• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Kemandirian Remaja di Balai Rehabilitasi Sosial Pamardi Utomo Boyolali dengan Permainan Simulasi T1 132009079 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Kemandirian Remaja di Balai Rehabilitasi Sosial Pamardi Utomo Boyolali dengan Permainan Simulasi T1 132009079 BAB II"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kemandirian

2.1.1 Pengertian Kemandirian

Kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah yang dihadapi tanpa bergantung pada orang lain (Monk, 1989). Dengan kata lain kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang diperoleh melalui proses individuasi, yaitu proses realisasi kedirian dan proses menuju kesempurnaan. Diri adalah inti dari kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan mengoordinasikan seluruh aspek kepribadian.

Menurut Steinberg (dalam Suherman, 2008) kemandirian dapat diartikan sebagai self governing person, yaitu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menguasai diri sendiri. Lebih lanjut kemandirian dapat diartikan kemampuan untuk menguasai, mengatur atau mengelola dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Dari definisi tersebut di atas, maka dapatlah diambil pengertian kemandirian adalah dimana individu yang memiliki kemampuan berdiri sendiri karena mempunyai disiplin dan komitmen tumbuh dan berkembang sehingga, dapat menentukan diri sendiri yang dinyatakan dalam tindakan dan perilaku yang dapat dinilai.

(2)

2.1.2 Aspek-Aspek Kemandirian

Menurut Masrun (1986) mengatakan bahwa orang yang mandiri mempunyai ciri:

a. Bebas bertindak, ditunjukkan dengan aktivitas sendiri, tindakan yang dilakukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena orang lain dan tidak tergantung orang lain.

b. Kemandirian diri atau aspek percaya diri, ditunjukkan rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri, menerima diri sendiri, memperoleh kepuasan dari usaha sendiri dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.

c. Inisiatif, ditunjukkan dengan mempunyai kreatifitas, mempunyai ide-ide atau gagasan sendiri, menyukai hal-hal baru, suka mencoba-coba dan tidak suka meniru orang lain.

d. Pengendalian diri ditunjukkan dengan cara mampu mengendalikan emosi, mampu mengendalikan tindakan, menyukai penyelesaian masalah secara damai, berpikir dulu sebelum bertindak dan mampu mendisiplinkan diri.

e. Progresif dan ulet ditunjukkan dengan adanya usaha untuk mengejar prestasi, tidak mudah menyerah dalam menghadapi masalah, tekun dalam usaha mengejar pretasi, mempunyai rencana untuk mewujudkan harapannya, melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan dan menyukai hal-hal yang menantang.

(3)

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian

Ali dan Asrori (2008) mengemukakan bahwa ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi perkembangan kemandirian, yaitu sebagai berikut:

a. Gen atau keturunan orang tua

Orang tua yang memiliki kemandirian yang tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian pula.

b. Pola asuh orang tua

Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Orang tua yang terlalu banyak melarang kepada anaknya tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancara perkembangan anak.

c. Sistem pendidikan di sekolah

Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratis pendidikan dan cenderung menekankan indroktriasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian. Demikian pula dengan proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman juga dapa menghambat perkembangan kemandirian dan sebaliknya jika proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian

(4)

reward dan penciptaan kompetisi positif akan memperlancar perkembangan kemandiriannya.

d. Sistem kehidupan di masyarakat

Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja sebaliknya, apabila lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan dan tidak terlalu hierarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandiriannya.

2.1.4 Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian

Ali dan Asrori (2008) mengutip pendapat Lovinger tentang tingkatan kemandirian beserta ciri-cirinya sebagai berikut:

a. Tingkatan pertama adalah tingkat impulsif dan melindungi diri.

Ciri dari tingkatan ini adalah peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain. Mengikuti aturan secara oportunistik dan hedonistik. Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu. Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum game. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.

(5)

b. Tingkatan kedua adalah tingkat komformistik.

Ciri dari tingkatan adalah peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial. Cenderung berpikir strereotype dan klise. Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian. Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya intropeksi. Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal. Takut tidak diterima kelompok. Tidak sensitif terhadap keindividualan. Merasa berdosa jika melanggar aturan.

c. Tingkatan ketiga adalah tingkat sadar diri.

