28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
1. Karakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar serta menentukan lamanya waktu evaporasi susu kambing. Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat fisik pada susu kambing segar adalah berat jenis, berat kering, berat kering tanpa lemak, dan pH. Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar
Parameter Fisik Sampel Literatur Jurnal SNI
3)Berat jenis susu 1,030±0,001 1,028 -1,030
1)Minimal 1,028
Bahan kering (%bb) 15,42±0,29 13,57
2)-
Bahan kering tanpa
lemak (%bb) 9,70±0,10 8,37 – 10,45
3)Minimal 8,0
pH 6,78±0,04 6,7 – 6,9
1)-
Keterangan :
1) Kambing peranakan etawah (Sukarini, 2006) 2) Kambing granadina (Ceballos et al., 2008) 3) Kambing saanen dan toggenberg (Lytghoe, 1940) 4) Susu segar (BSN, 1998b)
Berat jenis susu kambing yang didapatkan dari pengukuran adalah sebesar 1,030 (Lampiran 1). Berat jenis yang sama juga didapatkan dalam penelitian Sukarini (2006) dan berada di atas jumlah berat jenis yang terdapat dalam SNI yaitu sebesar 1,028 (Tabel 4). Berat jenis menunjukkan perbandingan relatif antara massa jenis susu dengan massa jenis air murni. Berat jenis susu dapat mengalami perubahan dari saat pemerahannya karena adanya penggumpalan lemak, gas-gas yang keluar dari air susu, dan perubahan-perubahan protein (Ressang dan Nasution, 1986).
Susu mengandung banyak air yakni 7/8 beratnya terdiri dari air, 1/8
terdiri dari bahan kering. Bahan kering memiliki kaitan erat dengan kadar
29 lemak dan berat jenis. Susu yang memiliki kadar bahan kering yang tinggi umumnya juga memiliki kadar lemak dan berat jenis yang tinggi pula (Ressang dan Nasution, 1986). Bahan kering dan bahan kering tanpa lemak yang didapat pada penelitian ini merupakan hasil perhitungan dengan Rumus Fleischmann (BSN, 1998a) masing-masing nilainya sebesar 15,42 % dan 9,70 % (Lampiran 2; Lampiran 3). Bahan kering menunjukkan nilai di atas nilai yang didapatkan oleh Ceballos et al. (2008) pada Tabel 4. Bahan kering tanpa lemaknya sesuai nilai yang didapatkan Lythgoe (1940), namun berada di atas nilai minimum yang ditetapkan di dalam SNI (Tabel 4). Hal ini juga sebagai bukti keterkaitan antara bahan kering tanpa lemak dan berat jenis karena keduanya memiliki nilai di atas nilai minimum SNI. Nilai pH yang didapatkan dari sampel sebesar 6,78 (Lampiran 4). Angka ini sesuai dengan rentang pH yang didapatkan oleh Sukarini (2006) yaitu antara 6,7 – 6,9 (Tabel 4). Sementara SNI tidak memberikan batasan pH tertentu untuk susu segar.
Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat kimia susu kambing adalah kadar laktosa, kadar lemak, kadar protein, kadar air, kadar abu, total asam tertitrasi (TAT). Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis sifat kimia susu kambing segar
Parameter Kimia Sampel Literatur Jurnal SNI
4)Kadar laktosa (%bb) 7,48±0,25 4,11
1)-
Kadar lemak (%bb) 5,7±0,4 5,23
1)3,44 – 4,86
2)Minimal 3,0 Kadar protein (%bb) 2,78±0,21 2,93 – 3,65
2)Minimal 2,7
Kadar abu (%bb) 0,79±0,02 0,75
1)-
TAT (asam laktat) (%bb) 0,46±0,06 1.35
3)- Keterangan :
1) Kambing granadina (Ceballos et al., 2008)
2) Kambing peranakan etawah (Sukarini, 2006)
3) Tidak disebutkan jenisnya (Imran et al., 2008)
4) Susu segar (BSN, 1998b)
30 Dibandingkan literatur, kadar laktosa yang didapatkan dari hasil analisis sampel menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 7,48 % (bb) (Lampiran 5). Hal ini mungkin disebabkan dua hal yaitu perbedaan metode analisis terhadap kadar laktosa dan jenis kambing yang berbeda. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode cepat yang dikembangkan Teles (1978), sementara Ceballos et al. (2008) menggunakan metode by difference (Tabel 5). Sedangkan, SNI tidak mensyaratkan angka tertentu untuk kadar laktosa.
Lemak yang didapatkan dari hasil analisis sampel memiliki kadar 5,7
% (bb) (Lampiran 6). Ceballos et al. (2008) mendapatkan kadar lemak mendekati hasil analisis, yakni sebesar 5,23 %. Sementara Sukarini (2006) mendapatkan rentang nilai di bawah hasil analisis kadar lemak dalam penelitian ini (untuk jenis kambing yang sama) yaitu 3,44 – 4,86 (Tabel 5).
