• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN METACOGNITIVE

SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika

Oleh:

Muhamad Zulfikar Mansyur 1003095

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN METACOGNITIVE

SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Oleh:

Muhamad Zufikar Mansyur

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Muhamad Zulfikar Mansyur 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

MUHAMAD ZULFIKAR MANSYUR

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN METACOGNITIVE

SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN

MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Disetujui dan disahkan oleh pembimbing:

Pembimbing I,

Dr. H. Sufyani Prabawanto, M.Ed NIP. 196008301986031003

Pembimbing II,

Dra. Entit Puspita, M.Si NIP. 196704081994032002

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika,

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ...1

A.Latar Belakang ...2

B.Rumusan Masalah ...6

C.Tujuan Penelitian ...6

D.Manfaat Penelitian ...7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...8

A.Metacognitive Scaffolding ...8

B.Pemecahan Masalah matematis ... 12

C.Pembelajaran Konvensional ... 20

D.Sikap ... 21

E.Hubungan antara Pendekatan Metacognitive Scaffolding dengan Kemampuan Pemecahan Masalah ... 23

F. Penelitian yang Relevan ... 25

G.Kerangka Pemikiran ... 27

H.Hipotesis Penelitian ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A.Metode dan Desain Penelitian ... 30

(5)

viii

D.Instrumen ... 32

1. Instrumen Pembelajaran ... 32

2. Instruen Penelitian ... 33

E.Prosedur Penelitian ... 43

F. Teknik Analisis Data ... 44

1. Analisis Data Kuantitatif ... 44

2. Analisis DataKualitatif ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

A.Hasil Penelitian ... 50

1. Analisis Data Kuantitatif ... 50

2. Analisis Data Kualitatif ... 57

B.Pembahasan Hasil Penelitian ... 60

1. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa . 61 2. Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding ... 64

3. Kegiatan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding ... 65

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B.Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(6)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Rancangan Instrumen ... 33

Tabel 3.2 Kriteria Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa .. 35

Tabel 3.3 Kriteria Validitas Instrumen ... 36

Tabel 3.4 Validitas Tiap Butir Soal ... 36

Tabel 3.5 Daftar Hasil Uji Keberartian Tiap Butir Soal ... 37

Tabel 3.6 Kriteria Reliabilitas ... 38

Tabel 3.7 Kriteria Daya Pembeda... 40

Tabel 3.8 Daya Pembeda Tiap Butir Soal ... 40

Tabel 3.9 Kriteria Indeks Kesukaran ... 41

Tabel 3.10 Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal ... 41

Tabel 3.11 Rekapitulasi Hasil Pengolahan Instrumen Tes ... 42

Tabel 3.12 Kriteria Klasifikasi Indeks Gain ... 48

Tabel 3.13 Ketentuan Pemberian Skor Pernyataan Skala Sikap ... 49

Tabel 4.1 Daftar Hasil Uji Kesamaan Dua Rata-Rata Skor Pretest ... 52

Tabel 4.2 Daftar Hasil Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Skor Indeks Gain ... 55

(7)

x

DAFTAR GAMBAR

(8)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A Perangkat Pembelajaran ... 73

Lampiran A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 74

Lampiran A.2 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 161

Lampiran A.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 190

Lampiran B Instrumen Penelitian ... 215

Lampiran B.1 Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 216

Lampiran B.2 Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 217

Lampiran B.3 Rubrik Jawaban Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 218

Lampiran B.4 Lembar Observasi Guru ... 226

Lampiran B.5 Lembar Observasi Siswa ... 227

Lampiran B.6 Kisi-Kisi Angket Skala Sikap ... 228

Lampiran B.7 Angket Skala Sikap ... 230

Lampiran C Hasil Uji Instrumen dan Pengolahan Data ... 232

Lampiran C.1 Hasil Uji Instrumen ... 233

Lampiran C.2 Pra Pengolahan Data ... 240

Lampiran C.2.1 Skor Pretest dan Posttest ... 240

Lampiran C.2.2 Olah Data Pretest Kelas Eksperimen ... 242

(9)

xii

Lampiran C.2.3 Olah Data Posttest Kelas Kontrol ... 254

Lampiran C.3 Pengolahan Data ... 258

Lampiran C.3.1 Skor Pretest dan Posttest ... 258

Lampiran C.3.2 Olah Data Pretest ... 260

Lampiran C.3.3 Olah Data Indeks Gain... 262

Lampiran C.3.4 Olah Data Postest ... 264

Lampiran C.3.5 Olah Data Angket Skala Sikap ... 266

Lampiran C.3.6 Rekapitulasi Hasil Observasi Aktivitas Guru ... 272

Lampiran C.3.7 Rekapitulasi Hasil Observasi Aktivitas Siswa ... 273

Lampiran D Contoh Jawaban Instrumen Test dan Non-tes ... 374

Lampiran D.1 Contoh Lembar Jawaban Pretest ... 375

Lampiran D.2 Contoh Lembar Jawaban Posttest ... 386

Lampiran D.3 Contoh Lembar Kegiatan Siswa (LKS) ... 300

Lampiran D.1 Lembar Observasi Guru ... 329

Lampiran D.2 Lembar Observasi Siswa ... 334

Lampiran D.3 Contoh Angket Skala Sikap ... 338

Lampiran E Surat Penelitian ... 344

Lampiran E.1 Surat Izin Penelitian ... 345

(10)

ABSTRAK

Muhamad Zulfikar Mansyur. (1003095). Penerapan Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematis dan fakta rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP. Adapun tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pendekatan pembelajaran metacognitive scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional; (2) mengetahui sikap siswa terhadap penerapan pendekatan pembelajaran metacognitive scaffolding pada pembelajaran matematika. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitiannya adalah nonequivalent control group design Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 16 Bandung pada tahun ajaran 2013/2014. Pada penelitian ini diambil dua kelas sebagai sampel dari sejumlah kelas VIII secara acak kelas. Satu kelas sebagai kelas eksperimen mengikuti pembelajaran dengan pendekatan

metacognitive scaffolding dan satu kelas sebagai kelas kontrol mengikuti pembelajaran secara konvensional. Adapun data penelitian ini diperoleh melalui tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, lembar observasi dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan

metacognitive scaffolding lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Selain itu, sebagian besar siswa memberikan sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan

metacognitive scaffolding.

