• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Tindakan Penerimaan dan Penolakan terhadap Penyandang Stutter sebagai Pasangan Hidup: Analisis Semiotika Pada Film Thapki T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Tindakan Penerimaan dan Penolakan terhadap Penyandang Stutter sebagai Pasangan Hidup: Analisis Semiotika Pada Film Thapki T1 BAB II"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Film

Film merupakan alat komunikasi massa yang muncul pada akhir abad ke- 19. Film merupakan alat komunikasi yang tidak terbatas ruang lingkupnya di mana di dalamnya menjadi ruang ekspresi bebas dalam sebuah proses pembelajaran massa. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak 13 segmen sosial, yang membuat para ahli film memiliki potensi untuk mempengaruhi membentuk suatu pandangan dimasyarakat dengan muatan pesan di dalamnya. Hal ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari realitas di masyarakat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikanya ke dalam layar (Sobur, 2003:126–127).

Film merupakan media unik yang berbeda dengan bentuk-bentuk kesenian lainnya seperti seni lukis, seni pahat, seni musik, seni patung, seni tari dan cabang seni lainnya. Ini disebabkan oleh film merupakan perpaduan antara berbagai seni yang pernah ada. Film sebagai salah satu media yang berkarakteristik massa, yang merupakan kombinasi antara gambar-gambar bergerak dan perkataan serta suara. Film juga diartikan sebagai rekaman segala macam gambar hidup atau bergerak, dengan atau tanpa suara, yang dibuat di atas pita seluloid, jalur pita magnetic, piringan audio visual, dan atau benda hasil teknik kimiawi atau elektronik lainnya yang mungkin ditemukan oleh kemajuan teknologi dalam segala bentuk jenis dan ukuran baik hitam maupun putih atau berwarna yang dapat disajikan dan atau dipertunjukkan kembali sebagai tontonan di atas layar proyeksi atau layar putih atau layar TV dengan menggunakan sarana-sarana mekanis dari segala macam bentuk peralatan proyeksi (Effendi 2003: 208). Dalam pasal 3 pada Pesatuan Film dan Televisi Indonesia yang merupakan keputusan Kongres ke-8 pada 1995 menyatakan bahwa film dan televisi adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil teknologi lainnya dalam bentuk, jenis, ukuran, melalui kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya.

(2)

Pengertian diatas mengungkapkan bahwa film merupakan penggambaran budaya masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup. Banyak aspek yang tertuang di dalam film. Dari proses pembuatannya, film merupakan komoditi untuk dikosumsi oleh masyarakat luas dan merupakan karya seni ciptaan manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan.

2.1.1 Film sebagai Media Komunikasi

Dari awal pemunculan film sampai sekarang, banyak bermunculan cara – cara yang makin terampil dalam membuat, meramu segala unsur untuk membentuk sebuah film. Turner dalam (Widiyaningrum, 2012:17) menjelaskan bahwa film sebagai media komunikasi, tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain. Film hanya mengkonstruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari realitas melalui kode – kode, konvensi – konvensi, mitos dan ideologi – ideologi dari kebudayaannya sebagai cara praktik signifikasi yang khusus.

Sebagai media komunikasi, film memberikan pengaruh yang besar bagi penonton. Pengaruh yang diberikan tidak hanya pada saat menonton film namun dapat mempengaruhi penontonnya meskipun film telah selesai ditonton. Penonton biasanya menirukan adegan atau gaya yang ditampilkan oleh para aktor dari film yang ditonton. Dengan demikian kita dapat merasakan bahwa film mempunyai kekuatan serta pengaruh yang sangat besar, sumbernya terletak pada perasaan emosi penontonnya (Effendy, 2003: 208).

2.2 Representasi

Representasi didefinisikan sebagai proses perekonstruksian dunia dan proses memaknainya, representasi merupakan penggambaran dari sebuah makna (Maluda, 2014:34). Representasi juga dapat diartikan sebagai pemakaian atau penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan kembali sesuatu yang diserap oleh indera, atau yang dirasakan dalam bentuk fisik (Adji & Peni, 2010:3). Dengan demikian representasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bentuk penerimaan dan penolakan terhadap penyandang stutter dalam pasangan hidup dalam film Thapki.

