DAN PAJAK IMPOR DALAM INDUSTRI TELEPON GENGGAM DIKAITKAN DENGAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT
FIKY MARTINO 1287032
ABSTRAK
Prinsip National Treatment merupakan salah satu prinsip dalam ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO), dan telah meratifikasi semua peraturan WTO beserta lampiran-lampirannya yang salah satunya adalah ketentuan GATT, harus tunduk terhadap keseluruhan peraturan WTO tersebut. Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun 2014 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Industri Elektronika dan Telematika serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain yang berkaitan dengan konsistensi terhadap prinsip National Treatment.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada asas-asas hukum dan hukum positif. Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dalam prinsip National Treatment dalam Ketentuaan GATT. Sumber hukum primer yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing of The World Trade Organization, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun 2014 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Industri Elektronika dan Telematika, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Indonesia dalam beberapa kebijakannya ditemukan ketidak konsistenan terhadap prinsip National Treatment. Indonesia sebagai anggota WTO seharusnya tunduk terhadap peraturan-peraturan WTO. Dikeluarkannya Peraturan mengenai kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri telah melanggar prinsip National Treatment yang menyatakan bahwa pengaturan mengenai penggunaan kandungan komponen dalam negeri tidak diperbolehkan diterapkan oleh anggota. Jika Indonesia dinyatakan melanggar ketentuan WTO, maka WTO akan memberikan keleluasaan bagi negara lain yang
dirugikan oleh kebijakan tersebut untuk melakukan “Tindakan Pembalasan”
seperti, penghentian kerjasama impor dengan negara yang bersengketa ataupun berupa kenaikan nilai pajak terhadap barang yang diimpor Indonesia ke negara lain.
CONTENT LEVEL AND IMPORT TAX IN MOBILE PHONE INDUSTRY ASSOCIATED WITH THE PRINCIPLE OF NATIONAL TREATMENT
FIKY MARTINO 1287032
ABSTRACT
The principle of National Treatment is one of the principles in the provisions of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Indonesia as a member of the World Trade Organization (WTO), and has ratified all the rules of the WTO and its annexes, one of which is the provision of the GATT, should be subject to the overall regulation of the WTO. Indonesia has issued Ministry of Trade Decree Number 69 Year 2014 Regarding Provisions on Procedures for Calculation of Domestic Component Value of Industrial Electronics and Telematics and the Ministry of Finance Decree No. 175 / PMK.011 / 2013 Regarding the Second Amendment to the Finance Minister Decree Number 154 / PMK.03 / 2010 On Income Tax Collection Article 22 relating to Payments for Goods Delivery And Activity for Import Or Other Business Activities in the field with regard to the consistency of the principle of National Treatment.
This thesis research method is normative juridical research which refers to the general principles of law and positive law. The nature of the research is descriptive analytics in the principle of National Treatment in the provision GATT. Sources of primary law used is Law No. 7 of 1994 on ratification of Agreement Establishing of the World Trade Organization, the Ministry of Trade Decree No. 69 year 2014 Regarding Provisions on Procedures for Calculation of Domestic Component Value of Industrial Electronics, and Minister of Finance Decree No. 175 / PMK.011 / 2013 Regarding the Second Amendment to the Finance Minister Decree Number 154 / PMK.03 / 2010.
The results showed that some of Indonesia’s regulations are not consistent
with the principle of National Treatment. Indonesia as a member of the WTO should be subject to the rules of the WTO. The enactment of the policy content from local industry has violated the principle of National Treatment which states that the regulations concerning the use of component content in the country are not allowed to be applied by its members. If Indonesia is decleared violate the WTO’s provisions, then WTO has a right to give flexibility for another country
that is harmed by this policy to do “A Retaliatory Action“, such as , the cessation
of import with dispute state or a rise in value in the form of tax on imported goods by Indonesia to another country.
Halaman Judul ... i
Halaman Keaslian Naskah ... ii
Halaman Pernyataan Publikasi Laporan Penelitian……… iii
Halaman Persetujuan Revisi Skripsi ... iv
Halaman Pengesahan ... v
Halaman Persetujuan Panitia Sidang ... vi
ABSTRAK ... vii
BAB II TINJAUAN UMUM KEBIJAKAN TINGKAT KANDUNGAN DALAM NEGERI DAN PAJAK IMPOR DALAM INDUSTRI TELEPON GENGGAM DI INDONESIA………..……..………. 26
A. Pengaturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri Untuk Industri Elektronika dan Telematika………...…... 26
1.Pengaturan Kebijakan TKDN Dalam Ketentuan WTO……….. 27
2.Pengaturan Kebijakan TKDN Dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun 2014………. 29
Genggam……….... 36
1. Pengertian hukum pajak………….………. 36
2. Jenis - jenis pajak……….……….. 38
3. Jenis - jenis pajak penghasilan……….….…….…. 40
4. Pajak penghasilan dalam bidang Impor……..…….…... 43
D. Industri Telepon Genggam di Indonesia………... 44
1. Pajak Impor dalam Industri Telepon ………... 47
2. Perhitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Industri Telepon Genggam………... 49
BAB III PRINSIP NATIONAL TREATMENT DI INDONESIA... 52
A. Tinjauan Umum Perjanjian Internasional……….. 52
1. Pengertian dan istilah perjanjian internasional ………. 52
2. Bentuk-bentuk perjanjian Internasional…………..…… 61
3. Proses Ratifikasi Di Indonesia……… 68
4. Munculnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)……….. 70 B. Prinsip – Prinsip Dalam GATT……….... 73
1. Prinsip Most Favoured Nation……….…….. 73
2. Prinsip National treatment……….. 75
3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif… 79 4. Prinsip Perlindungan Melalui Tarif ………….………. 80
