• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

1. Karakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar serta menentukan lamanya waktu evaporasi susu kambing. Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat fisik pada susu kambing segar adalah berat jenis, berat kering, berat kering tanpa lemak, dan pH. Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar

Parameter Fisik Sampel Literatur Jurnal SNI

3)

Berat jenis susu 1,030±0,001 1,028 -1,030

1)

Minimal 1,028

Bahan kering (%bb) 15,42±0,29 13,57

2)

-

Bahan kering tanpa

lemak (%bb) 9,70±0,10 8,37 – 10,45

3)

Minimal 8,0

pH 6,78±0,04 6,7 – 6,9

1)

-

Keterangan :

1) Kambing peranakan etawah (Sukarini, 2006) 2) Kambing granadina (Ceballos et al., 2008) 3) Kambing saanen dan toggenberg (Lytghoe, 1940) 4) Susu segar (BSN, 1998b)

Berat jenis susu kambing yang didapatkan dari pengukuran adalah sebesar 1,030 (Lampiran 1). Berat jenis yang sama juga didapatkan dalam penelitian Sukarini (2006) dan berada di atas jumlah berat jenis yang terdapat dalam SNI yaitu sebesar 1,028 (Tabel 4). Berat jenis menunjukkan perbandingan relatif antara massa jenis susu dengan massa jenis air murni. Berat jenis susu dapat mengalami perubahan dari saat pemerahannya karena adanya penggumpalan lemak, gas-gas yang keluar dari air susu, dan perubahan-perubahan protein (Ressang dan Nasution, 1986).

Susu mengandung banyak air yakni 7/8 beratnya terdiri dari air, 1/8

terdiri dari bahan kering. Bahan kering memiliki kaitan erat dengan kadar

(2)

29 lemak dan berat jenis. Susu yang memiliki kadar bahan kering yang tinggi umumnya juga memiliki kadar lemak dan berat jenis yang tinggi pula (Ressang dan Nasution, 1986). Bahan kering dan bahan kering tanpa lemak yang didapat pada penelitian ini merupakan hasil perhitungan dengan Rumus Fleischmann (BSN, 1998a) masing-masing nilainya sebesar 15,42 % dan 9,70 % (Lampiran 2; Lampiran 3). Bahan kering menunjukkan nilai di atas nilai yang didapatkan oleh Ceballos et al. (2008) pada Tabel 4. Bahan kering tanpa lemaknya sesuai nilai yang didapatkan Lythgoe (1940), namun berada di atas nilai minimum yang ditetapkan di dalam SNI (Tabel 4). Hal ini juga sebagai bukti keterkaitan antara bahan kering tanpa lemak dan berat jenis karena keduanya memiliki nilai di atas nilai minimum SNI. Nilai pH yang didapatkan dari sampel sebesar 6,78 (Lampiran 4). Angka ini sesuai dengan rentang pH yang didapatkan oleh Sukarini (2006) yaitu antara 6,7 – 6,9 (Tabel 4). Sementara SNI tidak memberikan batasan pH tertentu untuk susu segar.

Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat kimia susu kambing adalah kadar laktosa, kadar lemak, kadar protein, kadar air, kadar abu, total asam tertitrasi (TAT). Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis sifat kimia susu kambing segar

Parameter Kimia Sampel Literatur Jurnal SNI

4)

Kadar laktosa (%bb) 7,48±0,25 4,11

1)

-

Kadar lemak (%bb) 5,7±0,4 5,23

1)

3,44 – 4,86

2)

Minimal 3,0 Kadar protein (%bb) 2,78±0,21 2,93 – 3,65

2)

Minimal 2,7

Kadar abu (%bb) 0,79±0,02 0,75

1)

-

TAT (asam laktat) (%bb) 0,46±0,06 1.35

3)

- Keterangan :

1) Kambing granadina (Ceballos et al., 2008)

2) Kambing peranakan etawah (Sukarini, 2006)

3) Tidak disebutkan jenisnya (Imran et al., 2008)

4) Susu segar (BSN, 1998b)

(3)

30 Dibandingkan literatur, kadar laktosa yang didapatkan dari hasil analisis sampel menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 7,48 % (bb) (Lampiran 5). Hal ini mungkin disebabkan dua hal yaitu perbedaan metode analisis terhadap kadar laktosa dan jenis kambing yang berbeda. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode cepat yang dikembangkan Teles (1978), sementara Ceballos et al. (2008) menggunakan metode by difference (Tabel 5). Sedangkan, SNI tidak mensyaratkan angka tertentu untuk kadar laktosa.

