• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pernikahan

2.1.1 Pengertian Pernikahan

Secara umum, pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan dengan menggunakan adat atau aturan tertentu. Sedangkan perkawinan, meskipun seringkali dibedakan dengan kata nikah, memiliki inti makna yang sama dengan pernikahan, yaitu upacara bersatunya pria dan wanita membentuk keluarga (Wikipedia, 2012).

Duvall (dalam Soraya, 2007) menyatakan bahwa pernikahan adalah persetujuan masyarakat atas penyatuan suami dan istri dengan harapan mereka akan menerima tanggung jawab dan melakukan peran sebagai pasangan suami istri dalam kehidupan pernikahan.

Di Indonesia, seluk beluk pernikahan diatur dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, yang mendefenisikan pernikahan sebagai: Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga yang bahagia dan kekal) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Domikus dalam Daeng, 2010).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka pernikahan disimpulkan sebagai penyatuan dua individu dengan persetujuan masyarakat mengikuti aturan atau hukum agama tertentu untuk membentuk keluarga atas keinginan dan harapan sehingga menetapkan hubungan yang bahagia dan kekal sepanjang hidup berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.1.1.1 Tahap-tahap Pernikahan

(2)

Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle. Cole (dalam Vidaya, 2007) membagi tahap pernikahan menjadi awal pernikahan, kelahiran dan mengasuh anak dan emptyness sampai usia tua.

Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple)

Berdasarkan family life cycle dari Duvall, tahap ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun dimulai dari ketika pasangan menikah dan berakhir ketika anak pertama lahir.

Selama tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa penyesuaian utama (Hurlock, 1999), yaitu:

a. Penyesuaian dengan pasangan

Merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh keluarga baru. Tidak mudah menyatukan dua orang yang berlainan jenis, kepribadian, sifat dan juga kebiasaan-kebiasaan. Dalam penyesuaian pernikahan yang jauh lebih penting adalah kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta.

b. Penyesuaian Seksual

Masalah ini merupakan salah satu penyesuaian yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan tidak dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit untuk mengakhirinya secara memuaskan dikarenakan wanita sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya dan tidak dapat

(3)

dengan segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami (Rubin, dalam Hurlock,1999).

c. Penyesuaian Keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan pernikahannya. Suami dan istri harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan kebiasaan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi awal percekcokan antara suami dan istri.

d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan.

Melalui pernikahan, setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenek atau kakek, yang kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda, bahkan sering sekali sangat berbeda dari segi pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya. Suami istri harus mempelajari dan menyesuaikan diri bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.

Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing)

Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun.

Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 umur. Rata-rata masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup penuh tekanan yang melibatkan perubahan positif dan negatif. Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan.

Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian- penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Vidaya, 2007) bahwa stres

(4)

dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stres orangtua.

Semakin dewasa usia anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orangtua walaupun sebagian besar orangtua menyatakan lebih puas pernikahan dan hubungan dengan anak-anak, namun anak-anak menyulitkan terhadap orangtua dengan memaksa orangtua untuk memberi waktu dan tenaga kepada mereka sehingga menambah stres orangtua. Dalam hubungan pernikahan, kehadiran anak-anak hanya memberikan dampak negatif.

Tahap III: Kekosongan (Emptyness)

Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Istilah emptyness sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah (Hoyer & Roodin, 2003). Tahap emptyness dimulai dengan “launching” anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun.

Usia rata-rata ibu pada awal tahap ini sekitar 52 tahun dan 54 tahun untuk ayah, sedangkan menurut Hurlock (1999), tahap ini terjadi pada usia 40 sampai 49 tahun.

Ketika remaja atau dewasa awal meninggalkan rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan mendalam yang disebut sebagai sindrom Emptyness. Hal ini didukung oleh penelitian Rubin (dalam Vidaya, 2007) bahwa pada masa emptyness, wanita mengalami kesedihan, namun tidak ditemukan adanya depresi. Kenyataannya banyak orangtua yang memandang ketidakhadiran anak dalam keluarga sebagai saat untuk membangun kebebasan hidup sebagai orang dewasa. Tekanan yang berat dikarenakan kondisi ekonomi dan

(5)

pekerjaan terjadi ketika anak-anak tidak benar-benar membuat masa emptyness terjadi sebagaimana diharapkan atau mereka kembali lagi ke rumah

Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka berlangsung baik hampir setiap waktu. Kebahagiaan dan kepuasan tertinggi terjadi pada tahap pertama semakin rendah ketika anak tertua memasuki usia remaja.

