BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Persediaan
Menurut pendapat Indrajit dan Djokopranoto (2005:4), manajemen persediaan (inventory control) atau disebut juga inventory management atau pengendalian tingkat persediaan adalah kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penentuan kebutuhan material sedemikian rupa sehingga di satu pihak kebutuhan operasi dapat terpenuhi pada waktunya dan di lain pihak investasi persediaan material dapat ditekan secara optimal.
Sedangkan menurut pendapat Handoko (2008:334), sistem persediaan adalah serangkaian dan pengendalian yang memonitor tingkat persediaan dan menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan persediaan harus diisi, dan seberapa besar pesanan yang harus dilakukan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa manajemen persediaan adalah kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penentuan kebutuhan material yang memonitor tingkat persediaan dan menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan persediaan harus diisi dan seberapa besar pesanan yang harus dilakukan sehingga disatu pihak kebutuhan operasi dapat dipenuhi pada waktunya dan dilain pihak investasi persediaan material dapat ditekan secara optimal.
2.1.1 Pengertian Persediaan
Persediaan merupakan salah satu aset terpenting dalam banyak perusahaan karena nilai persediaan mencapai 40% dari seluruh investasi modal. Manajer operasional sangat memahami bahwa persediaan merupakan hal yang krusial. Di satu sisi, perusahaan selalu berusaha mengurangi biaya dengan mengurangi tingkat persediaan di tangan (on-hand), sementara itu di sisi lain pelanggan menjadi sangat tidak puas ketika jumlah persediaan mengalami kehabisan (stockout). Oleh karena itu perusahaan harus mengusahakan terjadinya keseimbangan antara investasi persediaan dan tingkat layanan pelanggan dan minimisasi biaya merupakan faktor penting dalam membuat keseimbangan ini.
Dalam kasus produk fisik, organisasi harus menentukan apakah produk dihasilkan sendiri atau dibeli.
Persediaan merupakan salah satu aset yang paling mahal bagi perusahaan, mencerminkan total 40% dari total modal yang diinvestasikan (Heizer dan Render, 2009:314). Oleh karena itu, manajemen pengendalian persediaan yang baik sangatlah penting. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2005:3), persediaan didefinisikan sebagai barang-barang yang biasanya dapat dijumpai di gudang tertutup, lapangan, gudang terbuka, atau tempat-tempat penyimpanan lain, baik berupa bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi, barang-barang untuk keperluan operasi, atau barang-barang untuk keperluan suatu proyek atau sejumlah material yang disimpan dan dirawat menurut aturan tertentu dalam tempat persediaan agar selalu dalam keadaan siap pakai dan ditatausahakan dalam buku perusahaan.
Menurut pendapat Zulfikarijah (2005:4), persediaan adalah stok bahan baku yang digunakan untuk memfasilitasi produksi atau memuaskan permintaan konsumen. Jadi persediaan (inventory) adalah persediaan berbagai jenis barang atau sumber daya yang digunakan dalam suatu organisasi/perusahaan untuk memfasilitasi produksi atau memuaskan permintaan konsumen.
Menurut Handoko (2008:333) persediaan ialah suatu istilah umum yang menunjukkan segala sesuatu atau sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaaan. Jenis persediaan yang sering disebut dengan istilah persediaan keluaran produk (product output) meliputi persediaan bahan mentah, barang dalam proses, barang jadi atau produk akhir, bahan-bahan pembantu atau pelengkap, dan komponen-komponen lain yang menjadi keluaran produk perusahaan.
Setiap perusahaan mempunyai jenis persediaan yang berbeda-beda bergantung pada usaha yang dikelolanya sebagai contoh, persediaan dalam bidang retail berupa barang-barang yang mereka jual, persediaan usaha pertamanan adalah bermacam-macam tumbuhan, bunga dan pohon-pohonan, persediaan agen persewaan mobil berupa mobil dan pemeliharaan rumah tangga berupa makanan, pakaian, obat-obatan pada perusahaan seringkali disamakan sebagai produk akhir yang siap dijual, tetapi juga berupa: bahan baku, komponen yang dibeli, tenaga kerja, produk dalam proses, modal kerja, peralatan, mesin dan perlengkapan.
Menurut pendapat Nasution (2003:103) dalam sistem manufaktur, persediaan terdiri dari tiga bentuk sebagai berikut:
1. Bahan baku, yaitu merupakan input awal dari proses transformasi menjadi produk jadi.
2. Barang setengah jadi, yaitu merupakan bentuk peralihan antara bahan baku dengan produk setengah jadi.
3. Barang jadi, yaitu merupakan hasil akhir proses transformasi yang siap dipasarkan kepada konsumen.
Sumber: Nasution (2003:103)
Gambar 2.1
Proses Transformasi Produksi
2.1.2 Penyebab Timbulnya Persediaan
Menurut Baroto (2002:53), hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya persediaan antara lain:
1. Mekanisme Pemenuhan atas permintaan
Permintaan terhadap suatu barang tidak dapat dipenuhi seketika bila barang tersebut tidak tersedia sebelumnya. Untuk menyiapkan barang ini diperlukan waktu untuk pembuatan dan pengiriman, maka adanya persediaan merupakan hal yang sulit dihindarkan.
Proses
Barang Setengah Jadi
Produksi Bahan
Baku Barang
Jadi
2. Keinginan untuk Meredam Ketidakpastian
Ketidakpastian terjadi akibat permintaan yang bervariasi dan tidak pasti, dalam jumlah maupun waktu kedatangan, waktu pembuatan yang cenderung tidak konstan antara 1 produk dengan produk berikutnya, waktu tenggang (lead time) yang cenderung tidak pasti karena banyak faktor yang tidak dapatdikendalikan. Ketidakpastian ini dapat diredam dengan mengadakan persediaan
3. Keinginan Melakukan Spekulasi
Yang bertujuan mendapatkan keuntungan besar dari kenaikan harga di masa mendatang.
2.1.3 Tujuan Persediaan
Persediaan dapat membantu fungsi-fungsi penting yang akan menambah fleksibilitas operasi perusahaan. Menurut Zulfikarijah (2005:6), terdapat 7 tujuan penting dari persediaan yaitu:
1. Fungsi ganda
Fungsi utama persediaan adalah memisahkan proses produksi dan distribusi.
Pada saat penawaran atau permintaan item persediaan tidak teratur, maka mengamankan persediaan merupakan keputusan yang terbaik. Sebagai contoh, jika permintaan produk yang tinggi hanya terjadi pada waktu tertentu, maka perusahaan akan berusaha memenuhi barang sesuai dengan permintaan dan perusahaan akan berusaha memproduksi barang tersebut pada saat permintaan rendah. Pemisahan produksi dari permintaan ini akan menghindarkan biaya
jangka pendek serta menghindari stock-out (kehabisan barang). Dengan kata lain jika penawaran barang berfluktuasi, maka persediaan bahan baku merupakan input yang penting dalam proses transformasi karena itu proses produksi juga berfluktuasi dalam perusahaan. Pada saat hubungan dua proses ini tidak selaras, maka persediaan dapat dipisahkan menjadi dua proses yang akan dioperasikan sendiri-sendiri.
2. Mengantisipasi adanya inflasi
Persediaan dapat mengantisipasi perubahan harga dan inflasi, penempatan persediaan kas dalam bank merupakan pilihan yang tepat untuk pengembalian investasi. Disisi lain, persediaan mungkin akan meningkat setiap saat. Pada saat seperti ini, maka persediaan merupakan investasi terbaik. Tentu saja, biaya dan resiko biaya penyimpanan harus dipertimbangkan. Dalam beberapa kebijakan, banyak perusahaan yang tidak melibatkan sumber daya manusia dalam hal ini.
