• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah inspiratif Bidikmisi 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kisah inspiratif Bidikmisi 2011"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Juara 1 Juara 1

Hevi Metalika Aprilia

Hevi Metalika Aprilia

“Lomba Menulis Kisah Inspiratif” “Lomba Menulis Kisah Inspiratif”

Tema : Sepenggal kisah bersama Bidik Misi Tema : Sepenggal kisah bersama Bidik Misi Syarat :

Syarat : 1.

1. Peserta adPeserta adalah mahasiswalah mahasiswa penerima a penerima beasiswa bidikbeasiswa bidik misi angkatan 47 atau

misi angkatan 47 atau 48 (termasuk tambahan).48 (termasuk tambahan). 2.

2. Mengumpulkan Mengumpulkan fotocopy KTM, dafotocopy KTM, dan mengisi formn mengisi formulirulir online

online disini disini

3. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, kisah yang 3. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, kisah yang

Sebuah Catatan Perjalanan :

Sebuah Catatan Perjalanan :

Catatan Mahasiswa Luar Biasa

Catatan Mahasiswa Luar Biasa

menginspirasi, implikasi dengan adanya beasiswa bidik menginspirasi, implikasi dengan adanya beasiswa bidik misi terhadap penulis (kisah nyata)

misi terhadap penulis (kisah nyata) 4.

4. Penulisan diketik mPenulisan diketik menggunakan enggunakan font TNR, spasi 1,font TNR, spasi 1, minimal 3 halaman A4 dengan margins 4

minimal 3 halaman A4 dengan margins 4 3 3 33 3 3 5.

5. Paling Paling lambat pengumpulan lambat pengumpulan berkas tanggal berkas tanggal 1100 Desember 2011 pk 16.00 di Loket beasiswa Direktorat Desember 2011 pk 16.00 di Loket beasiswa Direktorat Kemahasiswaa

Kemahasiswaan n IPBIPB 6.

6. Lima Lima tulisan tulisan terbaik terbaik akan akan mendapatkan mendapatkan sertifikat, sertifikat, piala,piala, serta tabungan.

serta tabungan. Informasi: Fb

Informasi: Fb ditmawa, Web Kemahasiswditmawa, Web Kemahasiswaanaan 085648xxxxxx 085648xxxxxx 085710xxxxxx 085710xxxxxx 085691xxxxxx 085691xxxxxx

Demikian bunyi pengumuman yang disampaikan Demikian bunyi pengumuman yang disampaikan melalui situs jejaring sosial itu. Menulis memang hobiku. Aku melalui situs jejaring sosial itu. Menulis memang hobiku. Aku senang menulis. Tapi, apakah tulisanku bisa disebut

senang menulis. Tapi, apakah tulisanku bisa disebut ‘Kisah‘Kisah Inspiratif’ 

Inspiratif’ ? Setidaknya dari beberapa pengakuan teman-? Setidaknya dari beberapa pengakuan teman-teman, kisahku cukup menginspirasi mereka. Jadi, apa teman, kisahku cukup menginspirasi mereka. Jadi, apa

(4)

salahnya jika aku berbagi dengan anda

salahnya jika aku berbagi dengan anda? Semoga anda sdapat? Semoga anda sdapat terinspirasi juga seperti mereka. Dan semoga kisah ini dapat terinspirasi juga seperti mereka. Dan semoga kisah ini dapat menginspirasi banyak orang setelah anda.

menginspirasi banyak orang setelah anda. Inilah kisahku....

Inilah kisahku....

*** ***

 Aku, yang sejak

 Aku, yang sejak kecil bahkan kecil bahkan tidak berani bertidak berani bermimpi.mimpi.  Aku,

 Aku, yang yang sejak sejak SD SD bahkan bahkan tidak tidak berani berani berangan berangan untukuntuk melanjutkan ke SMP, apalagi SMA.

melanjutkan ke SMP, apalagi SMA.  Aku,

 Aku, yang sejak yang sejak berusia 9 berusia 9 tahun bahkan tahun bahkan tidak tidak merasakmerasakan an lagilagi kehangatan sebuah keluarga.

kehangatan sebuah keluarga.  Aku,

 Aku, yang yang sejak sejak berusia berusia 10 10 tahun tahun bahkan bahkan harus harus terpisah terpisah daridari seseorang yang telah

seseorang yang telah melahirkankmelahirkanku.u.  Aku,

 Aku, yang yang sejak sejak berusia berusia 12 12 tahun tahun bahkan bahkan haharus rus menjalanimenjalani kerasnya kehidupan ini sendirian.

kerasnya kehidupan ini sendirian.  Aku,

 Aku, yang yang sejak sejak SD-SMP SD-SMP hanya hanya mengandalkan mengandalkan beasiswabeasiswa untuk bisa sekolah.

untuk bisa sekolah.  Aku,

 Aku, yang yang sama sama seksekali ali tidak tidak tahu tahu harus harus kemana sekemana setelah telah luluslulus SMA.

SMA.  Aku,

 Aku, yang yang berangkat berangkat ke ke Bogor Bogor hanya hanya bermbermodal odal niat,niat, keberanian dan semangat.

keberanian dan semangat.  Aku, yang pen

 Aku, yang penuh dengan segaluh dengan segala keterbatasan.a keterbatasan.  Aku,

 Aku, Hevi Hevi Metalika Metalika Aprilia. Aprilia. Pemilik Pemilik nama nama aneh aneh yang yang selaluselalu ditertawakan setiap kali memperkenalkan diri dalam sebuah ditertawakan setiap kali memperkenalkan diri dalam sebuah forum baru.

forum baru.

Saat ini, aku seorang mahasiswa semester tiga Saat ini, aku seorang mahasiswa semester tiga Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Setiap ditanya, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Setiap ditanya, bagaimana perasaanku menjadi bagian dari kampus hijau ini, bagaimana perasaanku menjadi bagian dari kampus hijau ini, aku selalu menjawab dengan sangat antusias,

aku selalu menjawab dengan sangat antusias, “Aku bangga“Aku bangga sekali !” 

sekali !” . Bagaimana tidak, aku yang awalnya tak pernah. Bagaimana tidak, aku yang awalnya tak pernah berani bermimpi sedikitpun untuk melanjutkan pendidikan ke berani bermimpi sedikitpun untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ternyata bisa sampai ke sini. Sebuah perguruan tinggi, ternyata bisa sampai ke sini. Sebuah Perguruan Tinggi Negeri ternama di Negara ini. Aku masih Perguruan Tinggi Negeri ternama di Negara ini. Aku masih ingat perkataan ibuku melalui telepon tetangga saat itu,

ingat perkataan ibuku melalui telepon tetangga saat itu, “Nak,“Nak, kan sudah melanjutkan sampai SMA, jadi sudah dulu ya? kan sudah melanjutkan sampai SMA, jadi sudah dulu ya? Berhenti dulu, kerja dulu.

(5)

baru lulus SMP. Bedanya, saat itu aku di sarankan untuk tidak melanjutkan ke SMA.

 Ah, betapa saat itu hatiku terasa sakit. Memang, Ibuku hanya lulusan SMP dan Bapakku lulusan SMA. Tapi, tidakkah aku memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dari mereka? Berbagai perasaan sedih dan sakit berkecamuk dalam hatiku. Tapi aku tidak akan menyerah hanya dengan berkata “iya”  begitu saja. Kalau dulu aku bisa berusaha hingga masuk SMA, kenapa ke perguruan tinggi tidak?

Sungguh aku sangat mengerti, kenapa saat itu Ibu memintaku untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Tentu saja satu hal   itu yang menjadi permasalahan utama. Uang.  Aku tahu itu. Aku tak bisa berkata-kata lagi jika sudah menyangkut hal itu. Ibu memang bekerja sendiri untuk membiayai seluruh keperluan sekolahku dan adikku sejak dulu. Jangan tanya, kamana Bapakku?  Tolong jangan tanyakan itu. Pertanyaan itu sangat menyiksaku. Pertanyaan itu benar-benar membawaku ke sebuah masa lalu yang teramat menyakitkan.

***

9 tahun yang lalu....

Perempuan itu begitu asing. Perempuan itu datang bersama Bapakku, masuk ke dalam rumah kami. Masuk ke dalam kehidupan kami. Aku masih begitu polos untuk sekedar bertanya, “Siapa perempuan itu?”. Yang aku tahu, betapa saat itu tetangga-tetangga sibuk membicarakan keluarga kami. Katanya, perempuan itu adalah istri muda  Bapakku. Dengan polosnya, aku menanyakan hal ini kepada Ibu. Ya Allah, betapa aku ingin menangis melihat ekspresi wajah ibu. Aku ingin menangis. Bukan karena kesedihan Ibu. Bukan. Bahkan Ibu sama sekali tidak menunjukkan wajah sedihnya. Dengan senyum lembutnya Ibu berkata, “Iya. Dia Ibu barumu, Nak.” 

Sungguh aku tidak mengerti apa yang terjadi. Senyum Ibu. Ketegaran dan kekuatan hatinya membuatku ingin

(6)

menangis. Aku menahan tangisku dalam pelukannya. Dan hatiku semakin terluka ketika melihat wajah adikku dalam usianya yang baru menginjak tahun ke dua.

Hanya beberapa minggu perempuan itu tinggal di rumah kami. Dia kembali ke tempat dimana dia berasal dengan membawa orang yang sebelumnya telah menjadi kepala keluarga  kami. Ya, Bapak pergi meninggalkan rumah bersama perempuan itu. Tidak pernah kembali lagi. Kepergian Bapak menyisakan ribuan luka di hati kami. “Bapak, lihatlah. Berapa banyak hati yang terluka akibat tindakan itu ?” 

***

Setelah kepergian Bapak, kondisi perekonomian keluarga kami semakin memburuk. Ibu bekerja sebagai pencuci ikan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang terletak di sebuah pelabuhan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami, dengan gaji mingguan yang kurang dari seratus ribu rupiah. Saat itu aku duduk di kelas 5 MI (Madrasah Ibtidaiyah)−setara SD (Sekolah Dasar), sedangkan adikku baru saja masuk TK (Taman Kanak-Kanak). Tentu saja gaji Ibu tidak mencukupi untuk kebutuhan kami bertiga. Ibu bermaksud ingin mencari pekerjaan lain, tapi Ibu yang hanya lulusan SMP sangat sulit mendapat pekerjaan dengan gaji yang lebih besar dari sebelumnya. Hingga tawaran itu datang, tawaran untuk menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Malaysia. Setelah memohon ijin dari kami, Ibu mengambil tawaran itu dengan syarat tidak mau bekerja di bagian rumah tangga meskipun gajinya besar. Karena kami takut terjadi sesuatu dengan Ibu, bagaimanapun juga banyak kasus TKW dianiaya yang bekerja di bagian rumah tangga. 28 Juli 2003, ibu pergi meninggalkan kami.

