• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asma Bronkial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Asma Bronkial"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN

ASMA BRONKIAL

DISUSUN OLEH : YAYUK INDAH LESTARI

11.02.01.0898

PRODI S-1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN MUHAMMADIYAH LAMONGAN

(2)

1. Pengertian

Asma (bronkial) merupakan gangguan inflamasi pada jalan napas yang ditandai oleh obstruksi aliran udara napas dan repon jalan napas yang berlebihan terhadap berbagai bentuk rangsangan (Kowalak, Jennifer P., 2011).

Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi dimana ukuran diameter jalan napas menyempit secara kronis akibat edema dan tidak stabil (Neal, Michael J., 2006).

2. Klasifikasi

Secara patofisiologi dikenali dua tipe yang utama :

a. Asma atopic (alergik) merupakan tipe yang sering ditemukan; tipe asma ini dipicu oleh antigen lingkungan (misalnya debu, serbuk sari, makanan) dan sering disertai riwayat atopi dalam keluarga.

b. Asma nonatopik (nonreaginik, nonimun) seringkali dipicu oleh infeksi aluran napas, zat-zat iritan kimia atau obat-obatan dan biasanya tanpa riwayat keluarga dan tanpa keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas saluran napas tidak diketahui.

( Robbins & Cotran, 2008) 3. Etiologi

a. Alergen ekstrinsik meliputi :

 Polen (tepung sari bunga)

 Bulu binatang

 Debu rumah atau kapang

 Bantal kapuk atau bulu

 Zat aditif pangan yang mengandung sulfit

 Zat lain yang menimbulkan sensitisasi b. Alergen intrinsic meliputi :

 Iritan  Stress emosi  Kelelahan  Perubahan endokrin  Perubahan suhu  Perubahan kelembaban

 Pajanan asap yang berbahaya

 Kecemasan

 Batuk atau tertawa

 Faktor genetic

(Kowalak, Jennifer P., 2011) 4. Manifestasi Klinis

(3)

Menurut Kowalak, Jennifer P. (2011), tanda dan gejala dari asma bronkial yaitu : a. Dyspnea mendadak, mengi dan rasa berat pada dada

b. Batuk-batuk dengan sputum yang kental, jernih, ataupun kuning c. Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi aksesorius d. Denyut nadi yang cepat

e. Pengeluaran keringat yang banyak

f. Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi g. Bunyi napas yang berkurang

Menurut Corwin, Elizabeth J. (2009), tanda dan gejala asma bronkial meliputi : a. Dyspnea.

b. Batuk, terutama di malam hari. c. Pernapasan yang dangkal dan cepat.

d. Mengi yang dapat terdengar pada auskultasi paru. Biasanya mengi terdengar hanya saat ekspirasi, kecuali kondisi pasien parah.

e. Peningkatan usaha bernapas, ditandai dengan retraksi dada, disertai perburukan kondisi, napas cuping hidung.

5. Patofisiologi

Ada dua pengaruh genetic yang ditemukan pada penyakit asma, yaitu kemampuan seseorang untuk mengalami asma (atopi) dan kecenderungan untuk mengalami hipereaktivitas jalan napas yang tidak bergantung pada atopi. Lokasi kromosom 11 yang berkaitan dengan atopi mengandung gen abnormal yang mengkode bagian reseptor imunoglobin (Ig) E. faktor-faktor lingkungan berinteraksi dengan faktor-faktor keturunan untuk menimbulkan reaksi asmatik yang disertai bronkospasme.

Pada asma, dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan sehingga terjadi spasme otot polos yang periodic dan menimbulkan konstriksi jalan napas berat. Antibody IgE yang melekat pada sel-sel mast yang mengandung histamine dan pada reseptor membrane sel akan memulai serangan asma intrinsic. Ketika terpajan suatu antigen, seperti polen, antibody IgE akan berikatan dengan antigen ini.

Pada pajanan selanjutnya dengan antigen tersebut, sel-sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediator. Sel-sel mast dalam jaringan interstisial paru akan terangsang untuk melepaskan histamine dan leukotriene. Histamine terikat pada tempat-tempat reseptor dalam bronkus yang besar tempat substansi ini menyebabkan pembengkakan pada otot polos. Membrane mukosa mengalami inflamasi, iritasi, dan pembengkakan. Pasien dapat mengalami dyspnea, ekspirasi yang memanjang dan frekuensi respirasi yang meningkat.