(3)

6

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negoisasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru (Fachruddin, 2011:21). Istilah representasi sendiri merujuk pada bagaimana seseorang atau kelompok, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam sebuah pemberitaan. Mengingat akan hal ini maka ada 2 hal penting yang perhatikan dalam representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok atau gagasan tertentu ditampilkan sebagaimana mestinya dan yang kedua adalah bagaimana representasi tersebut ditampilkan melalui kata, kalimat, aksentuasi, foto dan lainnya (Eriyanto, 2001 : 113 ).

2.2.1 Representasi dalam Media Massa

Adakalanya representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu sehingga tanpa disadari bentuk - bentuk representasi tersebut dianggap sebagai suatu „kebenaran‟ dalam realitas (Burton, 2007:269).

Kata representasi merujuk kepada penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang penampilan di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang dikonstruksi di baliknya. Jadi, representasi itu menyangkut pada proses pembuatan makna. Melalui media massa kita diberikan representasi tentang dunia dan bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia (Maluda, 2014 :34).

2.2.2 Level Representasi

Fiske (dalam Eriyanto, 2001:114), mengungkapkan bahwa persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana suatu realitas ditampilkan. Dalam menampilkan suatu peristiwa, objek, gagasan, seseorang ataupun kelompok, ada beberapa proses yang dihadapi :

 Level pertama yakni peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana sebuah peristiwa dikonstruksi sebagai realitas oleh media. Dalam bahasa gambar (terutama televisi) hal ini pada umumnya dapat berupa pakaian, lingkungan, ucapan, serta ekspresi.

(4)

 Pada level ketiga yakni bagaimana sebuah peristiwa atau realitas dikonvesi ke dalam kode - kode yang dapat diterima secara logis, bagaimana kode–kode representasi dihubungkan dan diorganisassikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan yang dominan yang ada dalam masyarakat.

Ketiga level yang menjadi persoalan utama dalam representasi tersebut lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut :

Tabel 2.2.2

Persoalan Utama Dalam Representasi Level

Pertama

Realitas

( Dalam bahasa tertulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan lainnya, sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak – gerik, ekspresi, intonasi, ucapan dan tekanan

suara).

Level Kedua

Representasi

( Elemen – elemen pada level pertama ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tertulis seperti kata, proposdisi, kalimat, caption, foto, grafik dan lainnya, sedangkan dalam televisi seperti kamera,

tata cahaya, editing, musik latar dan sebagiannya).

Level Ketiga

Ideologi

Semua elemen diorganisasikan ke dalam koherensi dan ideologi – ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki,

ras , kelas, materialisme, kapitalisme dan sebagiannya.

Sumber : Eriyanto, 2001, Hal 116.

(5)

6 2.3 Semiotika Komunikasi

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Keberadaannya mampu menggantikan sesuatu yang lain, dapat dipikirkan, atau dibayangkan. Semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Ada kecenderungan bahwa manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala sesuatu yang ada di sekelilignya dan dianggapnya sebagai tanda. Pemaknaan terhadap dunia tanda pada tingkat yang paling rendah adalah pemaknaan secara lugas, yakni menginterpretasikan berdasarkan asal makna tanda tersebut (Sobur, 2009:15).

Semiotika biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda – danda, yang pada dasarnya merupakan studi atas kode – kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang idenentitias tertentu sebagai tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Budiman, 2011:3).

2.3.1 Semiotika Model John Fiske

(6)

bentuk penerimaan serta penolakan terhadap penyandang stutter sebagai pasangan hidup dalam film “Thapki“ yang hendak diteliti.

2.3.2 Semiotika dalam Film

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non-verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk pada semiotika (Sobur, 2009:15-16).

Film memiliki dua unsur utama di dalamnya yaitu gambar dan dialog. Film disini dapat disebut sebagai citra (image) berbentuk visual bergerak dan suara dalam dialog di dalamnya. Citra menurut Barthes merupakan amanat ikonik (iconic massage) yang dapat dilihat berupa adegan (Scene) yang terekam. Kode – kode dalam film terbentuk dari kondisi sosial budaya dimana film itu dibuat, serta sebaliknya kode tersebut dapat berpengaruh pada masyarakatnya ketika seseorang melihat film, ia memahami gerakan, aksen, dialog, dan lainya, kemudian disesuaikan dengan karakter untuk memperoleh posisi dalam struktur kelas atau dengan mengkonstruksikan apa yang dilihat dalam film dengan lingkungannya (Sobur 2009:127).