(11)

ABSTRACT

Muhamad Zulfikar Mansyur. (1003095). Assembling of Metacognitive Scaffolding Teaching Approach to Enhance the Junior High School Students’s Mathematical Problem Solving Ability.

This research was motivated by the fact that mathematical problem solving ability were important and still low in junior highschool students. The objectives of this study were: (1) determine whether the increased problem solving abilities of students who obtained teaching under metacognitive scaffolding teaching approach was better than students who obtained teaching under conventional

teaching model; (2) determine students’ attitudes toward assembling of metacognitive scaffolding teaching model in mathematics teaching. The method used in this study was quasi-experimental with nonequivalent control group design. The population in this study were all 8th grade students of 16th junior high school Bandung academic year 2013/2014 and the samples were students from two classes of the school, which was one class as experimental group that obtained teaching under metacognitive scaffolding teaching approach and the other as control group that obtained conventional teaching model. The data were obtained from mathematical problem solving test, observation sheets and questionnaires. The results were: (1) enhancement mathematical problem solving ability of students who obtained teaching under metacognitive scaffolding teaching approach was better than students who obtained teaching under conventional teaching model; (2) students gave positive attitude toward assembling of metacognitive scaffolding teaching approach in mathematics teaching.

(12)

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting dan wajib dipelajari pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini dikarenakan matematika merupakan dasar dari berbagai disiplin imu, seperti diungkapkan oleh Soedjadi (2000:138) bahwa matematika adalah salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya maupun aspek penalarannya mempunyai peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Soejadi (2000: 42) juga mengungkapkan Tujuan dari pendidikan matematika pada jenjang sekolah dasar dan menengah adalah menekankan pada penataan nalar dan pembentukan kepribadian (sikap) siswa agar dapat menerapkan atau menggunakan ilmu matematika dalam kehidupannya. Mengingat pentingnya matematika dalam ilmu pengetahuan serta kehidupan pada umumnya, maka matematika perlu dipahami oleh semua lapisan masyarakat terutama siswa sekolah formal.

Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) pada tahun 2006 mengeluarkan tujuan umum yang harus dicapai dalam pembelajaran maematika yang tertuang dalam standar isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu:

1 Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma (secara luwes, akurat, efesien, dan tepat) dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

(13)

2

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Isi dari standar isi KTSP tersebut menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian penting dari pembelajaran matematika. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah pada siswa dipandang perlu untuk dikembangkan. Pada kurikulum 2013 juga disebutkan bahwa kemampuan pemecahan msalah menjadi hal yang harus dicapai siswa, hal ini terlihat pada kompetensi dasar dimana menyelesaikan masalah menjadi kompetensi dasar yang harus dicapai siswa (Permendikbud no.68, 2013: 42). Jusra (2013:2-3) mengungkapkan kemampuan pemecahan masalah juga digunakan pada kurikulum dari negara-negara lain, seperti di Amerika Serikat pemecahan masalah telah menjadi fokus utama dalam penelitian pendidikan matematika dari pertengahan tahun 1970an hingga akhir 1980an. Pembelajaran matematika di Jepang juga sebagian besar telah dipengaruhi oleh penekanan pemecahan masalah sebagai aplikasi praktis yang baik dari reformasi matematika. Begitupun dengan Negara tetangga, yaitu Singapura sejak tahun 1990 pemecahan masalah matematis telah menjadi tujuan utama dari kurikulum sekolah matematika.

Pentingnya pemecahan masalah matematis juga terlihat dari dimasukkannya pemecahan masalah matematis sebagai standar proses, baik dalam

(14)

3

kebutuhan-kebutuhan profesional dan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, dengan belajar pemecahan masalah, siswa mempunyai kesempatan lebih banyak dalam menyiapkan diri untuk menghadapi berbagai aspek kehidupannya setelah menyelesaikan sekolah.

Hasil survei TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment) (Balitbang Kemdikbud 2011, Prabawanto 2013) mengungkap bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis Indonesia selalu berada di bawah rata-rata internasional dan terlihat bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Indonesia masih terbilang rendah.

Dalam kenyataannya di lapangan, pembelajaran matematika jarang memfasilitasi siswa untuk dapat mengasah kemampuan pemecahan masalah matematis. Guru dalam mengajar hanya sebatas mencontohkan kepada siswa bagaimana cara menyelesaikan soal, siswa belajar dengan cara mendengar dan menonton guru melakukan matematika, kemudian guru mencoba memecahkan sendiri. Dengan begitu, kemampuan siswa tidak berkembang secara utuh dan hal tersebut juga menyebabkan kemampuan pemecahan masalah siswa menjadi rendah. Pembelajaran yang demikian biasa disebut dengan pembelajaran konvensional dimana guru menjadi pusat pembelajaran dan siswa cenderung pasif mengikuti proses pembelajaran yang diberikan oleh guru. Banyaknya guru yang menggunakan pembelajaran konvensional salah satunya karena pembelajaran konvensional sendiri memiliki beberapa kelebihan diantaranya :

a. Lebih ekonomis dalam hal waktu kelas, sebab pendekatan pembelajaran ini membawa gagasan guru langsung pada masalah/ fokus.

b. Memberi kemungkinan kepada guru untuk menggunakan pengalaman, pengetahuan dan kearifannya.

c. Memungkinkan guru meliputi jumlah siswa yang besar dan bila diperlukan meliputi bahan pelajaran yang luas.