Pada tahap emptyness, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun dan usia tua.

2.1.2 Kepuasan Pernikahan

Ada beberapa definisi mengenai pengertian Kepuasan Pernikahan dari para ahli :

Kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan Lemme dalam Julinda (2008). Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah memuaskan atau tidak (Hendrick dan Hendrick dalam Vidaya, 2007).

Secara umum, Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti dan Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan.

Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.

Berdasarkan beberapa pengertian kepuasan pernikahan diatas, maka kepuasan pernikahan merupakan suatu penyesuaian pencapaian harapan, kualitas dan evaluasi pernikahan dimana

(6)

masing-masing merasakan indahnya pernikahan dan merasa hidup lebih berarti dan lebih lengkap dibanding sebelum menikah.

2.1.2.1 Faktor Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Menurut Hendrick & Hendrick dalam Daeng (2010), ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu:

a. Premarital Factors

1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan pernikahan.

2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah.

3) Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian.

b. Postmarital Factors

1). Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan pernikahan terutama pada wanita. Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stres pasangan, dan mengurangi waktu bersama. Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak tersebut.

2). Lama Pernikahan, dimana dikemukakan bahwa tingkat kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri.

(7)

c. Other Factors

1) Jenis kelamin, bahwa pria lebih puas dengan pernikahannya daripada wanita karena pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya.

2) Agama, bahwa jika seseorang mengawali segalanya dengan motivasi iman dan ibadah pada Tuhan semata akan merasakan kepuasan dalam hidupnya.

3) Pekerjaan. Pekerjaan yang memakan waktu yang cukup lama menyebabkan berkurangnya waktu yang dimiliki suami dan isteri untuk anak-anak dan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti membersihkan rumah, menyediakan makanan, dan lain-lain.

2.1.2.2 Aspek Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam pernikahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fowers dalam Vidaya (2007). Adapun aspek- aspek tersebut, antara lain :

a. Communication

Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya. Laswell dalam Vidaya (2007) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu : keterbukaan diantara pasangan (openness), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to

(8)

trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy), dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).

b. Leisure Activity

Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan.

c. Religious Orientation

Aspek ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua akan mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang dianut kepada anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama yang mereka anut.

d. Conflict Resolution

Aspek ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik.

Aspek ini juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.

e. Financial Management

(9)

Aspek ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran, dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

f. Sexual Orientation

Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan.

Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini dapat terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, dan dapat membaca tanda- tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.

g. Family and Friends

Aspek ini dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Aspek ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman-teman.

Pernikahan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian

(10)

waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu lama (Hurlock, 1999).

h. Children and Parenting

Aspek ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak.

Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan.

Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.

i. Personality Issues

Aspek ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

j. Egalitarian Role

Aspek ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam

(11)

maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

2.2 Dewasa Madya

2.2.1 Pengertian Dewasa Madya

Masa dewasa dimana masa dimana individu telah meninggalkan masa remaja nya, berbeda dilihat secara kognitif, psikososial, dan fisik. Hurlock (1999) mendefinisikan dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Masa dewasa dalam rentang kehidupan manusia dibagi menjadi 3, yaitu masa dewasa awal (18/20-45 tahun), masa dewasa madya (40- 60 tahun), dan masa dewasa akhir (60 tahun ke atas). Dalam skripsi ini peneliti ingin melihat masa dewasa madya dalam kepuasan pernikahannya. Dewasa madya merupakan waktu untuk mengevaluasi kembali tujuan dan aspirasi, sejauh mana mereka telah memenuhinya dan memutuskan bagaimana cara terbaik untuk menggunakan waktu yang tersisa dalam hidup

(12)

mereka (Lachman dalam Sari, 2010). Menurut Hurlock (1999), dewasa madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia dan dibagi kedalam sub bagian, yaitu:

1. Usia madya dini (40-50 Tahun) 2. Usia madya lanjut (50-60 Tahun)

Levinson (dalam Sari, 2010) pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa. Dalam 40-45 tahun seseorang menghadapi tiga macam tugas : 1. Penilaian kembali masa lalu, 2.