Hal ini diduga akibat jenis pakan yang dikonsumsi berbeda. Menurut Ressang dan Nasution (1986) kadar lemak ini sangat berarti dalam penentuan nilai gizi susu. Lemak ini ditemukan di dalam air susu sebagai emulsi.
Hasil analisis kadar protein yang terkandung dalam sampel adalah sebesar 2,78 % (bb) (Lampiran 7). Dibandingkan dengan SNI nilai ini sangat dekat dengan nilai minimum yang disyaratkan yaitu 2,7 % (Tabel 5). Sukarini (2006) mendapatkan rentang nilai di atas nilai kadar protein yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 2,93 – 3,65 % (Tabel 5).
Kadar abu hasil analisis menunjukkan hasil sebesar 0,79 % (bb)
(Lampiran 8). Hasil ini hanya berbeda 0,04 % dari hasil penelitian
Ceballos et al. (2008) yaitu sebesar 0,75 % (Tabel 5). Kadar abu
menunjukkan kandungan mineral total yang terdapat dalam susu kambing
segar. Hasil analisis total asam tertitrasi pada susu segar dinyatakan dalam
persen asam laktat. Total asam tertitrasi yang didapatkan pada susu
kambing segar adalah sebesar 0,46% (bb) (Lampiran 9). Nilai ini lebih
rendah jika dibandingkan yang didapatkan oleh Imran et al. (2008) untuk
susu kambing yaitu 1.35 % (Tabel 5). Asam laktat pada susu umumnya
31 akan meningkat dengan adanya perombakan laktosa oleh mikroorganisme untuk kebutuhan pemenuhan nutriennya (Robinson, 1999).
Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat mikrobiologi susu kambing adalah angka lempeng total (ALT) dan total koliform. Adapun hasil analisis ALT dan total koliform pada sampel susu kambing segar terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Sifat mikrobiologi susu kambing
Parameter Mikrobiologi Jumlah SNI
1)Angka lempeng total 1,6 x 10
4cfu/ml Maksimum 10
6cfu/ml Total koliform 1,3 x 10
3cfu/ml 20 cfu/ml Keterangan : 1) Susu segar (BSN, 1998b)
Analisis angka lempeng total menunjukkan jumlah keseluruhan bakteri yang terdapat dalam susu segar. Nilai yang didapatkan sebesar 1,6 x 10
4cfu/ml (Lampiran 10). Nilai ini lebih rendah dari persyaratan maksimum yang ditetapkan SNI (Tabel 6). Sementara uji terhadap total koliform menunjukkan nilai yang jauh lebih tinggi dari syarat maksimum SNI (Tabel 6) mencapai 1,3 x 10
3cfu/ml (Lampiran 11). Hal ini terjadi diduga akibat higienitas yang kurang baik dan cemaran koliform yang telah ada dalam air yang digunakan untuk keperluan di peternakan. Menurut Walstra (1999) pengukuran higienitas yang dilakukan selama dan setelah pemerahan penting untuk menentukan mikroorganisme apa yang mencemari susu termasuk yang patogen bagi manusia. Cemaran koliform dapat berasal dari hewan, tanah, kotoran, debu, pakan, alat perahan, air yang digunakan, dan pemerahnya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa berdasarkan parameter fisik,
kimia, dan mikrobiologi pada susu kambing segar jika dibandingkan
dengan syarat mutu susu segar menurut SNI (BSN, 1998b) maka dapat
disimpulkan bahwa susu kambing segar yang diperoleh telah memenuhi
syarat mutu susu segar kecuali untuk parameter total koliform.
32 2. Penentuan lamanya waktu evaporasi
Penentuan lamanya waktu evaporasi didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan Pratiwi (2005) bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai total padatan total sebesar 36% adalah 20 menit pada suhu 50
0C.
Namun, tidak disebutkan berapa volume sampel yang digunakan untuk percobaan penentuan waktu evaporasi sehingga percobaan dilakukan dengan metode trial and error, dimulai dengan lama waktu evaporasi 20 menit sampai didapatkan padatan total yang diharapkan. Pada tahap awal dilangsungkan selama 40 menit dengan pengambilan contoh per 10 menit.
Adapun hasil percobaan terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Waktu dan persen padatan total dalam penentuan lama waktu evaporasi
Waktu (menit) Total padatan (%)
0 11
20 13
30 16
40 19
Hasil percobaan awal menunjukkan bahwa sampai waktu evaporasi 40 menit pada suhu 50
0C didapatkan padatan total 19 % (Tabel 7). Namun ini belum mencapai padatan total yang diharapkan menurut Juliawati (1999) yaitu antara 30 – 50 %. Oleh karena itu selanjutnya digunakan metode yang didasarkan pada besarnya volume uap air yang terkondensasi dalam tabung penampung air pada evaporator. Kondensat yang harus tertampung dalam tabung penampung air diperkirakan 3,8 liter untuk menghasilkan padatan total mencapai 30 % dari 6000 ml susu kambing.
