• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sepenggal Cerita tentang Seorang Anak Desa

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 87-94)

 Akhirnya ada beberapa teman yang bertanya padaku karena aku masih terlihat santai, tidak sibuk seperti mereka. “Na, kamu mau kuliah dimana?”   tanya salah satu temanku. Dengan santai aku menjawab “Aku tidak kuliah, aku mau langsung kerja saja”. dan tanggapan teman-temanku kompak sama. “K an sayang Na kalau kamu nggak melanjutkan kuliah, kamu kan pintar, peringkat satu lagi di kelas”.  Aku sedih mendengar tanggapan teman-temanku itu, ironi sekali rasanya. Kalian semua tidak tahu betapa aku sangat ingin kuliah. Tapi apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memaksa orang tuaku untuk membiayai aku kuliah?. Tidak, orang tuaku sudah sangat berkorban selama ini demi membiayai anaknya untuk sekolah dan bisa menyekolahkanku hingga SMA ini sudah lebih dari cukup.

Saat jam istirahat, Bu Cici menyuruhku ke ruangannya. Ternyata beliau tahu masalahku, sepertinya ada salah satu temanku yang melapor ke guru BK tersebut. Beliau bertanya banyak hal, tentang keluargaku, tentang keinginanku dan lain-lain. Akhirnya beliau menyarankanku untuk tetap ikut SNMPTN undangan dan mendaftar beasiswa BIDIKMISI. Kata beliau jika kita mendapat beasiswa ini maka selama 8 semester kita bebas biaya kuliah, selain itu kita juga dapat uang saku setiap bulannya.

“ Tapi orang tua menghendaki saya untuk bekerja dulu bu, setelah punya cukup uang saya baru boleh kuliah, sehingga saya tidak lagi membebani mereka dengan biaya kuliah bu ”.  Aku coba memberikan alasan.

“ Tapi kesempatan cuma datang sekali nduk, karena tahun depan kamu tidak bisa lagi mengikuti SNMPTN undangan”. Kata beliau.

 Aku diam, tertunduk dan hampir menangis hingga beliau berkata lagi

“ Kamu coba ngomong dulu ke orang tua kamu. Kalau masih tidak diperbolehkan ya sudah, yang penting kamu sudah berusaha”.

 Aku keluar dari ruangan beliau dan mengucapkan terima kasih karena telah memberikan motivasi kepadaku. Sebenarnya aku tertarik dengan saran Bu Cici tersebut.

Ketika pulang sekolah aku coba membicarakan masalah ini dengan orang tuaku dan kakak-kakakku yang ada di rumah. Aku sudah memperkirakan, mungkin responnya tidak seperti yang aku harapkan. Tapi yang penting aku sudah mencoba. Dengan hati-hati aku berbicara di depan mereka. “Ayah, ibu.. aku boleh daftar kuliah ya? K ata guruku ada  program beasiswa dari pemerintah namanya BIDIKMISI. Jadi selama 4 tahun nanti kuliah saya gratis. Boleh ya?”   kataku pelan.

Dan respon mereka tepat seperti yang aku bayangkan.

“Terserah lah… kamu memang susah dibilangin. Lagian ngapain sih sekolah tinggi-tinggi? Mending langsung kerja dapat duit”. Kata kakakku sinis.

“Ya sudah nduk, kalau mau daftar ya daftar saja, yang penting  jangan membebani orang tua”. Kata ibuku dengan suaranya

yang lembut.

Sedangkan ayahku tidak mempedulikan omonganku, beliau tidak memberi respon apapun. Aku mencoba menyabarkan hati agar tidak menyesal dan sakit hati.

 Aku putuskan untuk tetap mengikuti SNMPTN undangan untuk memenuhi kemauan Bu Cici, bukan karena aku benar-benar ingin kuliah. Jadi aku memilih universitasnya pun tanpa pertimbangan. Akhirnya aku memilih universitas yang menurutku mustahil aku bisa masuk kesana. Aku memilih IPB, karena IPB termasuk universitas favorit di Indonesia yang mempunyai great tinggi sehingga kemungkinannya sangat kecil aku diterima di sana. Setelah pendaftaran itu selesai, aku tidak lagi memikirkan masalah kuliah, karena dalam pikiranku aku tidak mungkin lolos SNMPTN undangan ini. Aku lebih tertarik untuk mencari informasi kerja sehingga setelah lulus SMA nanti aku bisa langsung bekerja karena itulah yang diinginkan orang tuaku.

