• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Masuk IP Ternyata ukan Hanya Mimpi”

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 111-120)

ku bangun melonjak pergi meninggalkanku, “Astagfirullah, fikiranku terlalu jauh menerawang”. Dengan cepat kembali aku terbangun dari lamunan. Itulah yang kadang aku lakukan saat  jenuh di kelas. Pernah juga ibu guru menanyakan cita-cita kami sekelas, semuanya menjawab berbeda-beda, ada yang ingin menjadi dokter, ketua MPR, ketua DPR, guru, president, bekerja di perusahaan asing, dan lain-lain. Aku sendiri dengan lantang menyebutkan cita-citaku adalah ingin menjadi seorang pengusaha. Pengusaha adalah orang yang bekerja mandiri, tidak terpaku pada peraturan kantor. Seorang pengusaha sudah pasti orang yang kaya, orang yang pintar, selalu pakai  jas rapi, banyak teman, dan pekerjaannya gampang. Itulah isi

otakku saat itu.

 Aku bukan pasrah dengan keadaan dan bukan pula aku menyerah dengan nasib. Tetapi karena pertimbangan yang aku fikirkan terlalu mendalam. Saat itu aku berfikir sangat tidak mungkin bagiku merasakan manisnya bangku kuliah. Lagi-lagi semua itu masalah biaya. Mari sahabatku dengarkan cerita dan kisah keluargaku yang damai dalam perjuangan ini hingga kau akan tahu arti perjuangan dalam hidupku.

 Aku tinggal di desa kecil yang disebut desa Ladanghutan. Desa ini terletak di antara pegunungan di daerah Bukittinggi, Sumatera Barat. Desa yang indah, damai dan masih kental dengan kemasyarakatan dan kegotongroyongannya. Desaku terletak di antara gunung dan lembah. Ketika pagi hari, saat embun masih menutupi pucuk pinus di pegunungan yang mengapit desa itu, para petani lalu lalang di jalanan, yang kerap kali aku temui di perjalanan menuju sekolah. Tegur sapa dan lempar senyum yang tidak pernah aku dapati dimanapun selain di desaku dan tidak akan pernah bisa aku lupakan selalu kutemui setiap pagi tatkala aku berangkat sekolah. Sepanjang jalan dari rumahku ke sekolah semasa SMA yang kutempuhi sejauh 5 km dengan jalan kaki banyak sekali kutemui petani yang baru beranjak dari rumah mereka menuju sawah dan ladang. Jalan penuh dengan orang-orang rajin yang sedang menuju tempat kerja mereka masing-masing. Jalan yang aku tempuh semasa SMA ini

belum seberapa jika dibandingkan dengan perjalananku semasa SD. Jalanku meunuju sekolah waktu itu sungguh menguji kesabaran dan kegigihanku.. Aku masih ingat tatkala pagi hari embun belum hilang dari pematang sawah dan kaki petani belum dibasahi oleh dinginnya air sawah, aku dan kakakku sudah lebih dulu menyapu embun pematang sawah menuju sekolah kami. Pagi buta, saat matahari belum menampakkan diri, aku dan 3 kakakku yang lain berjalan menelusuri pematang sawah. Jarak yang kutempuh menuju sekolah saat itu lebih kurang 15 km. walaupun jalan yang kami tempuh jauh namun semuanya terasa mudah dan indah ketika kami jalani dengan ikhlas dan penuh kesabaran. Memang tidak jarang aku terlambat sampai di sekolah, bahkan bisa dikatakan hampir selalu, wajar dengan perjalanan ini dan tanpa kendaraan apapun. Keadaan seperti ini hanya ada padaku dan kakak-kakakku. Sedangkan untuk siswa lain tempat tinggal mereka tidak terlalu jauh dengan sekolah, toh walaupun jauh mereka bisa mengguanakan motor. Aku? Boro-boro motor, uang jajan saja bisa dikatakan tidak pernah di beri oleh orangtuaku. Begitulah keadaan keluarga kami saat itu.

