• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengubah Nasib Anak Negeri

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 42-52)

takkan penuh. Kutukar tetesan peluhnya dengan kedamaian meski takkan pernah terganti. Kan kuusap dahinya dengan ketentraman disaat aku dan anak-anaknya telah tumbuh menjadi manusia sesungguhnya. Aku masih berharap kebaikan Allah untuk dapat mengizinkan aku membayar itu semua suatu saat nanti.

Kubuka kisahku dengan perjalananku sebagai pelajar pemburu beasiswa. Sejak duduk di bangku Taman Kanak-kanak, aku tergolong anak yang berprestasi. Untuk itu saat menginjak bangku SD, pemilik Yayasan Taman Kanak-kanak tersebut memutuskan untuk memberiku tunjangan pendidikan SD dan membiayaiku hingga lulus. Sebuah sekolah dasar berbasis islam, Sekolah Dasar Islam Al Falaah yang saat itu menjadi awal kendaraan ilmu yang siap mengantarkanku menuju samudera peradaban.

Beralih menuju Sekolah Menengah Pertama, tunjangan itu dilepas. Ibuku yang saat itu masih setia mengiringi langkahku bingung akan kelanjutan studiku mengingat penghasilan Ayah yang memang sangat tidak cukup untuk menyekolahkan aku dan semua saudaraku sekaligus. Terlebih sejak saat itu memang biaya sekolah terkenal sangatlah mahal. Namun, tangan Allah memang tidak pernah berhenti menaburkan rahmat dan rezeki untuk para hamba-Nya. Saat aku dinyatakan telah diterima di sebuah sekolah berbasis negeri, Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 kota Bekasi, Ibu mendampingiku untuk mencari info tunjangan di sekolah itu. Dan benar saja, dengan hanya bermodalkan rapor SD usang dan sertifikat dengan predikat NEM terbaik di sekolahku, lagi-lagi aku mendapat biaya tunjangan hingga dibebaskan dari seluruh iuran hingga aku lulus.

Di akhir pendidikan inilah, ujian terberat bahwa orang yang selama ini mendampingiku menjalani terjal kehidupan harus meninggalkan aku lebih cepat. Ialah Ibuku. Sempat terpikir olehku untuk tidak melanjutkan pendidikanku ke  jenjang SMA. Namun pikirku saat itu, adik-adikku masih kecil.

Separuh kebahagiaan mereka telah menghilang dari warna-warni keseharian kami. Aku masih punya banyak waktu untuk

membahagiakan mereka di masa yang akan datang. Aku tak mungkin tega membiarkan mereka hidup kekurangan suatu saat nanti, padahal sebenarnya aku dapat berbuat lebih untuk membahagiakan mereka. Aku hanya bisa melakukannya jika aku telah menjadi seorang yang sukses. Untuk itu, perjuanganku harus dilanjutkan. Berbekal niat, tekad, dan ikhtiar seraya tetap bersandar pada goresan takdir Illahi, aku mendaftar di sebuah sekolah menengah atas negeri, SMA Negeri 6 kota Bekasi. Dengan tegas Ayah menekankan bahwa beliau tidak bisa membiayai sama sekali karena tanggung  jawab pada pendidikan keempat adikku, namun aku tak putus

asa.

Usai diterima, aku bersekolah seperti anak lain pada umumnya. Hingga tiba sembilan bulan setelahnya, pihak Tata Usaha memanggilku karena tunggakan biaya. Di sebuah ruangan ber-AC yang kutahu itu adalah ruangan orang nomor satu di sana. Ya, ruang Kepala Sekolah. Aku duduk terdiam, membayangkan mungkin sepulang dari ini aku akan mengadukan hal ini pada Ayah dan memaksanya bekerja lebih keras untuk membayar biaya tunggakan sekolahku. Pria setengah baya itu datang dan berdiri di hadapanku yang telah duduk terkulai seraya menunduk. Beliau adalah wakil kepala sekolah. Dengan sangat lembut, beliau menanyakan tentang kejelasan masalah ini padaku. Satu-satunya yang dapat kulakukan saat itu adalah menjelaskan tentang kesungguhanku untuk bersekolah yang telah dapat aku buktikan dengan rapor semester pertamaku yang menjadi peringkat satu di kelas. Tak lupa aku menegaskan akan kedudukanku yang memang bukan berasal dari kalangan orang berada, namun ingin tetap mengenyam pendidikan tinggi yang wajar seperti anak lainnya. Aku memang tak bermateri, tapi aku punya mimpi. Aku memang tak memiliki apa-apa, namun aku masih punya asa akan kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Dan benar saja, kulihat ujung matanya mengkilat karena haru. Beliau terdiam. Ada sebuah suasana haru yang saat itu menyelimuti ruangan segiempat bercat hijau redup itu. Seketika aku tidak dapat menahan tangisku ketika beliau

memutuskan untuk membebaskanku dari biaya sekolah hingga tiga tahun mendatang. Tidak hanya itu, beliau pula memberiku sarana berupa buku-buku penuntun pelajaran secara gratis. Di sana aku merasakan begitu kuat cinta-Nya, begitu nyata kasih-Nya pada hamba-hamba yang senantiasa tegar melalui zona kehidupan yang begitu berwarna.