Ciri dari tingkatan ini adalah Mampu berpikir alternatif dan memikirkan cara hidup. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi. Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.

d. Tingkatan keempat adalah tingkat saksama (conscientious).

Ciri dari tingkatan ini adalah bertindak atas dasar nilai-nilai internal. Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan. Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang lain. Sadar akan tanggung jawab dan mampu melakukan kritik dan penilaian diri. Peduli akan hubungan mutualistik. Memiliki tujuan jangka panjang. Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial. Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.

(6)

e. Tingkatan kelima adalah tingkat individualistis

Ciri dari tingkatan ini adalah Peningkatan kesadaran individualitas. Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain. Mengenal eksistensi perbedaan individual. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya. Mengenal kompleksitas diri. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.

f. Tingkatan keenam adalah tingkat mandiri.

Ciri dari tingkatan ini adalah Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan. Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri maupun orang lain. Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan sosial. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan. Toleran terhadap ambiguitas. Peduli terhadap pemenuhan diri. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal. Responsif terhadap kemandirian orang lain. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain. Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.

2.2 Bimbingan Kelompok

2.2.1 Pengertian Bimbingan Kelompok

Secara etimologis kata “bimbingan“ merupakan terjemahan dari istilah guidance. Sesuai dengan istilahnya maka bimbingan secara umum sebagai suatu bantuan atau tuntunan.

(7)

Menurut Crow dan Crow (dalam Surya,1988) bimbingan diartikan bantuan yang diberikan oleh seseorang baik pria maupun wanita yang memiliki pribadi yang baik dan pendidikan yang memadai, kepada seorang individu dari setiap usia untuk menolongnya mengembangkan kegiatan-kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan arah pandangannya sendiri, membuat pilihan sendiri dan memikul bebannya sendiri.

Menurut Winkel (dalam Nursalim dan Suradi, 2002) bimbingan kelompok adalah pelayanan bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan. Senada dengan pendapat diatas Djumhur dan Surya (dalam Nursalim dan Suradi, 2002) bimbingan kelompok adalah suatu teknik yang dipergunakan untuk membantu siswa atau sekelompok siswa dalam memecahkan masalah-masalah melalui kegiatan kelompok.

Menurut Sukardi (2002) bimbingan kelompok yaitu layanan bimbingan yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari nara sumber tertentu (terutama dari konselor) yang berguna untuk menunjang kehidupannya sehari-hari baik individu maupun sebagai pelajar, anggota keluarga dan masyarakat serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Dalam bimbingan kelompok merupakan sarana untuk menunjang perkembangan optimal masing-masing siswa, yang diharapkan dapat mengambil manfaat dari pengalaman pendidikan ini bagi dirinya sendiri.

(8)

Jadi dapat disimpulkan bimbingan kelompok merupakan salah satu layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada sejumlah individu dalam bentuk kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk membahas topik tertentu yang dipimpin oleh pemimpin kelompok bertujuan menunjang pemahaman, pengembangan dan pertimbangan pengambilan keputusan atau tindakan individu.

2.2.2 Manfaat Bimbingan Kelompok

Melalui bimbingan kelompok menurut Slameto (dalam Nursalim dan Suradi, 2002) diperoleh keuntungan sebagai berikut:

a. Anak dapat mengenal dirinya melalui hidup bergaul dengan teman lain, sehingga dapat mengukur kemampuan dirinya lebih pandai atau kurang, sehingga anak lalu mengambil sikap bagaimana kalau lebih dan bagaimana kalau kurang.

b. Dalam interaksi sosial terpengaruh sifat dan sikapnya menjadi baik, misalnya mempunyai rasa toleransi, menghargai pendapat orang lain, kerjasama yang baik, tanggung jawab, disiplin, kreatif, saling mempercayai dan sebagainya.

c. Dapat mengurangi rasa malu, agresif, penakut, emosional, pemarah, emosional dan sebagainya.

d. Dapat mengurangi ketegangan emosional, konflik, frustasi.

e. Dapat mendorong anak lebih gairah di dalam melaksanakan tugas, suka berkorban kepada kepentingan orang lain, suka menolong, bertindak teliti dan hati-hati.