3. Memperoleh diskon terhadap jumlah persediaan yang dibeli
Fungsi persediaan yang lain adalah memanfaatkan keuntungan dari diskon terhadap jumlah persediaan yang dibeli. Banyak pemasok yang menawarkan diskon untuk pembelian dalam jumlah besar. Pembelian dalam jumlah besar secara substansi dapat mengurangi biaya produksi. Akan tetapi dengan pembelian dalam jumlah besar kurang menguntungkan dalam hal: biaya penyimpanan yang lebih tinggi, terjadinya kerusakan, kemungkinan terjadinya pencurian dan biaya asuransi. Investasi terhadap persediaan yang terlalu besar akan mengurangi kesempatan untuk melakukan investasi lain.
4. Menjaga adanya ketidakpastian
Dalam sistem persediaan terdapat ketidakpastian dalam hal: permintaan, penawaran, dan waktu tunggu. Persediaan pengaman dijaga dalam persediaan untuk memproteksi adanya ketidakpastian. Jika permintaan pelanggan diketahui, akan layak (walaupun tidak selalu ekonomis) memproduksi pada tingkat yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Dalam hal ini, tidak dibutuhkan persediaan barang jadi, akan tetapi pada saat terjadi perubahan permintaan, maka sistem harus segera dirubah untuk menyesuaikan kebutuhan pelanggan dan untuk melayani agar pelanggan puas. Namun demikian, persediaan pengaman barang jadi harus dijaga untuk mengantisipasi apabila terjadi perubahan. Dengan demikian persediaan pengaman bahan baku juga harus dijaga untuk mengantisipasi ketidakpastian pengiriman oleh penjual dan persediaan pengaman barang dalam proses juga harus dijaga untuk mengantisipasi terjadinya perubahan penjadwalan yang tepat.
5. Menjaga produksi dan pembelian yang ekonomis
Sering terjadi memproduksi skala ekonomis pada bahan baku dalam lot.
Dalam hal ini, lot diproduksi melebihi periode waktu dan tidak dilanjutkan ke produksi sampai lot mendekati habis. Kondisi ini tentu saja memungkinkan membengkaknya biaya persiapan (set-up) mesin produksi melebihi jumlah item yang besar dan ini juga akan terjadi dalam pengunaan peralatan produksi pada produk yang berbeda, hal serupa akan terjadi pada saat pembelian bahan baku. Karena biaya pemesanan, diskon jumlah pembelian dan biaya transportasi seringkali lebih ekonomis pada pembelian dalam jumlah besar,
maka sebagian lot dapat dijadikan persediaan untuk penggunaan berikutnya.
Hasil persediaan dari pembelian atau produksi bahan baku dalam lot disebut dengan siklus persediaan, dimana lot diproduksi atau dibeli dalam siklus dasar. Ini merupakan tren dalam industri saat ini, akan tetapi mengurangi waktu persiapan dan biaya yang demikian drastis merupakan alternatif produk atau proses yang pada akhirnya akan menghasilkan ukuran lot yang lebih kecil dan persediaan yang lebih rendah.
6. Mengantisipasi perubahan permintaan dan penawaran
Terdapat beberapa jenis situasi yang apabila terjadi perubahan permintaan dan penawaran dapat diantisipasi yaitu pada saat harga atau kemampuan bahan baku yang diharapkan berubah. Sumber antisipasi lain adalah rencana promosi pemasaran yaitu sejumlah barang jadi dalam sejumlah besar stock untuk dijual. Dalam kondisi tertentu perusahaan seringkali mengantisipasi permintaan dikarenakan karyawannya dan persediaan juga dipergunkan untuk mengantisipasi permintaan atau penawaran yang berubah secara alamiah.
7. Memenuhi kebutuhan terus-menerus
Persediaan transit terdiri dari bahan baku yang bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Persediaan ini dipengaruhi oleh keputusan lokasi pabrik, secara teknis persediaan bergerak diantara tahapan-tahapan produksi dan di dalam pabrik dapat juga diklasifikasikan dalam persediaan transit. Kadangkala persediaan transit ini juga disebut dengan pipa saluran persediaan karena berada dalam distribusi pipa saluran.
2.1.4 Fungsi Persediaan
Persediaan timbul disebabkan oleh tidak singkronnya permintaan dengan penyediaan dan waktu yang digunakan untuk memproses bahan baku. Untuk menjaga keseimbangan permintaan dengan penyediaan bahan baku dan waktu proses diperlukan persediaan. Melalui pengendalian sistem persediaan, efisiensi produksi dapat ditingkatkan. Untuk mencapai efisiensi ini, diperlukan suatu upaya pengoptimalan fungsi persediaan.
Menurut Heizer dan Render (2009:314), persediaan (inventory) dapat memiliki berbagai fungsi penting yang menambah fleksibilitas dari operasi suatu perusahaan. Ada enam penggunaan persediaan, yaitu:
1. Untuk memberikan suatu stok barang-barang agar dapat memenuhi permintaan yang diantisipasi akan timbul dari konsumen.
2. Untuk memasangkan produksi dengan distribusi. Misalnya, bila permintaan produknya tinggi hanya pada musim panas, suatu perusahaan dapat membentuk stok selama musim dingin, sehingga biaya kekurangan stok dan kehabisan stok dapat dihindari. Demikian pula, bila pasokan suatu perusahaan berfluktuasi, persediaan bahan baku ekstra mungkin diperlukan untuk
“memasangkan” proses produksinya.
3. Untuk mengambil keuntungan dari potongan jumlah, karena pembelian dalam jumlah besar dapat secara substansial menurunkan biaya produk.
4. Untuk melakukan hedging terhadap inflasi dan perubahan harga.
5. Untuk menghindari dari kekurangan stok yang dapat tercadi karena cuaca, kekurangan pasokan, masalah mutu, atau pengiriman yang tidak tepat. “stok
pengaman” misalnya, barang di tangan ekstra, dapat mengurangi resiko kehabisan stok.
6. Untuk menjaga agar operasi dapat berlangsung dengan baik dengan menggunakan “barang-dalam-proses” dalam persediaannya. Hal ini karena perlu waktu untuk memproduksi barang dan karena sepanjang berlangsungnya proses, terkumpul persediaan-persediaan.
Sedangkan menurut Yamit (2003:6), terdapat empat faktor yang dijadikan sebagai fungsi perlunya persediaan, yaitu:
1. Faktor waktu, yaitu menyangkut lamanya proses produksi dan distribusi sebelum barang jadi sampai kepada konsumen.
2. Faktor ketidakpastian waktu, yaitu ketidakpastian waktu dari supplier menyebabkan perusahaan memerlukan persediaan, agar tidak menghambat proses produksi maupun keterlambatan pengiriman kepada konsumen.
3. Faktor ketidakpastian penggunaan, yaitu faktor yang datang dari dalam perusahaan yang disebabkan oleh kesalahan dalam peramalan permintaan, kerusakan mesin, keterlambatan operasi, bahan cacat, dan berbagai kondisi lainnya.
4. Faktor ekonomis adalah adanya keinginan perusahaan untuk mendapatkan alternatif biaya rendah dalam memproduksi atau membeli item dengan menentukan jumlah yang paling ekonomis.
2.1.5 Biaya-Biaya Persediaan
Menurut Rangkuti (2004:16-18), terdapat 4 jenis biaya persediaan, yaitu:
1. Biaya penyimpanan (holding cost atau carrying cost), yaitu terdiri atas biaya- biaya yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per-periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak atau rata-rata persediaan semakin tinggi. Biaya-biaya yang termasuk sebagai biaya penyimpanan adalah sebagai berikut:
a. Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan (termasuk penerangan pendingin ruangan dan sebagainya).
b. Biaya modal (opportunity cost of capital), yaitu alternatif pendapatan atas dana yang diinvestasikan dalam persediaan.
c. Biaya keusangan.
d. Biaya perhitungan fisik.
e. Biaya asuransi persediaan.
f. Biaya pajak persediaan.
g. Biaya pencurian, kerusakan, atau pencurian.
h. Biaya penanganan persediaan dan sebagainya.
2. Biaya pemesanan atau pembelian (ordering cost atau procurement cost), biaya-biaya ini meliputi:
a. Pemprosesan pesanan dan biaya ekspedisi.
b. Upah.
c. Biaya telepon.
d. Pengeluaran surat menyurat.
e. Biaya pengepakan dan penimbangan.
f. Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan.
g. Biaya pengiriman kegudang.
h. Biaya utang lancar dan sebagainya.