 Aku memulai permulaan tahun 2011 dengan penuh tanda tanya. Akan segera tiba waktu kelulusan SMA. Apakah perjuanganku menuntut hak mssemperoleh pendidikan harus usai sampai di sini dan berganti dengan aktivitas baru bergelut dengan surat lamaran kerja, mondar-mandir ke sana ke sini untuk mencari pekerjaan demi menyambung hidup untuk memperoleh sesuap nasi dan membantu kerja keras Ayahku dengan upah yang kecil.

Jika aku bersandar pada kenyataan saat itu, sangat mustahil aku dapat membiayai pendidikan tingkat kuliah mengingat biaya yang begitu melangit tak sepadan dengan penghasilan keluarga. Meski kakak-kakakku telah bekerja, namun penghasilan mereka hanya cukup untuk menyekolahkan adik-adikku. Dari silsilah keluargaku belum ada yang menamatkan pendidikan tingkat perguruan tinggi. Pernah salah satu dari kakakku mencoba namun pupus di tengah jalan, karena lagi-lagi benturan biaya sebagai penyebab utama. Kerja keras Ayah tetap hanya cukup untuk sebatas menjadi penyulut aroma masakan masih keluar dari dapur kami. Sementara aku saat itu lagi-lagi hanya memiliki sekotak keinginan akan penghidupan yang lebih layak suatu saat nanti. Saat aku bersandar pada asa dan harapan masa depan yang begitu mulia aku merasa bagai makhluk hina jika menyerah begitu saja. Aku masih memiliki dua kaki untuk terus melangkah, dua tangan untuk senantiasa berdoa, dan keluarga yang senantiasa memberi dukungan moril.

Kubulatkan tekad saat itu untuk terus belajar dan menyiapkan diri apapun yang terjadi. Aku masih meyakini bahwa Allah senantiasa hadir dalam desah napasku. Kehadiran-Nya senantiasa menegakkan sendi-sendi yang terasa enggan berdiri jika dihadapkan dengan kenyataan hidupku yang pahit. Saat ini, aku memang tak punya rumah

mewah sebagai tempat beristirahat, hanya rumah tua di tepi kota yang siap roboh di kala badai menerpa. Aku juga tak punya brankas uang yang siap dibuka untuk mengabulkan setiap permintaanku, hanya orangtua tunggal yang datang sebagai pelipur jiwa dengan sejuta permasalahan dalam batin sebenarnya. Tetapi aku masih punya Allah, keluarga, dan kerabat yang senantiasa berdoa untuk kebaikanku. Kami berjalan beriringan, laksana iringan semut yang berjalan untuk mencapai rumahnya. Begitu pun kami, tujuan kami hanya satu. Hidup tentram, tetap di jalan-Nya. Untuk memperoleh buah semanis itu, tentu tidak mudah. Ada jalan berbatu,  jembatan licin yang siap menggelincir kami jika kami tidak

hati-hati. Menengok ke belakang, kusadari bahwa riwayat pendidikanku dihidupkan oleh beasiswa.

Sayembara tahunan setiap perguruan tinggi negeri adalah mencari calon mahasiswa baru melalui teknik PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan). Namun kebijakan terbaru Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2011 PMDK digantikan dengan sistem jalur Undangan, yaitu pendaftaran kolektif calon mahasiswa berprestasi yang diadakan terpusat dan online di seluruh perguruan tinggi. Ini adalah kesempatan emas untukku. Terlebih ketika itu ada info yang merebak bahwa Pemerintah telah memberdayakan jalur beasiswa Bidik Misi  sejak tahun 2010 yang pendaftarannya dapat dimulai sejak awal pendaftaran pada masing-masing perguruan tinggi. Beasiswa ini memang ditujukan bagi lulusan cerdas dan berpotensi yang terbentur masalah biaya untuk keberlanjutan pendidikannya. Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa ini diberi kelonggaran berupa uang kuliah dan uang saku sebagai bekal menyambung hidup. Aku bagai mendapat semilir angin surga. Kesempatan dan peluangku untuk menjemput asa masa depan semakin terbuka lebar. Dengan tiket yang sudah kukantongi dengan menjadi bagian dari 50% siswa peringkat atas tingkat sekolahku, aku bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah Allah berikan.

