• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. Landasan Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2. Landasan Teori"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

Landasan Teori

2.1 Konsep Hikikomori

2.1.1 Pengertian / Definisi Hikikomori

Istilah Hikikomori merupakan sebuah fenomena yang terjadi di Jepang, terutama para generasi muda menarik diri dari kehidupan sosialnya. Hikikomori (引き篭もり) sendiri berasal dari bahasa Jepang (引く) yang berarti “menarik” dan komoru (篭もる) yang berarti “menutup diri”. Fenomena hikikomori ini sudah terjadi dari awal tahun 1990-an menurut Saito Tamaki (1998), dimana fenomena ini menarik perhatian masyarakat Jepang itu sendiri maupun masyarakat dari berbagai negara. Pengertian dari hikikomori itu sendiri adalah :

「 引 き 籠 も り と は 、 人 が あ る 程 度 狭 い 生 活 空 間 の 中 か ら 社 会 に 出 な い 事 を 言 う 。 具 体 的 に は 、 自 分 の部 屋 で ほ と ん ど の 時 間 を過ご し 、学 校 や 会 社 に は 行 か な い 状 態 、 あ る い は そ のよ

う な 人 を 引 き こ も り と 呼 ぶ。」 (Tamaki, 1998)

Terjemahan :

Pengertian dari hikikomori adalah seseorang yang memutuskan hidupnya untuk tidak keluar bersosialisasi dengan masyarakat. Seperti, orang - orang yang menghabiskan sebagian besar dari waktunya hanya di dalam kamar, tidak pergi ke sekolah dan tidak bekerja, orang - orang seperti itulah yang disebut dengan istilah hikikomori. (Tamaki, 1998)

Bermula pada November 1996, di Tokyo, seorang anak sekolah menengah atas memukul ayahnya dengan pemukul baseball sampai mati. Setelah diselidiki ternyata anak tersebut kurang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya dan sudah tidak pergi ke sekolah selama hampir setahun. Kejadian ini merupakan awal dari penelitian mengenai hikikomori, di mana salah satu gejala dari hikikomori adalah tidak perginya seseorang ke sekolah untuk sekian waktu. Tentu bukan hanya hal itu saja yang menjadi awal seseorang menjadi hikikomori. Menurut penelitian yang Tamaki lakukan, tidak

(2)

pergi ke sekolah dalam waktu yang lama cenderung menjadi awal mula seorang hikikomori.

Hikikomori bukanlah sebuah tindakan iseng belaka dari para pelakunya. Pelaku hikikomori cenderung remaja laki – laki, tidak menutup kemungkinan bagi anak perempuan untuk melakukannya, tapi remaja perempuan tidak bertahan lama cenderung lebih singkat jangka waktu mereka menutup diri dari masyarakat dibandingkan dengan remaja laki – laki. Terdapat kecenderungan bahwa pelaku hikikomori hanya terbatas pada rumah mereka.

Tamaki dalam bukunya yang berjudul 「社会的引きこもり, 終わらない思春

期 」"Hikikomori As a Social Phenomenon : Unending / Ongoing Adolescence”

(1998 : 6) menjelaskan sebagai berikut :

“…hikikomori is not the name of a disease, but a symptom” and that “according to the field of psychology one is not supposed to set a diagnosis from hikikomori, but rather the symptoms that eventually comes to accompany it.” (Tamaki, 1998 : 6)

Terjemahan :

“Hikikomori bukanlah nama dari sebuah penyakit, melainkan sebuah gejala. Dan sesuai dengan bidang psikologi seseorang tidak seharusnya menetapkan sebuah diagnosis dari hikikomori, melainkan gejala yang dialaminya. (Tamaki, 1998 : 6)

Orang yang menutup diri dari dunia luar biasanya di diagnosa sebagai orang yang mengidap “anthropophobia” yang merupakan istilah dari keadaan dimana seseorang merasa takut untuk berinteraksi dengan orang lain. Tamaki memiliki pendapat yang lebih dari itu bahwa tindakan hikikomori dapat mengarahkan pelakunya pada berbagai macam gejala lainnya. Atau sebaliknya, “anthropophobia” dapat juga menjadi gejala berikut setelah seseorang mengurung dirinya, di mana mereka menjadi semakin takut untuk berinteraksi dengan orang lain setelah sekian lama waktu mengurung diri mereka. Oleh karena itu, dalam menangani pelaku hikikomori, dibutuhkan perhatian ekstra terhadap masing – masing gejala, terutama rasa ketakutan

(3)

yang ada dalam pikiran mereka.