(15)

4

e. Dapat membantu mengintrodusir topik baru dengan menyediakan latar belakang bahan yang akan diperlukan siswa dalam belajar lebih lanjut. (Wahab, 2008:89)

Selain kelebihan pembelajaran konvensional ini juga memiliki kekurangan yaitu:

a. Melumpuhkan kreatifitas

b. Materi pelajaran terurut secara kaku

c. Sangat bergantung pada pengetahuan dan keterampilan dasar guru,

d. Kurang efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Huit dalam Permatasari, 2011:33-34)

Berdasarkan hasil observasi di salah satu SMP Negeri di kota Bandung pada pembelajaran matematika, siswa tidak terbiasa dengan pembelajaran secara berkelompok, soal yang diberikan kepada siswa adalah soal yang rutin dan kurang diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, ide dan gagasan.

Dari masalah yang diungkapakan di atas, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah dengan menggunakan teknik, metode, dan pendekatan pembelajaran matematika yang menuntut siswa untuk dapat menguasai materi tanpa harus berpusat pada guru dalam pembelajarannya. Siswa yang belajar secara mandiri kemudian merasakan kesulitan maka dia dikatakan berada pada ZPD (Zone of Proximal Development) siswa. Salah satu metode atau pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan ketika siswa merasakan kesulitan tersebut adalah metacognitive scaffolding.

Scaffolding adalah pemberian sejumlah bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Mulyana dalam Anjani, 2013:4). Scaffolding

(16)

5

Awi (Murod, 2013:7) dikenal sebagai salah satu bentuk kemampuan

metacognitive. Selanjutnya Awi (Murod, 2013:7) menambahkan bahwa untuk melibatkan metakognisi siswa pada saat berada pada ZPDnya, maka dibutuhkan bantuan berupa scaffolding dari guru atau orang yang lebih menguasai. Bantuan yang dimaksud disini bukan dengan cara memberikan teorema atau rumus yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi siswa, namun berupa bantuan yang mengarahkan siswa melibatkan metakognisinya dalam belajar. Bantuan dalam hal ini dapat berupa pertanyaan, arahan, atau perintah yang diistilahkan sebagai

metacognitive scaffolding.

Setiap siswa tentu berbeda dengan yang lainnya yang tentunya memiliki kemampuan metakognitif yang berbeda pula, sehingga mengharuskan guru memberikan bantuan yang berbeda-beda kepada setiap siswa tergantung kepada kemampuan yang dimilikinya. Sehingga hal ini akan menjadi suatu hambatan bagi guru dalam menerapkan pendekatan metacognitive scaffolding dalam pembelajaran matematika di kelas yang terdiri dari puluhan siswa. Untuk itu, pendekatan ini perlu dikombinasikan dalam pola belajar kooperatif dimana nantinya siswa akan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah 4-5 orang. Dengan demikian pedekatan pembelajaran metacognitive scaffolding dalam pola belajar kooperatif inilah selanjutnya disebut pedekatan metacognitive scaffolding yang akan digunakan dalam penelitian ini dan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

(17)

6

sebagaimana yang diungkapkan oleh Begle (Darhim, 2012) bahwa sikap positif siswa terhadap matematika berkorelasi positif terhadap prestasi belajar. Dalam prestasi belajar matematika yang menjadi salah satu tolak ukurnya adalah kemampuan kognitif siswa. Berdasarkan yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa kemampuan pemcahan masalah menjadi salah satu tujuan dari pembelajaran matematika, sehingga salah satu kemampuan kognitif siswa yang harus dikuasai adalah kemampuan pemecahan masalah matematis. Ini berarti sikap positif siswa berkorelasi positif juga terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Maka dari itu perlu dilakukan kajian mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul Penerapan Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding

untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama .”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut

a. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pendekatan pembelajaran Metacognitive Scaffolding

lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? b. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

menggunakan pendekatan Metacognitive Scaffolding? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian yang dilakukan bertujuan untuk:

a. Mengetahui Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pendekatan pembelajaran

Metacognitive Scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional

(18)

7

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya pemahaman tentang pengaruh Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding dalam kemampuan pemecahan masalah.

b. Manfaat Praktis

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1) Bagi guru, Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding dapat dijadikan alternatif dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

2) Bagi siswa, untuk meningkatkan kemampuan pemecahan msalahnya melalui pembelajaran matematika berbasis masalah sehingga diharapkan siswa akan lebih aktif lagi dalam memecahkan permasalahan matematika lainnya.

(19)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pendekatan pembelajaran mtecognitive scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, sehingga penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yaitu penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan sebab akibat. Perlakuan yang dilakukan terhadap variabel bebas, hasilnya akan terlihat pada variabel terikatnya. Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah pendekatan pembelajaran metacognitive scaffolding dan variabel terikatnya adalah kemampuan pemecahan masalah matematis.

Desain penelitian ini adalah desain nonequivalent control group design. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan pembelajaran matematika dengan pendekatan metacognitive scaffolding dan kelompok kontrol diberikan pembelajaran secara konvensional. Sebelum diberikan perlakuan, kedua kelompok ini diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Kemudian, setelah diberikan perlakuan kedua kelompok diberikan posttest. Soal yang diberikan untuk pretest dan posttest merupakan soal yang serupa.

Adapun desain penelitiannya adalah

O X O ---

O O

Keterangan:

O : Pretest dan postets berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematis X :Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metacognitive

scaffolding.

