama manusia yang berkaitan dengan kerja shift adalah circadian rhythms. Kebanyakan fungsi tubuh manusia berjalan secara ritmik dalam siklus 24 jam. Inilah yang disebut circadian rhythm (irama sirkadian). Fungsi-fungsi tubuh yang meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari termasuk temperatur tubuh, detak jantung, tekanan darah, kemampuan mental, produksi adrenalin dan kemampuan fisik. Secara umum semua fungsi tubuh berada dalam keadaan siap digunakan pada siang hari, sedangkan pada malam hari adalah waktu untuk istirahat dan

(49)

pemulihan sumber daya (energy). Semua fungsi manusia yang telah dipelajari menunjukkan siklus harian yang teratur.

Menurut Hasibuan (2013) yang mengutip pendapat Pulat, kerja shift malam akan berdampak pada respon fisiologis, efek sosial, dan efek penampilan.

1. Efek Fisiologis

Berdasarkan pendapat Attwood dan DanzReece (2004), Beberapa efek kerja shift terhadap tubuh yaitu:

a) Mempengaruhi kualitas tidur. Tidur siang tidaklah seefektif pada malam hari, karena terdapat banyak gangguan. Biasanya memakan waktu dua hari istirahat untuk menggantikan waktu tidur malam akibat kerja shift malam.

b) Kurangnya kemampuan fisik untuk bekerja pada malam hari. Walaupun masalah penyesuaian sirkadian merupakan alasan yang utama, ada alasan yaitu perasaan mengantuk dan lelah.

c) Gangguan kegelisahan juga telah dilaporkan di antara pekerja shift malam.

Kehilangan waktu tidur dan efek sosial dari kerja shift juga merupakan alasan utama.

2. Efek Sosial

Sebagai tambahan kerja shift juga mempengaruhi kehidupan sosial:

a. Mengganggu kehidupan keluarga

b. Sedikitnya kesempatan untuk berinteraksi dengan kerabat dan rekan c. Mengganggu aktivitas kelompok

(50)

3. Efek Perfomansi

Menurut Pulat (2002) dalam Wyatt dan Mariot, mengkonfirmasikan bahwa sebagai akibat dari efek fisiologis dan sosial, perfomansi (penampilan) juga akan menurun pada malam hari. Ditemukan juga bahwa kelambatan atau penundaan menjawab panggilan telepon pada operator telepon meningkat secara drastis pada shift malam, kesalahan yang lebih tinggi secara bermakna dilakukan oleh pembaca meteran di perusahaan gas pada waktu shift malam dari pada shift lainnya.

Penasehat medis perusahaan telah mencatat banyaknya kasus gangguan tidur siang di antara pekerja malam. Gangguan pada tidur siang ini dihubungkan dengan kebisingan, akan tetapi kebanyakan pekerja malam menyatakan mereka merasakan kegelisahan selama siang hari dan tidur siang mereka tidak cukup menyegarkan (Grandjean dalam Sudana, 2009).

Dalam referensi lain Suma‟mur (2014) mengatakan sehubungan dengan kerja malam dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Irama faal manusia sedikit atau banyak terganggu oleh sistem kerja malam-tidur siang. Fungsi-fungsi fisiologis tenaga kerja tidak dapat disesuaikan sepenuhnya dengan irama kerja demikian.

2. Demikian pula metabolisme tubuh tidak sepenuhnya dapat, bahkan banyak yang sama sekali tidak dapat diadaptasikan dengan kerja malam - tidur siang.

3. Jumlah jam kerja yang dipakai untuk tidur bagi pekerja malam pada siang hari seperti kebisingan, suhu, keadaan terang, dan lain-lain dan oleh karena

(51)

kebutuhan badan yang tidak dapat diubah seluruhnya menurut kebutuhan yaitu terbangun oleh dorongan lapar atau buang air kecil yang relatif banyak pada siang hari juga aktivitas dalam keluarga atau masyarakat menjadi penyebab kurangnya tidur pada siang hari padahal sangat penting artinya bagi tenaga kerja yang bekerja malam hari.