Merubah struktur kehidupan, 3. Proses individuasi. Orang menilai masa lalu, membedakan ilusi dan kenyataan, dan dengan pandangan ke depan merubah struktur kehidupannya. Proses individuasi yang bermula pada kelahiran, dalam masa peralihan ini dibangunlah struktur kehidupan baru yang berlangsung sampai fase penghidupan yang berikutnya, yaitu permulaan dewasa madya (45-50 tahun). Fase berikutnya (50-55 tahun) seringkali merupakan fase krisis bila seseorang tidak sepenuhnya berhasil dalam pengstrukturan kembali hidupnya pada peralihan ke dewasa madya. Sesudah itu datanglah masa puncak (55-60 tahun) yang sekaligus menandai masuk ke dalam masa dewasa akhir.

2.2.2 Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Havighurst (dalam Hurlock, 1999) membagi tugas perkembangan dewasa madya menjadi empat kategori utama :

1. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik

Menerima dan menyesuaikan dengan perubahan fisik yang biasa terjadi.

2. Tugas yang berkaitan dengan perubahan minat

Berasumsi terhadap tanggung jawab warga negara dan sosial, minat pada waktu luang yaitu orientasi kedewasaan dan tempat kegiatan.

3. Tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejuruan

(13)

Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup relatif mapan.

4. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga

Berkaitan dengan pasangan, penyesuaian dengan lansia, membantu remaja menjadi dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

2.2.3 Karakteristik Dewasa Madya

Menurut Hurlock (1999), karakteristik dewasa madya adalah : 1. Periode yang sangat ditakuti

Terdapatnya kepercayaan tradisional dimana pada masa ini terjadi kerusakan mental, fisik, dan reproduksi yang berhenti serta merasakan bahwa pentingnya masa muda.

2. Masa Transisi

Perubahan pada ciri dan perilaku masa dewasa madya yaitu perubahan ciri jasmani dan perilaku baru. Pada pria terjadi perubahan keperkasaan dan pada wanita terjadi perubahan kesuburan atau menopause.

3. Masa Stres

Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah terutama karena perubahan fisik dimana terjadi pengrusakan homoestatis fisik dan psikologis.

Para wanita terjadi pada usia 40-an yaitu masuk menopause, dan anak-anak meninggalkan rumah dan pada pria terjadi pada usia 50-an saat masuk pensiun.

4. “Usia yang berbahaya”

Terjadi kesulitan fisik dimana usia ini banyak bekerja, cemas yang berlebihan, kurang perhatian terhadap kehidupan dimana hal ini dapat mengganggu hubungan suami-istri dan bisa terjadi perceraian, gangguan jiwa, alkoholisme, pecandu obat, hingga bunuh diri.

(14)

5. “Usia Canggung”

Serba canggung karena bukan “muda” lagi dan bukan juga “tua”. Kelompok usia madya seolah berdiri dianatara generasi pemberontak yang lebih muda dan generasi senior.

6. Masa berprestasi

Sejalan dengan masa produktif dimana terjadi puncak karir. Menurut Erikson, usia madya merupakan masa krisis yaitu generativity (cenderung untuk menghasilkan), stagnasi (cenderung untuk tetap berhenti) dan dominan terjadi hingga menjadi sukses atau sebaliknya. Peran kepemimpinan dalam pekerjaan merupakan imbalan atau prestasi yang dicapai yaitu generasi memimpin.

7. Masa evaluasi

Terutama terjadi evaluasi diri, jika berada pada puncak evaluasi maka terjadi evaluasi prestasi.