2.4 Teori Analisis Kultivasi

Analisis kultivasi adalah sebuah teori yang menjelaskan pembentukan jangka panjang dari persepsi, pemahaman, dan keyakinan mengenai dunia sebagai akibat dari konsumsi akan pesan-pesan media. Seperti yang diungkapkan Gerbner, bahwa apa yang kita ketahui atau kita pikir, sebenarnya tidak pernah kita alami sendiri secara pribadi. Kita mengetahuinya melalui cerita-cerita yang kita lihat dan dengar di media. Teori ini menyatakan bahwa komunikasi massa, terutama televisi mengkultivasi keyakinan tertentu mengenai kenyataan yang dianggap umum oleh konsumen komunikasi massa.

(7)

6

pesan yang sama secara berulang-ulang. Televisi membuat masyarakat memberikan perhatiannya pada isi atau pesan yang ditampilkan, seolah-olah televisi memberikan kepercayaan (Windahl, Signitizer & Olson, 1992). Secara tidak langsung cara berpikir dan pandangan kita terhadap sesuatu dipengaruhi oleh tayangan televisi.

2.4.1 Asumsi Dasar Teori Kultivasi

Secara skematis, Teori Kultivasi yang diungkapkan George Gerbner didasarkan pada beberapa asumsi diantaranya:

Tabel 2.4.1 Asumsi Dasar Teori Kultivasi

Televisi adalah media yang unik yang memerlukan studi pendekatan yang spesifik pula.

Pesan-pesan televisi membentuk sistem yang koheren, membentuk cara berpikir, cara bertindak, yang pada akhirnya menjadi budaya kita.

Sistem pesan (isi pesan misalnya) menciptakan tanda-tanda penanaman realitas.

Fokus analisa Kultivasi adalah kontribusi menonton televisi yang berlebihan terhadap pola pikir dan perilaku.

Teknologi-teknologi baru lebih banyak menyimpangkan jangkauan pesan-pesan televisi.

Fokus teori Kultivasi terletak pada pemantapan yang meluas dan konsekuensi-konsekuensi yang sama.

2.5 Penerimaan Dan Penolakan Sosial

(8)

penghargaan serta rasa nyaman terhadap individu maupun kelompok lain tersebut.

Menurut Asher & Parker dalam Putra (2014), penerimaan sosial adalah suatu keadaan dimana individu atau kelompok tertentu disukai dan diterima oleh individu atau kelompok lain lain didalam lingkungan, dan setiap individu diterima oleh individu lain secara penuh dan penerimaan semacam ini akan menimbulkan perasaan aman, sedangkan penolakan sosial adalah suatu keadaan dimana individu atau kelompok tertentu ditolak dan tidak disukai oleh individu maupun kelompok lain dalam suatu lingkungan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka yang ditolak.

Dengan merujuk pada defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan sosial merupakan suatu wujud tindakan nyata dari suatu individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Tindakan yang dimaksud mencerminkan adanya pengakuan, penghargaan memberikan rasa nyaman serta menerima orang lain ataupun kelompok lagin apa adanya. Demikian pula dengan penolakan sosal, yaitu tindakan nyata dari individu maupun kelompok terhadap individu maupun kelompok lain, dimana tindakan yang dimaksud mencerminkan adanya penolakan, kurangnya rasa hormat serta menciptakan ketidaknyamanan serta tidak dapat menerima orang ataupun kelompok lain apa adanya.

Penerimaan sosial didasarkan pada keadaan individu atau kelompok lain baik secara fisik, latar belakng sosial maupun mental. Artinya ketika melakukan penerimaan terhadap pihak lain maka tindakan penerimaan tersebut dilakukan tanpa memandang kurang maupun lebihnya keadaan pihak lain baik secara fisik, mental maupun latar belakang sosial, sedangkan penolakan didasarkan pada paenilaian atau pertimbangan tertentu terhadap keadaan fisik, mental maupun latar belakang sosial pihak lain yang tidak sesuai dengan kriteria maupun pandangan tertentu dari pihak yang melakukan tindakan penolakan sosial.

2.5.1. Sikap Yang Ditampilkan

Andi Mappiere (dalam Putra, 2014:07) menjabarkan seseorang diterima di dalam lingkungannya akan menampilkan sikap-sikap sebagi berikut :

 Menghargai secara keseluruhan apa yang ada di dalam diri individu tanpa syarat, pendapat atau penilaian. Lingkungan yang dimiliki individu atau dengan kata lain keadaan individu diterima sepenuhnya.

 Memandang sebagai orang yang berharga tanpa memandang latar belakang atau keadaan individu.