 Atas dasar hal brilian ini, semakin menguatkan prinsipku bahwa tak selamanya orang-orang yang berkuasa saja yang dapat menelurkan kesuksesan pada anak-anaknya.

Ya, karena kesuksesan juga milik kami. Kesuksesan juga milik kami, rakyat tingkat bawah yang memiliki asa, yang selama ini baru bisa menelan ludah ketika mendengar yang di atas semakin berjaya, sedangkan yang di bawah semakin menderita. Kami, remaja potensial yang hanya berbekal ilmu dan tekad juga punya asa untuk mengubah dunia. Kebijakan ini tak hanya membantu mengeluarkan kami dari lingkup keterbatasan ekonomi, namun menghilangkan garis tebal yang selama ini membedakan antara lulusan ber-uang yang biasanya sudah dapat jaminan kursi perguruan tinggi dengan lulusan tanpa modal materi yang biasanya langsung berurusan dengan surat lamaran kerja dan siap menerima slip gaji.

Berbicara tentang bidang yang akan kugeluti, ada seorang tokoh ilmuwan yang kehadirannya mengubah pandanganku tentang sains. Tokoh yang kehadiran karya-karya ilmiah, buku-bukunya, begitu menggugah. Seorang ilmuwan yang bukan hanya menyajikan fakta-fakta dalam bidang sains, namun mengaitkannya dengan penciptaan alam semesta. Begitu tampak harmoni antara kecemerlangan Allah dalam menciptakan alam dengan sejuta rahasia alam yang terkuak lewat otak-otak ahli di muka bumi. Dialah Adnan Oktar, seorang ilmuwan muslim asal Turki. Karya-karyanya yang begitu terkenal antara lain Runtuhnya Teori Evolusi, Hikmah di Balik Ujian, Proses Penciptaan Manusia, Bencana Kaum Sodom, Deep Thinking, The Sign of The Last Day, dll. Karya-karyanya begitu apik dan natural. Begitu nyata dalam pengungkapannya bahwa tak ada sedikit pun keraguan pada setiap bagian-bagian dari Al Qur‟an sebagai kalamullah yang telah dianugerahkan kepada manusia sebagai pedoman hidup.

Berawal dari sini, aku mulai menyukai dunia sains. Dari titik tolak inilah aku ingin melanjutkan pendidikanku pada bidang sains. Aku ingin meniti jejak beliau. Aku ingin menjadi orang berguna yang dapat bermanfaat bagi keluarga, bangsa, terutama agama. Dan jurusan yang terpikir saat itu adalah Biologi. Dari ilmu biologilah aku menemukan segalanya. Biologi adalah ilmu alam yang menjadi cikal bakal munculnya

ilmu-ilmu alam terapan lainnya seperti ilmu pertanian, perikanan, gizi dan nutrisi, peternakan, geosains, teknologi dan lainnya. Biologi adalah ilmu alam yang senantiasa bergerak dinamis menjawab misteri-misteri yang terjadi di alam melalui ilmu terapan.

Universitas pilihanku saat itu adalah sebuah universitas ternama berbasis pendidikan. Selain masalah jarak yang dekat dengan kota tinggalku, banyak juga kakak kelasku yang studi di sana. Ini dapat menjadi salah satu titik untuk bersilahturahmi dengan mereka. Tak ada sedikit pun minatku pada IPB kala itu. Terlebih karena namanya saja Institut Pertanian Bogor, aku tak mau hidup konyol usai menyelesaikan perguruan tinggi dengan menjadi petani.

 Aku terus mengukuhkan niat sambil terus istikharah meminta jawaban dari-Nya. Aku senantiasa membulatkan tekad untuk memilih universitas yang telah aku yakini sebagai universitas pilihan dan terbaik dengan jurusan Biologi.

Seiring berjalannya waktu, pendaftaran online akan dilaksanakan. Di sebuah kursi di ruang BK, di depan sebuah monitor 14 inci dari sebuah komputer bermodem, aku terdiam sejenak. Data tahun ini menyebutkan bahwa universitas pilihanku hanya menerima 15 kursi untuk jurusan biologi.  Apakah dengan nilai raporku yang seadanya, aku mampu bersaing dengan pemburu jurusan yang sama se-Nusantara. Dilema seketika mengoyak batin dan keyakinanku.