5. Prinsip Resiprositas……….…………...….. 80
C. Penerapan Prinsip National Treatment Di Indonesia……… 81
1. Undang-Undang yang meratifikasi perjanjian GATT… 81
2. Penerapan Prinsip National Treatment Dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun 2014...
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
175/PMK.011/2013……….. 84
4. Akibat Hukum Dalam Penerapan Prinsip National Treatment………..………. 87
BAB IV PEMBAHASAN……….. 90
A. Analisa Konsistensi Penerapan Prinsip National Treatment Dalam ketentuan GATT terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 di Indonesia……….. 90
B. Bentuk diskriminasi terhadap barang impor dalam bidang industri telepon genggam melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013……….. 98
C. Sanksi bagi Indonesia jika dinyatakan melanggar prinsip National Treatment dalam ketentuan GATT……… 102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………….………. 106
A.Kesimpulan………..………... 106
B.Saran………. 108
DAFTAR PUSTAKA………... 110
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun 2014 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri
Industri Elektronika dan Telematika……… 111
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor
Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain………. 135
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan jaman, kebutuhan berbagai bidang
kehidupan manusia pun semakin berkembang dan meluas. Dunia yang meluas
adalah suatu keadaan di mana politik, ekonomi, budaya, dan peristiwa
masyarakat lainnya saling berketerkaitan dan saling mempengaruhi satu sama
lain. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai globalisasi. Dalam hal ini,
banyak pakar yang mendefinisikan tentang pengertian dari globalisasi.
Globalisasi adalah meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi, sosial,
hingga budaya yang melewati batas – batas internasional.1 Adanya globalisasi
telah memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk
dalam perkembangan Hubungan Internasional itu sendiri.
Hubungan Internasional, dalam perkembangannya terjalin karena banyak
negara – negara yang memiliki kesamaan pandangan dalam mencapai
tujuannya, baik untuk mencapai perdamaian, maupun untuk meningkatkan
sektor – sektor penting dalam negaranya. Demi mewujudkan tujuannya
tersebut banyak negara-negara yang membuat suatu organisasi internasional.
Teuku May Rudy memaparkan pengertian Organisasi Internasional sebagai
pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur
1 Jackson, R. & George Sorensen,
Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar,
organisasi yang jelas dan lengkap serta melaksanakan fungsinya secara
berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya
tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara sesama kelompok
non-pemerintah pada negara berbeda.2
Organisasi Internasional dalam suatu pengertian ialah kolektivitas dari
entitas-entitas yang independen, kerjasama yang terorganisasi (organized
cooperation) dalam bentuk yang lebih konkret. Organisasi internasional
merupakan produk dari perjanjian-perjanjian multilateral.3 Organisasi
Internasional merupakan organisasi bukan Negara yang berkedudukan sebagai
subjek Hukum Internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat
perjanjian Internasional. Tujuan yang bersifat Internasional adalah tujuan
bersama yang menyangkut kepentingan berbagai bangsa.
Di dalam pembentukan organisasi internasional seperti yang
diungkapkan diatas, Negara-negara anggotanya melalui organisasi tersebut
akan berusaha mencapai tujuan bersama dalam berbagai aspek kehidupan
internasional, dan bukan untuk mencapai tujuan masing-masing negara atau
pun suatu tujuan yang tidak dapat disepakati bersama untuk mencapai tujuan
itu sebagai suatu kesatuan, dengan begitu organisasi internasional dapat
dibentuk walau hanya dengan skala regional di negara-negara tetangga, seperti
dibentuknya ASEAN yang merupakan organisasi kerjasama regional antara
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara dengan tujuan untuk meningkatkan
2
Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional, Refika Aditama 2005, hlm. 3.
3
kerjasama yang aktif dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknik, ilmu
pengetahuan dan administrasi para anggotanya. Selain itu ada juga organisasi
yang terbentuk karena memiliki kesamaan dan tujuan yang serupa, seperti
OPEC yang merupakan organisasi negara-negara pengekspor minyak.
Selain organisasi yang berdiri karena memiliki tujuan maupun visi yang
serupa, terdapat juga beberapa organisasi yang muncul karena adanya
perjanjian yang diikuti oleh para negara anggotanya yang sepakat untuk
menjalankan perjanjian itu antar sesama negara anggota seperti munculnya
General Agreement on Tariffs and Trade (yang selanjutnya disebut GATT).
Pembentukan GATT ini dilatar belakangi oleh tidak adanya aturan mengenai
perdagangan internasional sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran serta
diskriminasi dalam perdagangan internasional.