Pada umumnya, biaya pemesanan (diluar biaya bahan dan potongan kuantitas) tidak naik apabila kuantitas pesanan bertambah besar. Tetapi apabila semakin banyak komponen yang dipesan setiap kali pesan. Jumlah pesanan per periode turun, maka biaya pemesanan total per periode (tahunan) sama dengan jumlah pesanan yang dilakukan setiap periode dikalikan biaya yang harus dikeluarkan setiap kali pesan.
3. Biaya penyiapan (set-up cost). Hal ini terjadi apabila bahan-bahan tidak dibeli, tetapi diproduksi sendiri “dalam pabrik” perusahaan, perusahaan menghadapi biaya penyiapan untuk memproduksi komponen tertentu. Biaya-biaya ini terdiri dari:
a. Biaya mesin-mesin menganggur.
b. Biaya penyiapan tenaga kerja langsung.
c. Biaya penjadwalan.
d. Biaya ekspedisi dan lain sebagainya.
4. Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (shortage cost)
Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (Shortage Cost) adalah biaya yang timbul apabila persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Biaya- biaya yang termasuk biaya kekurangan bahan adalah sebagai berikut:
a. Kehilangan penjualan.
b. Kehilangan pelanggan.
c. Biaya pemesanan khusus.
d. Biaya ekspedisi.
e. Selisih harga.
f. Terganggunya operasi.
g. Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial dan sebagainya.
Sedangkan menurut Zulfikarijah (2005:13), biaya persediaan merupakan semua pengeluaran dan kerugian yang disebabkan oleh adanya persediaan. Biaya persediaan ini di dalam perusahaan secara umum dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
1. Biaya pembelian (purchasing cost)
Biaya pembelian merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang, jumlahnya tergantung pada jumlah barang yang dibeli dan harga per unit barang. Biaya pembelian ini menjadi sangat penting pada saat harga barang dipengaruhi oleh ukuran pembelian yaitu adanya diskon harga (price discount/price break) dimana harga per unit akan menurun pada saat jumlah pembelian meningkat dan sebaliknya. Konsep ini di dalam prakteknya jarang sekali dimasukkan dalam biaya total pembelian karena diasumsikan bahwa harga barang per unit tidak dipengaruhi oleh jumlah barang yang dibeli, sehingga biaya pembelian untuk periode tertentu (satu tahun) adalah konstan dan tentu saja tidak berpengaruh pada pengoptimalan berapa banyak barang yang dipesan.
2. Biaya pengadaan (procurement cost)
Biaya pengadaan merupakan biaya yang berhubungan dengan pembelian barang yang terdiri dari biaya pemesanan (ordering cost) apabila barang yang diperlukan berasal dari luar perusahaan. Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang disebabkan oleh adanya kegiatan mendatangkan barang dari luar, biaya ini meliputi: biaya menentukan pemasok, pengetikan pesanan, pengiriman pesanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan, biaya pemeriksaan, biaya pengepakan, biaya telepon dan lain-lain. Biaya pemesanan ini diasumsikan konstan untuk setiap kali melakukan pemesanan.
3. Biaya penyimpanan (carrying cost/holding cost)
Biaya penyimpanan adalah semua pengeluaran yang disebabkan oleh adanya kegiatan menyimpan barang dalam periode waktu tertentu, biaya ini diwujudkan dalam bentuk prosentase nilai rupiah per unit waktu. Contohnya 15% biaya penyimpanan artinya 15 untuk setiap Rp 100 persediaan setiap tahun, besarnya biaya penyimpanan ini berkisar antara 15-30% per tahun.
Biaya ini meliputi:
a. biaya modal (cost of capital)
b. biaya penyimpanan (cost of storage)
c. biaya keusangan/kedaluwarsa (obselence cost) d. biaya kehilangan (loss cost)
e. biaya asuransi (insurance cost) dan lain-lain.
4. Biaya kekurangan persediaan (stockout cost)
Biaya kekurangan persediaan merefleksikan konsekuensi ekonomis yang disebabkan oleh adanya kehabisan persediaan. Kondisi ini sangat merugikan perusahaan karena proses produksi akan terganggu dan kesempatan untuk memperoleh peluang/keuntungan akan hilang atau konsumen dapat pindah ke perusahaan lain karena permintaannya tidak terpenuhi yang pada akhirnya akan berpengaruh pada citra perusahaan. Adapun yang termasuk dalam biaya stockout adalah:
a. Jumlah barang yang tidak terpenuhi.
b. Waktu pemenuhan c. Biaya pengadaan darurat
2.1.6 Pengendalian Persediaan
Dalam suatu perusahaan, kelancaran seluruh kegiatan operasi harus didukung oleh beberapa kegiatan penting. Pengendalian persediaan merupakan salah satu kegiatan penting dari urutan kegiatan-kegiatan yang berkaitan erat satu sama lain dalam seluruh operasi produksi perusahaan sesuai dengan apa yang telah direncanakan lebih dahulu baik waktu, jumlah, kuantitas, dan biayanya.
Pengendalian persediaan ini meliputi perencanaan persediaan jadwal untuk pemesanan, pengaturan penyimpanan, dan lainnya. Pengendalian persediaan ini juga penting bagi semua jenis perusahaan karena kegiatan ini dapat membantu tercapainya suatu tingkat efesiensi penggunaan dalam persediaan.
Menurut pendapat Assauri (2004:176), pengawasan persediaan merupakan salah satu kegiatan dari urutan kegiatan-kegiatan yang berurutan erat satu sama lain dalam seluruh operasi produksi perusahaan tersebut sesuai dengan apa yang telah direncanakan lebih dahulu baik waktu, jumlah, kuantitas, maupun biayanya.
Sedangkan menurut Rangkuti (2004:25), pengawasan persediaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang dapat dipecahkan dengan menerapkan metode kuantitatif.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengendalian persediaan adalah suatu aktivitas untuk menetapkan besarnya persediaan dengan memperhatikan keseimbangan antara besarnya persediaan yang disimpan dengan biaya-biaya yang ditimbulkannya.
2.1.7 Tujuan Pengendalian Persediaan
Suatu pengendalian persediaan yang dijalankan oleh suatu perusahaan sudah tentu mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Menurut pendapat Assauri (2004:177) tujuan pengendalian persediaan secara terperinci dapat dinyatakan sebagai usaha untuk:
1. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga dapat mengakibatkan terhentinya kegiatan produksi.
2. Menjaga agar pembentukan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar atau berlebih-lebihan, sehingga biaya-biaya yang ditimbulkan dari persediaan tidak terlalu besar.
3. Menjaga agar pembelian kecil-kecilan dapat dihindari karena ini akan berakibat biaya pemesanan menjadi besar.
Dari kegiatan diatas dapat dikatakan bahwa tujuan dari pengendalian persediaan adalah untuk memperoleh kualitas dan jumlah yang tepat dari bahan- bahan barang yang tersedia pada waktu yang dibutuhkan dengan biaya-biaya minimum untuk keuntungan atau kepentingan perusahaan. Dengan kata lain pengendalian persediaan untuk menjamin terdapatnya persediaan pada tingkat yang optimal agar produksi dapat berjalan dengan lancar dan biaya persediaan adalah minimum.
2.1.8 Model Persediaan
Perusahaan manufaktur dalam menjalankan usahanya membutuhkan persediaan mulai dari keperluan bahan mentah sampai pada barang jadi.
Manajemen persediaan ini bertujuan unutuk membantu perusahaan dalam meningkatkan dan memberikan pelayanan yang maksimal kepada konsumen.
Pengadaaan stok barang-barang agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan, karena jika terjadi kekurangan pelanggan akan merasa tidak puas atas badan usaha tersebut. Sebaliknya jika terjadi kelebihan stok bisa menimbulkan kerusakan terhadap barang-barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan tidak seimbang dengan hasil penjualan.