Sejak hari itu aku tak pernah cukup kasih sayang, apalagi perhatian. Ibu menitipkan aku dan adikku di sebuah gubuk kecil   bersama seorang nenek tiri dari keluarga Ibu. Namun, tidak sampai satu bulan nenek tiriku memutuskan untuk pindah ke kampung halamannya, dengan membawa satu-satunya keluarga yang aku miliki−adik laki-lakiku yang

(7)

saat itu berusia 3 tahun. Aku tidak mungkin ikut, karena aku harus tetap bersekolah. Saat itu aku baru menginjak awal tahun pelajaran kelas 6 MI. Akhirnya, aku tinggal sendirian di sebuah gubuk  kecil satu-satunya peninggalan orangtuaku. Di situlah aku mulai merasakan dengan sadar, tentang kesedihan, kesepian, dan ketidaknyamanan hidupku.

Ketika tiba saatnya untuk pelepasan siswa kelas 6 MI, aku merasa menjadi anak paling malang di seluruh dunia. Semua temanku datang bersama orangtua mereka. Sedangkan aku? Siapa walimuridku? Tak satupun keluargaku yang datang. Lengkaplah kemalangan yang aku rasakan, ketika kepala sekolah mengumumkan di atas panggung bahwa peraih nilai tertinggi adalah Hevi Metalika Aprilia−siswanya yang paling menyedihkan.

Ya Allah, untuk apa nilai tertinggi itu? Aku bahkan tak merasa bangga pada diriku. Aku tak peduli, saat semua yang hadir menganggapku sebagai anak paling pintar diantara teman-temanku. Aku samasekali tidak peduli. Apalah arti penghargaan itu tanpa kehadiran orangtuaku ?

***

Begitulah kehidupanku berjalan hingga aku beranjak masuk SMP. Aku tinggal sendirian. Catat itu : sendirian !   Tapi tidak lagi di gubuk kecil -ku dulu. Gubuk itu kini diperbaiki dan dijadikan tempat tinggal oleh pamanku dan istrinya. Tapi, tunggu dulu !   Jangan berfikir pamanku sangat baik hati dengan mengajakku tinggal di rumah itu. Aku di usirnya. Ya, sekali lagi diusir . Pakaianku di letakkannya di depan rumah. Hingga aku dipungut oleh tetanggaku, yang kemudian mengajakku tinggal bersamanya.

Hari-hariku terasa berat. Aku sadar sesadar-sadarnya, kalau aku cuma numpang . Sehingga setiap hari aku harus bekerja membantu pamilik rumah, cuci-cuci, membersihkan rumah, halaman, hingga memasak. Hidup penuh kesabaran adalah hal yang paling sulit aku jalani.

Terkadang aku merasa iri dengan teman-temanku di sekolah. Mereka berangkat dengan kegembiraan di hati

(8)

mereka, dan pulang disambut ibu mereka di rumah. Lalu, dengan ceria mereka bercerita tentang hari-hari seru mereka di Sekolah. Sedangkan aku? Ketika aku pulang, tak ada siapapun di rumah. Aku menangis setiap saat sampai air mataku kering. Tetap saja tak ada yang peduli padaku. Begitulah aku menjalani dunia-ku, dunia-ku yang aku yakini tak seorangpun ingin hidup dalam dunia itu.

Hingga suatu hari, Bu Yuyun −guru di SMP Negeri 1 Palang− memanggilku ke kantor. Beliau menyampaikan padaku bahwa ada orangtua murid yang sedang mencari salah satu murid lain untuk menemani putrinya−yang nilai matematikanya kurang−belajar dirumah. Kebetulan saat itu aku sebagai siswa dengan nilai matematika tertinggi di sekolah (Allahu Akbar). Demikian orangtua murid itu menjemput dan mengajakku tinggal di rumahnya. Sebuah rumah yang seolah surga bagiku. Aku tinggal di rumah itu hingga aku duduk di kelas 2 SMA.

***

Meski jarak yang begitu jauh memisahkan aku dan Ibu, tapi kami tetap menjaga komunikasi. Ibu sering meneleponku melalui telepon dari rumah tetangga, karena aku baru memiliki handphone ketika masuk SMA. Mengenai kabar adikku, aku sangat jarang bertemu dengannya. Aku hanya main ke sana  jika Idul Fitri atau ada hari-hari libur tertentu.

Status Ibu memang masih menjadi seorang istri , karena Bapak tidak pernah mau menceraikan Ibu. Tapi itu hanya sekedar status semu menurutku. Karena toh Bapak tidak pernah menafkahi keluarga kami lagi. Ibu masih teramat muda untuk diperlakukan Bapak seperti ini. Ibu kelahiran tahun 1972, masih muda bukan?

Saat usiaku 16 tahun, aku sudah cukup untuk bisa berfikir dewasa. Aku sedih melihat kondisi keluargaku seperti ini. Dengan mengumpulkan segenap keberanian dan keteguhan hatiku, aku berniat mendatangi Bapakku di rumahnya. Nampaknya Bapak sangat terkejut dengan kedatanganku. Beliau mempersilahkan aku duduk di kursi

(9)

depan rumahnya. Sebelum Bapak berkata apapun, aku memberondongnya dengan kalimat-kalimatku yang entah aku dapatkan dari mana.

“Bapak mungkin heran dengan kedatanganku.  Aku tidak ingin meminta apapun. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang aku rasakan selama ini. Bapak, lihat aku. Aku anakmu kan? Tapi pernahkah sedikit saja engkau berfikir: Bagaimana keadaanku? Di mana aku tinggal? Apa aku sudah makan? Bagaimana sekolahku? Pernahkah berfikir seperti itu? Tahukah kau bapak, di mana aku sekolah? Kelas berapa aku sekarang? Berapa nilai raportku? Tahukah? Bapak, sejak aku TK sampai sekarang bahkan engkau tak pernah sekalipun menginjakkan kakimu di sekolahku untuk sekedar mengambilkan raportku. Bahkan mungkin kau tidak tahu aku sekolah dimana? Tahukah, sejak kepergian Ibu ke Malaysia kehidupanku terlantar. Dari satu rumah ke rumah lain untuk menumpang tinggal. Tahukah, bagaimana perjuanganku untuk tetap bisa sekolah? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas hidupku? Atas  pendidikanku? Tahukah, setiap kali tiba waktunya  pengambilan raport aku harus menangis dan memohon kepada orangtua temanku agar sekalian mengambilkan raportku? Tahukah, setiap kali pertemuan wali murid di sekolah tidak pernah ada yang datang menjadi waliku? Pernahkah engkau memikirkan itu semua, Bapak? Pernahkah?”

Tak terbendung sudah air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya. Setiap orang yang berlalu-lalang di depan rumah menatapku dengan pandangan iba. Sementara Bapak hanya diam mematung di hadapanku. Aku melanjutkan kalimatku, “Dulu mungkin aku masih diam saja, karena aku masih terlalu polos untuk mengerti semua ini. Tapi sekarang tidak, Bapak. Aku tidak akan diam saja. Aku tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada adikku. Lihatlah, adikku sekarang berusia 9 tahun. Dia belum bisa baca-tulis. Tidak ada yang mengajarinya. Tidak ada yang mengontrolnya.  Aku minta tolong, Bapak. Aku mohon. Ceraikan ibuku. Dulu menikah baik-baik kan? Jadi aku mohon berpisah juga dengan

(10)

cara yang baik-baik. Jangan mendzolomi Ibuku dengan tetap mengikatnya sebagai istri tapi tidak pernah engkau perlakukan sebagai istri, tidak pernah kau berikan hak-haknya. Ibuku masih terlalu muda. Biarkan Ibu menikah lagi. Biar Ibu bisa  pulang dan mendampingi adikku di rumah. Aku mohon.” 

Sunyi. Tidak ada yang bicara sepatah katapun. Setelah diam cukup lama, Bapak berkata, “Pulanglah. Malu dilihat banyak orang !”   Sejenak aku merasa marah dengan ucapan Bapak. Setelah perkataanku yang begitu panjang. Hanya itu tanggapannya? Ya Allah, ampuni Bapakku. Beri aku kesabaran dan kekuatan. Aku mengusap sisa air mata dengan  jilbabku. Kemudian pergi meninggalkan rumah itu.

***

Menjelang Ujian Akhir Nasional SMA, hampir seluruh teman-temanku sibuk mempersiapkan untuk mengikuti berbagai bimbingan belajar. Baik bimbingan belajar untuk menghadapi Ujian Akhir Nasional, maupun untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Semua seolah berlomba-lomba untuk masuk di  perguruan tinggi favorit. Namun, tidak dengan yang aku alami. Sejak awal semester akhir di kelas 3 SMA, Ibu sudah mengingatkan aku, “Nak, kan sudah melanjutkan sampai SMA, j adi sudah dulu ya? Berhenti dulu, kerja dulu.”  Kalimat itu benar-benar menghantuiku. Selalu terngiang di telingaku setiap kali aku tergabung dalam pembicaraan bersama teman-temanku tentang kuliah. Sehingga aku hanya bisa diam dan tetap berusaha tersenyum menahan kepahitan tiap kali ada yang bertanya, “Mau kuliah dimana, Met?” 

Hingga suatu hari datanglah kakak-kakak kelas dari berbagai perguruan tinggi ke sekolahku−SMA Negeri 2 Tuban. Sama seperti teman-teman yang lain, aku begitu antusias untuk mengikuti dan selalu bertanya-tanya tentang beasiswa. Tapi nampaknya begitu sulit mendapat beasiswa bagi seorang mahasiswa baru. Ya sudahlah, Allah pasti punya rencana lain yang jauh lebih indah untukku. Pikirku, setiap kali rasa pesimis itu datang.