GATT merupakan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan
sebagai instrumen hukum perdagangan internasional yang terbentuk melalui
persetujuan-persetujuan atau perundingan-perundingan yang biasa disebut
dengan round (putaran). Tujuan pembentukan GATT sebagaimana dijelaskan
oleh Huala Adolf yang mengacu pada Preamble GATT adalah: 4
1. Untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan
menghindari kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik perdagangan
nasional yang merugikan negara lainnya.
4
2. Untuk meningkatkan volume perdagangan dunia dengan
menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi
pembangunan ekonomi semua negara.
3. Meningkatkan standar hidup manusia.
4. Meningkatkan lapangan tenaga kerja.
5. Mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak
suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan
perdagangan terbuka yang bermanfaat bagi negara-negara.
6. Meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan
meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.
Dalam perjalanannya, GATT telah melakukan beberapa perundingan
pertama di lakukan di Geneva, Switzerland (1947), kemudian Annency (France
1948) Torguay, Switzerland (1950), Geneva Switzerland (1956), Dillon round,
Geneva (1960-1961), Kenedy round, Geneva (1964-1967), Tokyo round,
Geneva (1973-1979), Uruguay Round Marrakesh (1986-1994), dan terakhir
Doha round, Qatar (2001). Perundingan pada Uruguay round inilah yang
dianggap salah satu perundingan yang paling menentukan perkembangan
GATT di masa yang akan datang. Putaran Uruguay merupakan putaran
perundingan yang berlangsung paling lama dan mencangkup segi-segi
pengaturan yang lebih luas. Di sana tidak hanya dibicarakan mengenai masalah
tarif dan non tarif saja tetapi juga masalah-masalah lain yang di golongkan
sebagai aspek non trade seperti, hak atas kekayaan intelektual, dan kepentingan
terakhir ini pula disahkan persetujuan untuk membentuk sebuah organisasi
perdagangan yang di sebut World Trade Organization( yang selanjutnya
disebut WTO).
WTO menggantikan peran GATT 1947 sebagai lembaga perdagangan
internasional, forum negosiasi dan forum penyelesaian sengketa. Pada
prinsipnya dibawah persetujuan WTO, GATT tetap dipertahankan sebagai
peraturan dibidang perdagangan barang. Ketentuan-ketentuan GATT masih
berlaku dibawah persetujuan WTO termasuk ketentuan-ketentuan yang
memberikan perlakuan khusus atau hak-hak istimewa kepada Negara-negara
sedang berkembang anggota WTO. Perubahan GATT menjadi WTO
membawa fase baru. WTO menjadi suatu badan yang mengurusi perdagangan
dunia lebih kompleks dan efektif dibanding GATT. WTO memberikan fokus
yang besar bagi perdagangan seluruh sektor, termasuk barang dan jasa. Selain
itu WTO juga terdiri dari anggota yang tetap , dimana keanggotaan suau negara
melibatkan keputusan dari parlemen negara bersangkutan. Hal ini berkaitan
dengan status WTO yang sebagai organisasi internasional. Sebagai suatu
organisasi internasional, WTO memiliki aturan yang lebih jelas dan legal untuk
dipatuhi. Hal ini kemudian mendorong legitimasi sah yang perlu dipatuhi oleh
negara- negara anggota serta perdagangan internasional.
Salah satu prinsip utama GATT adalah prinsip non diskriminasi. Prinsip
ini tercermin dalam pasal I dan pasal III GATT.5 Dalam pasal I adalah
5
Triyana Yohanes, , Untung Setyardi, Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum)
perlakuan istimewa yang bersifat menguntungkan yang diberikan oleh salah
satu anggota GATT kepada satu anggota GATT kepada suatu anggota GATT
lainnya, maka perlakuan itu harus dinikmati pula oleh seluruh anggota GATT.
Prinsip ini dikenal dengan the most favoured nation (MFN), sedangkan pasal
III menentukan bahwa setiap negara anggota GATT harus memperlakukan
produk lokal dan produk import secara sama di pasaran dalam negeri Negara
anggota WTO. Prinsip ini juga sering disebut sebagai National Treatment
Obligation. Berikut adalah isi dari pasal III ayat 1 GATT:
“The contracting parties recognize that internal taxes and other internal charges, and laws, regulations and requirements affecting the internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use of products, and internal quantitative regulations requiring the mixture, processing or use of products in specified amounts or proportions, should not be applied to imported or domestic products so as to afford protection to domestic production.” 6
(Diterjemahkan secara bebas oleh penulis menjadi : para anggota mengetahui bahwa pajak dalam negeri dan biaya dalam negeri, dan undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan dalam negeri, penawaran, pembelian, transportasi, distribusi, atau penggunaan produk, dan pembatasan kuantitatif memerlukan campuran dalam negeri, pengolahan atau penggunaan produk dalam jumlah tertentu atau kandungan, tidak dapat diterapkan untuk produk-produk impor maupun lokal untuk tujuan perlindungan perlindungan terhadap produksi dalam negeri.)
Pasal III ayat 2 GATT :
“The products of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall not be subject, directly or indirectly, to internal taxes or other internal charges of any kind in excess of those applied, directly or indirectly, to like domestic products. Moreover, no contracting party shall otherwise apply internal taxes or other internal charges to imported or domestic products in a manner contrary to the principles set diakses pada tanggal 2 september 2015.