(9)

6

keyakinan atas kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya.

 Individu yang diterima tidak mendapatkan tekanan atau memiliki kebebasan.

 Dengan kata lain individu akan merasakan bahwa lingkungannya memberikan suatu independensi (mandiri).

2.5.2. Karakteristik

Seseorang yang diterima oleh kelompok sosialnya akan menunjukan karakteristik sebagai berikut :

 Merasa aman juga berada ditengah-tengah lingkungan. Individu akan merasa nyaman ketika berada dilingkungan.

 Dengan merasa diterima. Individu akan mendapatkan indentitas diri dan mempunyai harga diri.

 Akan merasa bebas. Dalam arti individu tidak merasa tertekan dan yakin bahwa kelompok menerima keadaanya.

 Akan lebih sering terlibat dan bergaul dengan lingkungan. Dalam arti individu akan lebih terbuka tentang keberadaannya, karena lingkungan dapat menerima keadaan individu.

2.5.3. Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Dan Penolakan Sosial Ciri Kepribadian

Penerimaan sosial terjadi dari penilaian seseorang terhadap orang lain pada kepribadiannya secara utuh. Biasanya seseorang dapat diterima atau mengalami penolakan secara sosial karena baik – buruknya karakter yang dimiliki.

Ciri Non Kepribadian.

Kesan pertama ikut menentukan sejauh mana seseorang dapat diterima atau ditolak oleh lingkungan sosialnya. Jika seseorang menunjukkan kesan positif maka ia akan menerima suatu kelompok, dan sebaliknya.

Faktor Sugesti.

(10)

Faktor Simpati.

Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis, melainkan berdasarkan penlilaian perasaan, bahkan orang dapat tiba-tiba merasa dirinya tertarik kepada orang lain seakan-akan dengan sendirinya, dan tertariknya itu bukan karena salah satu ciri tertentu, melainkan karena keseluruhan cara-cara bertingkah laku orang tersebut.

2.5.4. Indikator

Penerimaan sosial berarti adanya sinyal dari orang lain yang ingin menyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu relasi atau kelompok sosial. Dengan demikian maka indikator dalam penerimaan maupun penolakan sosial; Karina (2012) adalah sebagai berikut :

 keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain

 adanya kepercayaan yang diberikan kepada orang lain

 kesamaan (similiarity) yang dirasakan terhadap orang lain

2.6 Stutter

Stutter adalah gangguan ritme bicara dimana seseorang tahu apa yang mau dibicarakan, tetapi tidak bisa diucapkan karena pengulangan, perpanjangan atau penghentian bunyi. Menurut Wingate’s stutter adalah gangguan kelancaran ekspresi verbal yang ditandai dengan involunter, pengulangan atau perpanjangan yang terdengar atau tidak dalam bentuk bunyi, suku kata, dan kata dari suku kata.

Stutter merupakan gangguan kelancaran berbicara yang ditandai pengulangan dan perpajangan suara, kata, atau suku kata, blocking, serta penghindaran kata-kata yang dirasa sulit dengan kata-kata yang lain, bahkan diikuti oleh gerakan anggota tubuh tertentu sehingga menganggu kelancaran berbicara. Banyak stutter (orang yang mengalami) tidak mengetahui latarbelakang terjadinya stuttering yang mereka alami serta banyak stresor-stresor yang dapat memicu munculnya simptom stuttering tanpa mereka sadari sangat menganggu kehidupan mereka sehari-hari (Fatmawati, 2011:02).

Stutter dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam literatur dijelaskan kemungkinan

(11)

6

menjadikan mereka secara psikologis mengalami hambatan dalam bentuk rasa rendah diri, kurang percaya diri, kurang dapat menerima kondisi diri, sehingga cenderung mengisolasi diri. Hambatan-hambatan tersebut menimbulkan dampak kekurangmampuan mereka dalam upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Hambatan-hambatan ini seringkali diperburuk dengan masih adanya pandangan yang negatif dari masyarakat terhadap para penyandang stutter (Fidhzalidar, 2015:519).

2.7. Penelitian Terdahulu.

Pokok bahasan mengenai hal – hal yang berhubungan dengan representasi dalam film merupakan hal yang sering diteliti atau didalami. Sekalipun telah banyak penelitian mengenai representasi dalam media, namun bagi peneliti hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelitian pada tema atau topik yang berhubungan dengan representasi.