(11)

Dan Allah benar-benar menunjukkan rencana indahnya.  Akhir tahun 2010, Bu Ida−Guru Bimbingan dan Konselingku−menyarankan agar aku mengikuti PMDK Prestasi (USMI) di IPB. Awalnya aku menolak, sungguh aku tak punya uang satu rupiah pun. Bagaimana mungkin aku akan mendaftar? Uang pendaftaran dua ratus ribu rupiah aku dapat darimana? Tapi bu Ida terus meyakinkan aku, beliau berkata, “Hevi, berusahalah. Ibu yakin kamu pasti bisa. Ibu beri waktu 1 minggu untuk mengumpulkan uang. Kalau sampai 1 minggu masih belum dapat juga, datang temui Ibu”.  Akhirnya, dengan penuh semangat aku berusaha mencari dan mengumpulkan uang hingga tepat satu minggu setelah itu aku berhasil mengumpulkan Dua Ratus Ribu Rupiah.  Berkas-berkas pendaftaran pun dikirim.

Kamis, 4 Februari 2010. Jam pertama sekolah...

Ketika aku sedang berada di lapangan mengenakan kaos olahraga, tiba-tiba Bu Ida berjalan menuju lapangan dengan tampang kesal, sambil teriak "Mana Hevi !!! Mana...???"   Aku kebingungan, sungguh aku benar-benar bingung. dengan tampang tak berdosa aku balik bertanya, "Iya Bu, saya Hevi Bu, Kenapa Bu?" , "Mana temanmu yang lain?" Tanyanya lagi dengan tampang yang tak berubah. "Yang lain? Siapa Bu?" Aku kembali mengajukan pertanyaan. "Itu... Fikri, Deviana... sama siapa satunya yang daftar IPB itu?" , "Erna, Bu?", "Ya, panggil semua kesini" .

Dengan cepat aku segera berlari menuju tengah lapangan, tak lupa mengeluarkan jurus andalanku−teriak. Tak peduli semua mengumpat ke arahku. Setelah semua kumpul, kami berjalan ke tepi lapangan menemui Bu Ida. Dengan raut muka yang tetap tidak berubah, bu Ida berkata "Kalian ini bagaimana? Masa 1 pun tidak ada yang lolos PMDK IPB ??” 

Demi Allah, aku benar-benar ingin menagis. Dengan tampang frustasi , kami berempat terduduk lesu di tepi lapangan. Tiba-tiba Bu Ida berkata,"Kalian sih, tidak mau syukuran. Ayo lah syukuran di kantin sana !"  Dengan tampang bengong aku bertanya, "LHO? Maksudnya? Katanya tadi?

(12)

Bagaimana toh Bu?" . Bu Ida malah nyengir lebar menanggapi pertanyaanku. "Kalian Semua DITERIMA masuk IPB" 

Subhanallah, aku menangis. Sungguh aku menangis. "Oh..iya, kelihatannya salah satu dari kalian ada yang dapat beasiswa"   tambahnya, sebelum berlalu meninggalkan kami dalam kebingungan. Aku terduduk lesu di tepi lapangan, seketika semua teman-teman menghampiriku. Mereka memelukku. Usai olahraga, aku bergegas menuju Ruang BK mencari Bu Ida. Sepertinya Bu Ida tau maksud kedatanganku, beliau segera menyuruhku duduk di hadapannya dan menyerahkan MAP dari IPB kepadaku, Bu Ida menyuruhku membukanya. Di lampiran ke-3 (kalo tidak salah) ada lampiran Calon Penerima Beasiswa Bidik Misi. Allahu Akbar !!! 

 Alhamdulillah, meskipun hanya formulir Calon Penerima Beasiswa Bidik Misi, tapi aku sangat bersyukur. Kesempatan itu semakin terbuka lebar. Meski aku belum berani memberi kabar kepada Ibu bahwa aku telah mendaftar ke IPB. Aku akan memberitahukannya nanti, nanti setelah beasiswa itu benar-benar nyata di genggamanku.

 Aku segera mengurus surat-surat dan berkas-berkas yang diperlukan untuk persyaratan beasiswa itu. Menjelang H-2 deadline pengiriman formulir dan segala macam persyaratannya itu, semua sudah lengkap aku penuhi. Aku menyerahkannya pada pihak sekolah. Namun, ketika H-1 deadline pengiriman, aku mendapat telepon dari pihak sekolah bahwa berkas-berkasku hilang akibat kelalaian petugas sekolah.  Astaghfirullah, ingin sekali aku menangis dan berteriak marah. Jarak rumah dan sekolahku tidak bisa dibilang dekat, aku sendiri nge-kost   di rumah teman yang dekat sekolahku. Sore itu juga aku naik angkutan umum ke Desa tempat asalku. Yang pertama kali menjadi tujuanku adalah rumah Kepala Desa, tentu saja ingin meminta surat keterangan tidak mampu. Dua jam perjalanan ternyata masih kurang sebagai bagian dari perjuanganku, aku masih harus menunggu Kepala Desa yang ternyata sedang dalam perjalanan dari luar kota. Setelah 3 jam menunggu tak ada hasil, karena sudah lewat jam 9 malam juga, aku memutuskan untuk menginap di rumah salah satu temanku yang dekat

(13)

dengan rumah Kepala Desa itu. Esok paginya, setelah sholat shubuh aku langsung ke rumah Kepala Desa. Setelah itu aku bergegas mengurus berkas-berkas yang lain, karena pagi ini semuanya sudah harus dikirim ke IPB. Tetapi meski sudah berusaha semampuku, birokrasi yang begitu rumit membuat aku terlambat melakukan semuanya. Hampir jam 3 sore semua berkas-berkas baru bisa dipenuhi. Akhirnya, dengan mengharap keajaiban dari Allah−semoga tidak terlambat−menjelang malam berkas-berkas baru dikirim.

***

Perjuangan itu indah, kawan. Lihatlah buah perjuangan sederhana itu. Beberapa bulan setelah pengiriman formulir dan berkas-berkas itu, pengumuman pun datang membawa kabar gembira. Bidik Misi pun hadir sebagai jawaban atas rencana indah-Nya. Aku menjadi Mahasiswa, kawan. Mahasiswa. Sebuah label yang dulu sama sekali tidak berani aku bayangkan.

 Aku segera mengirim SMS kepada Ibu, ”Assalamualaikum. Ibu, saya mau kuliah. Saya mau kuliah di Bogor”.  Seketika itu Ibu langsung meneleponku. Memberondongku dengan kalimat-kalimat marahnya, “Waalaikumsalam. Nak, kenapa kamu tidak bisa mengerti kondisi Ibu. Kondisi kita. Keadaan keluarga kita. Ibu kan sudah bilang, Ibu tidak punya uang sepeserpun untuk biaya kuliahmu. Kenapa masih memaksa untuk kuliah juga? (aku sengaja membiarkan Ibu menegurku, memarahiku terlebih dulu. Sebelum aku menyampaikan kabar gembira itu) Ibu Mohon, Nak. Lebih baik kerja saja dul u”. Setelah Ibu berhenti, aku mulai berbicara, “Ibu, Ibu tahu kan aku bukan anak yang bisa melawan orangtua. Aku tahu sekali, aku sangat tahu keterbatasan kita. Bu, dengarkan aku ya, aku mendapat beasiswa. InsyaAllah Ibu bahkan tidak perlu mengirimkan uang satu rupiahpun untuk kuliahku. Alhamdulillah, Allah mendengar doaku. Doa kita, bu” . Aku pun menangis. Sama seperti seseorang di seberang telepon sana. Kami sama -sama menangis penuh rasa syukur.

(14)

***

Mahasiswa luar biasa itu pun memulai perjalanannya. Ya, aku menyebut diriku sebagai Mahasiswa Luar Biasa. Luar biasa berati tidak biasa, bukan?  Dan aku memang tidak biasa. Aku berbeda. Lihatlah, di dalam bus luar kota tujuan Bogor itu, ketika mahasiswa yang lain berangkat menuju Institut Pertanian Bogor ditemani orangtua yang duduk di samping mereka, mahasiswa luar biasa itu tengah duduk bersama orang asing di sampingnya. Dia berangkat sendiri, menyiapkan semuanya sendiri. Bahkan membawa 2 kopernya dengan tangannya sendiri.

Lihatlah, Mahasiswa Luar Biasa itu dengan keberaniannya datang ke tempat yang begitu asing baginya. Tempat yang dia yakini akan menjadikannya menjadi orang besar. Sebesar kekuatan dan keteguhan di dalam hatinya. Lihatlah, dia begitu percaya dengan janji-janji Tuhan-Nya, bahwa “ Setelah kesusahan, selalu ada kemudahan”

***

Kedatanganku ke Bogor yang hanya bermodalkan niat dan semangat sempat membuatku minder sendiri. Aku takut tidak bisa mengimbangi teman-temanku di asrama. Aku takut tidak cocok bergaul dengan orang yang „berbeda‟  denganku. Tapi, ketakutan-ketakutan itu justru berujung pada pengalaman-pengalaman yang besar. Pengalaman bertemu dan mengenal sosok-sosok yang mengagumkan.

 Aku yang baru menyadari bahwa aku diterima di Fakultas Kehutanan, merasa sedikit ganjil. Ya, aku sama sekali tidak tertarik dengan jurusan ini. Pilihan pertamaku adalah Arsitektur Lanskap, sesuai hobi menggambarku. Awal kuliah di kehutanan, aku sangat tidak menikmati. Ya Allah, bahkan aku tidak mengerti mata kuliah di jurusanku sendiri. Tapi, berjalannya waktu aku mengerti, aku memahami. Allah punya rencana besar di balik semua ini.

Juni 2011, sebuah pengalaman luar biasa itu di mulai. Berawal dari sebuah ajakan untuk menulis karya sederhana,

(15)

 paper . Yang kemudian dikirimkan dan diterima di sebuah event ICEEA 2011 (International Conference on Environmental Engineering and Applications)  di Shanghai, China. Dalam kelompok ini, perasaanku seringkali terlibat. Rasa minderku muncul lagi. Latar belakang yang berbeda benar-benar aku rasakan di sini. Registration author   yang memerlukan biaya ratusan dolar benar-benar memeras otakku. Ketiga temanku dapat dana dari keluarga mereka, sedangkan aku? Siapa keluargaku? Sementara pengajuan proposal belum bisa dilakukan sebelum proses registrasi ini selesai. Mondar-mandir ke sana ke mari tidak ada hasil. Berniat mendanuskan tenaga, tapi tidak ada tanggapan. Sementara deadline pembayaran semakin mepet. Berkali-kali aku berfikir ingin mengikhlaskan kesempatan ini, toh dari awal aku tak pernah punya impian untuk ke luar negeri. Tapi kata-kata seorang kakak yang menjadi pembimbing kami benar-benar menjadi beban buatku, “Kakak tidak merestui kalian  pergi, jika ada salah satu yang tidak berangkat karena faktor ekonomi”.  Sungguh, sejak saat itu malam-malamku dipenuhi air mata. Ingin sekali aku ungkapan segalanya pada sosok Ibu. Tapi itu mustahil.