Dengan modal keyakinan dan perjuangan yang ikhlas, akhirnya aku berhasil menyelesaikan sekolahku di sana tentu saja dengan hasil yang membanggakan. Aku merasa senang sekali. Aku telah merasakan manisnya hasil perjungan itu. Namun, kebahagianku hilang saat salah satu dari kakakku harus berhenti sekolah. Kami tidak punya biaya jika harus menanggung beban semuanya. Ayahku akhirnya memutuskan di antara kami harus ada yang berhenti sekolah. Akhirnya kakakku yang perempuan mengalah. Saat itu aku dan kakakku satu tingkat. Sehingga biaya yang dibutuhkan besar karena kami tamat dalam waktu bersamaan. Mungkin karena Tuhan Yang Maha Kuasa menganugrahkan aku kepintaran yang sedikit lebih di atas dari mereka sehingga walaupun aku anak yang paling bungsu aku dapat menyamai mereka. Dengan berhentinya kakakku dari sekolah menjadi cambuk bagiku bahwa aku harus membayar semua pengunduran itu dengan prestasiku. Di SLTP, dengan semangat dan usaha gigihku, aku mendapatkan nilai yang bagus dan

membanggakan ayah dan ibuku. Dari kelas satu hingga kelas 3 SLTP aku selalu menggaet   minimal ranking 4 umum. Aku yakin semua ini tidak terlepas dari doa dan dorongan yang diberikan oleh orang tuaku. Aku sangat bersyukur sekali walaupun dengan keterbatasan yang aku miliki aku tetap dapat meraih peringkat. Jika teman-temanku setelah pulang sekolah dapat belajar dengan tenang, maka ketika aku pulang sekolah, kambing-kambing ku sudah menunggu untuk di carikan rumput. Ya, setiap pulang sekolah aku selalu mencarikan rumput untuk makanan kambing. Biasanya aku mencarinya ketika agak sore. Andaikan ketika malam teman-temanku yang lain dapat belajar dengan tenang tentang apa yang harus di pelajari besok di sekolah, maka saat malam aku selali disibukkan oleh kedatangan anak tetangga yang telah menungguku di rumah sebelum aku kembali dari kali selesai mandi setelah mencari rumput kambing. Dari SLTP aku terbiasa mengajar anak tetangga. Biasanya anak-anak tingkat sekolah dasar. Ketika sehabis magrib, mereka datang kerumahku untuk belajar. Sebagai tetangga ya, itu adalah hal yang biasa. Aku sendiripun senang bisa mengajari mereka. Tentu saja gratis, ya hitung-hitung menambah amal. Setelah mereka selesai, biasanya jam Sembilan malam barulah aku dapat belajar. Jika teman-temanku yang lain dapat menikmati terang dan nyamannya belajar dengan lampu listrik maka aku hanya ditemani lampu minyak yang kobarnya melambai lunglai seolah telah lelah menemaniku setiap hari dari sore hingga tengah malam. Tapi, walaupun api lampu itu lunglai seolah akan padam, hatiku tetap menyala. Mungkin dengan semua keterbatasan ini aku menjadi lebih menghargai waktu.  Aku merasa hal-hal kecil semestinya dimanfaatkan sebaik

mungkin karena akan menjadi hal yang besar. Apalagi dorongan yang keluargaku berikan tiada taranya. Ayahku yang selalu memberiku semangat. Ibuku yang selalu menasehatiku tatkala aku salah dan mengobarkan api dalam dadaku saat mulai redup dan selalu membangunkanku dan menyalakan lampu minyak untukku tatkala subuh datang semua itu benar-benar telah membakar semangatku. Ingin segera aku keluar dari kegelapan ini. Ingin segera menyelesaikan ketidak

nyamanan ini. Hanya dengan satu cara jalani dan hadapi. Mungkin ini arti kata-kata yang baru-baru ini aku dengar dari para aktifis kampus ini, “P ejuang itu tidak lahir dalam keadaan yang aman dan nyaman, akan tetapi lahir pada saat keadaan yang darurat”. Ternyata aku telah membuktikan kebenaran kata-kata ini bahkan sebelum aku menemukannya. Saat keadaan darurat dan menuntut kreativitas kita saat itulah otak kita dan semangat kita mulai menyala.

Mengenai tentang jajanku, aku tahu dan sadar dengan keadaan orangtuaku yang hanya bergantung pada hasil perkebunan pisang. Tiap minggu kami hanya bisa panen 3-4 tandan dengan harga satu tandannya Rp.25000. Tidak mungkin aku menambah beban mereka dengan minta jajan rutin tiap minggunya. Saat itulah pikiranku mulai berjalan dan berputar. Untuk memenuhi jajan aku berjualan kue-kuean di sekolah. Dengan hasil penjualan itu aku dapat jajan seperi anak-anak yang lain.