(20)

31

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 16 Bandung tahun ajaran 2013/2014. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Sukardi, 2003: 64). Peneliti tidak dapat membuat kelas baru, maka peneliti menggunakan kelas yang sudah terbentuk yang ada di sekolah tersebut. Setelah dilakukan purposive smpling terpilih kelas 8.1 sebagai kelas eksperimen yang mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan metacognitive scaffolding dan kelas 8.10 sebagai kelas kontrol yang mendapat pembelajarn matematika dengan metode konvensional

C. Definisi Operasional

Agar terdapat kesamaan persepsi istilah-istilah yang digunakan dalam makalah ini, maka istilah-istilah tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal (masalah matematis) non rutin, yaitu suatu soal yng harus dikerjakan siswa namun siswa belum tahu bagaimana cara mengerjakan soal tersebut. Adapun indikator kemampuan pemecahan masalah matematis didalam penelitian ini adalah:

1. Kemampuan menyelesaikan masalah matematis tertutup dengan konteks di dalam matematika.

2. Kemampuan menyelesaikan masalah matematis tertutup dengan konteks di luar matematika..

3. Kemampuan menyelesaikan masalah matematis terbuka dengan konteks di dalam matematika.

4. Kemampuan menyelesaikan masalah matematis terbuka dengan konteks di luar matematika.

(21)

32

b. Guru mengelompokkan siswa kedalam beberapa kelompok c. Guru memberikan masalah matematis kepada siswa

d. Siswa mencoba menyelesaikan masalah matematis dengan berdiskusi di kelompoknya.

e. Guru membimbing siswa dalam investigasi masalah dengan memberikan bantuan bersifat metakognitive dan sementara yang nantinya bantuan ini akan dikurangi terus meerus sampai siswa mampu menyelesaikan masalah secara mandiri. Bantuan bersifat metakognitif ini berupa pertanyaan, arahan, atau perintah sehingga siswa dapat merencanakan dan mengevaluasi diri dalam menyelesaikan masalah matematis.

f. Beberapa siswa menyajikan hasil investigasi di depan kelas. g. Siswa lain menanggapi hasil sajian siswa didepan kelas h. Guru mengevaluasi hasil diskusi masalah.

3. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasanya dilakukan dengan pendekatan ekspositori. Pembelajaran ini diawali dengan pemberian materi oleh guru, dilanjutkan dengan pemberian contoh kemudian siswa mengerjakan soal latihan dan terakhir siswa diberikan soal-soal pekerjaan rumah jika dianggap perlu.

D. Instrumen

Dalam penelitian ini, instrumen yang akan dikembangkan berupa instrumen pembelajaran yang terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) serta instrumen penelitian yang terdiri dari intstrumen tes dan non-tes.

1. Instrumen Pembelajaran

a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

(22)

33

kontrol disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran konvensional. Sedangkan RPP untuk kelas eksperimen disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding.

b. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

LKS merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kertas yang berisi materi, ringkasan, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugas pembelajaran yang harus dikerjakan oleh siswa, yang mengacu pada kompetensi dasar yang harus dicapai (Prastowo dalam Maya, 2012: 35). Dalam penelitian ini, pada kelas eksperimen LKS disusun menyesuaikan dengan langkah-langkah pendekatan metacognitive scaffolding dan indikator kemampuan pemecahan masalahi matematis, sedangkan kelas kontrol tidak menggunakan LKS tetapi hanya menggunakan buku sumber.

2. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat pengumpul data untuk mengevaluasi kemampuan kognitif, afektif, dan psikmotor siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari instrumen tes dan non-tes. Instrumen tes berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematis dan instrumen non-tes berupa lembar observasi dan skala sikap.

Tabel 3.1 Rancangan Instrumen

No Target Sumber

Data

Teknik/ Cara

Instrumen yang Digunakan 1 Kemampuan pemecahan

Masalah Siswa Tertulis Tes

2 Respon terhadap

pendekatan pembelajaran

metacognitivescaffolding

(23)

34

a. Instrumen Tes

Instrumen tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan Pemecahan masalah matematis. Dalam penelitian ini akan dilaksanakan dua kali tes, yaitu pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam memahami konsep suatu materi matematika yang dipelajarinya sebelum mendapatkan perlakuan dan postest untuk mengetahui sejauh mana variabel bebas berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan perlakuan. Soal pretest dan postest ini merupakan soal yang sama, ini bertujuan agar terlihat ada atau tidaknya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah penelitian.

Jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis dengan bentuk uraian.Tes uraian dipilih karena dengan tes uraian akan terlihat sejauh mana siswa dapat mencapai setiap indikator kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Menurut Suherman (2003:77) penyajian soal tipe subjektif dalam bentuk uraian ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: 1) pembuatan soal bentuk uraian relatif lebih mudah dan bisa dibuat dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, 2) hasil evaluasi lebih dapat mencerminkan kemampuan siswa sebenarnya, dan 3) proses pengerjaan tes akan menimbulkan kreativitas dan aktivitas positif siswa, karena tes tersebut menuntut siswa agar berpikir secara sistematik, menyampaikan pendapat dan argumentasi, mengaitkan fakta-fakta yang relevan.

(24)

35

Tabel 3.2

Kriteria Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

Respon Siswa Skor

Tidak ada penyelesaian dan tidak menunjukkan pemahaman terhadap masalah

0

jawaban salah atau tidak ada penyelesaian tetapi menunjukkan pemecahan masalah

2

jawaban salah atau tidak selesai, sebagian proses penyelesaian benar

4

jawaban benar alasan tidak relevan 6

Jawaban benar, alasan benar, tetapi kurang jelas 8

Jawaban Benar, alasan benar, dan jelas 10

Sebelum digunakan dalam penelitian, soal tes tersebut akan diujicobakan pada siswa di luar sampel penelitian yang pernah mempelajari materi yang akan diujikan. Pengujian soal tes tersebut bertujuan untuk mengetahui validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda, dan indeks kesukaran butir soal. Data yang diperoleh dari hasil uji coba kemudian akan diolah dengan menggunakan bantuan