Hingga hari-H itu datang, deadline registration author . Kembali Allah menunjukkan rencananya yang indah. Akhirnya, kami semua dapat membayar registration author yang totalnya 1600 dolar itu.

Tapi perjuangan tidak berhenti sampai di situ, kawan. Justru setelah pembayaran registration author itu perjuangan yang lebih berat baru saja di mulai. Lihatlah, mahasiswa luar biasa itu bersama teman-temannya berkumpul dan rapat setiap hari. Dari pagi sampai larut malam. Setiap hari. Selama hampir 2 bulan. Tanyakanlah, apa yang mereka lakukan selama itu?

Lihatlah, kawan. Dengan penuh semangat mereka mengumpulkan biaya keberangkatan. Mereka berjualan nasi kuning, kue, bunga, hingga parsel. Mereka tawarkan dagangannya dari satu rumah ke rumah lain. Mengetuk setiap

(16)

 pintu yang mereka lewati. Lihatlah, mereka tidak malu melakukannya.

Hasilnya?

Lihatlah, 18 Agustus 2011 mereka berhasil mewujudkan impiannya. Mereka berhasil menginjakkan kakinya di sebuah Negeri yang maju. Shanghai, China.

***

23 Agustus 2011, 00:10 WIB

 Aku kembali menginjakkan kakiku di Negeri ini, Indonesia. Begitu sampai di kamar kostku, aku segera tertidur dengan lelapnya. Sore harinya langsung berangkat ikut rombongan teman-teman untuk mudik ke Tuban, Jawa Timur. Sebenarnya, aku malas sekali untuk pulang ke kampung halaman. Bukan karena sudah nyaman di Bogor, sama sekali bukan. Tapi karena aku sama sekali tidak tahu harus ke mana  jika aku tiba di Tuban. Tidak ada rumah yang menjadi tujuanku. Tapi aku sudah terlanjur memesan tiket pulang.  Akhirnya aku pulang.

Setelah 17 jam lebih di perjalanan, aku sampai di Tuban. Tidak banyak yang berubah dari kota ini, hanya saja ada beberapa bangunan dan tempat wisata baru. Aku dijemput di dekat terminal bis oleh teman SMA-ku, kemudian istirahat sejenak di rumahnya. Kampungku masih jauh dari kota ini, harus naik angkutan umum kurang lebih satu jam, itupun kalau tidak macet. Jadi aku memutuskan untuk tidur siang dulu di rumah sahabat lamaku ini.

Menjelang sore hari, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku. Selama perjalanan, aku dilanda kegalauan yang luar biasa. Entahlah, aku juga tidak tahu apa sebabnya. Yang pasti, saat itu hanya satu yang tidak bisa lepas dari pikiranku : “Kemana aku menginjakkan kakiku set elah sampai? Ke rumah siapa?” . Tepat setelah adzan maghrib berkumandang, aku sampai di jalan setapak menuju rumah sepupu ibuku yang dulu aku pernah sempat tinggal di

(17)

sana. Di rumah itu, masih ada beberapa barangku yang tertinggal, jadi sekalian saja aku ke sana−pikirku.

 Aku masih ingat dengan jelas, saat itu masih bulan ramadhan, dan aku sedang berpuasa. Begitu aku menginjakkan kaki di rumah itu, tak satupun penghunianya menyapaku dengan ramah. Tentu saja aku tidak berani memasukkan koperku ke dalam, sehingga koper dan tas ranselku aku tinggal di depan pintu rumah. Melihat kondisiku yang begitu lelahnya, tak sedikitpun mereka menawarkan minuman. Ya Allah, aku belum berbuka puasa.  Aku benar-benar menahan air mataku agar tidak keluar.

Segera aku mencari warung terdekat untuk membeli minuman. Aku menghampiri sebuah warung minuman, yang dulu merupakan warung langganan di masa kecilku. Tetangga-tetanggaku kaget melihat kedatanganku. Banyak yang mengajakku berbincang tentang keadaanku selama di Bogor. Alhamdulillah, ada yang menawariku berbuka puasa, dan aku pun sholat di salah satu rumah mereka. Setelah itu, aku memberanikan diri membawa koper dan tas ranselku meuju rumah adik kelasku yang dulu sangat akrab denganku.  Aku menceritakan kondisiku saat itu, dia menawariku untuk

menginap di rumahnya selama aku liburan di sana. Aku tidak langsung menjawab „iya‟ , aku hanya mengucapkan terima kasih banyak atas tawarannya.

Saat itu aku benar-benar tidak bisa berhenti menangis.  Aku menangis dalam keheningan di sudut kamar adik kelasku

ini. Aku membuka facebook   dan langsung update status seperti ini :

“Sedih ga sih? Ketika mudik ga ada tempat yang bisa kita tuju?

Sakit ga sih? Ketika pulang ga ada tempat yang bisa menerima kita untuk sekedar duduk istirahat? Pengen balik ke bogor. Seenggaknya aku punya kamar kost di sana ” 

Dalam hitungan detik, banyak komentar   masuk secara bersamaan. Hingga saat itu, seseorang langsung

(18)

meneleponku. Teman SMP-ku, yang dulu pernah mengajakku tinggal di rumahnya. Rumahnya yang dulu seolah surga buatku. Bahkan hari itu kembali dia menelepon dan memintaku ke rumahnya setelah dia membaca statusku.

Lihatlah, kawan. Lebaran yang umumnya dinikmati setiap orang bersama keluarganya, justru dinikmati bersama keluarga orang lain. Hidup memang aneh. Oh tidak ! Ralat : Hidupk u  memang aneh. Aneh. Tidak biasa. Luar biasa.

***

Sehari setelah lebaran Idul Fitri  aku segera kembali ke Bogor. Meskipun sebenarnya masih ada waktu libur satu minggu lagi, tapi aku tak berminat melanjutkannya. Aku lebih memilih menghabiskan sisa liburanku di kamar kost-ku sambil mengerjakan Laporan Pertanggung-Jawaban ICEEA 2011.

Sebuah berita yang mengejutkan hadir di minggu terakhir bulan september. Tiba-tiba aku bersama dua orang temanku mendapat panggilan dari Humas IPB untuk wawancara. Katanya, kami sebagai mahasiswa Bidik Misi yang telah berhasil menorehkan prestasi di luar negeri. Prestasi? Ya Allah, apa yang harus aku katakan? Itu hal yang sangat biasa menurutku. Bukan apa-apa. Aku malu dengan kalimat itu, “menorehkan prestasi di luar negeri” ?

Beberapa hari setelah itu, hal yang lebih mengejutkan berkali-kali lipat itu hadir lagi. Namaku, bersama dua orang temanku itu terpampang di Web Direktorat Kemahasiswaan IPB  sebagai Mahasiswa Bidik Misi Berprestasi. Dan ternyata itu belum cukup, keesokan harinya tulisan yang sama termuat dalam Kompas.com  dan Web Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.

Ya Allah, ini anugerah atau musibah?  Aku bingung. Bingung sekali. Apalagi sebagai akibat dari tulisan-tulisan itu banyak sekali yang mengucapkan selamat melalui pesan facebook . Anehnya lagi, ucapan-ucapan itu sebagian besar datang dari mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi lain. Aku bingung, harus bagaimana

(19)

menanggapi pesan-pesan itu? karena kenyataannya sungguh  jauh berbeda dari berita yang tersebar itu.

Kawan, dengarlah. Aku tak sehebat apa yang ada di  pikiran kalian. Aku memang mahasiswa luar biasa, tapi

konotasinya sebagai mahasiswa yang memang bukan mahasiswa seperti kebanyakan mahasiswa lain. Aku bahkan tidak mengerti mata kuliah di jurusanku sendiri. Aku bahkan selalu mengantuk dan tidur di pojok kelas ketika dosen sedang memberi materi di depan. Aku bahkan sering bolos kuliah. Aku malu sekali.

Berita-berita itu memang terlalu berlebihan menurutku. Tapi seseorang meyakinkanku, bahwa aku tidak boleh merasa malu atas berita itu. Justru aku harus menjadikannya sebagai alasan kuat agar aku bisa lebih baik lagi. Lebih baik lagi, menjadi mahasiswa luar biasa yang benar-benar luar biasa. Luar biasa dalam konotasi yang benar-benar tidak biasa dalam hal ke-tidakbiasa-an yang baik.

***

Itulah kisahku. Kisah yang merupakan bagian dari  proses kehidupan. Mungkin di awal banyak bagian pahitnya.

Tapi aku percaya, bagian manisnya akan terasa di akhir. InsyaAllah.

Kepada Bapakku, ingin sekali aku katakan langsung di depannya :''Bapak, terimakasih banyak untuk semuanya. Karenamu aku bisa seperti sekarang. Mungkin tanpa keputusan dan tindakanmu dulu yang meninggalkan kami, aku tak akan bisa menjadi sekuat, setegar, dan seteguh sekarang. Terimakasih karena pernah begitu membuatku sakit hati. Mungkin memang itu caramu untuk mengajarkan kehidupan  padaku. Hingga aku bisa seluar biasa ini.” 

Sedangkan kepada Ibu, aku selalu berbicara padanya melalui hatiku. Yah, tentu saja. Karena ibuku selalu di hatiku. Setiap saat. Setiap waktu.

(20)

Kawan, dengarlah. Hidup ini terlalu indah untuk dilewati dengan berbagai macam keluhan. Hidup ini terlalu indah untuk dibiarkan tanpa dihiasi dengan sesuatu yang berkesan. Hidup ini terlalu indah untuk sekedar diagung-agungkan dengan impian-impian yang hanya dibiarkan tanpa  perwujudan.

Maka, bergeraklah !

Bergeraklah membuat suatu perubahan besar dalam hidupmu !

Bogor, 10 Desember 2011 Di tepi Sungai Cangkurawok, Balebak, Dramaga-Bogor

(21)

Juara 2

M.Mirwan Islamy

Pagi itu saya duduk di bangku pojok paling belakang, tepatnya di ruang laboratorium komputer SMAN 2 KS Cilegon. Saat itu adalah jam pelajaran kami belajar Web Design. Saya masih ingat sekali suasana ricuh saat itu, suasana yang mungkin tak akan saya temui lagi. Obrolan sana-sini seakan menyeruak masuk seluruhnya ke dalam gendang telinga ini. Tapi entahlah, setiap detik kejadian saat itu justru kini menjadi sesuatu yang paling indah dalam kehidupan saya, dan hal ini pula yang menjadi awal langkah saya menuju impian yang selama kurang lebih 18 tahun terpendam.