8. Dievaluasi dengan standar ganda

a. Aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani, yaitu rambut menjadi putih, wajah keriput, otot pinggang mengendur.

b. Cara dan sikap terhadap usia tua yaitu merasa muda dan aktif tetapi menjadi tua dengan anggun, lambat, hati-hati hidup dengan nyaman.

9. Masa Sepi

Masa sepi atau emptyness terjadi jika anak-anak tidak lagi tinggal dengan orangtua.

Lebih terasa traumatik bagi wanita khususnya wanita yang selama ini mengurus rumah tangga dan kurang mengembangkan minat saat itu. Pada pria mengundurkan diri dari pekerjaan.

(15)

10. Masa Jenuh

Pada pria jenuh dengan kegiatan rutin dan kehidupan keluarga dengan sedikit hiburan.

Pada wanita jenuh dengan urusan rumah tangga dan membesarkan anak-anak.

2.3 Dinamika Teori

Penyatuan dua individu dengan persetujuan masyarakat mengikuti aturan atau hukum agama tertentu untuk membentuk keluarga atas keinginan dan harapan sehingga menetapkan hubungan yang bahagia dan kekal sepanjang hidup berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa disebut dengan pernikahan. Dimana setiap pernikahan mengalami adanya Family Life Cycle adalah tahap kehidupan keluarga yang memiliki ciri khusus dalam tugas dan tujuannya, dimana salah satu tahap pernikahan pasangan mulai membuat keputusan penting mengenai rencana memiliki anak dan jumlah anak yang diinginkan, juga pertimbangan perubahan aktivitas yang mungkin terjadi pada pasangan dikarenakan kehadiran anak, dampak potensial penurunan pendapatan yang disebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat anak (Lefrancois, dalam Daeng, 2010).

Dalam tahap pernikahan tersebut disebutkan adanya kehadiran anak dimana masyarakat memandang bahwa pernikahan merupakan jalan terbaik untuk mengembangkan keturunan dan dengan adanya kehadiran anak hubungan suami istri akan semakin dekat (Papalia, 2008).

Kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan, apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah

(16)

terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya (Chappel dan Leigh dalam Pujiastuti dan Retnowati, 2004)

Hurlock (1999) perubahan pada ciri dan perilaku masa dewasa madya yaitu perubahan ciri jasmani dan perilaku baru, pada pria terjadi perubahan keperkasaan dan pada wanita terjadi perubahan kesuburan atau menopause, membuat pasangan dewasa madya sulit untuk mendapatkan memiliki anak.

(17)

2.4 Kerangka Pemikiran

Pernikahan

Family Life Cycle

Kehadiran Anak

Kepuasan Pernikahan

Ketidakhadiran Anak

Dewasa Madya

Referensi

Dokumen terkait

Intervensi Integrated Neuromuscular Inhibition Technique (INIT) dan Infrared Lebih Baik Dalam Menurunkan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius

Hasil penelitian memberikan bahwa varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter Tinggi Tanaman dan pemberian pupuk NPKMg memberikan pengaruh yang

Pilih tujuan transfer ke REKENING BNI , kemudian masukkan nomor Virtual Account sebagai nomor tagihan pembayaran4. PILIH TUJUAN TRANSFER YANG

1) Berdasarkan hasil identifikasi faktor SWOT dan hasil validasi oleh pihak expert didapatkan 6 aspek eksternal dan 5 aspek internal serta 39 faktor internal dan 43 faktor

itu kemungkinan relokasi untuk aftersock yang jumlahnya sangat besar perlu dilakukan secara terpisah. Pada Gambar 8 terlihat distribusi episenter gempabumi

L : Ya Tuhan Yesus yang telah mati di kayu salib, hanya oleh karena kasihMu kepada orang berdosa ini. P : Ajarilah kami selalu mengingat Tuhan yang mati di kayu

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Dalam setiap kemasan produk hasil produksi Auditee yang akan dipasarkan untuk ekspor telah dibubuhi Tand V Legal dengan

Dalam usaha meningkatkan waktu remisi dan ketahanan hidup penderita MM pada tahun-tahun terakhir ini dipertimbangkan penanganan terapi mieloblatif