Software Anates V4.0.5 tipe uraian. 1) Validitas Butir Soal

Suatu Alat Evaluasi disebut valid (sah) apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman, 2003:102). Untuk menentukan tingkat (kriteria) validitas instrumen ini, akan digunakan koefisien korelasi. Koefisien korelasi yang akan dihitung ini menggunakan rumus korelasi

produk-moment dari Pearson, adapun rumusnya adalah

(25)

36

Keterangan :

x y

r : koefisien korelasi antara X dan Y N : banyaknya peserta tes

X : jumlah skor tiap butir soal Y : skor total

Selanjutnya koefisien korelasi yang telah diperoleh diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien korelasi (koefisien validitas) menurut Guilford (Suherman, 2003:112). Adapun klasifikasi koefisen validitas tersebut adalah

Tabel 3.3

Kriteria Validitas Instrumen Koefisien Validitas Kriteria

Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

Tidak valid

Dari perhitungan hasil uji coba instrumen diperoleh koefisien korelasi untuk setiap butir soal seperti disajikan dalam tabel berikut

Tabel 3.4

Validitas Tiap Butir Soal

Nomor Soal Koefisien Korelasi Interpretasi

1 0,754 Validitas tinggi

2 0,853 Validitas tinggi

3 0,779 Validitas tinggi

4 0,672 Validitas sedang

(26)

37

H0 : Validitas tiap butir soal tidak berarti

H1 : Validitas tiap butir soal berarti

Statistik uji :

Keterangan : t : Keberartian

rxy : Validitas setiap butir soal

N : Banyaknya subjek Kriteria pengujiannya:

Dengan mengambil taraf nyata (α = 0,05), maka H0 diterima jika:

(Sugiyono: 2013: 259)

Dari perhitungan hasil uji keberartian instrumen diperoleh hasil untuk tiap butir soal disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 3.5

Daftar Hasil Uji Keberartian Tiap Butir Soal

No. Soal t hitung t tabel Interpretasi

1 5.133

2.09

Berarti

2 7.309 Berarti

3 5.556 Berarti

4 4.058 Berarti

(27)

38

maka setiap butir soal yang telah diujikan dapat digunakan sebagai soal tes instrumen kemampuan pemecahan masalah matematis pada penelitian ini.

2) Reliabilitas Tes

Reliabilitas suatu alat ukur atau alat evaluasi bertujuan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten) meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda, waktu yang berbeda, dan tempat yang berbeda pula namun diberikan pada subyek yang sama (Suherman, 2003:131). Alat ukur yang reliabilitasnya tinggi disebut alat ukur yang reliabel. Untuk mengukur reliabilitas instrumen tersebut, dapat digunakan nilai koefisien reliabilitas yang dihitung dengan menggunakan rumus Alpha sebagai berikut:

r11 : koefisien reliabilitas alat evaluasi

n : Banyaknya butir soal

(28)

39

Dari hasil perhitungan untuk soal bentuk uraian yang diujicoba, diperoleh koefisien reliabilitas untuk keseluruhan soal sebesar 0.78 yang berati keseluruhan butir soal memiliki derajat reliabilitas tinggi.

3) Daya Pembeda

Daya pembeda (DP) dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang mengetahui jaawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut (atau testi yang menjawab salah). Dengan kata lain, daya pembeda sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara testi (siswa) yang pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang kurang pandai (Suherman, 2003:159).

Daya pembeda sebuah butir soal dapat ditentukan dengan menggunakan rumus

SM I X X DP A  B

Keterangan:

DP : Daya Pembeda

A

X : Rata-rata skor kelompok atas

B

X : Rata-rata skor kelompok bawah

SMI : Skor maksimum ideal

(29)

40

Tabel 3.7 Kriteria Daya Pembeda

Dari hasil perhitungan daya pembeda tipe uraian pada soal yang diujicobakan, diperoleh hasil daya pembeda tiap butir soal disajikan pada tabel berikut

Tabel 3.8

Daya Pembeda Tiap Butir Soal

Nomor Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0,667 Baik

2 0,633 Baik

3 0,567 Baik

4 0,267 Cukup

4) Indeks Kesukaran

Indeks kesukaran suatu butir soal adalah suatu parameter yang dapat mengidentifikasikan tingkat kesukaran tiap butir soal yang diujikan kepada siswa. Suatu soal dikatakan baik apabila soal tersebut tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah kurang membuat siswa merasa tertantang dalam menyelesaikan soal tersebut sedangkan soal yang terlalu sukar membuat siswa menjadi putus asa dan malas untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan.

Untuk mengetahui tingkat atau indeks kesukaran setiap butir soal, digunakan rumus sebagai berikut:

(30)

41

SM I X IK

Keterangan:

IK : Tingkat/indeks kesukaran

X : Rata-rata skor setiap butir soal SMI : Skor maksimum ideal

Indeks kesukaran yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut Suherman (2003: 170).

Tabel 3.9

Kriteria Indeks Kesukaran

Indeks kesukaran (IK) Kriteria soal IK = 0,00 Soal terlalu sukar Soal sukar Soal sedang Soal mudah

Soal terlalu mudah

Dari hasil perhitungan indeks kesukaran tipe uraian pada soal yang diujicobakan, diperoleh hasil daya pembeda tiap butir soal disajikan pada tabel berikut

Tabel 3.10

Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal

Nomor Soal Indeks Kesukaran Interpretasi

1 0,533 Soal Sedang

2 0,617 Soal Sedang

3 0,317 Soal Sedang

(31)

42

Berikut disajikan rekapitulasi dari tiap butir soal

Tabel 3.11

Rekapitulasi Hasil Pengolahan Instrumen Tes Reliabilitas : 0,78 (Tinggi)

No Soal

Validitas Indeks Kesukaran Daya Pembeda Hasil Klasifikasi Hasil Klasifikasi Hasil Klasifikasi