Saat itu, Bu Erwina (guru BK) tiba-tiba masuk ke dalam lab komputer. Beliau menyampaikan suatu informasi kepada kami. Awalnya saya tak tahu informasi apa yang akan beliau sampaikan, karena memang selama 3 tahun saya mengenyam pendidikan di „SMANDAKS‟, saya jarang sekali berinteraksi dengan guru-guru BK dan ruangannya itu. Beliau masuk dengan mimik wajah yang tak biasa dan membuat pikiran kami penuh tanda tanya. Entah mengapa tiba-tiba  jantung ini berdetak kencang, seakan ada hal besar yang akan

disampaikannya.

Saat itu beliau mengumumkan beberapa nama siswa yang lolos untuk mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Jalur Undangan. Mereka adalah siswa-siswi yang berhasil menduduki peringkat 75% tertinggi di kelas, mengingat sekolah ini adalah Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dari beberapa nama tersebut, disebutlah nama “Muhamad Mirwan Islamy” yang menduduki peringkat kedua di kelas. Subhanallah, senangnya hati ini mendengar kabar seperti itu.

Tapi ada satu hal yang tak bisa lepas dari pikiran saya saat itu, “Mana mungkin saya melanjutkan pendidikan sampai

(22)

ke perguruan tinggi?”   Bisa bersekolah di SMA saja sudah sangat bersyukur, terlebih melihat keadaan ekonomi keluarga yang tak memungkinkan. Abah sudah 15 tahun lalu meninggal, sementara emak hanya seorang Ibu Rumah Tangga yang setiap bulannya memperoleh dana pensiun almarhum abah sebesar 1 juta rupiah. Saudara kandung saya sudah banyak yang berkeluarga, mereka tinggal bersama keluarganya masing-masing. Hanya tinggal kang Ferry dan Teh Ntu di rumah.

Setiap harinya emak selalu berhutang ke warung untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Bahkan emak rela menghabiskan dana pensiun itu hanya untuk membayar tunggakan rumah sakit saat akang sedang sakit. Sementara, akang teteh yang lain hanya mampu membantu semampu mereka saja. Setiap kali emak mendapatkan dana pensiun, emak pasti langsung menggunakannya untuk membayar hutang-hutang tersebut. Seperti istilah „Gali lubang tutup lubang‟ . Entah sampai kapan keadaan ini akan terus berlangsung. Saya pun hingga kini belum bisa berbuat apa-apa untuk emak, hanya berjuang melalui prestasi terbaik yang mungkin bisa saya persembahkan untuk emak.

Semenjak pengumuman itu, rasanya pikiran ini tak mau berhenti berpikir mencari jalan agar saya bisa melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Mengingat dari 8 saudara, hanya ada 1 orang yang bisa melanjutkan kuliah, itupun setelah ia memiliki pekerjaan dan gajinya digunakan untuk membiayai kuliahnya sendiri. Sementara, kesempatan ini adalah satu-satunya peluang besar yang mungkin akan bisa meloloskan diri ini ke perguruan tinggi ternama. Karena memang tidak semua orang bisa meraih prestasi ini, dan hanya mereka yang berjuang keras yang pantas mendapatkannya. Sejak itu, saya tak hentinya berdoa kepada  Allah, semoga ada jalan keluar terbaik untuk semua ini.

Hingga keesokan harinya, Bu Erwina mendatangi ruang kelas saya di XII IPA 5. Saat itu sedang berlangsung kegiatan belajar mengajar bidang studi kimia. KBM pun sejenak terhenti. Ya, lagi-lagi beliau datang untuk menyampaikan informasi. Tapi informasi ini berbeda dari

(23)

biasanya. Beliau mengumumkan beberapa nama siswa-siswi yang berhak mengikuti SNMPTN Undangan melalui beasiswa Bidik Misi. Beasiswa yang khusus diperuntukkan bagi rakyat miskin berprestasi. Bagi yang namanya disebutkan, maka ia berhak mengikuti SNMPTN Undangan tanpa biaya sepeserpun dan jika lolos seleksi nantinya akan diberikan bantuan dana untuk biaya hidup selama menempuh kuliah 8 semester dan seluruh biaya akademik akan ditanggung oleh beasiswa bidik misi tersebut. Dan surprise, nama “Muhamad Mirwan Islamy” kembali terucap. Masyaallah, betapa senangnya saat itu. Rasanya seperti ada secercah harapan yang muncul dari setiap sudut kelas. Naufal (teman sebangku) menjabat tangan saya dan memberi ucapan “ Selamet ya wan, ini langkah besar yang bakal lo ambil, dan gue yakin lo pasti bisa dapetin PTN favorit lo wan!” . Rezika dan Lina (teman depan bangku) pun demikian, dengan guraunya mereka memberi candaan yang membuat saya semakin semangat dan yakin akan keberhasilan saya nanti. Saat itu pula saya diberi formulir bidik misi oleh bu Erwina. Saya segera mengisi formulir tersebut dan mengembalikannya kepada beliau.

Esoknya, saya mendatangi ruangan BK untuk mengetahui lebih lanjut mengenai prosedur program beasiswa bidik misi. Rasanya aneh sekali, sudah berapa lama saya tak menginjakkan kaki diruangan ini atau sudah berapa lama ruangan ini tak saya kunjungi. Tapi sudahlah, hal itu tak sangat penting untuk saya, yang sekarang harus dilakukan ialah memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai bidik misi. Lantas saya membuka buku panduan bidik misi, langsung saja saya baca seluruh prosedur-prosedurnya dan tak lupa saya lihat kuota bidik misi di masing-masing perguruan tinggi negeri. Bu Erwina pun menyarankan saya untuk segera daftar SNMPTN Undangan jalur bidik misi dan memilih satu PTN dengan maksimal 2 program studi yang bisa dipilih. Sebelumnya, Bu Erwina memberikan pin untuk melakukan registrasi tersebut.

Saat melakukan registrasi SNMPTN Undangan, entah apa yang terlintas dalam benak saya. Tiba -tiba saya terdorong dan termotivasi untuk memilih Institut Pertanian Bogor (IPB)

(24)

dengan program studi Teknik Mesin dan Biosistem. Tapi sepengetahuan saya saat itu, IPB adalah kampus rakyat dan sangat ternama di Indonesia. Dikenal baik oleh masyarakat dan masyhur dikata orang. Mengabdi pada Indonesia untuk memajukan sektor pertanian Indonesia. Memberikan kontribusi yang baik guna mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia.

Setelah itu, saya kembali pulang menuju rumah tercinta dengan senyuman termanis. Dengan senangnya, saya menyapa setiap warga disekitar rumah dan sekeliling kampung. Bersenda gurau dengan emak, kang Ferry dan teh Ntu. Mungkin hari itu adalah hari yang sangat berkesan bagi saya. Selama ini saya tak pernah beranggapan untuk bisa mengikuti seleksi SNMPTN seperti yang dibayangkan. Bagaimana tidak, untuk mengikuti seleksi reguler diperlukan biaya sedikitnya 150.000 rupiah. Uang sebesar itu darimana saya dapatkan, sementara saat itu lahan kantong mulai mengering dan sedang banyak kebutuhan-kebutuhan yang menurut saya jauh lebih penting guna menunjang prestasi akademik di sekolah.

Hingga akhirnya pengumuman seleksi SNMPTN Undangan pun tiba. Malam itu, seusai melaksanakan shalat isya‟, saya bergegas menuju warnet terdekat. Langsung saya buka web SNMPTN Undangan. Lagi-lagi nikmat itu datang. Saya dinyatakan lolos seleksi SNMPTN Undangan dan diterima di Institut Pertanian Bogor dengan program studi Teknik Mesin dan Biosistem. Tanpa pikir panjang saya bersujud untuk mensyukuri nikmat Allah yang besar ini. Dengan bangganya saya kembali kerumah dan memberikan kabar kepada emak, keluarga, dan tetangga sekitar bahwa saya diterima di IPB. Tak Cuma itu, saya juga lantas mengabarkan hal ini kepada teman-teman dan sahabat karib. Bahagianya saat itu laksana sedang tertimpa durian yang runtuh dari pohonnya. Sepertinya malam itu mata saya enggan terpejam untuk memandang senyuman emak dan keluarga. Terlebih emak seakan tak percaya, anaknya yang bungsu ini berhasil menembus impian keluarga untuk

(25)

melanjutkan perjalanan hidup ke jenjang yang lebih baik. Subhanallah.

Esoknya saya mendatangi sekolah dan bergegas menuju ruangan BK. Saya langsung mengabari hal tersebut kepada Bu Erwina. Namun sayang, Bu Erwina berkata bahwasannya saya memang diterima di IPB tapi bukan berarti saya otomatis mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut. Masih ada beberapa langkah lagi yang harus ditempuh untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Diantaranya ialah pengiriman berkas-berkas bidik misi dan seleksi wawancara yang akan dilakukan oleh pihak IPB.

Hingga hari itu tiba. Dengan penuh harapan, saya meminta doa dan restu dari emak. Pukul 01.00 dinihari saya dan kang Opik bertolak dari Serang, Banten menuju kampus IPB Dramaga Bogor. Namun sayang, tak ada bis yang menuju Bogor malam itu. Jangankan tujuan Bogor, tujuan Jakarta saja tak ada satupun yang muncul. Akhirnya dengan sangat terpaksa kami beristirahat di terminal Pakupatan Serang menunggu esok tiba. Pukul 04.30 pagi kami bangun dan bersiap menunggu bis Bogor, tapi masih saja tak bermunculan. Sementara keresahan saya saat itu tak bisa terpendam lagi. Bagaimana tidak, persyaratan registrasi saat itu diwajibkan hadir di gedung Graha Widya Wisuda IPB pada pukul 08.00 wib. Jujur, saat itu saya takut sekali nama saya akan di diskualifikasi, dan dianggap hangus. Sementara air mata mulai membendung disetiap kelopak mata. Kang opik dengan lembutya menenangkan diri ini. “Sabar wan, pasti nyampe kok ke Bogor mah paling cuma 3 jam-an” katanya. Tapi tetap saja hati ini dongkol, rasanya kesalahan saya juga kenapa tidak berangkat kemarin sore bersama Ulya teman 1 SMA. Akhirnya kami berangkat dengan bis tujuan Kampung Rambutan Jakarta. Tiba di Jakarta dan segera mencari bis tujuan Bogor, dalam hati saya berkata “  Alhamdulillah, akhirnya ada juga bis yang ke Bogor”.  Saat itu kami tiba di IPB pukul 11.00 wib. Telat 3 jam dari yang seharusnya. Tapi untungnya proses registrasi saat itu masih berlangsung dan saya masih bisa mengikutinya. Alhamdulillah ya Allah.