(9)

2.2.3 Ciri-Ciri Bimbingan Kelompok

Menurut Nursalim dan Suradi (2002) dalam kehidupan sebuah kelompok dinilai baik atau kurang baik, terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Saling hubungan yang dinamis antar anggota

Dalam hubungan yang saling dinamis antar anggota kelompok, menunjuk pada suasana antar hubungan itu sendiri, khususnya suasana perasaan yang tumbuh di dalam kelompok itu sendiri. Suasana perasaan yang dimaksud seperti rasa diterima atau ditolak, rasa senang dan benci, rasa berani.

2. Tujuan bersama

Tujuan bersama adalah pusat dari kegiatan kehidupan kelompok. Tujuan yang nyata hendak dimengerti dan diterima oleh semua anggota kelompok, sehingga mereka benar-benar mengarahkan dan mewujudkan diri masing-masing sesuai dengan tujuan itu. Tanpa adanya tujuan bersama yang jelas, dimengerti dan diterima, maka kelompok itu akan kacau, bahkan para anggota merasa tidak menentu dan suasana mencekampun dapat terjadi.

3. Hubungan antara besarnya kelompok dengan sifat kelompok

Adanya hubungan langsung antar besarnya kelompok dengan sifat kelompok itu. Misalnya:

(10)

a. Kelompok yang terdiri atas 2 individu adalah kelompok paling ideal untuk tercapainya keakraban, kekurangannya bila terjadi pertentangan pendpat diantara kedua individu.

b. Kelompok yang terdiri atas 3 individu. Dinamika saling hubungan diantara mereka dapat tumbuh subur, hanya bahayanya bila dua indivisu siantaranya membentuk klik, maka yang seorang akan menjadi terisolir.

c. Kelompok yang terdiri 4-8 individu. Kelompok ini termasuk kelompok sedang. Kelompok ini tergolong baik untuk melaksanakan hubungan kelompok. Tanpa dipimpin oleh konselor, kelompok dapat memilih pimpinannya sendiri atau setidaknya dapat menentukan aturan-aturan sendiri yang dapat dijadikan pegangan untuk semua anggota.

d. Kelompok yang terdiri 8-30 individu adalah kelompok yang baik untuk tujuan pendidikan tertentu, misalnya: latihan kepemimpinan. 4. Iktikad dan sikap para anggota

Itikad baik dalam arti tidak mau menang sendiri, tidak sekedar menanggapi atau menyerang pendapat orang lain adalah sangat penting dalam kehidupan kelompok. sikap para anggota yang dimaksud bahwa setiap anggota dapat memberi waktu dan kesempatan pada anggota lain untuk mengemukakan pendapat secara leluasa. Jika sikap ini berkembang, maka kehidupan kelompok yang baik dapat tumbuh dan

(11)

sebaliknya jika dalam kelompok itu para anggotanya merasa terpaksa berada dalam kelompok, maka kehidupan kelompok tidak akan tumbuh. 5. Kemampuan mandiri

Setiap anggota kelompok tidak begitu saja terbawa oleh pendapat orang lain. Dalam kelompok, anggota diharapkan dapat mengembangkan diri dan mewujudkan dirinya masing-masing. Namun perlu diingat bahwa dalam rangka mengembangkan diri dan mewujudkan tersebut tidak boleh melanggar unsure itikat dan sikap kehidupan kelompok.kehadiran setiap anggota kelompok perlu disertai dengan sikap tenggang rasa yang selaras, serasi dan seimbang

2.2.4 Tahap Pelaksanaan Bimbingan Kelompok

Tahap pelaksanaan bimbingan kelompok menurut Prayitno (1995) ada empat tahapan, yaitu :

Tahap I Pembentukan

Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri atau tahap memasukkan diri ke dalam kehidupan suatu kelompok. Pada tahap ini pada umumnya para anggota saling memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan ataupun harapan-harapan yang ingin dicapai baik oleh masing-masing, sebagian, maupun seluruh anggota. Memberikan penjelasan tentang bimbingan kelompok sehingga masing-masing anggota akan tahu apa arti dari bimbingan kelompok dan mengapa bimbingan kelompok harus dilaksanakan serta menjelaskan aturan main yang akan diterapkan dalam bimbingan kelompok ini. Jika ada masalah dalam proses

(12)

pelaksanaannya, mereka akan mengerti bagaimana cara menyelesaikannya. Asas kerahasiaan juga disampaikan kepada seluruh anggota agar orang lain tidak mengetahui permasalahan yang terjadi pada mereka.