Tidak jauh dengan masa SMP kondisiku pun sama dengan SMA. keluargaku makin terpuruk dalam kesusahan. Semakin hari biaya yang kami keluarkan selau bertambah. Tapi pada saat itu yang tidak kami mengerti walaupun susah  Alhamdulillah bisa terpenuhi, pasti selalu ada jalan untuk

membayar SPP yang menunggak dan pasti selalu ada jalan untuk membayar hutang-hutang lain ke sekolah. Dengan melihat keadaan ini, jangankan bercita-cita untuk kuliah pemikiran untuk keliah saja telah aku urungkan. Aku sudah memutuskan akan menjadi seperti ayahku. Petani yang baik, ulet, sabar, dan bertanggung jawab kepada keluarganya dan yang terpenting lagi memberikan rezeki yang halal untuk keluarganya. Namun demikian, ayahku tidak pernah mematahkan semangatku untuk kuliah. Beliau selalu memberikan semangat kepadaku untuk melanjutkan kuliah. Walaupun aku tahu itu tidak mungkin tetapi cukup bagiku untuk menghibur. Aku masih ingat ketika setiap sehabis shalat magrib ayahku bercerita tentang orang-orang yang berkerja di perminyakan caltex ( di Duri, Sumatera). Beliau mengatakan bahwa orang-orang yang berkerja di sana adalah orang-orang yang pintar. Gaji yang akan di dapatkan di sana besar-besar.

 Aku disuruh untuk bekerja di sana. Kalau mau kuliah, kuliahnya di Intsitut Teknologi Bandung. Katanya orang-orang yang bekerja di sana banyak yang berasal dari lulusan dari sana. Berkali-kali beliau meyakinkan aku kalau aku pasti bisa. Kadang aku tersenyum sendiri dengan angan ayahku terlalu tinggi, kadang aku malu, aku yang masih muda yang punya  jalan yang masih panjang kalah dengan semangat beliau,

beliau memiliki cita-cita yang lebih tinggi dariku. Bahkan aku sendiri tidak sesemangat beliau menatap masa depan. Tapi, sepesimis apapun aku, karena beliau selalu mengulang-ulang perkataan beliau hampir setiap hari membuat semangatku menyala. Walaupun aku tidak tahu harus jalan yang mana aku tempuh meunuju ke sana, setidaknya aku sudah punya niat untuk menujunya.

 Akhir-akhir masa SMA, hatiku tambah murung. Keinginanku untuk kuliah semakin kuat. Aku sudah mencoba untuk menguburnya akan tetapi ayahku selalu mengobarkan api itu sehingga aku tak sanggup lagi untuk memadamkannya. Di saat kegundahan itu, aku dipanggil oleh salah satu guruku. Guruku yang tahu akan keadaan keluargaku. Beliau menyarankan agar aku tetap kuliah. Beliau juga mengatakan tentang tata cara masuk kuliah tanpa test, yang kita sebut saat ini dengan PMDK. Lalu beliau mentodorkan kepadaku sebuah formluir. Walaupun dengan harapan hampa, aku tetap mengisi formulir pendaftaran itu. aku isi seadanya dan sesuai dengan minat dan keadaanku. Aku lengkapi semua persyarataaan lain dengan serius. Ayah dan Ibuku berharap aku dapat tembus.  Aku sendiri malah berfikir jika aku tembus bagaimana lagi

mereka akan mencarikan uang kuliah untukku. “Ayah, Ibu, cukuplah aku jadi petani. Aku akan menjadi petani yang baik seperti kalian. Aku yakin aku juga bisa membuat kalian bahagia dengan menjadi seorang petani. Ya tuhan, engkau yang maha tahu, maha besar, maha kuasa, jika kau takdirkan aku menjadi petani maka jadikanlah aku seorang petani yang baik, dan jika kau izinkan aku jadi yang lain maka jadikanlah aku yang baik juga, hari ini kuserahkan semuanya padamu”. Sebenarnya akupun tidak berharap banyak dengan hasil seleksi itu. aku merasa sangat tidak yakin jika harus

bertarungg dengan ribuan bahkan puluhan ribu orang seluruh Indonesia untuk tembus di sana. Namun, bukan berarti optimisku hilang.