Lemak yang didapatkan dari hasil analisis sampel memiliki kadar 5,7

% (bb) (Lampiran 6). Ceballos et al. (2008) mendapatkan kadar lemak mendekati hasil analisis, yakni sebesar 5,23 %. Sementara Sukarini (2006) mendapatkan rentang nilai di bawah hasil analisis kadar lemak dalam penelitian ini (untuk jenis kambing yang sama) yaitu 3,44 – 4,86 (Tabel 5).

Hal ini diduga akibat jenis pakan yang dikonsumsi berbeda. Menurut Ressang dan Nasution (1986) kadar lemak ini sangat berarti dalam penentuan nilai gizi susu. Lemak ini ditemukan di dalam air susu sebagai emulsi.

Hasil analisis kadar protein yang terkandung dalam sampel adalah sebesar 2,78 % (bb) (Lampiran 7). Dibandingkan dengan SNI nilai ini sangat dekat dengan nilai minimum yang disyaratkan yaitu 2,7 % (Tabel 5). Sukarini (2006) mendapatkan rentang nilai di atas nilai kadar protein yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 2,93 – 3,65 % (Tabel 5).

Kadar abu hasil analisis menunjukkan hasil sebesar 0,79 % (bb)

(Lampiran 8). Hasil ini hanya berbeda 0,04 % dari hasil penelitian

Ceballos et al. (2008) yaitu sebesar 0,75 % (Tabel 5). Kadar abu

menunjukkan kandungan mineral total yang terdapat dalam susu kambing

segar. Hasil analisis total asam tertitrasi pada susu segar dinyatakan dalam

persen asam laktat. Total asam tertitrasi yang didapatkan pada susu

kambing segar adalah sebesar 0,46% (bb) (Lampiran 9). Nilai ini lebih

rendah jika dibandingkan yang didapatkan oleh Imran et al. (2008) untuk

susu kambing yaitu 1.35 % (Tabel 5). Asam laktat pada susu umumnya

(4)

31 akan meningkat dengan adanya perombakan laktosa oleh mikroorganisme untuk kebutuhan pemenuhan nutriennya (Robinson, 1999).

Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat mikrobiologi susu kambing adalah angka lempeng total (ALT) dan total koliform. Adapun hasil analisis ALT dan total koliform pada sampel susu kambing segar terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Sifat mikrobiologi susu kambing

Parameter Mikrobiologi Jumlah SNI

1)

Angka lempeng total 1,6 x 10

4

cfu/ml Maksimum 10

6

cfu/ml Total koliform 1,3 x 10

3

cfu/ml 20 cfu/ml Keterangan : 1) Susu segar (BSN, 1998b)

Analisis angka lempeng total menunjukkan jumlah keseluruhan bakteri yang terdapat dalam susu segar. Nilai yang didapatkan sebesar 1,6 x 10

4

cfu/ml (Lampiran 10). Nilai ini lebih rendah dari persyaratan maksimum yang ditetapkan SNI (Tabel 6). Sementara uji terhadap total koliform menunjukkan nilai yang jauh lebih tinggi dari syarat maksimum SNI (Tabel 6) mencapai 1,3 x 10

3

cfu/ml (Lampiran 11). Hal ini terjadi diduga akibat higienitas yang kurang baik dan cemaran koliform yang telah ada dalam air yang digunakan untuk keperluan di peternakan. Menurut Walstra (1999) pengukuran higienitas yang dilakukan selama dan setelah pemerahan penting untuk menentukan mikroorganisme apa yang mencemari susu termasuk yang patogen bagi manusia. Cemaran koliform dapat berasal dari hewan, tanah, kotoran, debu, pakan, alat perahan, air yang digunakan, dan pemerahnya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa berdasarkan parameter fisik,

kimia, dan mikrobiologi pada susu kambing segar jika dibandingkan

dengan syarat mutu susu segar menurut SNI (BSN, 1998b) maka dapat

disimpulkan bahwa susu kambing segar yang diperoleh telah memenuhi

syarat mutu susu segar kecuali untuk parameter total koliform.

(5)

32 2. Penentuan lamanya waktu evaporasi

Penentuan lamanya waktu evaporasi didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan Pratiwi (2005) bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai total padatan total sebesar 36% adalah 20 menit pada suhu 50

0

C.