Leukotriene melekat pada tempat reseptor dalam bronkus yang lebih kecil dan menyebabkan pembengkakan lokal otot polos. Leukotriene juga menyebabkan prostaglandin

(4)

bermigrasi melalui aliran darah ke dalam paru-paru dan dalam organ ini, prostaglandin meningkatkan efek kerja histamine. Bunyi mengi (wheezing) dapat terdengar pada saat batuk, semakin tinggi nadanya, semakin sempit lumen bronkus. Histamine menstimulasi membrane mukosa untuk menyekresi mucus secara berlebihan dan selanjutnya membuat lumen bronkus menjadi sempit. Sel-sel goblet menyekrsi mucus yang sangat lengket dan sulit dibatukkan keluar sehingga pasien semakin batuk, memperdengarkan bunyi ronki serta mengi bernada tinggi dan mengalami distress pernapasan yang bertambah berat. Selanjutnya edema mukosa dan secret yang kental akan menyumbat jalan napas.

Pada saat inspirasi, lumen bronkus yang sempit masih dapat sedikit mengembang sehingga udara dapat masuk ke dalam alveoli. Pada saat ekspirasi, peningkatan tekanan intratorakal menyebabkan penutupan total lumen bronkus. Udara bisa masuk, tapi tidak bisa keluar. Dada pasien akan mengembang dan menyerupai tong sehingga diberi nama dada tong (barrel chest) sementara pada perkusi dada, didapatkan bunyi hipersonor (hipersonan).

Mucus akan mengisi dasar paru dan menghalangi ventilasi alveoli. Darah dipintas ke dalam alveoli pada bagian paru yang lain tetapi pemintasan ini tidak mempu mengimbangi penurunan ventilasi.

Hiperventilasi dipicu oleh reseptor paru-paru utnuk meningkatkan volume paru dan disebabkan oleh udara yang terperangkap serta obstruksi jalan napas. Tekanan gas intrapleural serta alveolar meningkat dan peningkatan ini menyebabkan penurunan perfusi pada alveoli paru. Peningkatan tekanan gas alveolar, penurunan ventilasi dan perfusi mengakibatkan rasio ventilasi-perfusi tidak merata dan tidak cocok di berbagai segmen paru. Hipoksia memicu hiperventilasi melalui stimulasi pusat pernapasan yang selanjutnya akan menurunkan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) dan meningkatkan pH

sehingga terjadi alkalosis respiratorik. Seiring semakin berat obstruksi jalan napas, semakin banyak pula alveoli paru yang tersumbat. Ventilasi serta perfusi tetap tidak adekuat dan terjadilah retensi karbon dioksida. Akibatnya, akan timbul asidosis respiratorik dan akhirnya pasien mengalami gagal napas.

Jika terjadi status asmatikus, keadaan hipoksia menjadi semakin berat dan bahkan aliran serta volume udara pada saat ekspirasi akan mengalami penurunan lebih lanjut. Apabila penanganan keadaan ini tidak segera dimulai, pasien akan mulai mengalami keletihan. Asidosis terjadi ketika kandungan karbon dioksida dalam darah arteri meningkat. Situasi tersebut dapat mengancam hidup pasien karena pada auskultasi tidak terdengar udara (silent chest) dan terjadi kenaikan PaCO2 hingga melebihi 70 mmHg.

(5)
(6)

6. Pathway 7.

8.