Ujian nasional telah selesai, teman-temanku mulai was-was menanti pengumuman SNMPTN undangan. Lain halnya dengan diriku yang sudah 100% yakin tidak akan lolos SNMPTN ini. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku mendapat kabar dari temanku bahwa aku lolos SNMPTN undangan dan diterima di IPB. Aku masih tidak percaya

dengan kabar ini hingga akhirnya aku cek sendiri ke warnet dan membuka website SNMPTN undangan ternyata benar aku diterima di IPB. Semua orang memberiku selamat, guru dan teman-teman turut senang atas keberhasilanku. Antara senang dan bingung menerima kenyataan ini senang karena aku diterima di salah satu universitas terbaik di Indonesia, bingung karena aku tidak tahu harus mrngatakan apa ke orang tua.

 Aku memutuskan untuk bilang dulu ke kakak sulungku. Ia sangat senang mendengar kabar ini. Tapi saat aku bilang ke orang tua dan kakakku yang ada di rumah ternyata responnya berbeda. Mereka masih tetap tidak merestuiku untuk kuliah. Aku mencoba untuk rela melepas kesempatanku ini tapi aku tidak bisa, dalam hati rasanya berat. Aku terus membujuk dan memohon kepada mereka hingga mereka jenuh dan sangat marah. Berhari-hari ayah bersikap dingin kepadaku. Ibu terus mengomeliku jika mendapati diriku sedang melamun. Ya, selama beberapa hari aku terlihat sering melamun karena meratapi nasibku dan terkadang sampai menangis.

Kakak sulungku pun akhirnya turun tangan, ia membicarakan masalah ini dengan ayah dan ibu lewat telepon. Ia berusaha meyakinkan mereka, bilang bahwa ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu masalah kuliahku sehingga tidak akan membebani mereka. Dan hasilnya aku mendapat restu dari mereka. Bukan main senangnya diriku. Aku mulai menjalani hari-hari dengan semangat. Mempersiapkan segala sesuatunya untuk registrasi ulang.

Namun ketika semuanya telah siap, tiba-tiba ayahku berubah pikiran. Beliau kembali melarangku. Beliau mendapat kabar dari tetangga-tetangga kalau hidup di Bogor itu serba mahal dan kakakku yang ada di rumah dengan gencarnya terus menghasut orang tuaku dengan bilang bahwa tidak mungkin kalau kuliah itu akan selamanya gratis, bisa saja beasiswa itu hanya berlaku untuk satu semester atau satu tahun selain itu berangkat ke Bogor itu tidak cukup uang sedikit. Rasanya diriku seperti dihempaskan ke tanah setelah

 jauh melambung tinggi. Sakit hati rasanya melihat kakakku yang tidak mau mendukungku untuk maju. Baiklah, akhirnya aku putuskan untuk menyerah dan pasrah. Kakak sulungku pun sudah tidak bisa berbuat apa-apa jika ayah sudah mantap dengan keputusannya. Ia menghiburku dengan akan mendaftarkan aku kuliah di Pontianak, Kalimantan Barat. Walaupun begitu, jika teringat nama IPB aku refleks menangis sampai orang tuaku bosan memarahiku dan akhirnya mengacuhkanku.

Dua hari sebelum registrasi, teman-teman dari Bojonegoro yang diterima di IPB berangkat rombongan menuju Bogor. Disinilah akhir usahaku untuk memperjuangkan masa depan karena aku tidak bisa ikut rombongan tersebut. Itu artinya aku tidak punya kesempatan lagi untuk pergi ke Bogor. Aku simpan kesedihanku dalam hati, tidak ingin menunjukkannya ke orang tuaku lagi karena ayah sampai  jatuh sakit memikirkan masalah ini. Aku kabarkan masalah ini

kepada wali kelasku, Bu Yuni, tentang ayahku yang sakit, tentang beliau yang tidak mengijinkanku kuliah, tentang semuanya, aku keluarkan semua isi hatiku kepada bu Yuni.