Namun, tidak disebutkan berapa volume sampel yang digunakan untuk percobaan penentuan waktu evaporasi sehingga percobaan dilakukan dengan metode trial and error, dimulai dengan lama waktu evaporasi 20 menit sampai didapatkan padatan total yang diharapkan. Pada tahap awal dilangsungkan selama 40 menit dengan pengambilan contoh per 10 menit.

Adapun hasil percobaan terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Waktu dan persen padatan total dalam penentuan lama waktu evaporasi

Waktu (menit) Total padatan (%)

0 11

20 13

30 16

40 19

Hasil percobaan awal menunjukkan bahwa sampai waktu evaporasi 40 menit pada suhu 50

0

C didapatkan padatan total 19 % (Tabel 7). Namun ini belum mencapai padatan total yang diharapkan menurut Juliawati (1999) yaitu antara 30 – 50 %. Oleh karena itu selanjutnya digunakan metode yang didasarkan pada besarnya volume uap air yang terkondensasi dalam tabung penampung air pada evaporator. Kondensat yang harus tertampung dalam tabung penampung air diperkirakan 3,8 liter untuk menghasilkan padatan total mencapai 30 % dari 6000 ml susu kambing.

Hal ini didasarkan pada padatan total awal 11%. Namun dalam proses

penanganan kemudian, susu yang benar-benar dapat dimasukkan dalam

evaporator adalah sebesar 5690 ml, sehingga total air tertampung yang

diharapkan adalah sebesar 3,6 liter. Hasil percobaan menunjukkan bahwa

(6)

33 untuk mencapai 3,6 liter kondensat dengan padatan total 30% dibutuhkan waktu 51 menit seperti terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Interval waktu jalannya mesin dan jumlah air yang tertampung di tabung penampung kondensat

Interval waktu (menit ke-) Kondensat (ml)

0 - 23 2500

28 – 38 400

41 – 51 500

54 – 72 200

`

Kondisi optimasi yang diperoleh belumlah ideal karena mesin evaporator diberhentikan selama 4 kali untuk melihat perkembangan air yang tertampung. Oleh karena itu pada proses optimasi akhir, waktu yang digunakan adalah 60 menit. Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa untuk mencapai total padatan 30 % dengan jumlah sampel sebelumnya sebesar 5690 ml dibutuhkan waktu 51 menit sehingga dengan jumlah sampel 6000 ml untuk mencapai total padatan 30% tentunya dibutuhkan waktu lebih lama. Berdasarkan data pada Tabel 8, untuk menguapkan 400 ml dibutuhkan waktu sekitar 10 menit sehingga perkiraan yang mungkin untuk 6000 ml adalah ±60 menit.

Setelah dilakukan percobaan ulang dengan sampel 6000 ml pada suhu

50

0

C dan waktu 60 menit didapatkan kondensat yang tertampung hanya

sebesar 3.3 liter. Jumlah tersebut di bawah volume percobaan sebelumnya,

sehingga karena alasan inilah kemudian ditambahkan waktu evaporasi

selama 20 menit untuk mencapai kondensat total yang diharapkan yaitu

3,8 liter. Hasil akhir menunjukkan bahwa dengan total waktu 80 menit,

total padatan yang didapatkan adalah 45 %. Hal ini sesuai dengan yang

dinyatakan Juliawati (1999).

(7)

34 B. PENELITIAN UTAMA

1. Tahap I

Penelitian utama tahap I diawali dengan pembuatan produk susu kambing bubuk dari sampel yang sama, melalui proses pasteurisasi (63-65

0

C, 30 menit) kemudian evaporasi, homogenisasi dan pengeringan dengan pengering semprot dengan pengaturan suhu inlet 180

0

C dan suhu outlet yaitu 80, 90, dan 100

0

C. Pengering semprot yang digunakan adalah jenis pengering semprot simple vertical downward co-current with straight line flow dimana aliran udara searah dengan aliran bahan. Efek yang dihasilkan dari suhu outlet-nya akan berbeda jika digunakan pengering semprot jenis lainnya. Susu kambing bubuk yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan kelarutan, pH, TAT, dan warna. Hasil analisis dipilih yang terbaik dan dikarakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologinya.