Sungguh tak kusangka ternyata Allah maha adil dan maha penyayang. Tidak bisa aku percaya saat surat dari IPB datang ke sekolahku di tengah-tengah kepasarahanku, di sana di sebutkan aku diterima sebagai mahasiswa IPB angkatan 47. Rasa syukurku sudah tak bisa aku ungkapkan lagi, apalagi ketika aku juga membaca surat keterangan bebasa biaya kuliah bahkan di bserikan uang saku. Rasa syukurku benar-benar sudah tidak bisa aku ungkapkan lagi.  Api semangatku untuk kuliah yang selama ini sudah redup kini kembali menyala seolah seperti api yang sedang menyala pada matahari. Kabahagiaan menyelimuti keluarga kami. Fikiran kolotku akan ketdakadilanNya aku buang jauh-jauh.  Aku tersadar selama ini aku telah meragukan keuasaNya. Saat harapanku mulai hilang Dia malah memberikanku berjuta pintu untuk kumasauki menuju sebuah apa yang selama ini aku anggap sebgai mimpi belaka. Masuk IPB bukan hanya mimpi, aku anak petani dan aku bisa kuliah. Ya Allah terima kasih. Sujudku hanya padamu, kau tahu yang terbaik untukku. Terima kasih juga kepada IPB dengan bea siswa ini aku dapat melanjutkan kuliah. Aku dapat melanjutkan cita-citaku yang pernah ku kubur sendiri. Terima kasih kepada bidik misi atas bantuan dana ini. Tak banyak yang dapat aku katan. Mungkin aku hanya salah satu dari sekian juta orang di Indonesia yang beruntung dan masih banyak di luar sana yang meiliki nasib dan kondisi sama bahkan lebih dariku. Semoga dengan program ini benar-benar dapat mencapai tujuannya yaitu memutuskan rantai kemiskinan. Mungkin tanpa ada keringan ini, sangat mustahil sekali bagimu dapat merasakan menempuh pendidikan di sini. Tapi, dengan rahmatNya melalui bea siswa bidik misi ini aku aku merasakan mimpi yang tidak pernah aku berfikir akan menggapainya ternayat benar-benar nyata.

Untuk sahabatku, jangan pernah menyerah dengan keadaan. Jangan pernah menyalahkan takdir. Keadaan selalu membimbing kita pada sebuah proses pematangan.

Sahabat..Tetaplah tenang dalam menjalani hidup setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Hiburlah hatimu dengan mengatakan, "hidup adalah anugrah terindah yang aku miliki". Jangan pernah kamu menuduh bahwa kehidupan tidak pernah adil karena keadilan dimata tuhan berbeda dengan apa yang disebut adil oleh manusia, keadilan dimata manusia biasanya hanya sebatas materi tetapi keadilan dimata Allah SWT adalah sesuatu yg tidak pernah bisa kita mengerti. Sungguh..Allah telah memberi setiap manusia akal, fikiran dan hati agar kamu bisa merasakan betapa kasih sayang sang pencipta tidak pernah pudar, dan pupus terhempas oleh masa semoga kita semua bisa menjadi hamba yang selalu bersyukur atas segala nikmatnya. Ingatlah.."Bukan beban kehidupan yang memberati dan menyedihkan hatimu, tapi caramu memikulnya." Sahabat..Jika kamu ingin hidup ini indah  jalanilah hari-harimu dengan keberanian kepada segala hal yg menghamabat potensi dirimu sehingga kamu bisa menjadi orang yang kuat dan selalu percaya diri menghadapi ritme kehidupan yang kadang-kadang mengalun lembut, dan kadang-kadang mengalun keras hingga memekakkan telinga. Jangan pernah mengeluh selagi kita dikaruniai akal dan fisik yg sehat. Tetap optimis, untuk menghadapi masa depan. Kata Pak Mario Teguh, "Bukan besarnya masalah yang membekukanmu, tapi kecilnya keberanianmu".  Sahabatku, hidup adalah anugrah terindah dari Allah SWTcoba bayangkan jika jantung tak lagi berdetak mata tak lagi berkedip dan akal tak lagi bisa menunjukkan fungsinya, apa yang akan terjadi? "Kematian" itulah yang akan terjadi sahabatku, mari kita semua bersyukur atas anugrah hidup yang Allah Berikan sekecil apapun itu, dengan selalu berbuat baik, berdamai dengan semua umat manusia, dan menjaga lidah kita agar tidak membahayakan diri kita sendiri. Ketika musibah selalu menghentammu bertubi-tubi ingatlah selalu kata-kata berikut ini sahabatku,

“Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa langit itu selalu biru, bunga selalu mekar ,dan mentari selalu bersinar, tapi Dia selalu memberi pelangi di setiap badai, senyum di setiap air mata, berkah di setiap cobaan, dan jawaban di

setiap doa. Jangan pernah menyerah sahabatku karena sesungguhnya Allah SWT adalah perancang sekenario yang terbaik dan terindah". Salam semangat !!!

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 111-120)