Tahap II Peralihan

Tahap kedua merupakan “jembatan” antara tahap pertama dan ketiga. Ada kalanya jembatan ditempuh dengan amat mudah dan lancar, artinya para anggota kelompok dapat segera memasuki kegiatan tahap ketiga dengan penuh kemauan dan kesukarelaan. Ada kalanya juga jembatan itu ditempuh dengan susah payah, artinya para anggota kelompok enggan memasuki tahap kegiatan kelompok yang sebenarnya, yaitu tahap ketiga. Dalam keadaan seperti ini pemimpin kelompok, dengan gaya kepemimpinannya yang khas, membawa para anggota meniti jembatan itu dengan selamat.

Adapun yang dilaksanakan dalam tahap ini yaitu:

a. Menjelaskan kegiaatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya b. Menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap

menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya c. Membahas suasana yang terjadi

d. Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota

e. Bila perlu kembali kepada beberapa aspek tahap pertama.

Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin, yaitu:

1. Menerima suasana yang ada secara sabar dan terbuka

(13)

2. Tidak mempergunakan cara-cara yang bersifat langsung atau mengambil alih kekuasaannya.

3. Mendorong dibahasnya suasana perasaan.

4. Membuka diri, sebagai contoh dan penuh empati. Tahap III Kegiatan

Tahap ini merupakan inti dari kegiatan kelompok, maka aspek-aspek yang menjadi isi dan pengiringnya cukup banyak, dan masing-masing aspek tersebut perlu mendapat perhatian yang seksama dari pemimpin kelompok. ada beberapa yang harus dilakukan oleh pemimpin dalam tahap ini, yaitu sebagai pengatur proses kegiatan yang sabar dan terbuka, aktif akan tetapi tidak banyak bicara, dan memberikan dorongan dan penguatan serta penuh empati.

Tahap ini ada berbagai kegiatan yang dilaksanakan, yaitu:

1. Masing-masing anggota secara bebas mengemukakan masalah atau topik bahasan.

2. Menetapkan masalah atau topik yang akan dibahas terlebih dahulu. 3. Anggota membahas masing-masing topik secara mendalam dan tuntas. 4. Kegiatan selingan.

Kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar dapat terungkapnya masalah atau topik yang dirasakan, dipikirkan dan dialami oleh anggota kelompok. Selain itu dapat terbahasnya masalah yang dikemukakan secara mendalam dan tuntas serta ikut sertanya seluruh anggota secara aktif dan

(14)

dinamis dalam pembahasan baik yang menyangkut unsur tingkah laku, pemikiran ataupun perasaan.

Tahap IV Pengakhiran

Pada tahap pengakhiran bimbingan kelompok, pokok perhatian utama bukanlah pada berapa kali kelompok itu harus bertemu, tetapi pada hasil yang telah dicapai oleh kelompok itu. Kegiatan kelompok sebelumnya dan hasil-hasil yang dicapai seyogyanya mendorong kelompok itu harus melakukan kegiatan sehingga tujuan bersama tercapai secara penuh. Dalam hal ini ada kelompok yang menetapkan sendiri kapan kelompok itu akan berhenti melakukan kegiatan, dan kemudian bertemu kembali untuk melakukan kegiatan. Ada beberapa hal yang dilakukan pada tahap ini, yaitu:

1. Pemimpin kelompok mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri.

2. Pemimpin dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan.

3. Membahas kegiatan lanjutan. 4. Mengemukakan pesan dan harapan.

Setelah kegiatan kelompok memasuki pada tahap pengakhiran, kegiatan kelompok hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok mampu menerapkan hal-hal yang mereka pelajari (dalam suasana kelompok), pada kehidupan nyata mereka sehari-hari.

(15)

2.3 Teknik Permainan Simulasi 2.3.1 Pengertian Permainan Simulasi

Menurut Romlah (1989) teknik permainan simulasi terdiri dari kata permainan dan simulasi. Permainan dapat disebut sebagai alat untuk mengembangkan pengenalan terhadap lingkungan. Dengan demikian bermain merupakan cara belajar yang menyenangkan dengan bermain remaja akan belajar sesuatu tanpa menyadarinya. Apa yang dipelajari akan mudah diserap, disimpan dalam pikirannya dan akan dipadukan menjadi satu-kesatuan dengan pengalaman lain yang kadang-kadang tanpa disadarinya. Permainan simulasi merupakan gabungan antara permainan dan simulasi, para pemain melakukan aktivitas simulasi dan mereka memperoleh balikan dari aktivitas permainan tersebut. menurut Adams ( dalam Romlah, 1989) Permainan simulasi adalah permainan yang dimaksudkan untuk merefleksikan situasi-situasi yang terdapat dalam kehidupan yang sebenarnya.