Disamping itu, harus diperhatikan juga segi-segi meminimalkan biayanya sebab banyak biaya yang diperlukan dalam mengadakan stok barang tersebut. Di antara biaya pembelian, biaya pengadaan atau pemesanan, biaya penyimpanan,
dan biaya kehilangan penjual. Untuk itu maka diperlukan metode persediaan yang dapat mengantisipasi penentuan diadakannya persediaan pada perusahaan tersebut.
Model persediaan pada manajemen persediaan menurut pendapat Rangkuti (2004:116) adalah:
1. Prosedur Perolehan Bahan
Seluruh pembelian bahan dalam suatu perusahaan dilaksanakan oleh Departemen/Divisi Pembelian. Untuk memperoleh laporan pertanggungjawaban yang lengkap mengenai penggunaan seluruh bahan yang dibeli, diperlukan sistem yang sistematis. Dengan demikian, pembelian, pemakaian, maupun pemanfaatannya dapat dilaksanakan secara cepat dan optimal.
2. Penyimpanan dan Penggunaan Bahan
Setelah semua bahan diterima oleh bagian gudang disertai dengan salinan proposal penerimaannya dari Departemen Penerimaan dan Pemeriksaan, barang- barang atau bahan disimpan secara cermat yaitu:
a. Barang disimpan dalam berdasarkan nomor perkiraan bahan;
b. Frekuensi penggunaan bahan;
c. Sifat, ukuran, dan bentuk bahan tersebut 3. Penentuan Harga Pokok persediaan
Penentuan harga pokok persediaan sangat tergantung dari metode penilaian yang dipakai, yaitu metode FIFO (First In, First Out), metode LIFO (Last In, First Out) atau metode harga pokok rata-rata (Average Cost Method).
4. Pemilihan Metode Penerapan Harga Pokok Persediaan yang Sesuai
Sebelum menentukan pilihan terhadap metode penerapan harga pokok yang sesuai, penting membandingan harga pokok rata-rata per unit untuk ketiga metode diatas.
5. Metode Harga Ecer untuk Penentuan Harga Pokok Persediaan
Metode ini pada umumnya digunakan oleh retailer atau perusahaan dagang eceran, misalnya pasar swalayan, department store dan sebagainya.
6. Penilaian Persediaan Berdasarkan Metode Laba Kotor
Selain metode perkiraan persediaan yang telah disebutkan, jumlah persediaan juga dinilai berdasarkan penaksiran laba kotor. Apabila persentase laba kotor diketahui, nilai penjualan dalam suatu periode tertentu dapat dipecahkan dalam dua unsur, yaitu:
a. Laba kotor
b. Harga pokok barang yang dijual
7. Material Requirement Planning (Perencanaan Kebutuhan Material)
Material Requirement Planning (MRP) dapat mengatasi masalah-masalah kompleks yang timbul dalam persediaan yang memproduksi banyak. Masalah ini antara lain kebingungan, inefesiensi, pelayanan yang tidak memuaskan para konsumen. MRP dapat menghasilkan banyak keuntungan, seperti mengurangi persediaan dan biaya gabungannya (inventory holding cost) karena biaya itu hanya sebesar materi dan komponen yang dibutuhkan dan bahkan bila memungkinkan tidak ada biaya sama sekali.
2.2 Material Requirement Planning (MRP)
Metode Material Requirement Planning (MRP) merupakan metode perencanaan (planning) dan penjadwalan (scheduling) pesanan dan inventori untuk item-item permintaan bebas (dependent demand), item-item yang termasuk dalam dependent demand adalah bahan baku (raw material), bagian dari produk (parts), sub perakitan (subassemblies), dan perakitan (assemblies). Moto dari MRP adalah memperoleh material yang tepat, dari sumber yang tepat, untuk penempatan yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Berikut ini akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa pengertian MRP :
Menurut Render dan Heizer (2001:160) perencanaan kebutuhan material (material requirement planning – MRP) merupakan sebuah teknik permintaan terikat yang menggunakan daftar kebutuhan bahan, persediaan, penerimaan yang diperkirakan, dan jadwal produksi induk untuk menentukan kebutuhan material.
Sedangkan menurut Herjanto (2004:257) perencanaan kebutuhan material (material requirement planning – MRP) adalah suatu konsep dalam manajemen produksi yang membahas cara yang tepat dalam perencanaan kebutuhan barang dalam proses produksi, sehingga barang yang dibutuhkan dapat tersedia sesuai dengan yang direncanakan.
Menurut Rangkuti (2004:144), Material Requirement Planning (MRP) adalah suatu sistem perencanaan dan penjadwalan kebutuhan material untuk produksi yang memerlukan tahapan proses/fase. Adapun menurut Gaspersz (2005:177), Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning) adalah metode penjadwalan untuk perencanaan pembelian pesanan (purchased
planned orders) dan perencanaan pesanan (manufactured planned orders).
Planned manufactured order kemudian diajukan untuk analisis lanjutan berkenaan dengan ketersediaan kapasitas dan keseimbangan menggunakan perencanaan kebutuhan kapasitas. Sedangkan menurut Tampubolon (2004:213), perencanaan kebutuhan bahan baku (MRP) merupakan komputerisasi sistem persediaan seluruh bahan yang dibutuhkan dalam proses konversi suatu perusahaan, baik usaha manufaktur ataupun perusahaan jasa.
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa MRP merupakan suatu perencanaan produksi untuk sejumlah produk jadi yang diterjemahkan ke barang mentah (komponen) yang dibutuhkan yang dibutuhkan dengan menggunakan waktu tenggang sehingga dapat ditentukan kapan dan berapa banyak yang dipesan untuk masing-masing komponen suatu produk yang akan dibuat.
2.2.1 Tujuan dan Manfaat Material Requirement Planning (MRP)
Menurut Herjanto (2004:258), secara umum, sistem perencanaan kebutuhan material (material requirement planning – MRP) dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
1. Meminimalkan persediaan
Perencanaan kebutuhan material (material requirement planning – MRP) menentukan berapa banyak dan kapan suatu komponen diperlukan disesuaikan dengan jadwal produksi induk (master production schedule). Dengan menggunakan metode ini, pengadaan (pembelian) atas komponen yang
diperlukan untuk suatu rencana produksi dapat dilakukan sebatas yang diperlukan saja sehingga dapat meminimalkan biaya persediaan
2. Mengurangi resiko karena Keterlambatan Produksi atau Pengiriman
Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning – MRP) mengidentifikasi banyaknya bahan dan komponen yang diperlukan baik dari segi jumlah dan waktunya dengan memperhatikan waktu tenggang produksi maupun pengadaan atau pembelian komponen, sehingga memperkecil resiko tidak tersedianya bahan yang akan diproses yang mengakibatkan terganggunya rencana produksi.
3. Komitmen yang realistis
Dengan Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning – MRP), jadwal produksi diharapkan dapat dipenuhi sesuai dengan rencana, sehingga komitmen terhadap pengiriman barang dilakukan secara lebih realistis. Hal ini mendorong meningkatnya kepuasan dan kepercayaan konsumen.
4. Meningkatkan Efisiensi
Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning – MRP) juga mendorong peningkatan efisiensi karena jumlah persediaan, waktu produksi, dan waktu pengiriman barang dapat direncanakan lebih baik sesuai dengan jadwal produksi induk
Sedangkan menurut Tampubolon (2004:214) tujuan dari sistem MRP adalah:
1. Membatasi jumlah kebutuhan bahan atau komponen sehingga sesuai dengan kebutuhan produk yang akan dihasilkan.
2. Mengurangi hambatan proses produksi dengan mencegah keterlambatan penyampaian (delivery) produk kepada pelanggan.
3. Meningkatkan efesiensi operasional perusahaan.
Adapun manfaat MRP menurut pendapat Render dan Heizer (2001:362) adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen.
2. Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja.
3. Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik.
4. Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar.