(26)

Saat itu akan diadakan seleksi wawancara bidik misi. Sekitar kurang lebih 900 calon mahasiswa pelamar beasiswa bidik misi dipisahkan dan digolongkan sesuai dengan fakultasnya masing-masing. Hingga wawancara selesai, saya menemuni kang Opik yang sudah lama menunggu di luar. Rupanya besok ia ada urusan penting dengan pekerjaannya di Serang, jadi hari itu juga dia harus kembali ke Serang. Sementara, saya tetap di Bogor dan bermalam di Asrama Banten untuk mengikuti stadium general di GWW esoknya, sekaligus akan diumumkan nama-nama calon mahasiswa yang lolos seleksi wawancara bidik misi.

Hingga tiba waktunya pengumuman, nama demi nama disebutkan di masing-masing fakultas. Tiap nama yang disebutkan maju ke depan meja panitia dan dipersilahkan untuk mengambil surat pemberitahuan diterima atau ditolak untuk mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut. “Dag dig dug dag dig dug dag dig dug”  rasanya jantung ini berdebar 100 kali lipat dari biasanya. Maka disebutlah nama saya pada saat itu, saya maju ke depan dan mengambil surat itu. Dan ternyata saya „DITOLAK‟. Entah apa yang membuat saya ditolak saat itu, tapi mungkin karena pelamar bidik misi yang begitu banyak sementara kuota hanya 500 orang saja.

Kecewa sekali saat mendengar berita itu. Air mata seakan tak bisa dibendung lagi. Seperti gunung meletus yang memuntahkan seluruh isinya. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Emak, kang Opik dan keluarga jika kabar itu sampai ditelinga mereka. Saya tidak mampu memberikan kabar saat itu. Sungguh kelamnya hari itu.

Dengan perasaan sedih dan kecewa saya bertolak kembali menuju kampung halaman. Di dalam bis, masih saja terasa linangan air mata ini menetes di pipi. Asa dan harapan yang dahulu menggebu-gebu kini sirna bak ditelan bumi. Entah pergi kemana mereka, saya tak tahu.

Tiba dirumah saya langsung masuk menuju kamar yang kecil itu. Emak lantas mendatangi saya dan bertanya “ Sudah belum registrasinya wan? Gimana beasiswa bidikmisinya dapet ga?”.  Rasanya saya tak sanggup

(27)

mengatakannya pada emak. Lagi-lagi air mata ini menetes dengan mudahnya saat melihat wajah tua itu. Wajah yang selama ini merawat dan membesarkan jiwa raga ini. Ya Allah, saya bingung sekali. Saya tak tahu harus berkata apa pada emak, saya takut emak dan keluarga kecewa akan berita ini. Saya terdiam dan lantas pergi keluar meninggalkan emak, emak pun kembali melakukan aktivitas sehari-harinya di dapur. Saya kembali ke kamar dan mengunci pintu kayu itu. Berniat menghabiskan seluruh air mata ini agar tak kembali mengalir. Galau sekali saat itu, laksana orang gila yang tak bisa berbuat dan berpikir apa-apa lagi. Terdengar suara pintu diketuk oleh kang Opik dan emak yang berada di balik pintu. Dengan sekuat hati saya buka pintu itu. Dengan penuh ketegaran hal itu terlontar dari lidah saya, “ Wawan ditolak mak, tapi katanya masih ada kesempatan untuk dapetin bidik misi lagi. Karena yang diterima baru 450 orang dan kuota ada 500 orang yang bakal dapet bidik misi. Doain aja ya mak, semoga W awan bisa dapet bidik misinya”. Tak kuat hati ini melihat wajah-wajah itu. Wajah yang tak sangat asing dalam hidup ini. “ Ya sudah, Wawan berdoa aja sama Allah semoga bisa dapetin beasiswanya. Kalau memang rejeki mah ga bakal kemana, W an!”   kata kang Opik. Terlihat wajah emak menunduk membelakangi wajahnya. Terlihat ada kekecewaan yang tampak di wajah wanita penyabar itu. Tapi akhirnya kejadian menyedihkan itu langsung lenyap begitu saja. Mereka kembali beraktivitas dan meninggalkan diri ini. Ya  Allah, besar sekali harapan saya untuk mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut. Seakan menjadi hal terbesar yang akan saya berikan untuk keluarga dirumah jika diterima nanti. Tapi sudahlah, mungkin bukan jalannya.

Tanggal 27 juni 2011 harus sudah berada di asrama putra TPB IPB. Saya tetap memaksakan diri berangkat menuju kampus IPB Dramaga tersebut, walau biaya yang dibayar baru 100.000 rupiah saja. Hanya berbekal uang 300.000 rupiah saja saat itu, kebetulan emak sedang dapat rejeki dari kerabatnya. Emak dengan sibuknya membantu mengemasi barang-barang yang akan saya bawa ke asrama. Tak tega rasanya pergi meninggalkan rumah, meninggalkan

(28)

emak dan keluarga, serta lingkungan Palas. Tapi ini satu-satunya jalan yang harus dilewati. Saat itu saya menumpang di mobil Yenni, teman satu SMA yang juga diterima di IPB di departemen Ilmu Komputer. Diantarnya saya hingga depan GWW.

Saya melakukan registrasi ulang guna melengkapi persyaratan akademik. Lagi, lagi dan lagi, air mata ini berlinang dengan derasnya. Tak kuat melawan perkataan salah seorang Dosen saat itu. Saya diminta untuk membayar biaya pendaftaran sebesar 6.580.000 rupiah, minimal saya harus bisa membayar setengah harga sebagai uang muka. Namun apa daya, saya tak punya uang sebanyak itu. Saudara pun tak sanggup membayarnya. Keluarga pun memutuskan kepada saya untuk mundur saja dari IPB. Tapi saat itu saya bertemu kak Reza Pahlevi, seorang Presiden mahasiswa IPB. Ia lantas menguatkan semangat saya untuk tetap bertahan di IPB dan berjuang. “ Sabar ya, masih ada kesempatan yang lain kok. Beasiswa lain juga masih banyak kok di IPB” ,  katanya. Kemudian Kak Reza mengantar saya menuju meja registrasi untuk bertemu dengan salah seorang dosen dari Fakultas Kedokteran Hewan. Lantas saya diminta oleh mereka untuk menandatangani kontrak perjanjian pelunasan biaya yang diundur hingga bulan Oktober mendatang. Sebelumnya saya meminta persetujuan keluarga dan mereka menyetujuinya. Segera saya hapus air mata, dan menandatangani kontrak perjanjian berwarna kuning itu. Saya lantas meninggalkan GWW menuju asrama dengan barang bawaan yang begitu beratnya.

Hari demi hari saya lewati di asrama. Hingga suatu hari saya mendapat sms dari BEM KM IPB yang menyatakan bahwa mereka masih mencari sekitar 15 orang untuk mendapat beasiswa bidik misi. Rupanya masih ada peluang untuk saya. Saya diminta untuk mengikuti wawancara di gedung rektorat IPB. Sampai suatu ketika saya diberitakan “DITERIMA” untuk mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut. Senang, gembira dan bahagia rasanya berbaur menjadi satu dalam benak ini. Tak tanggung-tanggung saya langsung mengabarkan hal itu pada Emak dan keluarga melalui telepon.

(29)

“Alhamdulillah W an, emak pasti seneng dengernya” , suara itu terdengar dari suara kang Opik di rumah. Pastinya emak pun akan sebahagia seperti apa yang saya pikirkan. Entah doa apa yang emak dan keluarga panjatkan. Saya tak tahu dan tak mau tahu. Nikmat ini datang dengan indahnya.

***

Ya Allah, terima kasih. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa mendapatkan beasiswa ini. Menempuh pendidikan dijenjang yang lebih tinggi bersama sahabat-sahabat baru. Dengan ini, setidaknya saya telah mempersembahkan hal terbaik yang saya berikan untuk Emak. Ya, mungkin juga hal ini adalah hal terbesar yang pernah saya berikan untuk Emak. Dan sekarang, tinggal bagaimana langkah saya selanjutnya menempuh pendidikan di IPB ini hingga tamat. Masih banyak hal yang harus saya lakukan untuk itu. Dan semoga saja apa yang saya cita-citakan dan apa yang emak harapkan bisa terwujud suatu saat nanti. Amiin. Sekali lagi, Terima Kasih saya ucapkan kepada Allah SWT dan Direktorat Kemahasiswaan IPB yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengenyam pendidikan di IPB ini. Semoga bisa menghasilkan sesuatu yang bermakna di kemudian kelak,  Amiin Yaa Robbal „Alamiin.

(30)

Juara 3

Yayat Nurhidayat Syahron

Sukaresmi, Januari 2011.

Menjadi mahasiswa ibarat menduduki kasta tertinggi dalam dunia pendidikan. Menjadi mahasiswa laksana menyandang status sosial yang dipandang lebih oleh masyarakat. Menjadi mahasiswa itu …

Mahasiswa? Benarkah se-bergengsi itu? Pertanyaan itu masih menggelitikku hingga saat ini. Masih ku ingat guru mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas dua belas dulu. Begitu semangat beliau menyampaikan kalimat-kalimat tersebut. Petuah yang membangkitkan gairah teman-teman sekelasku untuk menjadi seorang mahasiswa.

Di tengah gairah yang meluap di antara tiga puluh satu orang siswa di kelas tersebut, ada seorang siswa yang tertunduk dalam diam. Ia hanya menganggap kalimat-kalimat guru bahasa Indonesia itu sebagai angin lalu. Siswa itu adalah aku. Aku tenggelam di tengah luapan gairah teman-teman kelasku. Aku merasa terpencil.

Tahukah kau mengapa?