Dalam kasus hikikomori, Tamaki mengemukakan beberapa bentuk pola dari masalah – masalah yang cenderung dihadapi para remaja yang masih terjadi sampai sekarang, yaitu :

1. Hikikomori berhubungan dengan pola pikir seseorang, dengan tidak masuk sekolah, berbuat kekerasan di rumah, dan rasa takut akan orang lain.

2. Semakin lama mereka mengurung diri mereka, semakin banyak perubahan yang terjadi pada diri mereka.

3. Seseorang yang mengurung diri mereka, tidak bisa menerima kenyataan, melainkan hanya penolakan atas segala yang terjadi.

4. Seseorang yang telah mengurung dirinya dalam jangka waktu lama, akan sulit untuk menjadi normal lagi karena telah mengalami mental conflict yang berkelanjutan selama ia mengurung dirinya.

5. Hikikomori biasanya lebih baik ditangani dengan pengobatan yang berhubungan dengan pertumbugan psikologi / psychological growth bagi para pelakunya.

2.1.2 Karakterisitik Hikikomori

Tamaki dalam bukunya yang berjudul 社会的引きこもり, 終わらない思春期 Hikikomori As a Social Phenomenon : Unending / Ongoing Adolescence (1998), menjelaskan kurang lebih pelaku hikikomori adalah :

「 引 き こ も り が 重 度に な っ て く る と 、 自分 の 部 屋 に こ も り き り と な り 、 入 浴 も せず 、 ト イ レ も 空 き 瓶な ど で 済 ま せ た り 、 食 事 は 家 族 に 部 屋 まで 運 ば せ た り す る よう に な り ま す 。 こ う な っ て し ま う と 、 ほと ん ど コ ミ ュ ニ ケ ーシ ョ ン を と る こ と も か な わ な い 状 態と なっ て し ま い ます 。 また 当 然 の こ とな が ら、 家 庭 以 外 の 人 、 例 えば 親 戚 な ど が 自 宅 に入 る こ と も 嫌 が る よ う に な り ま す 。 引 きこ も り も こ こ ま で 徹底 し て く る と 、 本 人 自 身 何 ご と も 手 に つか ず 、 終 日 茫 然 と して 過 ご し た り 、 布 団 に も ぐ っ た ま ま 無 為 に 過 ご す よ う な 生 活 に な っ て い き ま す。」(Tamaki, 1998 : 11)

(4)

Terjemahan :

“Hikikomori yang semakin berat adalah mereka yang mengurung diri di dalam kamarnya, tidak mandi, tidak pergi ke toilet melainkan menggunakan kaleng, ketika makan keluarganya yang mengantar makannan sampai ke depan kamar. Komunikasi pun semakin lama semakin tidak berlangsung. Orang luar, seperti relatif atau tamu pun menjadi segan. Diteliti hingga saat ini kehidupan hikikomori adalah mereka yang kurang memiliki rasa percaya diri, sepanjang hari tidak melakukan apa – apa, menghabiskan waktu hanya dengan bermalas – malasan di tempat tidur.” (Tamaki, 1998 : 11)

Karakteristik dari hikikomori menurut Tamaki (1998) adalah :

• Menurut penelitian, rata – rata dari jangka waktu lamanya seseorang mengurung diri adalah sekitar 3-6 bulan

Pria lebih cenderung menjadi pelaku hikikomori • Biasanya anak laki – laki tertua dalam keluarga • Rata – rata mereka yang berumur 15 tahun ke atas

“Skipping school” merupakan awal terjadinya hikikomori, sebesar 68,8% dari hasil penelitian

• Setelah masalah mulai, biasanya dibutuhkan waktu yang cukup lama sampai mereka mencari bantuan

• Biasanya berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah, atau mereka yang berasal dari keluarga yang orangtua nya telah bercerai atau yang sibuk dengan pekerjaan

Ciri lainnya yang dikemukakan oleh Tamaki adalah adanya hubungan antara hikikomori dengan tindak kekerasan dalam rumah yang dilakukan oleh si pelaku seperti berteriak dengan suara keras ketika bicara, memecahkan jendela, memukul tembok, melempar barang – barang, memukul orang lain, mengeluh terhadap orangtuanya, menyalahkan orangtua atas apa yang terjadi pada dirinya seperti “Ini semua karena mereka, mereka tidak pernah bisa mengerti aku”. Hal seperti ini umum dilakukan oleh mereka pelaku hikikomori.