a. Kelarutan, TAT, dan pH

Kelarutan adalah suatu ukuran dari kondisi akhir dimana unsur pokok

dari bubuk dapat dibawa dalam larutan atau suspensi yang stabil (Fox,

1992). Nilai yang didapatkan dari hasil analisis kelarutan pada pengaturan

suhu outlet 80, 90, dan 100

0

C masing-masing sebesar 75,43 %, 84,63%,

dan 75,08% (Lampiran 12). Kelarutan paling tinggi yang didapat dalam

penelitian ini adalah pada pengeringan dengan suhu outlet 90

0

C yaitu

sebesar 84,63 % (Gambar 5). Berdasarkan hasil uji ragam ternyata nilai

P<0,05 sehingga H

0

ditolak atau dengan kata lain ada pengaruh nyata dari

suhu outlet terhadap kelarutan susu kambing bubuk yang dihasilkan

(Lampiran 16). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan maka diketahui bahwa

kelarutan yang dihasilkan pada pengeringan dengan suhu 90

0

C berbeda

nyata dengan suhu outlet 80

0

C dan 100

0

C (Lampiran 16). Kelarutan yang

terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet

80

0

C dan 100

0

C keduanya tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05

(Lampiran 16) .

(8)

35

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Gambar 5. Kelarutan susu kambing bubuk hasil pengeringan

Kelarutan merupakan parameter fisik utama yang dijadikan penentu dalam pemilihan susu kambing bubuk terbaik dalam penelitian. Hal ini karena suhu outlet sangat berpengaruh pada kelarutan. Menurut Varnam (1994) tingginya suhu outlet akan mengurangi kadar air, mengurangi kelarutan, dan meningkatkan lemak bebas.. Menurut Walstra (1999) suhu outlet 100

0

C memiliki kelarutan rendah karena adanya fraksi dari protein yang menyumbangkan ketidaklarutan jika suhu pengeringan terlalu tinggi pada kadar air yang rendah, sedangkan Robinson (1999) menyatakan bahwa pada suhu outlet 100

0

C dan diatasnya maka kelarutan susu bubuk akan sangat rendah. Rendahnya kelarutan susu bubuk disebabkan oleh tingginya tingkat denaturasi protein khususnya kasein.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan kecuali pada pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C. Pengeringan dengan suhu outlet tersebut kondisi kelarutannya tidak berbeda nyata dengan kondisi kelarutan pada pengeringan dengan suhu 100

0

C. Hal ini diduga karena ada faktor lain yang turut mempengaruhi kondisi ini.

Terdapat dua parameter dalam penelitian yang dapat menjawab kondisi tersebut di atas yaitu parameter total asam tertitrasi yang dinyatakan dalam persen asam laktat dan nilai pH. Robinson (1999) menyatakan bahwa

75,43

a

84,63

b

75,08

a

70.00 72.00 74.00 76.00 78.00 80.00 82.00 84.00 86.00

80 90 100

% k elarutan

Suhu Outlet

(9)

36 peningkatan keasaman akan menyebabkan kerusakan serius pada produk akhir susu bubuk. Akibatnya, tidak hanya nilai TAT yang melebihi tingkat yang diijinkan, tetapi juga kelarutannya. Tingginya kandungan asam laktat akan menyebabkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen sehingga kondisi tersebut menyebabkan masalah pada stabilitas protein selama proses.

Gambar 6 menunjukkan bahwa kadar asam laktat pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C memiliki persentase paling tinggi, yaitu 0,19 %.

Sementara, susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 90 dan 100

0

C didapatkan kadar asam laktat masing-masing 0,14% dan 0,16%

(Lampiran 13). Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H

0

ditolak atau dengan kata lain terdapat paling tidak satu kadar asam laktat yang berbeda nyata (Lampiran 17). Hasil uji lanjutan Duncan menunjukkan bahwa kadar asam laktat pada pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C berbeda nyata (P<0,05) dengan persentase asam laktat yang terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90

0

C dan 100

0

C (Lampiran 17).

Kadar asam laktat yang terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C melebihi batas maksimum pada dua standar susu bubuk yaitu U.S. Extra Grade dan U.S. Standard Grade (USDA, 2001) masing-masing maksimum 0,15 dan 0,17. Susu kambing bubuk yang dikeringkan dengan suhu outlet 100

0

C memiliki kadar asam laktat di bawah U.S. Standard Grade namun masih di bawah batas maksimum U.S. Extra Grade. Sementara susu kambing yang dikeringkan dengan suhu outlet 90

0

C memiliki kadar asam laktat di bawah batas maksimum baik U.S. Extra Grade maupun U.S. Standard Grade.