Tiba-tiba seorang teman, yang kini tengah bersama berjuang di IPB di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan datang dan duduk di sampingku. Ia tersenyum melihat aku yang terdiam. Dengan sedikit sihir dalam ucapannya saat itu, ia menganjurkanku untuk memilih IPB. Ia mengatakan, IPB memberi 70 tiket kepada calon mahasiswa se-Indonesia untuk  jurusan Biologi. Dengan santun ia menjabarkan bahwa jika aku tetap pada pendirianku, itu sama artinya aku hanya membuang tiket. Ia juga mengatakan bukan berarti ia meragukan kemampuanku. Namun, ini masalah keberuntungan. Setidaknya peluang masukku lebih besar di IPB jika dibandingkan universitas pilihanku. Ia juga menjabarkan bahwa yang terpenting saat ini adalah

keterampilan. Aku dapat menjadi apapun yang aku mau berbekal ilmu dan keterampilan. Tidak peduli kampus mana yang menularkan ilmunya padaku, namun inti dari semuanya sebenarnya adalah untuk mencerdaskan anak bangsa. Entah mengapa, seketika aku mengiyakan kata-katanya. Tanpa berpikir panjang aku segera mengarahkan pilihanku pada IPB dengan pilihan jurusan Biologi.

 Akhirnya dilema itu terselesaikan sudah. Aku dan temanku melangkahkan kaki keluar dari ruangan itu. Seketika aku tersentak dan sadar bahwa aku baru saja menangkis keyakinan yang telah aku bangun sejak lama. Hanya dalam kurun waktu hitungan menit, temanku berhasil membelokkan pendirianku. Dari situlah aku kembali tersadar, bahwa pertolongan Allah selalu ada bagi hamba-hamba yang meyakini kebesaran-Nya. Aku yakin inilah jawaban atas shalat istikharah yang telah aku lakukan. Allah menjawab kegalauanku lewat sebuah cara yang sangat indah dan mengejutkan.

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari

arah yang tidak disangka-sangka.”  (QS. Ath Thalaq: 2-3)

Kini, aku telah menjadi salah satu mahasiswa beruntung penghuni kampus hijau Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor dengan berpredikat sebagai mahasiswa penerima Bidik Misi. Apa itu salah? Tentu saja tidak. Apakah aku merasa gengsi dan malu? Tentu saja kutegaskan tidak.  Aku hanya menjadi salah satu dari mahasiswa beruntung yang mendapat buah kebaikan negeri ini. Aku hanya salah satu siswa yang kurang beruntung dalam basis ekonomi keluarga, namun diberi kesempatan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Jika dahulu aku menyerah dengan keadaan, mungkin nasibku tak sebaik ini. Aku meyakini bahwa ia yang menyerah pada nasib dan mencari-cari alasan untuk menghentikan

perjuangan dalam pencapaian sebuah tujuan adalah orang yang telah siap dinyatakan gagal. Aku tak sebodoh itu untuk menyerahkan sisa umurku diombang-ambing oleh kehampaan yang berkelanjutan di tengah negeri potensial ini. Insya Allah,  jalan hidupku masih panjang.

Institut Pertanian Bogor, kampus dengan berjuta kebaikan di dalamnya. Kampus yang dinamis dan sangat cocok untuk mengembangkan kreativitas. Kampus yang sangat mendukungku dalam segi pembenahan diri mulai dari segi akademik, segi pergaulan bahkan segi agama. Kampus berbasis pertanian dengan penerapan kemajuan teknologi yang sedang berkembang dinamis pada era globalisasi masa kini. Kampus unggulan yang menyandang titel „Institut Pesantren Bogor‟ karena berhasil melahir kan lulusan yang kompeten dalam bidangnya serta berakhlak budi pekerti yang baik. Kampus yang berhasil menyihir kebiasaan hedonisme remaja menjadi pemuda robbani lewat proses penempaan diri yang begitu islami. Jika saja saat itu aku bukan memilih IPB sebagai universitas pilihan, mungkin kisahku tidak seindah ini. Sungguh, Bidik Misi  adalah celupan warna Ilahi, pengubah nasib anak negeri. Tak akan kusia-siakan kesempatan ini, tak akan kuabaikan amanah ini, tak akan kuremehkan karunia ini. Kuyakinkan dalam hati bahwa suatu saat nanti dengan izin  Allah, semua dapat aku raih.

Indonesia sebagai negara agraris, namun masih mengimpor beras dari negeri tetangga. Indonesia sebagai negara maritim, namun masih mengimpor hasil kekayaan laut dari negeri seberang. Mengapa itu bisa terjadi? Jawabnya karena Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan ahli di bidangnya. Untuk itu, IPB hadir untuk menjawab keluh kesah bangsa saat ini. Ya, melalui dosen-dosen handal dan mumpuni serta sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan para mahasiswa menghadapi kemajuan IPTEK, IPB melalui slogan andalan „mencari dan memberi yang terbaik‟  siap melahirkan lulusan berkualitas yang siap menyelesaikan sengketa bangsa ini. Kami, mahasiswa baru angkatan 48, memikul separuh

beban ini di pundak kami. Dengan asa di hati, bersama Bidik Misi, kami siap beraksi !

Juara Favorit ke-1

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 42-52)