Keesokan harinya yang berarti satu hari sebelum registrasi ulang bu Yuni menghubungiku dan menyuruhku datang ke sekolah. Beliau bertanya lebih detail masalahku dan aku ceritakan semuanya dengan mata berkaca-kaca.

“kenapa kamu bilangnya telat? Tau begitu kan ibu bisa coba untuk berbicara dengan orang tua kamu. Sayang nduk kalau kesempatan ini dilepas begitu saja. BIDIKMISI itu benar-benar gratis”. Kata beliau dengan nada menyesal.

“maaf ibu...”. hanya itu yang bisa aku katakan.

 Akhirnya beliau mengajakku ke stasiun untuk membeli tiket kereta. Beliua membelikanku dua tiket sekaligus, berharap ada anggota keluargaku yang mau mengantar. Sebelum aku pulang beliau berpesan,

“K amu coba ngomong lagi ke orang tua kamu, minta ijin kepada mereka. Jika masih tetap tidak diijinkan ya sudah nurut saja, jangan sampai membangkang. Yang penting kamu sudah berusaha ya, nduk”. Kata beliau dengan mata nanar.

Tak ku sangka ternyata guruku sangat peduli padaku. Aku terharu dan aku pun menangis.

“Satu lagi, ini ada sedikit uang untuk bekal ke Bogor jika diperbolehkan orang tua”. Tambah beliau sambil menyodorkan sejumlah uang. Ingin aku menolaknya tetapi beliau memaksa. Uang itu terlalu banyak bagiku, aku merasa tidak berhak menerimanya.

Sesampainya di rumah, aku sodorkan semua uang yang diberi guruku dan tiket yang beliua belikan. Keluargaku menatapnya dengan heran, kenapa ada guru yang sepeduli itu kepadaku. Akhirnya ayahku berkata “Y a sudah, berangkat saja nduk. Guru kamu sudah berkorban seperti ini masa ayah masih saja mau melarangmu”.  Betapa girangnya diriku mendengar pernyataan ayahku. Tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Allah atas kemurahan-Nya.

Tapi masalahnya sekarang adalah siapa yang akan mengantarku berangkat. Aku meminta tolong kakak-kakakku ternyata mereka tidak ada yang mau mengantar dengan berbagai alasan mereka. Aku memohon pada mereka tapi mereka tetap tidak mempunyai rasa iba kepadaku. Akhirnya ayahku memutuskan bahwa beliau sendirilah yang akan mengantarku. Posisi ayahku saat itu sedang sakit dan lemas, aku tidak tega dan aku menolak, lebih baik aku tidak berangkat dari pada harus melihat keadaan ayah semakin memburuk, tapi ayahku tetap memaksakan diri. Tak terasa air mataku jatuh lagi, ayah yang selama ini menentang keinginanku, di saat genting seperti ini beliau menunjukan betapa masih sayangnya beliau kepadaku.

Setelah sholat maghrib kami berangkat ke stasiun dengan diliputi rasa khawatir kepada ayah. Aku berdoa kepada Allah semoga ayahku tidak apa-apa, semoga Allah terus menjaga beliau. Keesokan harinya kami sampai di Jakarta dan sampai di Bogor sekitar jam 10 pagi. Kami langsung menuju GWW, kakiku gemetar ketika melihat semua bangunan yang ada di IPB, rasanya seperti mimpi aku bisa ada disini, aku terus mengucapkan syukur kepada Allah. Aku masuk GWW untuk melakukan serangkaian registrasi, sedangkan ayah menungguku di luar.

Setelah registrasi selesai, Ayahku pulang ke rumah kerabat yang ada di Jakarta, sedangkan aku ikut kakak kelasku yang juga ada di IPB karena keesokan harinya aku harus mengikuti Stadium General dan pengumuman BIDIKMISI. Saat Stadium General kami mendengarkan sambutan dari Wakil Menteri Pertanian RI, sungguh betapa bangganya diriku bisa berada disini dan di akhir acara adalah pengumuman BIDIKMISI, hasilnya adalah aku di TERIMA.

“Terima kasih Ya Allah, karena atas kasih sayangmu aku masih tetap berada disini, tempat yang bagaikan mimpi bagiku. Aku akan buktikan kepada keluargaku bahwa aku akan sukses denagn j alan awal menjadi seorang sarjana”.

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 87-94)