Walaupun sebenarnya berdasarkan hasil uji lanjut Duncan antara suhu

outlet 90

0

C dan 100

0

C secara statistik keduanya tidak berbeda nyata

dengan nilai P>0,05 (Lampiran 17).

(10)

37 Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang

menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 6. Total asam tertitrasi susu kambing bubuk hasil pengeringan

Nilai pH memiliki peran penting dalam kestabilan panas susu selama proses pemanasan. Menurut Fox (1992) kestabilan panas adalah resistensi relatif dari susu untuk terkoagulasi ketika dipanaskan pada suhu sterilisasi.

Varnam (1994) menyatakan kestabilan panas susu sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan penampakan koagulasi pada suhu yang diberikan. Nilai pH yang terendah dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90

0

C yaitu 6,84 (Gambar 7). Sementara, susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C dan 100

0

C masing-masing sebesar 6,98 dan 6,97 (Lampiran 14). Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H

0

ditolak atau dengan kata lain paling tidak terdapat satu nilai pH yang berbeda nyata (Lampiran 18).

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai pH pada suhu outlet 90

0

C berbeda nyata (P<0,05) dengan susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C dan 100

0

C. Sementara antara nilai pH pada suhu outlet 80

0

C dan 100

0

C tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05 (Lampiran 18).

Jika dibandingkan dengan standar nilai pH susu bubuk yang digunakan di Sudan, Argentina, dan Amerika Serikat (Khier et al., 2009) yaitu pada rentang 6,6 – 6,8, maka hanya susu kambing bubuk hasil pengeringan hasil pengeringan 90

0

C yang memenuhi standar.

0,19

b

0.14

a

0.16

a

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25

80 90 100

Asam L ak tat ( % )

Suhu Outlet (

0

C)

(11)

38 Perbedaan di atas berpengaruh pada kestabilan panas susu. Menurut Fox (1992) untuk susu yang telah dipekatkan kestabilan panasnya akan tidak stabil jika nilainya berada diatas 6,8. Turunnya kestabilan panas akan berakibat waktu koagulasi protein yang lebih cepat dan berakibat pada turunnya kelarutan. Pada susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C dan 100

0

C didapatkan bahwa nilai pH keduanya berada diatas 6,8, artinya keduanya berada pada kondisi dimana kestabilan panas susunya tidak stabil. Inilah kemudian yang menjadi alasan kedua yang memperkuat mengapa kelarutan susu kambing hasil pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C lebih rendah daripada suhu 90

0

C. Alasan lain yang mempengaruhi hasil secara keseluruhan adalah tidak dilakukannya standardisasi di awal terhadap komponen susu sehingga dapat terjadi perbedaan hasil pada produk susu kambing bubuk yang dibuat.

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 7. Nilai pH susu kambing bubuk hasil pengeringan

b. Warna

Warna susu kambing pada dasarnya putih dan tidak memiliki warna kuning seperti susu sapi. Hal ini dikarenakan susu kambing tidak memiliki karoten (Ohiokpehai, 2003). Analisis warna dengan metode Hunter Lab

6,98

b

6,84

a

6,97

b

6.75 6.80 6.85 6.90 6.95 7.00

80 90 100

Nilai p H

Suhu Outlet (

0

C)

(12)

39 menunjukkan 3 nilai yaitu nilai L menyatakan kecerahan sampel (warna akromatis dari hitam mutlak dengan nilai 0 sampai putih mutlak dengan nilai 100). Parameter a menunjukkan campuran merah hijau ( a+ = 0 – 100 untuk warna merah, a- = 0 – (-80) untuk warna hijau). Parameter b menunjukkan campuran biru kuning (b+ = 0 -70 untuk warna kuning, b- = 0 – ( -70) untuk warna biru). Nilai a dan b dapat dinyatakan dalam nilai Hue yang dapat diintepretasikan kepada warna tertentu berdasarkan bola imajiner Munsell.