Intrinsic (infeksi, psikososial, stress) Ekstrinsik (alergi inhalasi)

Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan

Tubuh

Penurunan masukan oral

Gangguan Perfusi Jaringan Serebral Peningkatan kerja pernapasan Resiko Infeksi Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Koma Suplai oksigen ke jaringan menurun Ketidakefektifa n Pola Napas Gangguan Pertukaran Gas Bronkospasme Wheezing Hipersekresi mukosa Penumpukan secret kental Secret tidak keluar

Batuk tidak efektif Bernapas melalui mulut Mukosa kering Ansietas Hiperkapnea Hipoksemia Gelisah Ventilasi terganggu Bronkus menyempit Edema mukosa Respon dinding bronkus

Perubahan jaringan, peningkatan IgE serum Peningkatan permeabilitas

vaskuler akibat kebocoran protein + cairan dalam jaringan

Stimulasi bronkial smooth + kontraksi otot bronkiolus

Merangsang refleks reseptor trakeobronkial Stimulasi reflek reseptor

syaraf parasimpatis pada mukosa bronkial

Pelepasan histamine Bronkus berkontraksi

Hiperaktif non spesifik stimulasi penggerak dari sel mast Peningkatan sel mast pada trakeobronkial

Penurunan stimulasi reseptor terhadap iritan pada trakeobronkial Mukosa bronkus menjadi sensitive

(7)

9. Pemeriksaan Diagnosis

a. Pemeriksaan faal paru memperlihatkan tanda-tanda penyakit obstruktif jalan napas, kapasitas vital yang normal rendah atau menurun, dan kapasitas total paru serta kapasitas residual yang meningkat. Faal paru dapat normal pada saat-saat di antara serangan. Tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) serta PaCO2 biasanya mengalami

penuruna, kecuali pada asma berat, dengan PaCO2 bisa normal atau meningkat, yang

menunjukkan obstruksi bronkus yang berat.

b. Kadar IgE serum dapat meningkat akibat reaksi alergi.

c. Analisis sputum dapat mengindikasikan adanya spiral Curschmann (endapan berbentuk silinder dari jalan napas), Kristal Charcot-Leyden dan sel-sel eosinophil. Foto rontgen toraks dapat dilakukan untuk mendiagnosis atau memonitor perkembangan penyakit asma dan mungkin memperlihatkan hiperinflasi disertai daerah-daerah atelectasis. d. Analisis gas darah arteri dapat mendeteksi hipoksemia (PaO2 yang menurun; PaCO2

yang menurun, normal atau meningkat) dan mengarahkan terapi.

e. Hasil tes kulit dapat mengenali allergen yang spesifik. Hasil yang terbaca dalam waktu satu atau dua hari mendeteksi reaksi dini; sesudah empat atau lima hari, reaksi lanjut. f. Tes provokatif bronkus mengevaluasi makna klinis allergen yang ditemukan melalui tes

kulit.

g. Elektrokardiografi memperlihatkan sinus takikardi pada saat serangan; serangan yang berat dapat menunjukkan tanda-tanda kor pulmonal (deviasi sumbu ke kanan, gelombang P yang lancip) yang akan hilang setelah serangan tersebut terjadi.

10. (Kowalak, Jennifer P., 2011) 11. 12. Penatalaksanaan

a. Pencegahan dengan mengenali dan menghindari faktor-faktor presipitasi, seperti laergen atau iritan dari lingkungan; pencegahan merupakan tindakan terbaik.

b. Pemberian preparat bronkodilator untuk meredakan bronkokonstriksi, meredakan edema pada jalan napas bronkial, dan meningkatkan ventilasi paru.

c. Pemberian kortikosteroid untuk antiinflamasi dan imunosupresi, yang akan mengurangi reaksi inflamasi dan edema pada jalan napas.

d. Pemberian oksigen yang dilembabkan dengan kecepatan aliran yang rendah dapat diperlukan untuk mengatasi dyspnea, sianosis, dan hipoksemia.

e. Ventilasi mekanis jika pasien tidak bereaksi terhadap dukungan ventilasi pendahuluan dan terapi obat atau bila pasien mengalami gagal napas.

f. Latihan relaksasi, seperti yoga, untuk membantu meningkatkan peredaran darah dan memulihkan pasien dari serangan asma.

(8)

14. 15. Komplikasi

a. Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang mengamcam jiwa yang tidak dipulihkan dengan pengobatan dapat terjadi pada beberapa individu. b. Dapat menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. c. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan

kematian.

(9)

17. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 18.