2.3.2 Cara Melaksanakan Permainan Simulasi

Romlah (1989) mengemukakan langkah pertama yang perlu dilakukan dalam memainkan permainan simulai adalah menentukan peserta permainan. Peserta permainan adalah mereka yang terlibat dalam permainan simulasi yang terdiri dari:

a. Fasilitator

Yaitu, individu yang bertugas memimpin permainan simulasi. Tugas fasilitator adalah menjelaskan tujuan dari permainan, mendorong

(16)

pemain dan penonton untuk aktif ikut berdiskusi, membantu memecahkan masalah yang timbul selama permainan, menjawab pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh peserta lain, mengarahkan diskusi dan memberi tugas penulis untuk mencatat hasil diskusi dan melaporkan hasilnya.

b. Penulis

Penulis bertugas mencatat segala sesuatu yang terjadi selama permainan berlangsung.

c. Pemain

Yaitu, individu yang memegang tanda bermain, menjawab dan mendiskusikan pesan-pesan permainan simulasi.

d. Pemegang peran

Yaitu, individu yang berperan sebagai tokoh yang ada dalam scenario permainan.Tugasnya adalah memberikan pendapat pada masalah yang menyangkut bidangnya untuk memperjelas informasi.

e. Penonton

Yaitu, mereka yang ikut menyaksikan permainan simulasi dan berhak mengemukakan pendapat, menjawab pertanyaan serta ikut berdiskusi.

Menurut Romlah (1989) langkah-langkah yang yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan permainan sebagai berikut:

a. Menyediakan alat permainan beserta kelengkapannya. b. Fasilitator menjelaskan tujuan permainan.

(17)

c. Menentukan pemain, pemegang peran dan penulis. d. Menjelaskan aturan permainan

e. Bermain dan berdiskusi

f. Menyimpulkan hasil diskusi setelah seluruh permainan selesai dan mengemukakan masalah-masalah yang belum sempat diselesaikan pada saat itu.

g. Menutup permainan dan menentukan waktu dan tempat bermain berikutnya.

h. Dalam menentukan topik permainan simulasi, tergantung dari kreativitas konselor berdasarkan hasil pengamatannya terhadap kebutuhan. Pesan-pesannya dijabarkan dari elemen-elemen positif dan negatif yang diindentifikasi dari masing-masing topik.

2.4 Layanan Bimbingan Kelompok Dalam Meningkatkan Kemandirian Kemandirian adalah dimana individu yang memiliki kemampuan berdiri sendiri karena mempunyai disiplin dan komitmen tumbuh dan berkembang sehingga, dapat menentukan diri sendiri yang dinyatakan dalam tindakan dan perilaku yang dapat dinilai.

Kemandirian merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi dalam pembentukannya ditentukan bagaimana individu mempelajari sesuatu dan merupakan hasil bentukan dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu yang lain dan lingkungannya.

Tercapainya kemandirian tidak terlepas dari dukungan dari keluarga dan lingkungannya. Selaras dengan pendapat yang dikemukakan Mu’tadin (2002)

(18)

bahwa untuk dapat mandiri individu membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan terutama dari lingkungan keluarga dalam hal ini orang tua dan lingkungan sekitanya.

Kemandirian terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungan. Salah satu cara untuk meningkatkan kemandirian dengan bimbingan kelompok. Hal tersebut bertujuan agar individu dapat berinteraksi dengan anggota lain, mereka dapat belajar memberi dan menerima, dan belajar memecahkan masalah berdasarkan masukan dari orang lain.

Layanan bimbingan kelompok merupakan proses pemberian informasi dan bantuan pada sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok guna mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam layanan bimbingan kelompok interaksi antar individu antar anggota kelompok merupakan suatu yang khas yang tidak mungkin terjadi pada konseling perorangan. Karena dalam layanan konseling kelompok terdiri dari individu yang berbeda terutama dari latar belakang dan pengalaman mereka masing-masing.