(5)

2.1.3 Penyebab Hikikomori

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tamaki pada tahun 1989, sebesar 67% dari responden menjawab bahwa mereka pada awalnya mengalami gejala “merasa malas untuk pergi keluar, atau paling jauh hanya mau pergi ke daerah sekitar rumah”. Jangka waktu mengurung diri berbeda – beda tergantung masing – masing individual. Mereka tidak memilih untuk menjalani hidup seperti itu, tetapi keadaan yang memksa mereka untuk tetap menjalaninya karena mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari keadaan tersebut. Tamaki menjelaskan bahwa menurut ilmu psikiatri / penyakit jiwa, salah satu penyebab dari hikikomori adalah :

「 心 因 性 」 の 疾 患 は、 さ ま ざ ま な 心 の 問題 が 原 因 と な っ て 引 き 起 こ さ れ ま す 。 ショ ッ ク や ス ト レ ス 、あ る い は 子 供 の こ ろ の 心 の 傷 な ど か ら 起こ る 病 気 で す 。 し たが っ て 脳 の 機 能 そ の も の に は 異 常 が み られ ず 、 検 査 に よ っ て診 す る こ と が で き ま せ ん 。 「 神 経 症 」 や「 ヒ ス テ リ ー 」 「 人格 障 害 」 な ど は 心 因 性の疾患です。」(Tamaki, 1998 : 15) Terjemahan :

“Penyakit psikogenik” adalah penyakit yang timbul karena berbagai macam masalah dalam perasaan sebagai akibatnya. Penyakit yang disebabkan oleh rasa shock dan stress, perasaan luka pada masa kecil dan lainnya. Karena tidak terlihat kelainan pada fungsi otak, tidak dapat dilakukan inspeksi. Seperti ‘neurosis’ dan ‘histeria’ dan gangguan kepribadian adalah penyakit psikogenik.

(Tamaki, 1998 : 15)

Tamaki juga menambahkan beberapa gejala yang menyebabkan terjadinya hikikomori, sebagai berikut :

2.1.3.1 Fear of Others

Salah satu dari penyebab hikikomori adalah rasa takut terhadap orang lain. Mereka merasa takut akan pendapat orang lain terhadap diri mereka. Sehingga, menyebabkan mereka lebih memilih untuk menghindar. Adapula mereka yang memang kurang begitu pandai berinteraksi dengan orang lain sehingga cenderung merasa takut. Rasa enggan bertemu orang lain atau bahkan enggan menjawab telepon. Adanya

(6)

perasaan “Jika aku berada di sekitar orang lain, mood ku menjadi jelek”. Rasa minder terhadap penampilan, takut dinilai jelek orang lain pun merupakan salah satu bentuknya.

2.1.3.2 Withdrawal in the Household

Mereka tidak menyukai orang asing yang bukan keluarganya masuk ke dalam rumah. Mereka cenderung marah atau merasa terancam ketika para pekerja datang untuk membenahi rumah atau memperbaiki perabotan rumah dan sebagainya. Ketika sudah sampai tingkat ini, mereka jadi tidak mampu melakukan sesuatu, melainkan hanya ingin untuk menghabiskan waktu dengan bermalas – malasan dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.

2.1.3.3 Thoughts of Persecution

Mereka yang memiliki perasaan khawatir akan apa yang orang lain bicarakan tentang dirinya. Seperti pikiran “aku mendengar orang – orang bergosip tentang aku” atau “aku bisa mendengar orang lain berbicara tentang aku”. Padahal hal tersebut belum tentu benar – benar terjadi, hanya perasaan khawatir mereka saja. Mereka menganggap apa yang ada di pikiran mereka benar, mereka takut jika hal itu benar terjadi, sehingga mereka memilih untuk menghindar dan tidak mencari tahu tentang hal tersebut.