Hal ini didasarkan pada padatan total awal 11%. Namun dalam proses
penanganan kemudian, susu yang benar-benar dapat dimasukkan dalam
evaporator adalah sebesar 5690 ml, sehingga total air tertampung yang
diharapkan adalah sebesar 3,6 liter. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
33 untuk mencapai 3,6 liter kondensat dengan padatan total 30% dibutuhkan waktu 51 menit seperti terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Interval waktu jalannya mesin dan jumlah air yang tertampung di tabung penampung kondensat
Interval waktu (menit ke-) Kondensat (ml)
0 - 23 2500
28 – 38 400
41 – 51 500
54 – 72 200
`
Kondisi optimasi yang diperoleh belumlah ideal karena mesin evaporator diberhentikan selama 4 kali untuk melihat perkembangan air yang tertampung. Oleh karena itu pada proses optimasi akhir, waktu yang digunakan adalah 60 menit. Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa untuk mencapai total padatan 30 % dengan jumlah sampel sebelumnya sebesar 5690 ml dibutuhkan waktu 51 menit sehingga dengan jumlah sampel 6000 ml untuk mencapai total padatan 30% tentunya dibutuhkan waktu lebih lama. Berdasarkan data pada Tabel 8, untuk menguapkan 400 ml dibutuhkan waktu sekitar 10 menit sehingga perkiraan yang mungkin untuk 6000 ml adalah ±60 menit.
Setelah dilakukan percobaan ulang dengan sampel 6000 ml pada suhu
50
0C dan waktu 60 menit didapatkan kondensat yang tertampung hanya
sebesar 3.3 liter. Jumlah tersebut di bawah volume percobaan sebelumnya,
sehingga karena alasan inilah kemudian ditambahkan waktu evaporasi
selama 20 menit untuk mencapai kondensat total yang diharapkan yaitu
3,8 liter. Hasil akhir menunjukkan bahwa dengan total waktu 80 menit,
total padatan yang didapatkan adalah 45 %. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan Juliawati (1999).
34 B. PENELITIAN UTAMA
1. Tahap I
Penelitian utama tahap I diawali dengan pembuatan produk susu kambing bubuk dari sampel yang sama, melalui proses pasteurisasi (63-65
0
C, 30 menit) kemudian evaporasi, homogenisasi dan pengeringan dengan pengering semprot dengan pengaturan suhu inlet 180
0C dan suhu outlet yaitu 80, 90, dan 100
0C. Pengering semprot yang digunakan adalah jenis pengering semprot simple vertical downward co-current with straight line flow dimana aliran udara searah dengan aliran bahan. Efek yang dihasilkan dari suhu outlet-nya akan berbeda jika digunakan pengering semprot jenis lainnya. Susu kambing bubuk yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan kelarutan, pH, TAT, dan warna. Hasil analisis dipilih yang terbaik dan dikarakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologinya.
a. Kelarutan, TAT, dan pH
Kelarutan adalah suatu ukuran dari kondisi akhir dimana unsur pokok
dari bubuk dapat dibawa dalam larutan atau suspensi yang stabil (Fox,
1992). Nilai yang didapatkan dari hasil analisis kelarutan pada pengaturan
suhu outlet 80, 90, dan 100
0C masing-masing sebesar 75,43 %, 84,63%,
dan 75,08% (Lampiran 12). Kelarutan paling tinggi yang didapat dalam
penelitian ini adalah pada pengeringan dengan suhu outlet 90
0C yaitu
sebesar 84,63 % (Gambar 5). Berdasarkan hasil uji ragam ternyata nilai
P<0,05 sehingga H
0ditolak atau dengan kata lain ada pengaruh nyata dari
suhu outlet terhadap kelarutan susu kambing bubuk yang dihasilkan
(Lampiran 16). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan maka diketahui bahwa
kelarutan yang dihasilkan pada pengeringan dengan suhu 90
0C berbeda
nyata dengan suhu outlet 80
0C dan 100
0C (Lampiran 16). Kelarutan yang
terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet
80
0C dan 100
0C keduanya tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05
(Lampiran 16) .