1 Validitas tinggi 0,533 Soal Sedang 0,667 Baik 2 Validitas tinggi 0,617 Soal Sedang 0,633 Baik

3 Validitas tinggi 0,317 Soal Sedang 0,567 Baik 4 Validitas sedang 0,167 Soal Sukar 0,267 Cukup

Berdasarkan validitas, reliabilitas tes, daya pembeda, dan indeks kesukaran dari setiap butir soal yang diujicobakan serta dengan mempertimbangkan indikator yang terkandung dalam setiap butir soal tersebut, maka dalam penelititan ini semua soal digunakan sebagai instrumen tes. Namun mengingat tidak adanya soal dengan indeks kesukaran mudah dan mengingat tidak memungkinkannya waktu untuk menguji ulang soal maka dilakukan perbaikan pada soal nomor 2 dengan berdiskusi dengan dosen pemimbing dan dari hasil diskusi diperoleh hasil mengubah keterbacaan soal nomor 2 dan memperhatikan pemilihan angka. Dengan mengubah keterbacaan soal nomor 2 dan mengubah pemilihan angka diharapkan soal memiliki indeks kesukaran mudah. Sehingga kriteria mudah, sedang, dan sukar terwakili dalam insrumen tes. Soal tes yang telah direvisi tersebutlah yang digunakan dalam penelitian ini. Soal yang telah direvisi disajikan dalam lampiran B.2.

b. Instrumen Non-Tes

(32)

43

penggunaan pendekatan pembelajaran metacognitive scaffolding di dalam kelas. Selain itu, lembar observasi ini juga digunakan sebagai bahan evaluasi bagi guru dengan melihat apakah pembelajaran yang berlangsung telah sesuai dengan indikator dan langkah-langkah pembelajaran yang digunakan, sehingga akan ada perbaikan pada pembelajaran selanjutnya. Lembar observasi ini diisi oleh observer selama proses pembelajaran berlangsung.

Skala sikap yang digunakan pada angket dalam penelitian ini adalah skala likert. Penggunaan skala sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. Pembelajaran yang dimaksud disini adalah pembelajaran matematka dengan pendekatan metacognitive scaffolding atau dengan kata lain sikap responden yang ingin diketahui adalah sikap siswa pada kelas eksperimen. Skala likert meminta responden untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tak memutuskan (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS) (Ruseffendi, 2010: 135). Namun pada penelitian ini opsi tak memutuskan (N) tidak digunakan. Hal ini dikarenakan opsi tak memutuskan dapat memunculkan keragu-raguan pada diri siswa padahal hasil yang diharapkan adalah siswa memnberikan sifat positif atau negatif terhadap pembelajaran yang diberikan. Sehingga untuk menghilangkan keragu-raguan pada diri siswa maka opsi tak memutuskan (N) dihilangkan pada angket penelitian ini. Angket diberikan kepada siswa pada pertemuan terkahir ketika postest.

E. Prosedur Penelitian

Secara garis besar, prosedur penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

a. Melakukan studi pendahuluan

b. Mengidentifikasi masalah dan kajian pustaka c. Membuat proposal penelitian

d. Menentukan materi ajar

(33)

44

g. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan lembar observasi

h. Perizinan untuk penelitian. 2. Tahap Pelaksanaan

a. Pemilihan sampel penelitian sebanyak dua kelas, yang disesuaikan dengan materi penelitian dan waktu pelaksaan penelitian

b. Pelaksanaan pretest kemampuan pemecahan masalah matematis untuk kedua kelas

c. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan

metacognitive scaffolding untuk kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol

d. Pelaksanaan posttest untuk kedua kelas 3. Tahap Pengumpulan dan Analisis Data

a. Mengumpulkan hasil data kuantitatif dan kualitatif

b. Mengolah dan menganalisis data kuantitatif berupa hasil pretest dan hasil

posttest

c. Mengolah dan menganalisis data kualitatif berupa lembar observasi. 4. Tahap Pembuatan Kesimpulan

Membuat kesimpulan dari data yang diperoleh, yaitu mengenai peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

F. Teknik Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, dilakukan pengolahan dan analisis data-data tersebut untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya. Dalam analisis data ini, akan dianalisis kedua jenis data yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.

1. Analisis data kuantitatif

(34)

45

yang sama. Hal ini bertujuan untuk mengurangi subjektifitas penilaian skor dari dua penilai ini diuji secara statistika melalui uji perbedaan dua rata-rata dan uji korelasi.

Setelah melalui serangkaian uji statistik (lampiran C.2) diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan data pretes kelas eksperimen, pretes kelas kontrol, postes kelas eksperimen, postes kelas kontrol antara penilai 1 dan penilai 2.

b. Terdapat korelasi yang signifikan antara penilai 1 dan penilai 2.

Selanjutnya, diambil secara acak kelompok data dari salah satu penilai (penilai 1 atau penilai 2 saja).

1) Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Awal Siswa

Untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis awal siswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol, analisis dilakukan pada data pretest. Dalam mengolah data penulis menggunakan bantuan software Statistical Passage for Social Science (SPSS) versi 20 for Windows. Adapun langkah-langkah uji statistiknya adalah sebagai berikut.

a) Analisis Data Deskriptif

Sebelum melakukan pengujian terhadap data hasil pretest terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai data yang akan diuji.

b) Analisis Statistika Inferensial

Adapun langkah-langkah uji statistiknya adalah sebagai berikut. (1) Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data skor pretest sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk dengan taraf signifikansi 0,05.

(35)

46

normal maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji statistik non-parametrik yaitu uji Mann- Whitney U untuk pengujian hipotesisnya.

(2) Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah variansinya homogen atau tidak homogen antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Apabila data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians dengan menggunakan uji Levene’s test dengan taraf signifikansi 0,05.