Masih ada ragu dalam benakku. Pantaskah aku, seorang yang berasal dari keluarga kurang mampu, berkhayal untuk menjadi seorang mahasiswa? Tidak! Ku jawab sendiri pertanyaan itu. Maka, ku tinggalkan semua khayalan. Ku tepis semua kalimat yang meluncur dari guru bahasa Indonesia itu.

Hari-hari berlalu. Aku masih tak tahu saat orang-orang menyebut kata mahasiswa. Hingga suatu ketika, Bu Nani, wali kelasku, seorang guru yang sangat disegani di sekolah memanggilku ke kantornya. “Bagaimana rencanamu setelah lulus sekolah nanti? Mau kuliah dimana?”. Pertanyaan itu,

Air Mata Itu Mengalir untuk

Kedua Kalinya

(31)

pertanyaan dari wali kelasku, adalah pertanyaan yang sedang ingin kuhindari saat itu. Namun aku tetap mencoba untuk menjawabnya. “Nggak, Bu. Sepertinya saya nggak akan kuliah dulu tahun ini. Saya mau mencari pekerjaan dulu, mau membantu orang tua.” 

“Loh, kok gitu?” , tanya bu Nani.

Ku jelaskan pada beliau, aku tak ingin membebani kedua orang tuaku. Dengan keterbatasan ekonomi, aku merasa tak yakin untuk melanjutkan ke dunia perkuliahan. Beliau hanya tersenyum.

“Tahukah Kau, Nak. Di zaman sekarang ini, hilangkan  pikiranmu yang semacam itu. Pendidikan tinggi bukan lagi

milik orang berada. Pendidikan tinggi sekarang adalah milik orang-orang yang mau bekerja keras. Ketahuilah, di luar sana akan ada banyak pihak yang menyediakan beasiswa  pendidikan tinggi untuk orang-orang yang kurang mampu.” 

Berhari-hari bu Nani terus meyakinkanku. Hingga keyakinan itu tumbuh perlahan bersama asaku untuk menjadi seorang mahasiswa. Dorongan dari teman-teman kelas semakin menumbuhkan keyakinan. Aku mulai yakin. Aku harus mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi.

Semakin hari, asaku semakin tumbuh. Suatu hari, temanku mengajakku menonton sebuah video tentang impian. Ya, video itu adalah kisah jejak-jejak Danang Ambar Prabowo. Video yang sangat menggugahku untuk menuliskan semua mimpi. Aku mulai menulis mimpi-mimpi itu. Di urutan pertama, kutuliskan mimpiku untuk lulus ujian dengan jujur. Kedua, target nilai ujian. Ketiga, aku harus kuliah! Keempat, harus memperoleh beasiswa kuliah. Dan mimpi-mimpiku yang lain.

***

Semakin ingin kita terhadap sesuatu, semakin Allah ingin tahu seberapa besar keinginan kita terhadap sesuatu itu.

Ibuku, ibu paling luar biasa se-dunia, sedang menjahit pakaiannya saat aku pulang dari sekolah. Setelah mengganti seragam, aku mencium tangannya. Sambil menonton acara

(32)

televisi, kubicarakan baik-baik rencanaku untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Besar harapku agar ibu mau menerimanya.

Namun, ibu hanya terdiam. Tak lama kemudian beliau menuju kamarnya, Di pintu kamar beliau berhenti sejenak. “Mau biaya dari mana? Buat bayar SPP kamu di SMA saja susah. Sekarang malah minta kuliah” . Hanya itu jawaban ibu. Simpel. Namun dapat kutangkap maknanya: jangan kuliah! 

Berhari-hari aku meyakinkan ibu. Namun ibu tetap tak bergeming. Aku sendiri merasa malu pada ibu. Saat itu, seperti ada orang lain dalam diriku. Aku yang biasanya selalu berkata “ya” kepada ibu, entah mengapa saat itu ingin kupaksa ibu berkata “ya” untukku. Aku terus memaksa. Terus mencoba.

Suatu hari, ibu sedang menonton acara televisi sambil menyelesaikan jahitan bajunya. Kucoba lagi untuk menjelaskan keinginanku pada wanita mulia ini. “Bu, saya ingin kuliah. Saya ingin menjadi sorang mahasiswa.” 

Ibu kembali terdiam. Saat itu, adalah saat yang tidak akan pernah ku lupakan dalam hidupku. Kau tahu mengapa? Ibu mulai angkat bicara. “ Yat, lihatlah kakak-kakakmu yang hanya tamatan SMA. Tahukah kau mengapa mereka merasa cukup menjadi seorang tamatan SMA? Mereka merasa cukup karena mereka sadar. Mereka sadar akan keadaan orang tuanya. Mereka sadar bahwa orang tuanya tidak mampu membiayai kuliah. Tidakkah kau melihat mereka?” 

Mata ibu mulai berkaca-kaca. Perlahan bongkahan kesedihan di ujung kelopak matanya mulai meleleh. Air matanya mengaliri pipi hingga jilbab yang beliau pakai. Aku tertunduk. Aku tahu, meskipun ibu terdiam, hatinya masih berbicara mengutukku. Mengutuk anaknya yang tak tahu diri.

Kawan, saat itu, adalah saat yang tak mungkin ku lupakan sampai kapanpun. Saat seorang keras kepala sepertiku membuat ibu menangis. Astaghfirullah. Maafkan aku ibu.

Beberapa hari aku merasa bimbang. Di sekolah, keinginanku untuk kuliah sangat menggebu. Namun saat di rumah, keinginan itu segera menguap. Aku mulai berpikir

(33)

untuk memasrahkan semuanya kepada Dzat Yang Maha Tahu. Hampir setiap sepertiga malam terakhir aku bangun. Satu baris doaku yang selalu kubaca:

“Yaa Rabb, tunjukkan dan berikanlah jalan terbaik untukku setelah aku lulus SMA.” 

***

Semakin hari, aku semakin yakin, dan semakin banyak orang yang meyakinkanku. Aku harus kuliah!

Suatu hari, guru BK memanggilku ke ruangannya. Beliau memberitahuku tentang prosedur SNMPTN jalur undangan dan informasi beasiswa Bidik Misi. Setelah mendengarkan penjelasan dari beliau, aku memutuskan untuk mengambil jatah SNMPTN jalur undangan. Aku pun berkonsultasi dengan guru BK tentang keadaan ekonomi keluarga. Akhirnya aku diusulkan pihak sekolah menjadi siswa pelamar Bidik Misi. Semua keputusan ini, keputusan untuk untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan, kuambil tanpa sepengatahuan ibu.

Beberapa hari setelah itu, aku mulai mengatakan semua keputusanku kepada ibu. Awalnya ada satu hal yang aku takutkan. Aku takut kejadian itu terulang kembali, kejadian saat ibu meneteskan airmatanya. Aku tak ingin itu terulang. Dengan ucapan bismillah, kumulai pembicaraan dengan ibu. Masih dengan topik yang sama. Setelah kujelaskan bahwa aku telah memutuskan untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan, aku masih merasakan ketakutan itu.

Kawan, ada yang berbeda saat itu. Meskipun renspon yang ditunjukan ibu masih sama: diam. Aku melihat diamnya kali ini mempunyai makna yang berbeda dengan diamnya ibu selama aku membicarakan keinginanku ini. Rasa takutku masih belum pergi. Ibu akhirnya angkat bicara. “Yat, keputusan ini telah Kau ambil. Apa boleh buat. Jika kamu merasa itu jalanmu, perjuangkanlah. Ibu dan bapakmu hanya bisa mendoakanmu. Orang tua akan mersa senang jika melhat anaknya senang” 

(34)

 Aneh. Rasa takutku mulai menguap perlahan. Benarkah yang dikatakan ibu itu? Yaa, Rabb. Meskipun kalimat ibu itu masih mengambang, setidaknya ibu memberikan isyarat positif. Alhamdulillah…

Hari penentuan itu tiba. Dua hari setelah aku dinyatakan lulus ujian nasional, aku lulus pula SNMPTN jalur undangan ke Institut Pertanian Bogor. Persyaratan kelengkapan berkas pendaftaran ulang dan pelamar Bidik Misi mulai aku persiapkan degan baik. Aku berangakat bersama kedua orangtuaku saat melakukan pendaftaran ulang. Setelah menemaniku melakukan pendaftaran ulang, ibu dan ayah pulang ke Cianjur, sementara aku masih harus mengikuti seleksi wawancara pelamar Bidik Misi. Keesokan harinya, pelamar bidik misi yang lolos seleksi berkas dan wawancara diumumkan.  Alhamdulillah. Aku menjadi salah satu dari lima ratus penerima beasiswa Bidik Misi.

Setibanya di rumah, langsung ku cium tangan kedua orang tuaku. Aku sampaikan kabar bahwa aku telah lolos seleksi sebagai penerima beasiswa bidik Misi. Kawan. Kau tahu apa yang terjadi? Mata yang sempat menagis itu berkaca lagi. Air mata itu mengalir untuk kedua kalinya. Namun aku menangkap rasa yang berbeda dari air mata ini. Air mata ini, rasanya lebih manis, Kawan. Ibu tak kuasa lagi menahan keharuannya. “Selamat, Nak. Kau telah memperjuangkan keinginanmu. Kini jadilah mahasiswa, jadilah mahasiswa yang berguna. Jangan jau sia-siakan semua karunia ini” 

***

Kawan, kata-kata itu akan selalu kuingat sampai kapanpun. Kini aku menjadi seorang mahasiswa. Tapi tentu, tujuanku menjadi seorang mahasiswa bukan untuk menduduki kasta tertinggi dunia pendidikan, bukan ingin menyandang status sosial yang dipandang lebih oleh masyarakat seperti yang dikatakan guru bahasa Indonesiaku. Aku ingin menjadi mahasiswa berguna. Aku ingin membuktikan kepada kedua

(35)

orang tuaku bahwa aku akan memperjuangkan semua mimpi-mimpiku.

Lewat tulisan ini, dengan segenap syukur ke hadirat-Nya, kusampaikan rsa terimaksih kepada kedua orang tuaku yang luar biasa, orang tua paling luar biasa se-dunia, kepada guru-guruku, kepada teman-teman motivatorku, dan kepada Bidik Misi, semoga apa yang telah kalian berikan dibalas durga oleh-Nya. Aamiin.