Dengan bimbingan kelompok anak mengharapkan kehidupannya lebih baik, dapat memecahakan masalah dan dapat membantu orang lain untuk menjadi anak yang lebih mandiri.

2.5 Temuan-Temuan Yang Relevan.

Menurut hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Dwi (2010) yang berjudul upaya meningkatkan pengendalian emosi melalui layanan bimbingan kelompok

pada remaja dipanti asuhan Yayasan Al-Hidayah Desa Desel Sadeng Kecamatan

Gunung Pati Semarang dengan hasil analisis yang diperoleh peneliti sebelum

(19)

diberi layanan Bimbingan Kelompok, skor sebesar 166 atau 60,79 % masuk kategori pengendalian emosi tingkat sedang. Sedangkan sesudah layanan Bimbingan Kelompok tingkat pengendalian emosi remaja mengalami peningkatan sebesar 9,73 % dari kategori sedang menjadi kategori tinggi, yang semula 166 atau 60,79 % naik menjadi 192,5 atau 70,01 %. Dari uji wilcoxon diperoleh Z hitung = 3,40 > Z tabel = 0,03. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan pengendalian emosi antara sebelum dan sesudah layanan.

Menurut hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Fatimah (2010) yang

berjudul peningkatan kemampuan pengambilan keputusan melalui bimbingan

kelompok pada siswa kelas X 5 di SMA Negeri 2 Ungaran dengan hasil penelitian

yang diperoleh, tingkat pengambilan keputusan sebelum diberi layanan bimbingan kelompok tergolong dalam kategori sedang dengan skor rata-rata presentase 63,81 %. Setelah diberi layanan bimbingan kelompok, tingkat pengambilan keputusan mengalami peningkatan sebesar 8,19 % menjadi 72 % termask dalam kategori tinggi. Dari hasil perhitungan Uji Wilcoxon diperoleh Z hitung = -3,062 pada taraf signifikan 5% dan N = 12 di dapat Ztabel sebesar 0,002. Dengan demikian nilai Zhitung = -3,062 > Ztabel = 0,002, harga ini menyimpulkan bahwa pengambilan keputusan dapat ditingkatkan melalui layanan bimbingan kelompok.

Menurut hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Noor (2011) yang berjudul

upaya meningkatkan pengendalian emosi melalui layanan bimbingan kelompok

siswa kelas VIII A MTS Ma ahid Kudus dengan hasil layanan bimbingan

kelompok pada siklus I, pengendalian emosi meningkat sebesar 15,6 % dengan hasil skor peningkatan 23 sehingga menjadi kategori kurang dengan rata-rata

(20)

28 persentase 45,9 % dengan skor 147. Sedangkan pada siklus II pengendalian emosi terus meningkat sebesar 38,1% dengan skor peningkatan 145 sehingga menjadi kategori sangat baik dengan perolehan rata-rata persentase 84 % dengan skor 269. Dengan demikian hasil peningkatan pra siklus sampai siklus II adalah 53,7 % dengan skor peningkatan 145. Hal ini menunjukkan layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan pengendalian emosi pada siswa kelas VIII B MTS. Ma ahid Kudus.

2.6 Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis data penelitian tentang layanan konseling kelompok.. behavioral terhadap kemandirian belajar siswa, ditemukan

Keefektifan Layanan Bimbingan Kelompok Dengan Teknik Permainan Untuk Meningkatkan Kestabilan Emosi Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Karangnongko Tahun Pelajaran

Dari pengamatan penulis selama kegiatan bimbingan kelompok berlangsung, peserta mengikuti kegiatan layanan bimbingan kelompok dengan baik dan peserta masih

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan kematangan emosional remaja PPA IO-935

Penilaian dilakukan selama proses layanan bimbingan kelompok berlangsung terutama ketika anggota kelompok melaksanakan permainan simulasi, serta dengan memberikan

Dengan demikian Hi diterima, bahwa terdapat peningkatan yang signifikan kontrol diri melalui bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi pada siswa kelas VIII

Bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi diberikan kepada siswa yang mempunyai kontrol diri rendah, dengan tujuan untuk meningkatkan kontrol diri siswa

Follow up/tindak lanjut : Bagi anggota kelompok yang belum melakukan penyesuaian dengan tujuan yang diinginkan melalui kegiatan layanan bimbingan kelompok atau