(3) Uji Kesamaan Dua Rata-Rata

Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata data pretest secara signifikan antara kedua kelas. Jika kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen maka, untuk pengujian hipotesis dilakukan uji t atau Independent Sample T-Test. Sedangkan jika kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan tidak homogen maka, pengujian hipotesis dilakukan uji t’.

2) Analisis Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Jika hasil pretest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat menggunakan data hasil postest, gainatau gain ternormalisasi. Akan tetapi jika pada hasil pretest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan Pemecahan masalah matematis awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol maka peningkatan kemampuan pemecahan maslah matematis siswa dapat diketahui melalui data gain. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metcognitive scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Adapun indeks gain dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hake, 1999:1):

(36)

47

Adapun langkah-langkah uji statistiknya adalah sebagai berikut. a) Analisis Data Deskriptif

Sebelum melakukan pengujian terhadap data gain terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap deskripsi data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, nilai maksimum, dan nilai minimum. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai data yang akan diujiAnalisis Statistika Inferensial

Adapun langkah-langkah uji statistiknya adalah sebagai berikut. (1) Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data gain sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk dengan taraf signifikansi 0,05.

Jika data gain berdistribusi normal, uji statististik selanjutnya yang dilakukan adalah uji homogenitas varians. Tetapi, jika data tidak berdistribusi normal maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji statistik non-parametrik yaitu uji Mann- Whitney U untuk pengujian hipotesisnya.

(2) Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah variansinya homogen atau tidak homogen antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Apabila data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians dengan menggunakan uji Levene’s test dengan taraf signifikansi 0,05.

(3) Uji Perbedaan Dua Rata-Rata

Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah rata-rata data gain kedua kelas sama atau tidak. Jika kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen maka, untuk pengujian hipotesis dilakukan uji t atau Independent Sample T-Test. Sedangkan jika kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan tidak homogen maka, pengujian hipotesis dilakukan uji t’.

(37)

48

analisis dengan menggunakan kriteria klasifikasi indkes gain. Adapun kriteria klasifikasi indeks gain (Hake, 1999:1) tersebut terdapat dalam tabel berikut.

Tabel 3.12

Kriteria klasifikasi indeks gain

Indeks gain Kriteria

g > 0,70 Tinggi

0,30 < g ≤ 0,70 Sedang

g ≤ 0,30 Rendah

Adapun alur analisis data, selebihnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Ya Ya

Ya

Tidak Data

Pretest

Data Posttest

Apakah data berdistribusi

normal?

Apakah data berdistribusi

normal?

Apakah variansinya homogen?

Uji t

Statistik non-parametrik

Mann-Whitney

Uji t’

(38)

49

Keterangan: : Dan

: Atau

(Prabawanto, 2013)

2. Analisis Data Kualitatif

Data hasil observasi disajikan dalam bentuk tabel. Penilaian data hasil observasi dilakukan dengan menyimpulkan hasil pengamatan observer selama pembelajaran berlangsung.

Data kualitatif (skala sikap) ditransfer kedalam data kuantitatif. Data kualitatif ini diperoleh dari Angket yang terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif. Untuk mengolah data yang diperoleh dari angket dapat dilakukan dengan menggunakan skala Likert. Pembobotan setiap alternative jawaban angket dengan menggunakan skala Likert disajikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3.13

Ketentuan Pemberian Skor Pernyataan Skala Sikap Pernyataan Skor tiap pilihan

SS S TS STS

Positif 5 4 2 1

Negatis 1 2 4 5

(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya, terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan, yaitu:

1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding lebih baik daripda siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

2. Pada umumnya siswa bersikap positif terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan metacognitove scaffolding.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan, yaitu:

1. Penerapan pendekatan metacognitive scaffolding membutuhkan alokasi waktu yang cukup lama. Hal ini menemui hambatan dengan terbatasnya waktu jam pelajaran yang ada, sehingga terkadang guru tergesa-gesa memberikan bantuan. Maka dari itu perlu pengoptimalan waktu secara efisien.

2. Penelitian ini mengahsilkan fakta bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan pendekatan metacognitive scaffolding lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Diduga peningkatan ini karena adanya interaksi sosial dan bantuan/scaffold yang bersifat metakognitif. Untuk mengetahui lebih lanjut faktor utama yang menjadi penyebab meningkatnya kemampua pemecahan masalah matematis siswa maka disarankan melakukan penelitianlebih lanjut.

3. Penelitian terhadap pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Lia.. 2011 Deskripsi Proses Scaffolding dalam Pembelajaran Untuk Menumbuhkan kemandirian Anak Usia Playgroup.. Skripsi. UPI Bandung; Tidak diterbitkan.

Andriatna, Riki. 2012. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui Menulis Matematika dalam Pembelajaran Berbasis Masalah. Skripsi. UPI Bandung; Tidak diterbitkan.

Anjani, Lavia. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan masalah matematis Menggunakan Pendekatan Kontekstual Dengan Teknik Scaffolding. Skripsi. UPI Bandung: Tidak diterbitkan

BNSP. (2006). Stander Isi untuk Satuan dasar dan Menengah: Jakarta. tidak diterbitkan

Dahar, R. W. (1988). Teori-Teori Belajar.Jakarta: Erlangga.