***

Kawan, itulah sepenggal kisahku bersama Bidik Misi. Semoga kisah ini bisa menginpirasi jiwa-jiwa yang masih ragu. “…karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan…” (Al-Insyiroh: 5,6)

(36)

Juara Harapan 1

Suwarti

Kutuliskan kisah ini dengan sebuah laptop tua yang dipinjamkan oleh seorang dosen pembimbing akademik di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ingin rasanya kuungkapkan sebuah kebahagiaan karena aku dapat melanjutkan kuliah dengan adanya bantuan dari Beasiswa Bidik Misi. Harapanku, teruntuk adik-adik kelas sang penerus bangsa yang memiliki nasib sepertiku dapat merasakan indahnya mengenyam bangku kuliah dengan adanya bantuan dari Beasiswa Bidik Misi.

Masa-masa kelas 3 SMA merupakan masa-masa rumit yang telah kujalani. Saat itu, terdapat 3 buah pilihan yang menghiasi benakku. Kuliah, kerja atau menjadi  pengangguran? Yang terpenting di sini adalah jangan sampai aku memilih pilihan ke-3, menjadi pengangguran adalah sebuah hal yang mendatangkan kemudharatan dan sedikit manfaatnya. Tuntutan dari keluarga yang mengurusku saat ini adalah setelah lulus SMA nanti, aku harus bekerja. Mengingat usia ayah yang telah lanjut dan kesulitan dalam mencari nafkah. Ayahku berprofesi sebagai pemulung gelas plastik, botol plastik dan kardus bekas kemasan air minum. Ibundaku tecinta wafat ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMA. Aku merupakan anak satu-satunya yang tak berkakak maupun beradik. Rasanya miris memang. Aku sedih melihat ayah mengurusku seorang diri. Kami tinggal di sebuah rumah yang beratapkan genting dengan tanpa langit-langit rumah. Lantainya pun hanya dilapisi karpet yang telah tersobek-sobek karena setiap hujan deras turun, rumah kami pasti kebanjiran. Rumah kami hanya memiliki dua ruangan. Satu ruang kamar, dan ruangan yang satu lagi adalah ruang keluarga yang merangkap menjadi dapur. Rumah kami pada awalnya terdiri dari empat ruangan. Dua ruangan harus menjadi korban

Bidik Misi Mengantarkanku untuk

Menjadi Seorang Dokter Hewan

(37)

keganasan tanah longsor yang terjadi ketika aku masih duduk di bangku kelas 4 SD. Hingga saat ini, dua ruangan itu pun masih belum dapat dibangun kembali karena kami sekeluarga tidak mempunyai biaya. Untuk bisa makan saja itu masih sudah beruntung. Belum lagi jika ayahku tidak mendapatkan uang, meminta kepada saudara terdekat atau pun memungut makanan dari tempat sampah adalah solusinya. Namun kini, ayahku telah wafat meninggalkanku seorang diri. Beliau wafat pada tanggal 30 Agustus 2011. Saat itu bertepatan dengan tanggal 30 Ramadhan 1432 H dimana semua umat Islam merayakan takbiran. Untung saja Idul Fitri tahun ini diundur sehari, sehingga tetangga-tetangga di sekitar rumahku dapat mengurusi proses pemakaman ayah.

Masih banyak kisah hidup keluarga kami yang cukup memilukan, namun kita harus optimis dengan adanya masa depan. Allah SWT menjanjikan : “Aku tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah nasibnya sendiri”. Aku pun optimis dengan adanya janji tersebut bahwa aku dapat menjadi seorang Dokter Hewan yang sukses. Dapat membanggakan keluarga, agama, bangsa dan negara serta almamaterku tercinta, Institut Pertanian Bogor.

Berawal dari pertemuanku dengan seorang sahabat yang merupakan pindahan dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dialah yang membuat aku harus berjanji padanya untuk meneruskan kuliah setelah lulus SMA nanti. Dia pindah ke sekolahku, SMA Negeri 6 Bogor pada saat kelas 3 SMA. Kedua orang tuanya dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku putus asa pada masa-masa awal kelas 3. Mengingat beberapa bulan lagi aku akan lulus dari bangku SMA dan mengabulkan keinginan keluargaku untuk bekerja. Aku bingung, pekerjaan apa yang dapat aku tekuni nanti. Mengingat lulusan SMA tidak memiliki softskil spesifik untuk bekal bekerja. Keputusasaan membuatku semakin terpuruk di awal kelas 3. Untung saja, aku berteman baik dengan murid baru itu. Kesehariannya membuatku bersemangat kembali untuk terus berjuang menuntut ilmu. Kedua orangtua sahabatku ini merupakan alumni IPB. Ayahnya adalah seorang insinyur pertanian dan ibunya merupakan alumni Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.

(38)

Keduanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kedua bidang yang berbeda. Aku takjub mendengar cerita-cerita dari sahabatku tentang kesuksesan karir kedua orang tuanya. Hal ini merupakan sebuah motivasi positif yang diterima oleh akal sehatku. Aku tertarik dengan profesi ibunya yang merupakan dokter hewan. Profesi yang cukup jarang ditemukan di masyarakat Indonesia. Meskipun beliau berkarir, namun kewajibannya sebagai ibu rumah tangga tidak terbengkalai. Beliau masih mampu mengurus keluarganya dikala kesibukan menghadang. Oleh karena itu, aku memilih Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor sebagai pijakanku setelah lulus SMA nanti.

Lagi-lagi masalah keuangan. Ketika USMI IPB datang ke sekolahku, aku mengalami sebuah keraguan. Ingin sekali aku mendaftar USMI, namun keuanganku saat ini tidak mendukung. Saat aku mengadu pada kakak almarhumah ibuku, beliau malah memarahiku dan tidak memperbolehkanku untuk mendaftar USMI. Aku pun tidak mungkin mengadu kepada ayahku. Mengingat saat itu ayahku sedang kesulitan uang. Aku pun menangis di hadapan sahabatku itu. Aku menceritakan semua yang sedang aku rasakan. Akhirnya, aku pun menemukan sebuah solusi yang cukup berisiko. Aku meminjam uang kepada organisasi yang sedang aku tekuni sebesar dua ratus ribu rupiah untuk membayar uang formulir USMI. Aku berani mengambil risiko karena aku masih mempunyai uang beasiswa Sampoerna Foundation yang masih belum turun ketika bulan itu. Beasiswa tersebut hanya dapat membiayai studiku sampai lulus SMA. Dengan semangat aku mengisi formulir dan mengurus berkas-berkasnya, hingga pada akhirnya ayahku pun bersedia untuk menanda tangani formulir tersebut. Aku melihat wajahnya yang penuh dengan kekhawatiran dan kebimbangan. Namun, akhirnya aku berhasil meyakinkan beliau untuk terus optimis dan tidak putus asa dengan biaya kuliah yang nanti harus dibayar. Aku mengetahui bahwa IPB menawarkan banyak beasiswa yang tentunya dengan izin Allah dapat membantuku. Selain itu, aku pun mencoba searching  beasiswa di internet. Uang saku yang kumiliki aku tabung untuk membayar sewa

(39)

warnet hingga akhirnya aku mengetahui bahwa pemerintah memiliki program Beasiswa Bidik Misi.

 Aku mengetahui bahwa Beasiswa Bidik Misi ini adalah beasiswa untuk mahasiswa angkatan 2010 yang miskin namun memiliki prestasi. Beasiswa ini tersebar luas di seluruh perguruan tinggi negeri se-Indonesia. Aku pun bersemangat membaca berita ini dengan harapan IPB memberikan kursi untukku. Kursi untuk aku menimba ilmu dan kursi untuk mendapatkan beasiswa Bidik Misi. Setiap hari aku berdoa dan berusaha selama menunggu pengumuman hasil USMI yang selama ini sangat dinanti-nanti. Alhasil, namaku tercantum dalam sebuah  print out  yang tergeletak di atas meja seorang guru Bimbingan konseling.

Disitu tercantum :

Nama NIM Mayor Biaya

Suwarti B04100042 Kedokteran Hewan Rp

0,-Melihat print out  tersebut aku pun senang tiada terkira.  Alhamdulillahi rabbil „alamin janji Allah memang nyata. Aku bersyukur melihatnya. Berita ini aku sampaikan kepada keluargaku. Ayahku bukan main berbinar-binar wajahnya.  Apalagi kakak almarhumah ibuku yang menangis melihat cahaya kegembiraan yang aku pancarkan. Sahabatku pun tersenyum gembira melihat aku bahagia. Ternyata, beasiswa Bidik Misi lah yang membayar biaya kuliahku. Ingin rasanya aku menghadap rektor ataupun pihak yang terkait yang telah membantuku, mewujudkan mimpi seorang anak pemulung yang ingin kuliah. Aku ingin berterima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada mereka. Terutama pemerintah, pejabat yang telah mencetuskan ide program beasiswa Bidik Misi. Semoga Allah SWT memberikan kepada kalian balasan yang setimpal dan pahala yang tiada putusnya.

Pertama kali melihat kampus IPB Darmaga, hatiku berdebar kencang. Aku tidak percaya bisa menginjakan kakiku di kampus rakyat yang tercinta ini. Meskipun aku warga Bogor, namun aku hanya bisa menatap kampus IPB Baranang siang, kampus IPB Gunung Gede dan kampus IPB Taman Kencana.  Aku pun bergumam dalam hati “Akhirnya, aku dapat menimba

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel 2 dapat diambil kesimpulan bahwa variabel purchasing intention memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi yaitu 3,89, consumer perception dengan 3,81, brand image

Hal tersebut dikarenakan model ini hanya menyimpan data terakhir, ramalan terakhir dan konstan pemulusan (α). Model ini menggunakan persentase α tertentu dari

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi

I III-b PENYULUH NARKOBA AHLI PERTAMA SIE PENCEGAHAN BIDANG PENCEGAHAN DAN DAYAMAS BNNP SULAWESI TENGGARA. BNNP SULAWESI

Dataran tinggi Dieng dengan obyek wisata yang berada di sekitar kawah-kawah aktif dengan Aksesabilitas, Amenitas dan atraksi berada di kawasan vulkanis serta lereng- lereng,merupakan

Karena ini terkait dengan beberapa indikator yang digunakan dalam DBH Sawit, maka data dan formulasi yang digunakan harus terbuka ke publik sehingga pengawasan publik menjadi kuat

Landak Kasir 137 Pelik Wahyu Saputra Gumantar Dsn.Aur Sampuk RT 04 RW 01 Ds.Aur Sampuk Kec.Sengah Temila Kab.Landak Kasir 138 Oktavianus Bernardus A.Md,Kesling Dsn.Empiyang

Penyusunan laporan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Teknik Informatika S-1 pada Fakultas Teknik Universitas