7
(Diterjemahkan secara bebas oleh penulis menjadi : produk-produk yang dihasilkan dari wilayah negara anggota yang diimpor ke wilayah anggota lainnya tidak harus dikenakan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, terhadap pajak dalam negeri atau biaya dalam negeri lainnya yang diterapkan, secara langsung ataupun tidak langsung, sebagaimana produk lokal. Selain itu, tidak ada negara anggota yang memberlakukan pajak dalam negeri atau biaya dalam negeri lainnya untuk produk-produk impor atau domestik dengan cara
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam ayat 1.)
Jadi ketentuan dalam prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III
GATT ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus
diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya
berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan
pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundang-undangan,
pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang memengaruhi
penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk -
produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan
terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan
administratif atau legislatif.8
Selain prinsip - prinsip tersebut, masih terdapat beberapa prinsip yang
diatur dalam GATT dan harus ditaati oleh para anggotanya sendiri. Dan dalam
pasal- pasal yang terdapat dalam GATT juga penjelasan mengenai fungsi dan
tujuan dari GATT sendiri. Selain itu juga diatur mengenai sanksi-sanksi bagi
para anggota yang melanggar perjanjian tersebut. Oleh karena itu, WTO dapat
melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap
negara anggota dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap
8
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Dan para anggota WTO harus tunduk
dan terikat dengan sanksi – sanksi ataupun semua perjanjian dan pengaturan
yang dikeluarkan oleh WTO.
Menurut Kartadjoemena terikatnya Indonesia terhadap WTO sebagai salah
satu negara berkembang yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional,
Indonesia memutuskan untuk mengambil sikap untuk tidak berbuat pasif pada
saat berlangsungnya perundingan Putaran Uruguay. Kepentingan untuk
mempromosikan dan memperjuangkan pasar bagi barang-barang dan jasa-jasa
yang diproduksi di Indonesia menjadi dasar argumentasinya. Indonesia sendiri
harus berupaya mempertahankan pasaran bagi barang-barang dan jasa-jasanya,
dengan turut menjaga agar aturan dalam sistem perdagangan internasional
tidak berlaku secara diskriminatif, dan negara-negara maju tidak bertindak
secara sepihak atas negara-negara berkembang.9
Pada saat Putaran Uruguay berakhir dengan menghasilkan berbagai
persetujuan perdagangan internasional, Indonesia telah menentukan sikap
untuk menyetujui berbagai persetujuan tersebut. Sebagai bentuk
persetujuannya, Indonesia mengutus delegasinya ke Marakesh, Maroko untuk
membubuhkan tanda tangan persetujuan. Usulan yang menghendaki agar
pemerintah terlebih dahulu meminta pertimbangan badan legislatif untuk
memperoleh persetujuan dalam rangka mengikatkan diri pada Persetujuan
9
H.S Kartadjoemena, GATT dan WTO: sistem, forum, dan lembaga internasional di bidang
Pembentukan WTO segera direalisasikan. Pemerintah mengajukan usulan
ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO kepada DPR RI dan usulan itu pun
diterima yang bermuara dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 7 tahun
1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing of The World Trade
Organization.10
Penerbitan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan
Agreement Establishing of The World Trade Organization, secara resmi telah
mengikat Indonesia untuk tunduk pada segala ketentuan yang diatur dalam
Persetujuan Pembentukan WTO. Segera setelah Persetujuan Pembentukan
WTO berlaku semenjak 1 Januari 1995, Indonesia wajib menjalankan segala
konsesi dan kewajiban yang tertuang dalam WTO agreement dan berbagai
perjanjian perdagangan multilateral yang menjadi lampirannya termasuk
GATT.11
Dalam perkembangannya, perdagangan internasional memegang peranan
sangat menentukan dalam menciptakan kemakmuran seluruh bangsa. Di
bidang perdagangan internasional, saling ketergantungan tidak dapat
dihindarkan lagi pada saat ini, apalagi dalam abad ke 21. Perdagangan antar
negara semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi yang
semakin canggih. Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi saat
ini,semakin berkembang dengan pesat, hal tersebut juga, telah membawa
perkembangan yang signifikan terhadap dunia teknologi informasi, seperti
10
Ibid, hlm. 215
11
internet sebagai media, yang sangat penting, dalam bidang informasi dan
telekomunikasi. Kehadiran internet juga sangat terkait dengan perangkat
komputer sebagai alat untuk dipergunakan dalam mengakses jaringan internet,
diseluruh penjuru dunia, di mana jaringan telekomunikasi dapat dijangkau.
Demikian juga, seiring dengan perkembangan internet dan komputerisasi,
telepon seluler lahir dengan berbagai jenis, yang terus berkembang dengan
pesat sehingga, menambah pendapatan bagi dunia bisnis, yang bergerak
dibidang telekomunikasi dan telepon seluler.12
Salah satu industri perdagangan yang meningkat cukup pesat di Indonesia
adalah telepon seluler ini. Telepon selular, sering juga disebut handphone
sebagai perangkat telekomunikasi elektronik, yang mempunyai kemampuan
dasar, yang sama dengan telepon fixed line konvensional, namun dapat dibawa
ke mana-mana (portable mobile), dan tidak perlu disambungkan dengan
jaringan telepon, dengan menggunakan kabel (nirkabel, wirelees). Selain
berfungsi untuk melakukan dan menerima panggilan telepon, telepon genggam
umumnya, juga mempunyai fungsi pengiriman dan penerimaan pesan singkat
atau yang dikenal dengan istilah SMS (Short Message Service). Selain
fitur-fitur tersebut, telepon genggam sekarang sudah ditanamkan fitur-fitur komputer.