1. Pengkajian a. Identitas

19. Asma dapat terjadi pada sembarang golongan usia, sekitar 50% pasien asma berusia kurang dari 10 tahun. Pada kelompok usia ini, anak lelalki terserang asma dua kali lebih sering daripada anak perempuan. Sepertiga pasien mengalami serangan asma pada usia antara 10 dan 30 tahun, dan dalam kelompok usia ini terdapat insidensi asma yang sama. Lebih lanjut, sekitar sepertiga seluruh pasien asma memiliki anggota keluarga dekat yang juga menderita asma.

b. Keluhan Utama

20. Adanya keluhan batuk-batuk dan sesak napas. c. Riwayat Penyakit Sekarang

21. Adanya keluhan batuk, bersin, pilek, suara mengi dan sesak napas. d. Riwayat Penyakit Dahulu

22. Perlu dikaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya. Riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/faktor lingkungan.

e. Riwayat Tumbuh Kembang 1) Perkembangan Fisik

23. Anak pada usia 6 sampai 10 tahun biasanya berkembang pesat. Rata-rata berat badan bertambah sampai 3 Kg dengan tinggi bertambah sekitar 6 cm setiap tahunnya. Anak juga akan kehilangan 4 gigi susu setiap tahunnya yang kemudian berganti dengan tumbuhnya gigi tetap.

2) Perkembangan Kognitif

24. Kemampuan kognitif, kemampuan berpikir, dan memberikan alasan, berkembang secara matang antara usia 6 sampai 10 tahun. Sesuai dengan perkembangan kognitif, kemampuan anak dalam memecahkan suatu persoalan pun berkembang. Namun demikian, konsep yang dapat dimengerti oleh anak masih sederhana. Konsep tentang masa lalu, misalnya, biasanya masih sangat abstrak bagi anak-anak untuk dapat dipahami.

25.

3) Perkembangan Emosi & Sosial

26. Anak usia 6 sampai 10 tahun mulai menjalin persahabatan. Rasa percaya diri, merasa diri berarti, dan rasa memiliki, menjadi penting karena anak mulai berinteraksi dengan orang-orang di luar keluarganya. Anak-anak pada usia ini juga membandingkan dirinya dengan teman-temannya yang lain.

(10)

27. Pada usia 6 tahun, sebagian besar anak dapat memahami sekitar 13.000 kata. Dari usia 6 sampai 10 tahun, cara berpikir mereka berangsur-angsur menjadi lebih kompleks. Misalnya, mereka mulai bisa menginterpretasikan kalimat-kalimat sederhana menjadi kalimat-kalimat yang lebih sulit di dalam satu alinea. Juga mulai bisa menulis beberapa kata yang sederhana sampai dengan membentuk kata-kata yang lebih kompleks dan dituangkan ke dalam cerita-cerita yang lebih kompleks. 5) Perkembangan Sensorik & Motorik

28. Anak usia 6 sampai 10 tahun mencapai kekuatan dan koordinasi otot. Kemampuan motorik dasar pada sebagian besar anak pada usia ini lebih berkembang. Seperti gerakan menendang, menangkap, dan melempar. Perlahan-lahan, anak menjadi lebih mampu melakukan kegiatan yang lebih kompleks seperti menari, bermain basket, atau bermain piano.

f. Riwayat Imunisasi

29. Umur 30. Jenis Imunisasi 31. 0-7 hari 32. Hepatitis B 0 33. 1 bulan 34. BCG, Polio 1 35. 2 bulan 36. DPT/Hepatitis B 1, Polio 2 37. 3 bulan 38. DPT/Hepatitis B 2, Polio 3 39. 4 bulan 40. DPT/Hepatitis B 3, Polio 4

41. 9 bulan-6 tahun 42. Campak 43. 44. 45. 46. 47. g. Pemeriksaan Fisik 1) Aktivitas

 Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernafas

 Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bentuan melakukan aktivitas sehari-hari

 Tidur dalam posisi duduk tinggi 2) Pernapasan

 Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan

(11)

 Menggunakan alat bantu pernapasan, misal meninggikan bahu, melebarkan hidung.