2.1.3.4 Feelings of Depression

Ketidakstabilan emosi, seperti perasaan depresi, merupakan penyebab umum terjadinya hikikomori. Mereka yang merasa putus asa, ingin mati, dan yang merasa bersalah. Mereka menghabiskan waktu dengan merasa putus asa dan merasa tidak mau untuk menjalani hidup seperti biasanya. Pikiran yang berkata bahwa “semua sudah telat” mempengaruhi mereka untuk cenderung memilih mengurung dirinya.

2.1.3.5 Wanting to Die and Suicidal Thoughts

Perasaan kosong, sepi, dan tidak berguna menyebabkan mereka memilih untuk hidup mengurung diri karena merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Daripada mereka hidup tanpa arah / tujuan karena telah hilangnya rasa semangat dan percaya diri untuk mencapai sesuatu, lebih baik bagi mereka untuk mengakhiri hidup mereka.

(7)

2.1.4 Hikikomori yang Berkaitan dengan Ijime di Sekolah

Sebagai jawaban dari apa gejala awal para pelaku hikikomori adalah sebesar 39% menjawab ketidakhadiran di sekolah, 29% mengurung dirinya di kamar, 25% merasa lesu dan tidak bersemangat. Membuktikan bahwa ada terdapat hubungan antara sekolah dengan hikikomori. Ketidakhadiran di sekolah merupakan tanda dari mereka para remaja yang mengalami kesulitan berinteraksi atau berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Dalam beberapa kasus, dapat dikategorikan sebagai masalah psikologis bagi mereka yang mengalaminya. Mereka yang mengurung dirinya, tidak datang ke sekolah dalam jangka waktu yang panjang, semakin lama mereka mengisolasi

dirinya, semakin sulit bagi mereka untuk kembali menjalani hidup normal (Tamaki, 1998 : 39).

Kehidupan masyrakat Jepang, biasa dihadapi dengan berbagai jenis tekanan yang datang dari berbagai arah. Tamaki (1998) mengungkapkan bahwa para pelaku hikikomori awalnya akan membolos (toukou kyouhi) sebelum benar-benar menarik diri mereka. Hikikomori yang terjadi pada kalangan remaja yang berhubungan dengan pendidikan dan sekolah adalah karena ada tekanan dari orangtua mereka yang mengharuskan mereka menonjol di sekolah, tekanan dari pelajaran, maupun tindak ijime dari teman-temannya.

Seorang anak mendapat ijime di sekolah sehingga mendapat tekanan, yang kemudian akhirnya memutuskan untuk diam di rumah mengurung diri / hikikomori, tidak pergi ke sekolah untuk jangka waktu lama, kurangnya kepercayaan diri dan memiliki waktu sulit untuk bisa kembali ke jalur yang benar lagi seperti layaknya hidup secara normal. Tetapi jika anak yang diintimidasi tersebut memutuskan untuk pindah sekolah dengan alasan untuk menghindari situasi intimidasi yang telah terjadi maka mereka yang berada di sekolah baru akan menjadi bertanya – tanya mengapa anak tersebut tiba – tiba muncul, dan tentunya mereka akan menjadi penasaran dan terus mengorek latar belakang mengapa anak tersebut ada di sekolah mereka. Berhenti sekolah juga tentu akan membawa reputasi buruk terhadap anak itu sendiri, yang tentunya akan mengancam masa depannya. Di Jepang, terdapat anggapan bahwa “Once you drop out, you can’t drop back in” (Sekali putus, tidak akan dapat kembali masuk lagi). Sistem seperti ini, yang tidak dapat loncat ke universitas dari sekolah menengah,

(8)

atau ke sebuah perusahaan setelah universitas, tentu akan sangat menyulitkan bagi mereka yang gagal, hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hikikomori (Zielenziger, 2009 : 32).