Hasil analisis warna pada Gambar 8 menunjukkan nilai L yang tertinggi dimiliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 80

0

C yaitu 91,71. Sementara susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90

0

C memiliki nilai L sebesar 88,25 dan susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 100

0

C memiliki nilai L sebesar 87,93 (Lampiran 15). Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H

0

ditolak atau dengan kata lain paling tidak terdapat satu nilai L yang berbeda nyata (Lampiran 19). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa Nilai L pada suhu outlet 80

0

C berbeda nyata (P<0,05) dengan suhu outlet 90

0

C dan 100

0

C. Namun, antara suhu outlet 90

0

C dan 100

0

C memiliki tingkat kecerahan yang tidak berbeda nyata dengan P>0,05 (Lampiran 19).

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 8. Nilai L hasil analisis warna susu kambing bubuk hasil pengeringan

91,71

b

88,25

a

87,93

a

84.00 86.00 88.00 90.00 92.00 94.00

80 90 100

Nilai L

Suhu Outlet (

0

C)

(13)

40 Nilai a hasil analisis warna pada susu kambing bubuk hasil pengeringan, baik dengan suhu outlet 80, 90, dan 100

0

C, ketiganya menunjukkan nilai a (-) (Gambar 9). Ini berarti bahwa warna susu kambing bubuk lebih mengarah ke warna hijau, semakin tinggi nilainya semakin mengarah ke warna hijau. Hasil uji ragam menunjukkan nilai P<0,05 sehingga H

0

ditolak atau dengan kata lain paling tidak terdapat satu nilai a yang berbeda nyata (Lampiran 19). Susu Kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 100

0

C memiliki nilai terendah yaitu -3.72 (Lampiran 15). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai a pada suhu outlet 100

0

C berbeda nyata (P<0,05) dengan nilai a suhu 80

0

C dan 90

0

C. Sementara nilai a pada suhu outlet 80

0

C dan 90

0

C, masing-masing -4,92 dan -4,63 (Lampiran 15), keduanya tidak berbeda nyata dengan nilai P<0,05 (Lampiran 19).

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Gambar 9. Nilai a hasil analisis warna susu kambing bubuk hasil pengeringan

Nilai b hasil analisis warna pada susu kambing bubuk hasil pengeringan baik dengan suhu outlet 80, 90, dan 100

0

C, ketiganya menunjukkan nilai b (+) (Gambar 10). Ini berarti warna susu kambing

-4,63

a

-4,92

a

-3.72

b

-6.00 -5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00

80 90 100

Nilai a

Suhu Outlet (

0

C)

(14)

41 bubuk lebih mengarah ke warna kuning, semakin tinggi nilainya semakin mengarah ke warna kuning. Hasil uji ragam menunjukkan nilai P>0,05 sehingga H

0

diterima atau dengan kata lain nilai b pada suhu outlet 80, 90, dan 100

0

C tidak berbeda nyata (Lampiran 19), masing-masing sebesar 19,33, 23,76, dan 22,18 (Lampiran 15). Nilai Hue yang didapatkan dari masing-masing suhu outlet 80, 90, dan 100

0

C masing – masing sebesar 76,53, 78,30, dan 80,48 (Lampiran 15) . Ketiga nilai ini berada di kuadran II. Berdasarkan bola imajiner Munsell maka didapatkan warna ketiganya adalah hijau. Secara tampak mata warna susu bubuk dapat dilihat pada Lampiran 20, 21, dan 22.

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Gambar 10. Nilai b hasil analisis warna susu kambing bubuk hasil pengeringan

Hasil dari keseluruhan parameter yang dijadikan acuan dalam pemilihan pengaturan suhu outlet terbaik maka dipilih suhu outlet 90

0

C dengan pertimbangan utama kelarutan yang dimiliki susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90

0

C merupakan yang tertinggi didukung dengan kadar asam laktat dan nilai pH-nya, walaupun pada

19,33

a

23,76

a

22,18

a

0 5 10 15 20 25 30

80 90 100

Nilai b

Suhu Outlet (

0

C)

(15)

42 analisis warna suhu outlet 90

0

C tidak menghasilkan tingkat kecerahan tertinggi.