5. Tingkat persediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada konsumen.
2.2.2 Kemampuan Sistem Material Requirement Planning (MRP)
Menurut Nasution (2003:129) ada empat kemampuan yang menjadi ciri utama dari sistem MRP, yaitu:
1. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat
Maksudnya adalah menentukan secara tepat “kapan” suatu pekerjaan harus diselesaikan atau “kapan” material harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah direncanakan pada jadwal produksi induk
2. Membentuk kebutuhan minimal untuk setiap item
Dengan diketahuinya kebutuhan akan produk jadi, MRP dapat menentukan secara tepat sistem penjadwalan (berdasarkan prioritas) untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item komponen
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan
Maksudnya adalah memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan terhadap pesanan harus dilakukan, baik pemesanan yang diperoleh dari luar atau dibuat sendiri.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka MRP dapat memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang dengan menentukan prioritas pesanan yang realistis. Jika penjadwalan masih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, berarti perusahaan tidak mampu memenuhi permintaan konsumen, sehingga perlu dilakukan pembatalan atas pesanan konsumen tersebut.
2.2.3 Komponen Material Requirement Planning (MRP)
Menurut Gasperz (2005:178), Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning – MRP) membutuhkan lima sumber informasi utama yaitu:
1. Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule – MPS)
Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule – MPS) merupakan suatu pernyataan definitif tentang produk akhir apa yang direncanakan perusahaan untuk diproduksi, berapa kuantitas yang dibutuhkan, pada waktu kapan dibutuhkan dan bilamana produk itu akan diproduksi
2. Daftar Kebutuhan Bahan (Bill of Material – BOM)
Daftar Kebutuhan Bahan (Bill of Material – BOM) merupakan daftar dari semua material, parts, dan subassemblies, serta kuantitas dari masingmasing yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit produk atau parent assembly.
Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning – MRP) menggunakan Daftar Kebutuhan Bahan (Bill of Material – BOM) sebagai basis untuk perhitungan banyaknya setiap material yang dibutuhkan untuk setiap periode waktu.
3. Item Master
Item Master merupakan suatu komponen file yang berisi informasi status tentang material, parts, subassemblies, dan produk-produk yang menunjukkan kuantitas on-hand, kuantitas yang dialokasikan (allocated quantity), waktu tunggu yang direncanakan (planned lead time), ukuran lot (lot size), stok pengaman, kriteria lot sizing, toleransi untuk scrap atau hasil, dan berbagai informasi penting lainnya yang berkaitan dengan suatu item.
4. Pesanan-pesanan (Orders)
Pesanan-pesanan (orders) akan memberitahukan tentang berapa banyak dari setiap item yang akan diperoleh sehingga akan meningkatkan stock on-hand
dimasa mendatang. Pada dasarnya terdapat dua jenis pesanan, yaitu shop orders or work orders or manufacturing orders berupa pesanan-pesanan yang akan dibuat atau diproduksi di dalam pabrik, dan purchase orders yang merupakan pesanan-pesanan pembelian suatu item dari pemasok eksternal.
Kita juga dapat mengkategorikan pesanan-pesanan yang datang (incoming orders) apabila dari shop orders atau purchase orders dalam bentuk yang berbeda, yang memberitahukan apakah pesanan-pesanan itu telah dikeluarkan (released orders) atau apakah pesanan itu masih berupa rencana yang belum dikeluarkan (planned orders)
5. Kebutuhan-kebutuhan (Requirements)
Kebutuhan-kebutuhan (Requirements) akan memberitahukan tentang berapa banyak dari masing-masing item itu dibutuhkan, sehingga akan mengurangi stock-on-hand di masa mendatang. Pada dasarnya terdapat dua jenis kebutuhan, yaitu:
a. Kebutuhan internal yang biasanya digunakan dalam pabrik untuk membuat produk lan
b. Kebutuhan eksternal yang akan dikirim ke luar pabrik berupa: pesanan pelanggan (customers orders), service parts, dan sales forecast.
Suatu catatan kebutuhan biasanya berisi informasi tentang: nomor item yang dibutuhkan, kuantitas yang dibutuhkan, waktu yang dibutuhkan, kuantitas yang telah dikeluarkan dari stockroom, dan lain-lain.
Sumber: Russel dan Taylor (2003:552)
Gambar 2.2
Material Requirement Planning
Proses kerja MRP banyak dipengaruhi oleh berbagai hal guna mendukung sistem MRP yang terintegrasi dan untuk tujuan yang berguna bagi kelancaran proses produksi khususnya dalam efisiensi biaya produksi. Untuk itu dalam pengelolaan data sistem MRP pada pembuatan suatu produk dibutuhkanlah data- data yang mendukung dan menunjang sistem ini untuk dapat diperhitungkan secara akurat, untuk itu data-data yang diperoleh haruslah data aktual yang berkaitan seputar jadwal produksi induk (Master Production Schedule), daftar kebutuhan bahan (BOM), item master, data pesanan-pesanan, dan data kebutuhan.
Setelah semua data itu terkumpul kemudian data tersebut di olah pada sistem MRP dengan melihat perencanaan kapasitas produksi yang tepat, kemudian output berupa informasi (report) dari laporan itu berguna sebagai laporan normal yang
Master Production
Schedule
Product Structure
File
Material Requirement
Planning
Item Master
File
Work Order
Purchase Order
Rescheduling Notices
digunakan untuk persediaan dan kontrol produksi ataupun perencanaan proses kerja dari MRP dimasa mendatang.
2.2.4 Proses Material Requirement Planning (MRP)
Menurut Herjanto (2004:263), kebutuhan untuk setiap komponen yang diperlukan dalam melaksanakan MPS dihitung dengan menggunakan prosedur sebagai berikut:
1. Netting, yaitu jumlah kebutuhan bersih dari kebutuhan kasar dengan memperhitungkan jumlah barang yang akan diterima, jumlah persediaan yang ada, dan jumlah persediaan yang akan dialokasikan.
2. Konversi dari kebutuhan bersih menjadi kuantitas-kuantitas pemesanan
3. Menempatkan suatu pelepasan pemesanan pada waktunya yang tepat dengan cara menghitung mundur (backward scheduling) dari waktu yang dikehendaki dengan memperhitungkan waktu tenggang, agar memenuhi pesanan komponen yang bersangkutan
4. Menjabarkan rencana produksi produk akhir ke kebutuhan kasar untuk komponen-komponennya melalui daftar material
2.2.5 Format Material Requirement Planning (MRP)
Format Material Requirement Planning (MRP) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Tabel Material Requirement Planning (MRP) MRP
Description:
Lead Time: Lot Size:
On Hand: Safety Stock:
Period 0 1 2 3 4 5 6
Gross Requirement
Schedule Receipts
Project On Hand
Net Requirement
Planned Order Receipts
Planned Order Release
Sumber: Gasperz (2005), Production Planning and Inventory Control Berdasarkan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufacturing 21
Menurut pendapat Gaspersz (2005:180) mekanisme proses MRP adalah sebagai berikut:
1. Waktu Tunggu (Lead Time)
Waktu tunggu (lead time) merupakan jangka waktu yang dibutuhkan sejak MRP menyarankan suatu pesanan sampai item yang dipesan itu siap untuk digunakan.
2. Persediaan yang Ada (On Hand)
Persediaan yang ada (On Hand) merupakan persediaan yang ada yang menunjukan kuantitas dari item yang secara fisik ada dalam gudang (stockroom).
3. Ukuran Lot (Lot Size)
Ukuran lot merupakan kuantitas pesanan (Order Quantity) dari item yang memberi informasi kepada MRP berapa banyak kuantitas yang harus dipesan serta teknik ukuran lot (Lot Sizing) apa yang akan dipakai.
4. Stok Pengaman (Safety Stock)
Stok pengaman merupakan stok yang ditetapkan oleh perencana MRP untuk mengatasi fluktuasi dalam permintaan dan/atau penawaran.
5. Kebutuhan Kotor (Gross Requirement)
Kebutuhan kotor merupakan total dari semua kebutuhan, termasuk kebutuhan yang terantisipasi (Anticipated Requirement) untuk setiap priode waktu bagian (parts) tertentu dapat mempunyai kebutuhan kotor yang meliputi permintaan bebas (independent demand) dan permintaan tak bebas (dependent demand).