Jadi di telepon genggam tersebut, orang bisa mengubah fungsi telepon
genggam menjadi mini komputer. Di dunia bisnis, fitur ini sangat membantu
para pebisnis, untuk melakukan semua pekerjaan di satu tempat, membuat
pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
12
Suatu data yang diambil dari US Cencus Bureau pada tahun 2014
menjelaskan bahwa pengguna telepon seluler telah melebihi dari 281 juta yang
tersebar dari Sabang hingga Merauke. Diprediksikan juga angka pertumbuhan
tahun 2007 sampai 2010. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia per awal
tahun 2014 baru mencapai 251 juta jiwa.13 Fakta ini membuktikan bahwa
kebutuhan akan dunia komunikasi dan informasi sangat tinggi di Indonesia.
Berdasarkan fakta diatas, maka Indonesia menjadi target penjualan produsen
produsen telepon selular kelas atas. Produsen-produsen tersebut selalu
mengeluarkan produk produk barunya di pasar Indonesia dengan tujuan untuk
mendapat keuntungan dari pangsa pasar telepon seluler Indonesia yang sangat
tinggi ini.
Dengan pesatnya pertumbuhan pengguna telepon selular di Indonesia,
masuknya produsen – produsen telepon selular asing ke indonesia
menimbulkan persaingan antara produsen asing dengan produsen telepon
selular lokal. Produsen telepon selular kalah bersaing dengan produk produk
impor yang lebih berpengalaman sehingga produk lokal kalah secara kualitas.
Selain kalah secara kualitas, beberapa produsen telepon selular dari negara
besar lainnya menawarkan harga telepon selular yang cukup murah sehingga
menarik banyak minat dari masyarakat. Pemerintah dalam hal ingin
memajukan produsen lokal mengeluarkan beberapa kebijakan yang mengatur
tentang industri telepon selular di Indonesia.
13
Pasarselular.com; Fakta: Jumlah Ponsel Lebih Banyak Dibandingkan Penduduk Indonesia,
Salah satu aturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam bidang
industri telepon genggam adalah Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69
Tahun 2014 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat
Komponen Dalam Negeri Industri Elektronika dan Telematika. Salah satu
aturan yang menarik dalam Peraturan Menteri Nomor 69 Tahun 2014 adalah
pembatasan terhadap nilai tingkat komponen dalam negeri terhadap telepon
genggam.
Selain itu ada juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor
175/PMK.011/2013 yang mengatur mengenai besarnya Pajak Penghasilan
(Pph) terhadap barang impor, salah satunya adalah telepon selular. Pemerintah
dalam Peraturan Menteri ini memasukkan telepon genggam dan laptop dalam
golongan barang yang akan mengalami kenaikan tarif PPh impor dari 2,5
persen menjadi 7,5 persen pada awal tahun 2014. Pasalnya, kedua jenis barang
tersebut, khususnya telepon genggam, merupakan barang penyumbang impor
terbesar setelah migas.14
Pemerintah Indonesia yang mengharuskan produsen telepon genggam
asing yang melakukan impor harus menggunakan komponen dalam negeri
pada produknya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Nomor 69 Tahun 2014 dan menerapkan Pajak Penghasilan terhadap Telepon
selular impor sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
175/PMK.011/2013, dapat membuat terjadinya pertentangan dengan ketentuan
14
GATT yaitu prinsip National Treatment yang di ratifikasi oleh Indonesia
sebagai negara angota WTO, yang pada prinsip National Treatment tersebut
mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan
secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk
yang sama).
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian yang ada pada Program
Ilmu Hukum Universitas Sumatera ditemukan judul skripsi terkait tentang
tingkat komponen dalam negeri yakni skripsi atas nama Vellichia Lawrence
dengan judul Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Kandungan Lokal Dalam
Kegiatan Usaha Minyak Dan Gas Bumi Berdasarkan Kesepakatan WTO.
Skripsi tersebut terfokus pada penggunaan kandungan lokal dalam kegiatan
usaha minyak dan gas bumi. Berbeda dengan skripsi yang dibuat oleh penulis
yang fokus pada tingkat komponen lokal dalam industri telepon genggam.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka Penulis membuat penelitian yang
berjudul “Tinjauan Yuridis Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri
Dan Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam Dikaitkan Dengan
National Treatment.
( Studi Normatif atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69
Tahun 2014 Tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat
Komponen Dalam Negeri Industri Elektronika Dan Telematika, Jo
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 Tentang
154/PMK.03/2010 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan
Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.)” Berdasarkan
penelusuran yang Penulis lakukan, Penulis belum menemukan adanya karya
tulis atau karya ilmiah lain yang membahas judul tersebut.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka hal-hal yang akan dibahas
sebagai rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsistensi pengaturan dari Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 69 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
175/PMK.011/2013 ini Indonesia dihubungkan dengan penerapan prinsip
National Treatment dalam ketentuan GATT?