2.2 Konsep Ijime

Definisi dari Ijime yang dikemukakan oleh 滝 み つ るTaki, Mitsuru (2003) adalah :

“’Ijime' is mean behavior or a negative attitude that has clear intention to embarrass or humiliate others who occupy weaker positions in a same group. It is assumed to be a dynamic used to keep or recover one's dignity by aggrieving others. Consequently, its main purpose is to inflict mental suffering on others, regardless of the form such as physical, verbal, psychological and social. ” (Taki 2003: 4). Terjermahan :

“Ijime adalah perilaku atau sikap negatif yang memiliki tujuan jelas yaitu untuk mempermalukan orang lain yang menempati posisi yang lebih lemah dalam kelompok yang sama. Hal ini diasumsikan sebagai sebuah cara untuk menjaga atau memulihkan harga diri seseorang dengan memojokkan orang lain. Tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan penderitaan mental pada orang lain, terlepas dari bentuk fisik, verbal, psikologi, maupun sosial.” (Taki 2003:4)

Olweus (1999) dalam jurnal “Bullying and Ijime in Japanese Schools : A Sociocultural Perspective” mengemukakan perbedaan antara bullying dan ijime sebagai berikut :

Bullying

“A student is being bullied or victimized when he or she is exposed repeatedly and over time to negative actions on the part of one or more other students.” (Olweus, 1999 : 10)

Terjemahan :

“Seorang anak di bully atau merupakan korban ketika ia sering dan berulang kali mendapat perilaku negatif dari teman – teman sekelasnya.”

(9)

Ijime

“to treat a weak person(s) harshly.” Terjemahan :

“memperlakukan orang yang lemah secara kasar.”

Olweus (1999) juga menjelaskan ciri dari pelaku ijime, yaitu sebagai berikut : 1. Mengatakan hal – hal yang menyakitkan

2. Menghina orang lain

3. Memberi julukan yang kejam dan menyakitkan

4. Benar – benar memperhatikan gerak – gerik orang lain 5. Sengaja menendang seseorang keluar dari geng nya

6. Memukul, menendang, menarik rambut, mendorong atau menjauhi seseorang 7. Menyebar kebohongan

8. Menyebar rumor palsu 9. Mengirim mean notes

10.Mempengaruhi temannya yang lain untuk menjauhi seseorang

Di Jepang sejak tahun 1980-an, ijime telah mengundang perhatian masyarakat Jepang. Terdapat sebuah kasus di salah satu sekolah di Tokyo yang sangat dramatis yang dipublikasikan secara luas mengenai seorang anak berusia 13 tahun bunuh diri akibat ijime yang dilakukan oleh teman sekolahnya. Anak itu menggantung dirinya dengan meninggalkan catatan yang ditujukan kepada teman sekolah yang meng-ijime dirinya mengatakan bahwa mereka telah menciptakan neraka hidup baginya. Seperti salah satu contoh, suatu pagi anak tersebut datang ke sekolah dan menemukan para kelompok ijime meletakkan mejanya di depan kelas dengan membuat pemakaman tiruan atas dirinya beserta dupa yang telah dibakar, foto dirinya, yang telah ditandatangani oleh sebagian besar teman kelasnya bersamaan dengan tiga guru lainnya. Tujuan dari itu semua adalah agar anak ini tahu bahwa di mata teman – teman sekelasnya beserta beberapa guru dia adalah sesosok orang yang sangat menyedihkan dan tidak berguna.

(10)

Bentuk ijime di Jepang melibatkan intimidasi untuk mendapatkan semacam keuntungan atas orang lain, yang cacat dalam hal karakteristik mereka, latar belakang kelas sosial, dan sebagainya. Bentuk dari perilaku ijime itu sendiri adalah seperti jika B meng-ijime A dengan cara C, maka situasi ini menunjukkan bahwa C adalah cara yang kurang baik meskipun tidak sampai menentang hukum, dan A berada dalam posisi yang kurang beruntung jika dibandingkan dengan B, ini merupakan bentuk dari ijime yang mengacu pada kedudukan yang dimiliki salah satunya sehingga dapat melakukan ijime karena salah satu dari mereka lebih lemah secara fisik (Taki, 2003).