2. Tahap II

Penelitian tahap II selanjutnya dilakukan karakterisasi sifat kimia, fisik, dan mikrobiologi terhadap susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90

0

C. Analisis kimia meliputi kadar air, kadar abu, kadar laktosa, kadar lemak, kadar protein. Sifat fisik meliputi total padatan dan sifat mikrobiologi meliputi angka lempeng total dan total koliform.

a. Sifat Kimia

Tabel 9. Perbandingan sifat kimia susu kambing bubuk terpilih dengan susu kambing menurut SNI susu sapi bubuk dan spesifikasi industri susu kambing

Parameter Susu Kambing

Bubuk Terpilih SNI

1)

Spesifikasi industri

2)

Kadar air (%bb) 9,50±1,32 Maks. 4,0 Maks. 3 Kadar abu (%bb) 5,97±0,23 Maks. 6,0 6 Kadar lemak (%bb) 40,50±0,71 Min. 26 31 Kadar Protein (%bb) 20,67±0,76 Min. 25 25

Kadar Laktosa (%bb) 27.84±0,79 - 35

Keterangan :

1) Susu bubuk (BSN, 1999)

2) Susu kambing bubuk komersial (CBM, 2009)

Kadar air yang dimilliki oleh susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet 90

0

C ini, termasuk sangat tinggi yaitu 9,50 % (Lampiran 24) mengingat nilai yang disyaratkan SNI maksimum adalah 4

% (Tabel 9). Sementara sebuah perusahaan penghasil susu kambing bubuk

di Belanda membuat spesifikasi kadar air produknya maksimum hanya

sebesar 3 % (Tabel 9). Nilai ini juga berbeda jika dibandingkan dengan

performa produk susu kambing bubuk yang digunakan pada penelitian

utama (Lampiran 23). Hasil pemantauan selama berlangsungnya

(16)

43 penelitian, terdapat beberapa hal yang diduga menyebabkan kadar air tinggi antara lain : 1) Fungsi pompa penghisap udara pada pengering semprot yang sudah tidak optimal; 2) Sampel terlalu lama terpapar udara sebelum dikemas.

1) Fungsi pompa penghisap udara pada pengering semprot yang sudah tidak optimal.

Pompa penghisap udara yang tidak bekerja dengan optimal menyebabkan udara jenuh tidak dapat keluar dengan sempurna.

Kondisi ini menyebabkan terjadinya kontak antara susu kambing yang telah kering dengan udara jenuh. Akibatnya kadar air susu kambing bubuk meningkat dan tidak mampu memenuhi batasan yang telah ditetapkan di SNI.

2) Sampel terlalu lama terpapar udara sebelum dikemas.

Setelah dilakukan pengeringan dengan pengering semprot Buchi 190 mini spray dryer, susu kambing bubuk harus dilewatkan media kertas bersih sebelum dimasukkan ke dalam kantung HDPE. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemasukan susu kambing bubuk ke dalam plastik dan menjadi wadah bagi susu kambing bubuk yang masih tersangkut kering di chamber. Kondisi ini memberikan jeda cukup lama untuk terjadinya kontak antara udara sekitar dengan sampel. Seperti terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Penanganan susu kambing bubuk pasca pengeringan

(17)

44 Kadar abu yang dimiliki susu kambing hasil pengeringan sebesar 5,97

% (Lampiran 25). Nilai ini masih masuk dalam batasan SNI untuk susu bubuk dan juga spesifikasi yang digunakan sebuah industri susu kambing bubuk di Belanda yaitu sebesar 6 % (Tabel 9).

Kadar lemak yang dianalisis menggunakan metode Gerber hasilnya sebesar 40,50 % (Lampiran 26). Nilai ini cukup jauh dibandingkan dengan SNI yang menetapkan batasan minimum kadar lemak susu bubuk sebesar 26 % (Tabel 9). Sementara spesifikasi sebuah industri susu kambing bubuk Belanda menyebutkan kadar lemak untuk susu kambing bubuk adalah sebesar 31 % (Tabel 9). Hal ini berkebalikan dengan kondisi kadar protein susu kambing bubuk. Hasil analisis kadar proteinnya menunjukkan nilai 20,67 % (Lampiran 27). Nilai ini di bawah standar SNI dan spesifikasi industri yaitu 25 % (Tabel 9). Keseluruhan karakter kadar air, kadar lemak, dan kadar protein ini ternyata berimplikasi kepada kadar laktosa karena dalam penelitian ini kadar laktosa dihitung dengan metode by difference sehingga ketika dilakukan perhitungan yang terjadi kadar laktosa menjadi sangat rendah yaitu 27,84 % (Lampiran 28). Ini menjadi konsekuensi dari kadar lemak dan kadar air yang tinggi.

b. Sifat Fisik

Dalam tahapan karakterisasi ini hanya total padatan yang menjadi

bagian dari sifat fisik karena sebelumnya di penelitian utama telah

didapatkan 3 sifat fisik yaitu kelarutan, pH, dan warna. Total padatan yang

didapatkan adalah sebesar 90,50 % (Lampiran 29). Total padatan

menunjukkan total dari keseluruhan padatan yang terdapat dalam susu

kambing bubuk. Keseluruhan padatan tersebut terdiri atas banyaknya

protein, lemak, abu, dan laktosa dalam susu kambing bubuk. Oleh karena

itu nilai total padatan ini juga digunakan dalam perhitungan kadar laktosa

yang menggunakan metode by difference ( Mistry dan Pulgar, 1996).