4. Selain soal biologis dan faal, kerja malam seringkali disertai reaksi psikologis sebagai suatu mekanisme pertahanan bagi perlindungan diri terhadap gangguan tubuh akibat ketidakserasian badan kepada pekerjaan malam. Akibat dari itu, keluhan atau ketidakpuasan akan ditemukan relatif banyak pada kerja malam (Suma‟mur, 2014).

Fish dalam Firdaus (2005) mengatakan bahwa efek shift kerja (kerja gilir) yang dapat dirasakan tenaga kerja yaitu :

1) Efek Fisiologis

Efek fisiologis memiliki pengaruh terhadap :

a) Kualitas tidur yang terganggu. Tidur siang tidak seefektif tidur malam, banyak gangguan dan biasanya diperlukan waktu istirahat untuk menebus kurang tidur selama kerja malam.

b) Menurunnya kapasitas kerja fisik kerja akibat timbulnya perasaan mengantuk dan lelah.

c) Menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan.

2) Efek Psikososial

Efek menunjukkan masalah lebih besar dari efek fisiologis, antara lain adanya gangguan kehidupan keluarga, hilangnya waktu luang, kecil

(52)

kesempatan untuk berinteraksi dengan teman, dan mengganggu aktivitas kelompok dalam masyarakat. Demikian pula adanya pandangan di suatu daerah yang tidak membenarkan pekerja wanita bekerja pada malam hari, mengakibatkan tersisih dari masyarakat.

3) Efek Kinerja

Kinerja menurun selama kerja shift malam yang diakibatkan oleh efek fisiologis dan efek psikososial. Menurunnya kinerja dapat mengakibatkan kemampuan mental menurun berpengaruh terhadap perilaku kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas kontrol dan pemantau.

4) Efek terhadap Kesehatan.

Efek shift kerja (kerja gilir) menyebabkan gangguan gastrointestinal berupa dyspepsia atau ulcus ventriculi dimana masalah ini kritis pada umur 40-45 tahun. Sistem shift kerja (kerja gilir) dapat menjadi masalah keseimbangan kadar gula dalam darah dengan insulin bagi penderita diabetes.

5) Efek terhadap Keselamatan Kerja

Survey pengaruh shift kerja (kerja gilir) terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Smith et. al, melaporkan bahwa frekuensi kecelakaan paling tinggi terjadi pada akhir rotasi shift kerja (kerja gilir) malam, dengan rata-rata jumlah kecelakaan 0,69% per tenaga kerja. Tetapi tidak semua penelitian menyebutkan bahwa kenaikan tingkat kecelakaan industri terjadi pada shift malam. Terdapat suatu kenyataan

Gambar

Gambar 2. Ruang rawat Inap Bagian ICU Rumah Sakit Santa Elisabeth  Medan
Gambar 3. Wawancara dengan Perawat Bagian ICU Rumah Sakit Santa  Elisabeth Medan
Gambar 5. Wawancara dengan Perawat Bagian ICU Rumah Sakit Santa  Elisabeth Medan
Gambar 7. Wawancara dengan Perawat Bagian ICU Rumah Sakit Santa  Elisabeth Medan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR BERSIH DAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT PADA PILAR PERTAMA

Berdasarkan hasil penelitian yang menyebabkan responden tidak memanfaatkan puskesmas yaitu masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang tata cara dan hak pelayanan

tentang pacaran dengan sikap terhadap kekerasan dalam pacaran dapat disimpulkan bahwa siswi yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap mitos – mitos tentang

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang

Hal tersebut disebabkan karena kebudayaan makan masyarakat minahasa, pada masyarakat desa Tandengan Satu makanan berlemak yang paling banyak dikonsumsi yaitu daging

Perlindungan tangan Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian

Kinerja guru merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian guru dan pihak terkait, guru harus memiliki kinerja yang baik, baik buruknya kinerja guru

Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh kemampuan berpikir logika mahasiswa yang diajar menggunakan pendekatan SEA dibandingkan