6. Perhitungan Persediaan yang Ada (Projected On Hand)
Perhitungan persediaan yang ada ini dapat dihitung berdasarkan formula:
Projected On Hand = On Hand pada awal periode + Rencana Masukan (Schedule Receipts) – Permintaan Kotor (Gross Requirement)
7. Perhitungan Ketersediaan Bahan (Project Available)
Perhitungan ketersediaan bahan merupakan kuantitas yang diharapkan ada dalam persediaan pada akhir periode, dan tersedianya untuk penggunaan dalam periode selanjutnya. Project Available dihitung berdasarkan formula:
Project Available = On Hand pada awal periode (Project Available pada periode sebelumnya) + Schedule Receipts periode sekarang + Planned Order Receipts periode sekarang – Gross Requirement periode sekarang.
8. Kebutuhan Bersih (Net Requirement)
Kebutuhan bersih merupakan kekurangan material yang diproyeksikan untuk periode ini, sehingga perlu diambil tindakan ke dalam perhitungan rencana penerimaan pesanan (planned order receipt) agar menutupi kekurangan pada periode ini. Net Requirement dapat dihitung dengan formula:
Net Requirement = Gross Requirement + Alokasi (Alocation) + Safety Stock – Schedule Receipts – Project Available pada akhir periode lalu.
9. Perencanaan Penerimaan Pesanan (Planned Order Receipt)
Perencanaan penerimaan pesanan merupakan kuantitas pesanan pengisian kembali (pesanan manufakturing atau pesanan pembeli) yang telah direncanakan oleh MRP untuk diterima pada periode tertentu guna memenuhi kebutuhan bersih (Net Requirement).
10. Rencana Keluarnya Pesanan (Planned Order Release)
Rencana keluarnya pesanan merupakan kuantitas planned order yang ditempatkan atau dikeluarkan pada periode tertentu, agar item yang dipesan itu akan tersedia pada saat dibutuhkan.
2.2.6 Output Material Requirement Planning (MRP)
Menurut Davis dan Heineke (2005:250) dari proses MRP dihasilkan dua output MRP yaitu primary report dan secondary report. Kedua jenis laporan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Laporan Primer (Primary Report)
Laporan primer adalah hal utama atau laporan normal yang digunakan untuk persediaan dan control produksi, yang termasuk laporan ini adalah:
a. Planed order, rencana pemesanan untuk masa yang akan datang
b. Order realeas notice, pesanan yang dikeluarkan, yang menunjukan kapan harus dilaksanakan perencanaan pemesanan (planned order).
c. Changes in due dates, perubahan pada rencana pemesanan, penjadwalan ulang (dikarenakan keadaan cuaca atau lalu lintas).
d. Concellations or suspension, pembatalan pesanan terbuka dikarenakan adanya pembatalan dari jadwal induk (MPS).
e. Inventory status data, data keadaan persediaan.
2. Laporan Sekunder (Secondary Report)
Laporan sekunder adalah laporan tambahan dimana MRP dapat memilih program-programnya:
a. Planning report, laporan perencanaan digunakan untuk meramalkan dan menetapkan kebutuhan persediaan di masa yang akan datang.
b. Performance report, laporan pengendalian yang menentukan waktu pelaksanaan yang digunakan untuk mengevakuasi sistem operasi antara lamanya waktu menunggu komponen bahan baku (lead time) dengan jumlah yang telah dipakai serta biayanya.
c. Exception report, laporan penolakan memberikan informasi tentang adanya kesalahan keterlambatan pesanan, bahkan sisa dan komponen yang tidak ada, serta pengecualian untuk syarat-syarat pembelian.
2.2.7 Master Production Schedule (MPS)
Menurut Gasperz (2005:141), jadwal produksi induk (master production schedule) adalah satu set perencanaan yang menggambarkan berapa jumlah yang akan dibuat untuk setiap item akhir pada periode tertentu. sedangkan menurut Herjanto (2004:260), jadwal produksi induk merupakan gambaran atas periode perencanaan dari suatu permintaan, termasuk peramalan, backlog, rencana suplai/penawaran, persediaan akhir, dan kuantitas yang dijanjikan tersedia (Available To Promise, ATP). MPS mengendalikan MRP dan merupakan masukan utama dalam proses MRP.
Sedangkan menurut Render dan Heizer (2001:162), jadwal produksi induk dapat dinyatakan dalam istilah sebagai berikut:
1. Pesanan pelanggan pada sebuah perusahaan dengan pusat kerja (membuat berdasarkan pesanan – make-to-order)
2. Modul pada sebuah perusahaan berulang (merakit berdasarkan persediaan – assemble-to stock)
3. Sebuah barang jadi pada sebuah perusahaan berlanjut (membuat berdasarkan persediaan – make-to-stock)
Menurut Gasperz (2005:142) jadwal produksi induk pada dasarnya memiliki 4 fungsi utama, yaitu:
1. Menyediakan atau memberi input utama kepada sistem perencanaan kebutuhan material dan kapasitas
2. Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian (production and purchase orders) untuk item-item jadwal produksi induk
3. Memberikan landasan untuk penentuan kebutuhan sumber daya dan kapasitas 4. Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk (delivery
promises) kepada pelanggan
Menurut Gasperz (2005:142), sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi induk (Master Production Schedule-MPS) membutuhkan 5 input utama yaitu:
1. Data permintaan total
Merupakan salah satu sumber data bagi proses penjadwalan produksi induk.
Data permintaan total berkaitan dengan ramalan penjualan dan pesanan- pesanan
2. Status Inventory
Berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory, stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock), pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus mengetahui secara akurat berapa banyak inventory yang tersedia dan menentukan berapa banyak yang harus dipesan.
3. Rencana Produksi
Memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, inventory, dan sumber daya lain dalam produksi itu.
4. Data perencanaan
Berkaitan dengan aturan-aturan tentang Lot Sizing yang harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari item (Item Master File)
5. Informasi dari RCCP (Rough Cut Capacity Planning)
Berupa kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS
2.2.8 Masukan Bagi Master Production Schedule-MPS (Jadwal Produksi Induk)
Bentuk umum dari MPS adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule-MPS)
Description:
Lot Size:
Lead Time: Safety Stock:
On Hand: Demand Time Fences:
Planning Time Fences:
Period (week) 0 1 2 3 4 5 6
Forecast
Actual Order
Project Avaliable Balance
Avaliable to Promise
Master Schedule
Sumber: Gasperz (2005), Production Planning and Inventory Control Berdasarkan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufacturing 21
Keterangan untuk tabel diatas adalah sebagai berikut:
1. Lead Time
Menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk memprediksi atau membeli suatu item
2. On Hand
Adalah posisi inventory awal yang secara fisik tersedia dalam stok, yang merupakan kuantitas dari item yang ada dalam stok
3. Lot Size
Adalah kuantitas dari item yang biasanya dipesan dari pabrik/pemasok 4. Safety Stock
Adalah stok tambahan dari item yang direncanakan untuk berada dalam inventory yang dijadikan sebagai stock pengaman guna mengatasi fluktuasi dalam ramalan penjualan, pesanan-pesanan pelanggan dalam waktu singkat, kebijaksanaan manajemen berkaitan dengan stabilisasi dari sistem manufacturing semakin stabil kebijaksanaan stock pengaman dapat diminimumkan
5. Demand Time Fences (DTF)
Adalah periode mendatang dari Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule-MPS) dimana, dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diizinkan atau tidak diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat ketidaksesuaian / kekacauan jadwal.
6. Planning Time Fences (DTF)
Adalah periode mendatang dari MPS dimana dalam hal ini, perubahan- perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah ketidaksesuaian/
kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam biaya 7. Time Periods For display
Adalah banyaknya periode waktu yang ditampilkan dalam format MPS f. Sales Plan (Sales Forecast)
Merupakan rencana penjualan dan peramalan penjualan untuk item yang dijadwalkan itu.