35
Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Gambar 5. Kelarutan susu kambing bubuk hasil pengeringan
Kelarutan merupakan parameter fisik utama yang dijadikan penentu dalam pemilihan susu kambing bubuk terbaik dalam penelitian. Hal ini karena suhu outlet sangat berpengaruh pada kelarutan. Menurut Varnam (1994) tingginya suhu outlet akan mengurangi kadar air, mengurangi kelarutan, dan meningkatkan lemak bebas.. Menurut Walstra (1999) suhu outlet 100
0C memiliki kelarutan rendah karena adanya fraksi dari protein yang menyumbangkan ketidaklarutan jika suhu pengeringan terlalu tinggi pada kadar air yang rendah, sedangkan Robinson (1999) menyatakan bahwa pada suhu outlet 100
0C dan diatasnya maka kelarutan susu bubuk akan sangat rendah. Rendahnya kelarutan susu bubuk disebabkan oleh tingginya tingkat denaturasi protein khususnya kasein.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan kecuali pada pengeringan dengan suhu outlet 80
0C. Pengeringan dengan suhu outlet tersebut kondisi kelarutannya tidak berbeda nyata dengan kondisi kelarutan pada pengeringan dengan suhu 100
0C. Hal ini diduga karena ada faktor lain yang turut mempengaruhi kondisi ini.
Terdapat dua parameter dalam penelitian yang dapat menjawab kondisi tersebut di atas yaitu parameter total asam tertitrasi yang dinyatakan dalam persen asam laktat dan nilai pH. Robinson (1999) menyatakan bahwa
75,43
a84,63
b75,08
a70.00 72.00 74.00 76.00 78.00 80.00 82.00 84.00 86.00
80 90 100
% k elarutan
Suhu Outlet
36 peningkatan keasaman akan menyebabkan kerusakan serius pada produk akhir susu bubuk. Akibatnya, tidak hanya nilai TAT yang melebihi tingkat yang diijinkan, tetapi juga kelarutannya. Tingginya kandungan asam laktat akan menyebabkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen sehingga kondisi tersebut menyebabkan masalah pada stabilitas protein selama proses.
Gambar 6 menunjukkan bahwa kadar asam laktat pengeringan dengan suhu outlet 80
0C memiliki persentase paling tinggi, yaitu 0,19 %.
Sementara, susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 dan 100
0C didapatkan kadar asam laktat masing-masing 0,14% dan 0,16%
(Lampiran 13). Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H
0ditolak atau dengan kata lain terdapat paling tidak satu kadar asam laktat yang berbeda nyata (Lampiran 17). Hasil uji lanjutan Duncan menunjukkan bahwa kadar asam laktat pada pengeringan dengan suhu outlet 80
0C berbeda nyata (P<0,05) dengan persentase asam laktat yang terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90
0C dan 100
0C (Lampiran 17).
Kadar asam laktat yang terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 80
0C melebihi batas maksimum pada dua standar susu bubuk yaitu U.S. Extra Grade dan U.S. Standard Grade (USDA, 2001) masing-masing maksimum 0,15 dan 0,17. Susu kambing bubuk yang dikeringkan dengan suhu outlet 100
0C memiliki kadar asam laktat di bawah U.S. Standard Grade namun masih di bawah batas maksimum U.S. Extra Grade. Sementara susu kambing yang dikeringkan dengan suhu outlet 90
0C memiliki kadar asam laktat di bawah batas maksimum baik U.S. Extra Grade maupun U.S. Standard Grade.
Walaupun sebenarnya berdasarkan hasil uji lanjut Duncan antara suhu
outlet 90
0C dan 100
0C secara statistik keduanya tidak berbeda nyata
dengan nilai P>0,05 (Lampiran 17).
37 Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Gambar 6. Total asam tertitrasi susu kambing bubuk hasil pengeringan
Nilai pH memiliki peran penting dalam kestabilan panas susu selama proses pemanasan. Menurut Fox (1992) kestabilan panas adalah resistensi relatif dari susu untuk terkoagulasi ketika dipanaskan pada suhu sterilisasi.
Varnam (1994) menyatakan kestabilan panas susu sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan penampakan koagulasi pada suhu yang diberikan. Nilai pH yang terendah dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90
0C yaitu 6,84 (Gambar 7). Sementara, susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80
0C dan 100
0C masing-masing sebesar 6,98 dan 6,97 (Lampiran 14). Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H
0ditolak atau dengan kata lain paling tidak terdapat satu nilai pH yang berbeda nyata (Lampiran 18).
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai pH pada suhu outlet 90
0
C berbeda nyata (P<0,05) dengan susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80
0C dan 100
0C. Sementara antara nilai pH pada suhu outlet 80
0C dan 100
0C tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05 (Lampiran 18).
Jika dibandingkan dengan standar nilai pH susu bubuk yang digunakan di Sudan, Argentina, dan Amerika Serikat (Khier et al., 2009) yaitu pada rentang 6,6 – 6,8, maka hanya susu kambing bubuk hasil pengeringan hasil pengeringan 90
0C yang memenuhi standar.
0,19
b0.14
a0.16
a0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25
80 90 100