2.3 Teori Depresi

Sejumlah penelitian telah mengidentifikasi hubungan yang kuat antara ijime dengan depresi. Salah satunya, penelitian dalam jurnal いじめ、ストレス、ストレッ

サ ー の 関 係: 追 跡 調 査 と 日 豪 比 較 調 査 の 結 果 を ふ ま え た 分 析 か ら / Relation

Among Bullying, Stress and Stressor : A Follow-up Survey Using Panel Data and A Comparative Survey Between Japan and Australia (NIER, 2001), mengemukakan bahwa ada terdapat hubungan antara ijime dengan depresi yang dialami oleh para korban. Ijime merupakan salah satu penyebab terjadinya depresi, bahkan dapat juga memicu tindak bunuh diri.

Tindak Ijime dapat menyebabkan timbulnya rasa stress, kegelisahan yang berlebihan (nervous breakdown), depresi, bahkan bunuh diri (Suzuki, 2013 : 68).

Depresi adalah gangguan akan perasaan atau mood. Ini adalah penyakit dimana pelaku menyalahkan dirinya sendiri, yang mengarahkannya kepada kebingungan dan keputusasaan. Ini adalah penyakit dari pikiran dan tubuh. Depresi dapat juga dianggap sebagai salah satu cara untuk mengatasi tekanan hidup (Schwartz, 1993).

Hidup bisa menjadi pengalaman depresi. Para korban ijime cenderung kehilangan rasa humor dan terlihat jarang tersenyum. Mereka sering merasa lelah, entah karena kurang tidur atau terlalu banyak tidur. Perasaan malu dan bersalah akan kesalahan yang dilakukannya memendam dalam batin. Perasaan tidak mampu dapat menyebabkan depresi yang akan membuat mereka menjauhkan diri dari keluarga maupun teman – temannya. Keadaan seperti itu akan membuat mereka menjadi semakin

(11)

putus asa. Mereka percaya bahwa tidak ada sesuatupun yang akan berhasil, tidak ada sesuatupun yang akan membaik. Perasaan seperti ini biasanya merupakan hasil dari rasa depresi akan ekspetasi terhadap diri sendiri (Schwartz, 1993).

The Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder-Fourth Edition (1994) menjelaskan ciri - ciri dari orang yang mengalami depresi adalah sebagai berikut :

1. Kesedihan jangka panjang atau mudah tersinggung, termasuk ledakan yang diekspresikan dengan menangis atau marah

2. Tiba – tiba kehilangan minat terhadap sesuatu yang biasa digemari 3. Penarikan diri dari dunia luar / orang lain

4. Perubahan pola tidur, banyak tidur maupun tidak bisa tidur 5. Perubahan nafsu makan

6. Selalu merasa lelah

7. Tidak mampu berkonsentrasi 8. Merasa tidak berdaya dan putus asa

9. Sakit atau nyeri tanpa penyebab fisik yang jelas

10.Berbicara mengenai bunuh diri, yang menurutnya dunia akan lebih baik tanpa mereka

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam sistem Toyota, kita perlu melihat aliran produksi secara terbalik; dengan kata lain, orang dari suatu proses tertentu pergi ke proses terdahulu untuk mengambil unit

Kemudian, untuk tahapan kedua, yaitu pengembangan model. Bergantung pada definisi masalah, kelompok riset operasi itu harus memutuskan model yang paling sesuai untuk mewakili

Secara umum, setiap rumah harus dapat dilayani air bersih yang memenuhi persyaratan untuk keperluan rumah tangga. Untuk itu, lingkungan perumahan harus dilengkapi jaringan

Pada nomor 5c dilakukan pertimbangan untuk memecah node terbaik sebelum memutuskan kemana obyek tersebut disimpan, jika keputusan ini tepat, maka dilakukan

Rumah sakit yang mempunyai kemampuan pelayanan medik spesialisti dasar, yaitu penyakit dalam, bedah, kebidanan atau kenadungan, dan kesehatan anak dengan

Untuk melakukan kegiatan peramalan, organisasi harus mempertimbangkan dan memutuskan apa yang perlu organisasi itu sendiri (jenis perkiraan yang organisasi

Menurut Weber (1999, p10), Audit sistem informasi adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti untuk memutuskan apakah dengan adanya sistem pengamanan asset yang

Sebagai alternatif, ARPA mulai menyelidiki jaringan data, bukannya menempatkan beberapa komputer di setiap lokasi penelitian, badan tersebut memutuskan untuk