Beberapa penelitian terdahulu yang peneliti jadikan acuan memberikan gambaran serta pemahaman konsep yang cukup jelas bagi peneliti mengenai hal – hal yang berhubungan dengan representasi dalam film, sehingga peneliti lebih mengenal dan memahami bentuk – bentuk representasi dalam media, khususnya pada film. Penelitian terdahulu yang peneliti gunakan memberi gambaran serta pemahaman tentang penyandang stutter.

Media semakin berkembang, hal-hal yang disajikan oleh media terutama film, turut mengalami perubahan. Sekalipun dengan tema yang sama (Representasi), namun apabila diteliti pada waktu yang berbeda, tentunya akan ditemukan pula hal – hal yang berbeda.

2.7.1. Representasi Kekerasan Terhadap Anak (Analisis Semiotika Dalam Film Alangkah Lucunya Negeri Ini).

Penelitian ini dilakukan oleh Vetriani Maluda pada tahun 2014. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak ditonjolkan dalam film ini. Selain kekerasan fisik ada juga ancaman – ancaman terhadap anak – anak yang dilakukan oleh Bang Jarot.

2.7.2. Representasi Kekerasan Anak Di Media (Studi Semiotika Kekerasan Pada Anak Yang Direpresentasikan Dalam Film Slumdog Millionaire).

(12)

umur yang sangat belia harus hidup sendiri dan menerima perlakukan yang tidak manusiawi tanpa adanya perlindungan dari Negara. Salah satu penderitaan yang mereka terima ialah mengalami kekerasan dari kekerasan simbolik hingga kekerasan fisik.

2.7.3. Tingkat Kecemasan Sosial Pada Anak – Anak Penyandang Stutter.

Penelitian ini dilakukan oleh M. Gengki Fidhzalidar pada tahun 2015, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal – hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan sosial terhadap anak – anak penyandang stutter serta mengetahui seberapa jauh tingkat kecemasan tersebut.

2.7.4. Stuttering (studi tentang latar belakang terjadinya stuttering dan stresor- stresor pemicu munculnya simptom stuttering)

(13)

6 2.8 Kerangka Pikir

Semiotika yang dikaji oleh John Fiske antara lain membahas pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, dan bagaimana makna dibangun dalam teks media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna dalam suatu objek yang peneliti akan teliti. Dari peta John Fiske di atas diadaptasi bahwa sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri (objek), dan ini dipahami oleh seseorang, dan ini memiliki efek di benak penggunanya (interpretant). Fiske berpendapat bahwa realitas adalah produk yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut diketahui bahwa Fiske berpandangan apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah merupakan realitas sosial.

Dengan demikian maka kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

Film Thapki

Semiotika Model John Fiske

Representasi tindakan penerimaan dan penolakan sosial terhadap penyandang stutter sebagai pasangan

hidup

Gambar

Tabel 2.2.2
Tabel 2.4.1 Asumsi Dasar Teori Kultivasi

Referensi

Dokumen terkait

Stringer (2002) berpendapat bahwa, ada indikator yang digunakan untuk menilai iklim organisasi tersebut yaitu, struktur adalah perasaan karyawan secara baik dan mempunyai

Terhadap aparatur penegak hukum yang diteror tentunya akan mendapatkan tekanan dalam menjalankan tugasnya, hal ini tentunya akan membuat sang aparatur

Berdasarkan uraian diatas maka, KPPU membuktikan terjadinya praktik kartel diawali berdasarkan adanya perjanjian kerjasama dalam pengafkiran dini induk ayam atau PS

Untuk mengukur seberapa jauh kemampuan siswa dalam berpikir kreatif dalam menyelesaikan masalah matematika dalam bentuk soal cerita, maka penulis bertujuan untuk mengadakan

Pembuatan visualisasi tiga dimensi (3D) yang menyediakan informasi yang lengkap atas obyek Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS) yang dapat digunakan untuk

Proses Pengalihan Tanah Druwe menjadi tanah aset Pemerintah Daerah di Kecamatan Kintamani Bangli Bali pada argumentasi pemerintah Daerah lebih didasarkan pada hak menguasai

dibandingkan dengan produksi pada tahun 2013 produksi tahun 2014 untuk tanaman kelapa mengalami penurunan yang cukup tinggi yaitu sekitar 85%,hal ini disebabkan

Berdasarkan pertimbangan ini, maka dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah perlu memprioritaskan sektor pertanian yang menjadi sektor pemimpin seperti sektor buah-