8. Actual Orders
Merupakan pesanan-pesanan yang diterima dan bersifat pasti 9. Projected Available Balances (PAB)
Merupakan proyeksi on-hand inventory dari waktu ke waktu selama horizon perencanaan Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule-MPS), yang menunjukkan status inventory yang diproyeksikan pada akhir dari setiap periode waktu dalam horizon perencanaan Jadwal Produksi Induk(Master Production Schedule-MPS)
10. Available To Promise (ATP)
Merupakan informasi yang sangat berguna bagi departemen pemasaran untuk mampu memberikan jawaban-jawaban yang tepat terhadap pernyataan pelanggaran tentang “Kapan anda dapat mengirimkan item yang telah dipesan itu?” nilai ATP memberikan informasi tentang berapa banyak item atau produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu tersedia untuk
pesanan pelanggan sehingga berdasarkan informasi itu bagian pemasaran dapat membuat janji yang tepat pada pelanggan.
11. Master Schedule
Merupakan jadwal produksi/manufacturing yang diantisipasi (anticipated manufacturing Schedule) untuk item tertentu
2.2.9 Bill of Material (BOM)
Menurut Herjanto (2004:260), daftar kebutuhan bahan (bill of material – BOM) adalah daftar dari produk dan komponen yang diperlukan untuk dirakit atau dicampur agar menjadi produk akhir. Sedangkan menurut Heizer dan Render (2009:164), daftar kebutuhan bahan (bill of material – BOM) adalah sebuah pembuatan daftar komponen, komposisi dan jumlah dari setiap bagian yang diperlukan untuk membuat satu unit produk.
Adapun contoh BOM dari Buku Prinsip-Prinsip Manajemen Operasional, karangan Render dan Heizer (2001:359) adalah sebagai berikut:
Contoh 1
Permintaan Fun Lawn untuk produk A adalah 50 unit. Setiap unit A memerlukan 2 unit B dan 3 unit C. Setiap unit B memrlukan 2 unit D dan 3 unit E. Lebih jauh lagi, setiap Unit C memrlukan satu unit E dan 2 unit F. dan setiap unit F memrlukan satu unit G dan 2 unit D. Maka, permintaan untuk unit B, C, D, E, F dan G sangat dependen terhadap permintaan Untuk A. dengan informasi ini, kita dapat membuat struktur produk untuk produk persediaan yang terkait.
Sumber: Render dan Heizer (2001:35
Gambar 2.3 Contoh Struktur Produk
Struktur ini mempunyai empat tingkatan: 0, 1, 2 dan 3. Ada empat
“induk”, yaitu : A, B, C, dan F. Dibawah setiap produk induk ini paling tidak ada satu tingkat yang lebih rendah. Produk B, C, D, E, F, dan G merupakan komponen/anak karena setiap produk itu di atasnya terdapat paling tidak satu tingkat yang lebih tinggi. Pada struktur ini, B, C, dan F merupakan induk sekaligus komponen. Angka didalam kurung mengisyaratkan jumlah unit dari produk tertentu itu yang diperlukan untuk membuat produk yang tepat berada diatasnya. Oleh karena itu, B2 berarti bahwa diperlukan 2 unit B untuk setiap unit A, dan F2 berarti bahwa diperlukan 2 unit F untuk setiap unit C.
Sekali kita telah mengembangkan struktur produknya, kita dapat menentukan jumlah unit dari setiap produk yang diperlukan untuk memenuhi permintaan sebagaimana diperlukan di bawah ini:
0 A
B(2)
1 C(3)
E(3)
2 E(1) F(2)
D(2)
3 G(1) D(2)
Komponen B 2 × jumlah A (2) (50) = 100
Komponen C 3 × jumlah A (3) (50) = 150
Komponen D 2 × jumlah B + 2 × jumlah F (2) (100) + (2) (300) = 800 Komponen E 3 × jumlah B + 1 × jumlah C (3) (100) + (1) (150) = 450
Komponen F 2 × jumlah C (2) (150) = 300
Komponen G 1 × jumlah F (1) (300) = 300
Maka, untuk 50 unit A, kita memerlukan 100 unit B, 150 unit C, 800 unit D, 450 unit E, 300 unit F, dan 300 unit G.
2.2.10 Teknik Penentuan Ukuran Lot (Lot Sizing)
Menurut Herjanto (2004:271) terdapat beberapa teknik penentuan ukuran Lot, yang terdiri dari:
1. Lot For Lot (LFL)
Metode Lot For Lot (LFL) atau metode persediaan minimal berdasarkan pada ide menyediakan persediaan (memproduksi) sesuai dengan yang diperlukan saja, jumlah persediaan diusahakan seminimal mungkin. Jika pesanan dapat dilakukan dalam jumlah berapa saja, pesanan sesuai dengan jumlah yang sesungguhnya diperlukan (Lot For Lot) menghasilkan tidak hanya persediaan.
Biaya yang timbul hanya berupa biaya pemesanan. Apabila terjadi keterlambatan dalam pengiriman barang, mengakibatkan terhetinya produksi, jika persediaan itu berupa bahan baku, atau tidak terpenuhinya permintaan pelanggan apabila persediaan itu berupa bahan jadi. Namun, bagi perusahaan
tertentu seperti yang menjual barang-barang yang tidak tahan lama, metode ini merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik.
2. Economic Order Quantity (EOQ)
Apabila menggunakan pendekatan EOQ, ukuran lotnya sebagai berikut:
H DS EOQ 2
Dengan
D = Jumlah kebutuhan barang S = Biaya pemesanan
H = Biaya penyimpanan 3. Fixed Order Quantity (FOQ)
Metode FOQ menggunakan kuantitas pemesanan yang tetap yang berarti ukuran kuantitas pemesanannya (lot size) adalah sama untuk setiap kali pemesanan. Ukuran lot tersebut ditentukan secara sembarangan atau berdasarkan faktor-faktor intuisi/empiris, misalnya menggunakan jumlah kebutuhan bersih (Rt) tertinggi sebagai ukuran lotnya.
4. Metode Fixed Period Requirement (FPR)
Metode ini menggunakan konsep interval pemesanan yang konstan, sedangkan ukuran kuantitas pemesanannya (lot size) boleh bervariasi. Ukuran kuantitas pemesanan tersebut merupakan penjumlahan kebutuhan (Rt) dari setiap periode yang tercakup dalam interval pemesanan yang telah diterapkan.
Penetapan interval pemesanannya dilakukan secara sembarang atau intuitif.
Pada teknik FPR ini, pemesanan dilaksanakan pada periode berikutnya.
2.3 Peramalan (Forecasting)
Peramalan adalah proses untuk memperkirakan beberapa kebutuhan di masa datang yang meliputi kebutuhan dalam ukuran kuantitas, kualitas, waktu dan lokasi yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi permintaan barang ataupun jasa (Hakim, 2003:25). Dapat dikatakan bahwa peramalan tersebut merupakan taksiran. Namun dengan menggunakan teknik-teknik tertentu maka peramalan akan menjadi bukan hanya sekedar taksiran. Tentu saja peramalan akan semakin baik jika mengandung sedikit mungkin kesalahan, walaupun kesalahan peramalan tetap merupakan suatu hal yang sangat manusiawi.
Menurut Tersine (1994:35), forecasting, merupakan prediksi, proyeksi, atau estimasi tingkat kejadian yang tidak pasti dimasa yang akan datang.
Sedangkan menurut Biegel (1992:102)), pengertian peramalan adalah suatu perkiraan tingkat permintaan yang diharapkan untuk suatu produk atau berapa produk dalam periode waktu tertentu dimasa yang akan datang.
Dalam hubungan dengan operasi produksi, peramalan harus menjadi bagian integral dari perencanaan dan pengambilan keputusan. Permalan diperlukan sejalan dengan usaha organisasi untuk mengurangi ketergantungan pada faktor lingkungan yang tidak pasti. Sehingga peramalan merupakan alat bantu yang sangat penting bagi suatu perusahaan yang efektif dan efisien.