(18)

45 c. Sifat Mikrobiologi

Tabel 10. Perbandingan sifat mikrobiologi susu kambing bubuk terpilih dengan susu kambing menurut SNI dan spesifikasi industri

Parameter Sampel SNI

1)

Spesifikasi

industri

2)

Angka

lempeng total

2,6 x 10

3

koloni/g

Maksimum 5 x 10

5

koloni/g

< 10.000 koloni/g Total Koliform 9,2 APM/g Maks. 20 APM/g Tidak

terdeteksi/0,1 g Keterangan :

1) Susu bubuk (BSN, 1999)

2) Susu kambing bubuk komersial (CBM, 2009)

Sifat mikrobiologi yang dijadikan parameter adalah angka lempeng total yang menggambarkan jumlah bakteri secara keseluruhan yang ada di susu bubuk dan total koliform yang menggambarkan kondisi sanitasi terutama kondisi air. Hasil perhitungan angka lempeng total terhadap mikroba yang ada pada susu kambing bubuk adalah sebesar 2,6 x 10

3

koloni/g (Lampiran 30). Nilai ini masih lebih rendah dibanding nilai maksimum yang ditetapkan SNI yaitu sebesar 5 x 10

5

koloni/g (Tabel 10).

Sementara total koliform yang didapatkan dari uji yang dilakukan adalah

sebesar 9,2 APM/g (Lampiran 31). Nilai ini juga lebih rendah dari nilai

maksimum yang ditetapkan SNI yaitu sebesar 20 APM/g (Tabel 10) . Jika

dibandingkan dengan spesifikasi industri susu kambing bubuk di Belanda

yang juga ditampilkan pada Tabel 10, kondisi mikrobiologi susu kambing

bubuk dalam penelitian ini kurang baik. Hal ini diduga akibat adanya

kontaminasi silang pasca pengeringan sesaat sebelum dikemas. Karena

terdapat jeda waktu yang cukup lama untuk susu kambing bubuk terpapar

udara dan juga digunakannya alas kertas yang tidak steril sebagai wadah

sebelum dimasukkan ke dalam kantong plastik. Menurut Walstra (1999)

kontaminasi dapat terjadi dimana saja baik pada pengering semprot

maupun selama pengemasan. Spesies bakteri yang manjadi kontaminan

dapat bervariasi sangat luas, tetapi umumnya merupakan spesies yang

(19)

46

dapat tumbuh di bagian basah sisa susu bubuk yang menempel pada alat

pengeringnya maupun sekitar jalur manufaktur.

Referensi

Dokumen terkait

Produk dibuat dengan konsep kebudayaan asli Indonesia, ilustrasi visual yang diterapkan sesuai dengan masing-masing tokoh mitologi Indonesia juga memiliki arti yang

Perkembangan Jumlah Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal

Merupakan penyakit keturunan yang jarang terjadi, yang menyebabkan tingginya kadar kolesterol VLDL dan trigliserida. Pada penderita pria, tampak pertumbuhan lemak di

Dalam analisis industri, investor men&#34;oba memperbandingkan kinerja dari berbagai industri, untuk bisa mengetahui jenis industri apa saja yang memberikan prospek paling

Berisiuraianteori yang sedangdikajimeliputikompetensipembuatan batik cap. di SMK, dankompetensipembuatan batik

Uraian di atas secara garis besar menjadi dasar pemikiran dalam penelitian ini dengan judul “Pengembangan Instrumen Multiple Choice Reasoning Terbuka dengan

Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai tujuan pendidikan nasional tercantum dalam pasal 31 ayat (3) Dengan rumusan

(1979) didefinisikan sebagai suatu keadaan atau kondisi prestasi yang dicapai secara bersama- sama antara pemerintah dan masyarakat dalam wujud peningkatan kondisi dan