 Adanya bunyi napas mengi

 Adanya batuk berulang 3) Sirkulasi

 Adanya peningkatan tekanan darah

 Adanya peningkatan frekuensi jantung

 Warna kulit atau membran mukosa normal/abu-abu/sianosis 4) Integritas ego  Ansietas  Ketakutan  Peka rangsangan  Gelisah 5) Asupan nutrisi

 Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan

 Penurunan berat badan karena anoreksia 6) Hubungan sosial

 Keterbatasan mobilitas fisik

 Susah bicara atau bicara terbata-bata

 Adanya ketergantungan pada orang lain 48.

h. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium

49. Leukositosis dengan neutrophil yang meingkat menunjukkan adanya infeksi. Eosinophil darah meningkat >250/mm3.

2) Analisa Gas Darah

50. Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat atau status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik.

3) Radiologi

51. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologic paru biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan. Beberapa tanda khas pada asma adanya hiperinflasi, penebalan dinding bronkus, vaskularisasi paru.

4) Uji Kulit

52. Untuk menunjukkan adanya alergi. 2. Diagnosa Keperawatan

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret kental, batuk tidak efektif.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan bronkus menyempit, edema mukosa. c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme.

(12)

d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan masukan oral akibat hiperventilasi.

e. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke jaringan.

f. Resiko infeksi berhubungan dengan mukosa keringan akibat bernapas melalui mulut. g. Ansietas berhubungan dengan hiperkapnea akibat ventilasi terganggu.

53. 3. Rencana Keperawatan 54. No. Dx 55. Tujuan &

Kriteria Hasil 56. Intervensi 57. Rasional 58.

1

59. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan napas dapat dipertahankan dengan bunyi bersih dan jelas dengan kriteria : 1. Pasien mengetahui

penyebab

ketidakefektifan jalan napas.

2. Pasien mengetahui cara untuk membebaskan jalan napas dari secret. 3. Pasien mampu

melakukan cara untuk membebaskan jalan napas dari secret. 4. Pasien menunjukkan

perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas (batuk efektif, secret dapat keluar). Tidak ada

1. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas.

60.

2. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi. 61. 62. 63. 64. 65.

3. Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman (tinggikan kepala tempat tidur, semi fowler).

66. 67.

4. Ajarkan metode batuk efektif dan terkontrol.

68. 5. Anjurkan masukan cairan 6-8 gelas 1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas. 2. Takipnea biasanya

ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut. 3. Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.

4. Batuk tidak terkontrol akan melelahkan pasien.

5. Hidrasi membantu menurunkan

(13)

suara napas tambahan (ronki, wheezing).

cairan/hari sesuai toleransi dengan pemberian air hangat.

69. 70. 71. 72.

6. Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.

menggunakan cairan hangat dapat menurunkan

kekentalan secret dan menurunkan spasme bronkus.

6. Merelaksasikan otot

halus dan

menurunkan spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa. 73.

2

74. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan kriteria :

1. Pasien mengetahui penyebab kerusakan ventilasi oksigen. 2. Pasien mengetahui cara

memperbaiki kerusakan ventilasi oksigen. 3. Pasien mampu melaukan cara memperbaiki kerusakan ventilasi oksigen. 4. Pasien dapat berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat

1. Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.

75. 76. 77.

2. Awasi tanda vital dan irama jantung.

78. 79. 80. 81.

3. Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk yang efektif.

82. 83.

4. Tingkatkan aktivitas

1. Sianosis mungkin perifer atau sentral, keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia. 2. Takikardia, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung. 3. Teknik ini

memperbaiki

ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan jalan napas dari sputum.

4. Mengoptimalkan fungsi paru sesuai

(14)

kemampuan/situasi. Sesak napas berkurang.

secara bertahap, jelaskan bahwa fungsi pernapasan akan meningkat dengan aktivitas.

5. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGD dan toleransi pasien. dengan kemampuan aktivitas individu. 84. 5. Dapat memperbaiki atau mencegah memperburuknya hipoksia. 85. 3 86. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola napas normal dengan kriteria : 1. Pasien mengetahui

penyebab gangguan pola napasnya.

2. Pasien mengetahui cara untuk mengembalikan pola napas normal. 3. Pasien mampu

melakukan cara untuk mengembalikan pola napas.

4. Memperlihatkan

frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru.

5. Menyebutkan faktor penyebab dan cara adaptif untuk mengatasi faktor

1. Anjurkan untuk tidak memikirkan hal yang menyebabkan ansietas.

87. 88. 89.