2.3.1 Teknik Peramalan
Secara umum teknik atau metode peramalan dapat dibagi menjadi dua kategori, yang masing-masing kategori terdiri dari beberapa model. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (Makridakis, 1993:8-10).
1. Metode Kualitatif
Metode kualitatif lebih menekankan pada keputusan-keputusan hasil diskusi, pendapat pribadi seseorang, dan intuisi yang meskipun kelihatannya kurang ilmiah tetapi dapat memberikan hasil yang baik. Metode kulitatif dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode eksploratis dan normatif. Metode eksploratis (seperti delphi, kurva-s, analogi, dan penelitian morfologi) dimulai dengan masa lalu dan masa kini sebagai titik awalnya dan bergerak kearah masa depan secara heuristik, seringkali dengan melihat semua kemungkinan yang ada. Metode normatif (seperti matriks keputusan, pohon relevansi, dan analisis sistem) dimulai dengan menetapkan sasaran dan tujuan yang akan datang, kemudian bekerja mundur untuk melihat apakah hal ini dapat dicapai, berdasarkan kendala, sumber daya, dan teknologi yang tersedia.
2. Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif merupakan prosedur peramalan yang mengikuti aturan- aturan matematis dan statistik dalam menunjukkan hubungan antara permintaan dengan satu atau lebih variabel yang mempengaruhinya.
Peramalan kuantitatif mengasumsikan bahwa tingkat keeratan dan macam dari hubungan antara variabel-variabel bebas dengan permintaan yang terjadi
pada masa lalu akan berulang pada masa yang akan datang. Peramalan kuantitatif dapat diterapkan bila terdapat tiga kondisi berikut:
a. Tersedianya informasi tentang masa lalu
b. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik.
c. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut dimasa yang mendatang.
Metode kuantitatif dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu:
1. Model Deret Berkala (time series)
Model peramalan deret berkala didasarkan pada serangkaian data-data berurutan yang berjarak sama (misalnya; mingguan, bulanan, tiga bulan, tahunan). Serangkaian data ini yang merupakan serangkaian observasi berbagai variabel menurut waktu, biasanya ditabulasikan dan digambarkan dalam bentuk grafik yang menunjukkan perilaku subyek. Time series sangat tepat dipakai untuk meramalkan permintaan yang pola permintaan dimasa lalunya cukup konsisten dalam periode waktu yang lama, sehingga pola tersebut masih akan tetap berlanjut.
Analisa deret waktu didasarkan pada asumsi bahwa deret waktu tersebut terdiri dari komponen-komponen, yaitu:
a. Pola Kecenderungan (T) merupakan sifat dari permintaan dimasa lalu terhadap waktu terjadinya, apakah permintaan tersebut cenderung naik, turun, atau konstan.
b. Pola Siklus/Cycle (C) permintaan suatu produk dapat memiliki siklus yang berulang secara periodik, biasanya lebih dari satu tahun, sehingga pola ini
tidak perlu dimasukkan dalam peramalan jangka pendek. Pola ini amat berguna untuk peramalan jangka menengah dan jangka panjang.
c. Pola Musiman (S) fluktuasi permintaan suatu produk dapat naik turun disekitar garis trend dan biasanya berulang setiap tahun. Pola ini biasanya disebabkan oleh faktor cuaca, musim libur panjang, dan hari raya keagamaan yang berulang secara periodik setiap tahunnya.
d. Variasi Acak (R) permintaan suatu produk dapat mengikuti pola bervariasi secara acak karena faktor-faktor adanya bencana alam, bangkrutnya perusahaan pesaing, promosi khusus, dan kejadian lainnya yang tidak mempunyai pola tertentu. Variasi acak ini diperlukan dalam rangka menentukan persediaan pengaman untuk mengantisipasi kekurangan persediaan bila terjadi lonjakan permintaan.
2. Model Sebab-Akibat (Causal)
Model causal adalah model peramalan yang mempertimbangkan variabel-variabel atau faktor-faktor yang bisa mempengaruhi jumlah yang sedang diramalkan. Misalnya penjualan minuman segar (soft drink) akan tergantung pada musim, temperatur rata-rata, kelembaban rata-rata, suasana saat ini, dan lain sebagainya.
2.3.2 Metode Peramalan
Untuk memilih metode peramalan yang sesuai dengan benar, peramal harus dapat mengerjakan hal-hal berikut:
1. Menetapkan sifat dasar masalah peramalan 2. Menjelaskan sifat dasar data yang sedang diteliti
3. Mendeskripsikan kemampuan dan keterbatasan potensial dari teknik-teknik peramalan yang kemungkinan sangat berguna.
4. Mengembangkan sejumlah kriteria yang ditentukan terlebih dahulu sebagai dasar untuk memilih keputusan.
Faktor utama yang mempengaruhi pemilihan teknik peramalan adalah identifikasi dan pemahaman pola histeris data. Jika didapati trend, siklik, atau musiman maka kemudian teknik-teknik yang mampu secara efektif mengekstrapolasi pola ini dapat dipilih.
Metode peramalan yang dipilih pada penelitian ini adalah dari kelompok metode peramalan yang berdasarkan deret waktu (time series forecasting methods) dengan penjelasan sebagai penjelasan sebagai berikut:
1. Metode Moving Average (MA)
Moving average diperoleh dengan merata-rata permintaan berdasarkan beberapa data masa lalu yang terbaru. Tujuan utama dari penggunaan metode ini adalah untuk mengurangi atau menghilangkan variasi acak permintaan dalam hubungannya dengan waktu. Tujuan ini dicapai dengan merata-rata beberapa nilai data secara bersama-sama, dan menggunakan nilai rata-rata tersebut sebagai ramalan permintaan untuk periode yang akan datang. Secara matematis, maka MA akan dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
N X ...
X
F Xt t1 tn1
Xt = permintaan aktual pada periode t
N = banyaknya data permintaan yang dilibatkan dalam perhitungan MA Ft = peramalan permintaan pada periode t
2. Metode Weighted Moving Average (WMA)
Pada metode WMA, setiap data permintaan aktual memiliki bobot yang berbeda. Data yang lebih baru akan mempunyai bobot yang tinggi karena data tersebut mempresentasikan kondisi yang terakhir terjadi. Secara matematis WMA dapat dinyatakan sebagai berikut:
t t
t W X
F
Dimana:
Wt = bobot permintaan aktual pada periode-t dengan keterbatasan ∑W=1 Xt = permintaan aktual pada periode t
3. Metode Single Exponential Smoothing (SES)
Kelemahan teknik MA dalam kebutuhan akan data-data masa lalu yang cukup banyak dapat diatasi dengan teknik SES. Model matematis SES dapat dikembangkan dari persamaan berikut:
N
X N F X
Ft 1 t t t N
Dimana bila data permintaan aktual yang lama At-N tidak tersedia, maka dapat digantikan dengan nilai pendekatan yang berupa nilai ramalan sebelumnya Ft, sehingga persamaan dituliskan dapat dituliskan menjadi:
N F N F X
Ft 1 t t t
t t
t F
X N
F N
1 1 1
1
Dari persamaan dapat dilihat bahwa ramalan ini (Ft+1) didasarakan atas pembobotan observasi yang terakhir dengan suatu nilai bobot (1/N) dan pembobotan peramalan yang terakhir sebelumnya (Ft) dengan suatu bobot [1- 91/N)]. Karena N merupakan suatu bilangan positif, 1/N akan menjadi suatu konstanta antara nol (jika N tak terhingga) dan 1 (jika N=1).
Mengganti 1/N dengan α, persamaan di atas menjadi:
tt
t X F
F 1
Cara lain untuk menuliskan persamaan di atas adalah dengan susunan sebagai berikut:
t t
t
t F X F
F1
4. Metode Double Exponential Smoothing
Model matematis DES dapat dinyatakan sebagai berikut:
m b a Ftm t t. Dimana:
t
t S t S
a 2. ' "
t t
t S S
b . ' "
1
' 1't At 1 S t
S
tt
t S S
S" ' 1 '
Untuk t = 1,S't1 At