Darhim, (2012). Jurnal Sikap Siswa. Tersedia : http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/19550 3031980021-DARHIM/Makalah_Artikel/JurnalSikapSiswa.pdf [23 juni 2014]

Febianti, Grahani. (2012). Perbandingan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Melalui Pendekatan Anchored Instruction dan Pendekatan Problem Posing. Skripsi FPMIPA UPI. UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Fitriani. R. S. (2013). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Tesis. UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Fonna, M. (2013).Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Integrated Reading and Composition untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa.Tesis SPS UPI. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

(41)

69

Hanurawan, Fattah. (2010). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hasanah, Aan. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pendekatan Kontekstual Berbasis Intuisi. Disertasi SPS UPI. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Hoosain, E. (2001). What Are Mathemathical Problems. Augusta: Augusta State University

Jusra, Hella. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Kemandirian Belajar Siswa Kelas VII SMP Melalui Pendekatan Metacognitive Inner Speech. Bandung: Disertasi UPI bandung tidak diterbitkan

Karlina, Ina. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) sebagai Salah Satu Strategi Membangun Pengetahuan Siswa. Tersedia :www.sd-binatalenta.com/arsipartikel/artikel_ina.pdf [5 Maret 2014]

Kemendikbud. (2013). Lampiran Permendikbud no.65 tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. [Online]. Tersedia: http://124.81.93.52/files/03.%20B.%20Salinan%20Lampiran%20Permendik bud%20No.%2065%20th%202013%20%20ttg%20Standar%20Proses.pdf. [1 November 2013].

Kemendikbud. (2013). Lampiran Permendikbud no.68 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. [Online]. Tersedia: http://www.ikapidkijakarta.com/ikapiblog/wp-content/uploads/2013/08/06.- B.-Salinan-Lampiran-Permendikbud-No.-68-th-2013-ttg-Kurikulum-SMP-MTs.pdf. [1 November 2013].

Kesumawati, N. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis Siswa SMP memlalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. UPI Bandung. Tidak Diterbitkan

Kulm (1984). The classification of problem-solving research variables. In Gerald A. Goldin & C. Edwin McClontock (Eds). Task Variables in Mathematical Problem Solving (pp. 1-22). Philadelphia: The Franklin Institute.

(42)

70

Mahuda, Isnaini, 2012 Pembelajaran Kooperatif Tipe Co-op Co-op dengan Pendekatan Open-Ended untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Skripsi. UPI Bandung; Tidak diterbitkan.

Maya. (2012). Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Terpadu yang Mengimplementasikan Model Horsley untuk Meningkatkan Keterampilan Proses dan Penguasaan Materi Belajar Siswa SMP. [Online]. Tersedia: http://eprints.uny.ac.id/9272/3/BAB%202%20-%2008312244036.pdf. [27 Mei 2013].

Mueller, D.J. (1986). Measuring Social Attitudes. New York: Teachers College Press.

Murni, Atma. 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Maslaah Dan Representasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Metakognitif Berbasis Soft Skill. Disertasi. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Murod,R.R. (2013). Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Dengan Memanfaatkan Multimedia Interaktif Untuk Meningkatkan Literasi Matematis Siswa SMA. Skripsi. Upi Bandung: Tidak dierbitkan.

Nn. (2011). Survei Internasional PISA [Online]. Tersedia:

http://litbang.kemdikbud.go.id/sekretariat/index.php/penilaian- pendidikan/survei-internasional-timss/12-puspendik/110-survei-internasional-pisa. [20 Januarii 2014].

Nn. (2011). Survei Internasional TIMSS [Online]. Tersedia:

http://litbang.kemdikbud.go.id/sekretariat/index.php/penilaian- pendidikan/survei-internasional-timss/12-puspendik/109-survei-internasional-timss. [20 Januarii 2014].

Palacios, A., Arias, V. & Arias, B. (2014). Attitudes Towards Mathematics: Construction and Validation of a Measurement Instrument. [Online]. Tersedia:

http://www.ehu.es/ojs/index.php/psicodidactica/article/download/8961/9945 . [23 Mei 2014]

Permatasari, (2011). Pendekatan Kontekstual Dengan Teknik Scaffolding Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Skripsi. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

(43)

71

SUFYANI_PRABAWANTO/PEMBELAJARAN_MATEMATIKA_DENG AN_PENDEKATAN_REALISTIK_UNTUK_MENINGKATKAN_KEMA MPUAN_PEMECAHAN_MASA.pdf. [26 Februari 2013].

Prabawanto, Sufyani. (2011). Pengembangan Instrumen Tes Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Paper. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Prabawanto, Sufyani. (2013). menignkatkan kemampuan pemecahan masalah, komunikasi, dan self-effacy matematis mahasiswa melalui pembelajaran dengan pendekatan metacogniteve scaffolding. Disertasi. UPI bandung. Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, 2010. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan &Bidang Non Eksata Lainnya. Bandung: Tarsito

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Suherman, Erman. (2008). Strategi Pembelajaran Matematika. [Hands-out Perkuliahan: Belajar dan Pembelajaran Matematika]. Bandung: Tidak diterbitkan.

Suherman, Erman. dkk. 2003. Individual Text Book; Evaluasi Pembelajaran Matematika Bandung: JICA-FPMIPA.

Sukardi. (2003). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.

Yogyakarta : Bumi Aksara.

Turmudi. (2008). Pemecahan Masalah Matematika. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/19610

1121987031-TURMUDI/F20-PEMECAHAN_MASALAH_MATEMATIKA-1-11-2008.pdf. [26 Februari 2013].

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PANTUN SISWA SEKOLAH DASAR. Universitas Pendidikan Indonesia |

Pengaruh penguasaan kosakata terhadap kemampuan menyimak bahasa Jepang Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu1.

Demikian juga dengan Kalpataru Rent Car, dimana dalam kegiatannya juga memerlukan pencatatan-pencatatan transaksi penyewaan yang terjadi dan mengelola data tersebut menjadi

Radiografi bitewing adalah radiografi yang digunakan untuk melihat permukaan gigi yang meliputi mahkota gigi, interproksimal dan puncak alveolar pada maksila dan mandibula

dipakai dengan iktikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak mendaftar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3), pihak ya:rg beriktikad baik

Namun, secara parsial, Return on Equity (ROE) berpengaruh negatif signifikan terhadap Beta Saham, Dividend Payout Ratio, Debt to Equity Ratio (DER), Earning Variability,

description to the messages written in the novel ‘The Scarlet letter’ by its author. Nathaniel Hawthorne to