2. Ajarkan napas dalam (purse-lip).

90.

3. Latih pasien untuk bernapas perlahan dan efektif.

4. Jelaskan bahwa seseorang dapat mengatasi masalah yang dihadapi dengan belajar mengatasi hiperventilasi melalui kontrol pernapasan sadar jika penyebabnya tidak diketahui.

91. 92.

1. Salah satu faktor penyebab

hiperventilasi adalah ansietas akibat respons system saraf simpaotis. 2. Memungkinkan pernapasan terkontrol, efektif. 3. Memungkinkan pernapasan efektif. 93. 4. Memberi pemahaman bahwa hiperventilasi dapat dikontrol dan sangat dipengaruhi oleh individu; meningkatkan kerjasama untuk mengatasi masalah, memfasilitasi pembukaan diri pasien. 5. Mengetahui masalah

(15)

tersebut. 5. Diskusikan penyebabnya (fisik atau emosi) dan metode penanganan yang efektif.

yang timbul dan pola penanganan masalah secara efektif. 94. 4 95. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan berat badan menunjukkan peningkatan dengan kriteria :

1. Pasien mengetahui penyebab kurangnya nutrisi.

2. Pasien mengetahui cara meningkatkan

nutrisinya.

3. Pasien mampu melakukan cara untuk meningkatkan

nutrisinya.

4. Pasien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang menjadi adekuat.

5. Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

1. Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah dan diare.

2. Pantau intake–output, timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu).

96.

3. Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah intervensi/pemeriksaan peroral. 97. 98. 99. 100.

4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis yang tepat. 101. 102. 103. 1. Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan piihan intervensi yang tepat. 111.

112.

2. Berguna dalam mengukur

keefektifan intake gizi dan dukungan cairan.

3. Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum atau obat pada pengobatan sistem pernapasan yang dapat merangsang pusat muntah. 4. Merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup untuk memenuhi peningkatan

kebutuhan energi dan kalori sehubungan

(16)

104. 105.

5. Fasilitasi pemberian diet berikan dalam porsi kecil tapi sering.

106. 107. 108. 6. Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium khususnya BUN, protein serum dan albumin. 109. 7. Kolaborasi untuk pemberian multivitamin. 110. dengan status hipermetabolik klien. 5. Memaksimalkan

intake nutrisi tanpa kelelahan dan energi besar serta menurunkan iritasi saluran cerna.

6. Menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan intervensi selanjutnya. 7. Multivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan vitamin yang tinggi sekunder dari rosres pemkeberhasilan peningkatan laju metabolisme umum. 113.

(17)

114. REFERENSI 115.

116. Robbins & Cotran. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Jakarta : EGC.

117. Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : EGC. 118. Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

119. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta : Erlangga.

120. Tamsuri, Anas. 2008. Klien Gangguan Pernapasan : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.

Referensi

Dokumen terkait

, Pada data tabel diatas dapat diperoleh sebanyak 32 responden dengan nilai skor 64 menyatakan bahwa Menu Makanan Kantin pada Objek Wisata Air Panas Hapanasan

Dari Tabel 3.3 di atas, dapat dilihat bahwa Provinsi Jawa Barat Dari Tabel 3.3 di atas, dapat dilihat bahwa Provinsi Jawa Barat menjadi tujuan utama migrasi

Akad yang digunakan pada simpanan maslahah adalah akad wadi’ah yad dhamanah yaitu akad penitipan barang atau uang (umumnya berbentuk uang) kepada koperasi, pengelola

2016 pada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kabupaten Simalungun untuk kegiatan tersebut diatas, dengan ini ditetapkan perusahaan-perusahaan dibawah ini sebagai Pemenang,

Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas

dengan pengalamannya yang luas bisa menjadi special envoy kita agar kepedulian dan solidaritas Indonesia terhadap isu kemanusiaan Rohingya itu tepat tidak menimbulkan

pada area dia mereka bekerja, seperti: di bidang preparedness, mitigasi dan restorasi (rehab rekons) • Partisipasi dan community base • Pembentukan kelompok

Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, siswa cenderung memulai langkah penyelesaian walaupun ide yang jelas belum diperoleh, dengan kata lain setiap langkah yang dibuatnya