2. Apakah Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 tahun 2014 dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 dapat
dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi terhadap barang impor dalam
bidang industri telepon genggam?
3. Bagaimana sanksi bagi Indonesia jika dinyatakan melanggar prinsip
National Treatment GATT?
C.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah:
A. Untuk mengetahui konsistensi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
175/PMK.011/2013 dalam hubungan penerapan National Treatment
dalam ketentuan GATT.
B. Untuk mengetahui apakah Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69
tahun 2014 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
175/PMK.011/2013 dapat dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi
terhadap telepon genggam impor.
C. Untuk mengetahui sanksi apa yang diterima Indonesia bila terbukti
benar melanggar prinsip National Treatment dalam ketentuan GATT.
D.Kegunaan Penulisan
Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan dan
pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat
baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Dari segi teoritis akademis, penulisan ini diharapkan berguna dan
memberikan sumbangsih bagi pengembangan teori ilmu hukum,
khususnya dalam penerapan Peraturan Pemerintah yang bertentangan
dengan teori jenjang norma hukum.
b. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata untuk
kemajuan dan pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam hukum
perdagangan internasional.
c. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis
khususnya dan mahasiswa fakultas hukum umumnya tentang
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktis, penulis berharap penulisan ini dapat memberikan
masukan dan wawasan kepada para akademisi, rekan mahasiswa dan
yang berarti bagi penulis secara pribadi sebab penelitian ini
bermanfaat dalam menambah keterampilan guna melakukan penulisan
hukum.
b. Bagi masyarakat diharapkan bermanfaat sebagai masukan dalam
membentuk lingkungan perdagangan bebas yang bersih antara produk
impor maupun produk lokal.
c. Bagi Pemerintah khususnya aparat penegak hukum agar dapat
membuat peraturan – peraturan yang tidak bertentangan dengan
hukum yang berada diatasnya. Sehingga terjadi perbedaan pendapat
maupun penafsiran yang dapat membuat bingung masyarakat.
E.Kerangka Pemikiran
Setelah Indonesia menjadi anggota WTO, dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonominya terbantu oleh perdagangan internasional. Dalam
menjalankan perdagangan internasional diperlukan hukum agar terjamin
ketertiban dalam kegiatan perdagangan internasional. Di Indonesia terdapat
pengaturan hukum maupun norma yang mengatur mengenai perdagangan
internasional.
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam
berasal dari bahsa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut
pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.15
Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang,
karena norma itu pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku seseorang
terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu
mengandung suruhan-suruhan yang didalam bahasa asingnya disebut dengan
das Sollen (ought to be/ought to do).16
Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak
tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya,
sedangkan norma moral. adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis,
tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam
masyarakat.17
Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan norma lain dan
norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi
dalam konteks spasial. Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah
superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata Hukum,
khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang
dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirarki dari
norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma-norma ini disusun oleh fakta
bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang
15
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm.6
16 Kelsen, Hans,
General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1945, hlm.46
17
lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang paling tinggi
menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk
kesatuan.18
Guna mengetahui teori umum tentang piramida perundang - undangan,
Hans Kelsen mengemukakan teori stufenbau (stufenbau des rechts theorie)
dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State. Menurut Hans
Kelsen bahwa :
“The creation of one norm – the lower one – is determined by another –
the higher – the creation of which is determined by a still higher norm, and
that this regresses is terminated by a highest, the basic norm which, being the
supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes in unity”. 19
Yang diterjemahkan secara bebas oleh penulis menjadi norma yang lebih
rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya dan
bahwa regresi ini diakhiri oleh suatu paling tinggi, norma dasar, menjadi
pertimbangan bagi kebenaran keseluruhan tata hukum.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma
hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans
Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von
18 Kelsen, Hans,
Op.Cit. Hlm. 124
19
stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut
adalah:20
a. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
b. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
c. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
d. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en
autonome satzung)
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari
suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai
syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih
dahulu dari konstitusi suatu negara.21
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai
norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental
negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma
tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.22
Sesuai teori tersebut, maka tata urutan perundang-undangan Republik
Indonesia sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
20
A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287
21 Ibid 22
dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan maka perundang-undangan Republik Indonesia memiliki
kedudukan yang hierarki artinya perundang-undangan yang disebut kemudian
atau dengan kata lain perundang-undangan yang mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi menjadi sumber hukum dari perundang-undangan yang berada di
bawahnya. Perundang-undangan yang ada di bawah sebagai peraturan
pelaksanaan dari perundang-undangan yang ada di atasnya.
Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan. Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang
secara pembentukannya dapat dibentuk di tingkat pusat serta peraturan
perundang-undangan yang dibentuk di tingkat daerah.
Selain itu, perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara
dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya
telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan
yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan
negara-negara. Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam
Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi
ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur
mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan
subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat
penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya.
Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional
dilakukan berdasarkan undang - undang. Indonesia pada prosesnya
mengeluarkan Undang – Undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional.
Dalam Undang - Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
a. Ketentuan Umum
b. Pembuatan Perjanjian Internasional
c. Pengesahan Perjanjian Internasional
d. Pemberlakuan Perjanjian Internasional
e. Penyimpanan Perjanjian Internasional
f. Pengakhiran Perjanjian Internasional
g. Ketentuan Peralihan
h. Ketentuan Penutup
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana
keilmuan hukum dari sisi normatifnya.23 Penelitian ini disebut penelitian
yuridis normatif, sebab dengan melakukan penelitian secara deduktif, dimulai
analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang undangan yang
mengatur setiap permasalahan yang akan penulis bahas.24 Disebut penelitian
yuridis normatif juga, karena penulis dalam penulisan skripsi ini
mengumpulkan data sekunder seperti buku, hukum positif dan norma positif.25
Jenis data sekunder yang digunakan, yaitu dari bahan hukum primer,
seperti Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement
Establishing of The World Trade Organization maupun peraturan
perundang-undangan lain yang terkait dalam penulisan ini. Bahan hukum sekunder yang
digunakan seperti literatur buku, serta bahan hukum tersier yang akan penulis
gunakan, yang ada pada artikel ataupun laman-laman elektronik.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan
(statute approach). Pendekatan perundang-undangan merupakan karakter
utama dalam penelitian normatif, dengan mengedepankan kajian
perundang-undangan dan kajian konsep-konsep hukum yang berkaitan.
Penulis juga melakukan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. dengan mempelajari
pandang-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
23
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Keempat Banyuwangi Publising, , Malang, 2011, hlm 56.
24
Soenaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 2006, hal 106.
25 Sri Mamudji,
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang dihadapi.26
Penulis juga melakukan Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu
penelitian terhadap data primer dan sekunder, dengan teratur dan sistematis
menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan bahan pustaka untuk
disajikan dalam bentuk edukatif, informatif dan reaktif kepada masyarakat.27
Dengan Bahan Hukum Primer, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar 1945,
b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan
Agreement Establishing of The World Trade Organization,
c. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun 2014 tentang
Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam
Negeri Industri Elektronika dan Telematika,
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan
Kegatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
26 Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian Hukum, , Jakarta, Kencana, 2011, hlm 25.
27
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer, yaitu rancangan perundang-undangan, buku,
kamus buku,jurnal hukum, makalah, majalah dan surat kabar.28 Bahan hukum
sekunder sebagai pendukung dari data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu berupa buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal hukum,
artikel, dan sumber lainnya yang memiliki hubungan dengan permasalahan
yang penulis teliti.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
dan lain sebagainya29 tentang ketetapan- ketetapan GATT.
G.Sistematika Penulisan
BAB I :PENDAHULUAN
Bab ini diawali dengan menguraikan Latar Belakang
Masalah, Perumusan dan Identifikasi Masalah, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran,
Metode Penelitian yang terdiri dari Sifat Penelitian,
Pendekatan Penelitian, Jenis Data, serta Teknik
Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data, dan diakhiri
dengan Sistematika Penulisan.
28
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988, hlm 53.
29Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
BAB II :TINJAUAN UMUM KEBIJAKAN TINGKAT KANDUNGAN DALAM NEGERI DAN PAJAK IMPOR DALAM INDUSTRI TELEPON GENGGAM DI INDONESIA
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai
tinjauan umum mengenai tingkat kandungan dalam negeri
dan pajak impor dalam bidang telepon genggam dari
berbagai sumber dan pengaturannya di Indonesia.
BAB III : PRINSIP NATIONAL TREATMENT DI INDONESIA.
Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai prinsip
National Treatment di Indonesia.
BAB IV :PEMBAHASAN.
Dalam bab ini penulis akan menganalisis mengenai
konsistensi pemerintah Indonesia dalam penerapan national
treatment beserta sanksi – sanksi yang ditetapkan oleh
WTO terhadap negara anggotanya yang melanggar
ketetapan – ketetapan yang telah diatur dalam GATT.
BAB V :KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini, penulis menarik beberapa kesimpulan yang
merupakan jawaban dan identifikasi masalah setelah
melalui proses analisis. Penulis pun memberikan beberapa
rekomendasi atau saran yang bersifat konkrit, dapat terukur
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dalam skripsi ini, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Indonesia melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun
2014 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat
Komponen Dalam Negeri Industri Elektronika dan Telematika dapat
dikatakan tidak konsisten dengan prinsip National Treatment. Sebagai
anggota WTO, telah dijelaskan bahwa seluruh anggota WTO tunduk
terhadap seluruh peraturan-peraturan WTO. Indonesia sebagai negara
anggota WTO, yang telah meratifikasi perjanjian WTO melalui
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement
Establishing of The World Trade Organization, sudah seharusnya
mengerti konsekuensinya dan taat terhadap segala peraturan WTO
beserta lampiran-lampirannya, salah satunya adalah ketentuan GATT.
Diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian tersebut dengan
tujuan mengatur tingkat kandungan komponen dalam negeri terhadap
produk-produk telepon genggam, Indonesia telah melangar ketentuan
GATT pasal III ayat 1 mengenai prinsip National Treatment, yang
menyatakan bahwa para anggota tidak diperbolehkan memungut pajak
perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan
(hukum) yang memengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan,
distribusi atau penggunaan produk – produk dalam negerti terhadap
produk impor dari negara anggota.
Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013
yang menetapkan pajak sebesar 7,5% terhadap telepon genggam
impor tetap konsistensi dengan prinsip National Treatment. Hal ini
dikarenakan pajak penghasilan terhadap produk impor tidak diatur
dalam ketentuan GATT. Ketentuan terhadap pajak penghasilan
terhadap produk impor dalam putaran GATT di Uruguay telah
dihapus, dan tiap negara anggota menetapkan masing-masing nilai
pajak penghasilan terhadap produk impornya dan diketahui oleh
seluruh anggota WTO.
2. Diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun
2014 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat
Komponen Dalam Negeri Industri Elektronika dan Telematika dapat
dikatakan sebagai bentuk diskriminasi pemerintah Indonesia terhadap
produsen asing. Hal ini terlihat dari isi peraturan menteri tersebut yang
mengharuskan produk-produk yang dijual di Indonesia haruslah
memiliki kandungan komponen dalam negeri. Ini akan mempersulit
produsen asing yang tidak memiliki pabrik di Indonesia. Dengan
begitu produsen asing yang memiliki pabrik di luar Indonesia
Indonesia dan kemudian mengekspornya ke negara pabriknya berada
lalu diimpor kembali ke Indonesia.
3. Jika Indonesia dinyatakan terbukti melanggar ketentuan WTO oleh
komisi penyelesaian WTO, maka Indonesia harus mengubah segala
hukum, kebijakan dan administrasi yang dianggap bertentangan
dengan kesepakatan WTO. Apabila Indonesia menolak untuk merubah
kebijakan tersebut maka WTO akan memberikan keleluasaan bagi
negara lain yang dirugikan oleh kebijakan tersebut untuk melakukan
”tindakan pembalasan”. Tindakan Pembalasan bisa meliputi apapun
yang diinginkan oleh negara yang dirugikan semisal, penghentian
kerjasama impor dengan negara yang bersengketa. Tindakan lainnya
bisa juga berupa kenaikan nilai pajak terhadap barang impor yang
masuk ke negara lain yang di impor dari Indonesia.
B. SARAN
1. Bagi Akademisi
Penelitian mengenai penerapan Prinsip National Treatment dalam
ketentuan GATT ini diharapkan dapat menjadi referensi lebih lanjut
untuk meneliti mengenai penerapan prinsip-prinsip dalam ketentuan
GATT dalam perundang-undangan yang ada di Indonesia.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan melalui penelitian ini, mayarakat lebih teliti dalam
peraturan yang telah ditetapkan, sehingga tidak terjadi pelanggaran
dalam perdagangan telepon genggam di masyarakat.
3. Bagi Pemerintah
Diharapkan dengan penelitian ini, pemerintah lebih berhati-hati
dengan mengeluarkan peraturan-peraturan baru yang dapat
bertentangan dengan peraturan yang memiliki kedudukan hukum yang
lebih tinggi, sehingga tidak membingungkan baik bagi produsen
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.
Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003.
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, Alumni, Bandung. 2011.
Asmin Nasution, Tranparansi Dalam Penanaman Modal, Pustaka Bangsa Press, Medan ,2008.
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, Books Terrace and Library, Bandung, 2007
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005
Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian internasional, Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung, 2011
Edmond Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006
H.S Kartadjoemena, GATT dan WTO: sistem, forum, dan lembaga internasional di bidang perdagangan, UI Press, Jakarta, 1997.
Huala Adolf (1), Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
(2),Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005.
(3),Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional,Refika Aditama, 2007.
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral Universitas Sumatera Utara,Medan 2008.
(3), Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, USU Repository, 2005.
Mardiasmo. Perpajakan. Andi Publisher, Jakarta 2007.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional, Aspek Hukum Dari WTO, Citra Aditiya Bakti, Bandung ,2004.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011.
Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral: Di Bawah Sistem Hukum WTO ,Alumni, Bandung , 2010.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988
Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional, Refika Aditama 2005.
Triyana Yohanes, Untung Setyardi, Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum) Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,2008.
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta: 2005.
Soerjono Soekanto(1), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986.
(2) dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali,1985.
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penelitian Hukum Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta, 2005.
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1976.
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, 2006.
Tony Masyahrul, Pengantar Perpajakan, Grasindo, Jakarta 2006.
Violetta Simatupang, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, Alumni, Bandung, 2009
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945
General Agreement on Tariff and Trade
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing of The World Trade Organization
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69 Tahun 2014 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Industri Elektronika dan Telematika
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang - Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
C. WEBSITE
https://www.wto.org/English/res_e/booksp_e/analytic_index_e/gatt1994_02_ e.htm#article3 diakses pada tanggal 2 september 2015.
https://www.wto.org/English/res_e/booksp_e/analytic_index_e/gatt1994_02_ e.htm#article3
http://finance.detik.com/read/2013/09/11/163400/2356036/1036/kemenkeu-setelah-migas-impor-terbesar-ri-adalah-hp
http://kbbi.web.id/telepon
http://www.kemenkeu.go.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2FKajian%2520P PnBM%2520atas%252HP.pdf&psig=AFQjCNHHgywseKuvp8Vbo585 N1Z3xZfMPQ&ust=1459352108953391