• Tidak ada hasil yang ditemukan

Air Mata Itu Mengalir untuk Kedua Kalinya

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 30-36)

pertanyaan dari wali kelasku, adalah pertanyaan yang sedang ingin kuhindari saat itu. Namun aku tetap mencoba untuk menjawabnya. “Nggak, Bu. Sepertinya saya nggak akan kuliah dulu tahun ini. Saya mau mencari pekerjaan dulu, mau membantu orang tua.” 

“Loh, kok gitu?” , tanya bu Nani.

Ku jelaskan pada beliau, aku tak ingin membebani kedua orang tuaku. Dengan keterbatasan ekonomi, aku merasa tak yakin untuk melanjutkan ke dunia perkuliahan. Beliau hanya tersenyum.

“Tahukah Kau, Nak. Di zaman sekarang ini, hilangkan  pikiranmu yang semacam itu. Pendidikan tinggi bukan lagi

milik orang berada. Pendidikan tinggi sekarang adalah milik orang-orang yang mau bekerja keras. Ketahuilah, di luar sana akan ada banyak pihak yang menyediakan beasiswa  pendidikan tinggi untuk orang-orang yang kurang mampu.” 

Berhari-hari bu Nani terus meyakinkanku. Hingga keyakinan itu tumbuh perlahan bersama asaku untuk menjadi seorang mahasiswa. Dorongan dari teman-teman kelas semakin menumbuhkan keyakinan. Aku mulai yakin. Aku harus mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi.

Semakin hari, asaku semakin tumbuh. Suatu hari, temanku mengajakku menonton sebuah video tentang impian. Ya, video itu adalah kisah jejak-jejak Danang Ambar Prabowo. Video yang sangat menggugahku untuk menuliskan semua mimpi. Aku mulai menulis mimpi-mimpi itu. Di urutan pertama, kutuliskan mimpiku untuk lulus ujian dengan jujur. Kedua, target nilai ujian. Ketiga, aku harus kuliah! Keempat, harus memperoleh beasiswa kuliah. Dan mimpi-mimpiku yang lain.

***

Semakin ingin kita terhadap sesuatu, semakin Allah ingin tahu seberapa besar keinginan kita terhadap sesuatu itu.

Ibuku, ibu paling luar biasa se-dunia, sedang menjahit pakaiannya saat aku pulang dari sekolah. Setelah mengganti seragam, aku mencium tangannya. Sambil menonton acara

televisi, kubicarakan baik-baik rencanaku untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Besar harapku agar ibu mau menerimanya.

Namun, ibu hanya terdiam. Tak lama kemudian beliau menuju kamarnya, Di pintu kamar beliau berhenti sejenak. “Mau biaya dari mana? Buat bayar SPP kamu di SMA saja susah. Sekarang malah minta kuliah” . Hanya itu jawaban ibu. Simpel. Namun dapat kutangkap maknanya: jangan kuliah! 

Berhari-hari aku meyakinkan ibu. Namun ibu tetap tak bergeming. Aku sendiri merasa malu pada ibu. Saat itu, seperti ada orang lain dalam diriku. Aku yang biasanya selalu berkata “ya” kepada ibu, entah mengapa saat itu ingin kupaksa ibu berkata “ya” untukku. Aku terus memaksa. Terus mencoba.

Suatu hari, ibu sedang menonton acara televisi sambil menyelesaikan jahitan bajunya. Kucoba lagi untuk menjelaskan keinginanku pada wanita mulia ini. “Bu, saya ingin kuliah. Saya ingin menjadi sorang mahasiswa.” 

Ibu kembali terdiam. Saat itu, adalah saat yang tidak akan pernah ku lupakan dalam hidupku. Kau tahu mengapa? Ibu mulai angkat bicara. “ Yat, lihatlah kakak-kakakmu yang hanya tamatan SMA. Tahukah kau mengapa mereka merasa cukup menjadi seorang tamatan SMA? Mereka merasa cukup karena mereka sadar. Mereka sadar akan keadaan orang tuanya. Mereka sadar bahwa orang tuanya tidak mampu membiayai kuliah. Tidakkah kau melihat mereka?” 

Mata ibu mulai berkaca-kaca. Perlahan bongkahan kesedihan di ujung kelopak matanya mulai meleleh. Air matanya mengaliri pipi hingga jilbab yang beliau pakai. Aku tertunduk. Aku tahu, meskipun ibu terdiam, hatinya masih berbicara mengutukku. Mengutuk anaknya yang tak tahu diri.

Kawan, saat itu, adalah saat yang tak mungkin ku lupakan sampai kapanpun. Saat seorang keras kepala sepertiku membuat ibu menangis. Astaghfirullah. Maafkan aku ibu.

Beberapa hari aku merasa bimbang. Di sekolah, keinginanku untuk kuliah sangat menggebu. Namun saat di rumah, keinginan itu segera menguap. Aku mulai berpikir

untuk memasrahkan semuanya kepada Dzat Yang Maha Tahu. Hampir setiap sepertiga malam terakhir aku bangun. Satu baris doaku yang selalu kubaca:

“Yaa Rabb, tunjukkan dan berikanlah jalan terbaik untukku setelah aku lulus SMA.” 

***

Semakin hari, aku semakin yakin, dan semakin banyak orang yang meyakinkanku. Aku harus kuliah!

Suatu hari, guru BK memanggilku ke ruangannya. Beliau memberitahuku tentang prosedur SNMPTN jalur undangan dan informasi beasiswa Bidik Misi. Setelah mendengarkan penjelasan dari beliau, aku memutuskan untuk mengambil jatah SNMPTN jalur undangan. Aku pun berkonsultasi dengan guru BK tentang keadaan ekonomi keluarga. Akhirnya aku diusulkan pihak sekolah menjadi siswa pelamar Bidik Misi. Semua keputusan ini, keputusan untuk untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan, kuambil tanpa sepengatahuan ibu.

Beberapa hari setelah itu, aku mulai mengatakan semua keputusanku kepada ibu. Awalnya ada satu hal yang aku takutkan. Aku takut kejadian itu terulang kembali, kejadian saat ibu meneteskan airmatanya. Aku tak ingin itu terulang. Dengan ucapan bismillah, kumulai pembicaraan dengan ibu. Masih dengan topik yang sama. Setelah kujelaskan bahwa aku telah memutuskan untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan, aku masih merasakan ketakutan itu.

Kawan, ada yang berbeda saat itu. Meskipun renspon yang ditunjukan ibu masih sama: diam. Aku melihat diamnya kali ini mempunyai makna yang berbeda dengan diamnya ibu selama aku membicarakan keinginanku ini. Rasa takutku masih belum pergi. Ibu akhirnya angkat bicara. “Yat, keputusan ini telah Kau ambil. Apa boleh buat. Jika kamu merasa itu jalanmu, perjuangkanlah. Ibu dan bapakmu hanya bisa mendoakanmu. Orang tua akan mersa senang jika melhat anaknya senang” 

 Aneh. Rasa takutku mulai menguap perlahan. Benarkah yang dikatakan ibu itu? Yaa, Rabb. Meskipun kalimat ibu itu masih mengambang, setidaknya ibu memberikan isyarat positif. Alhamdulillah…

Hari penentuan itu tiba. Dua hari setelah aku dinyatakan lulus ujian nasional, aku lulus pula SNMPTN jalur undangan ke Institut Pertanian Bogor. Persyaratan kelengkapan berkas pendaftaran ulang dan pelamar Bidik Misi mulai aku persiapkan degan baik. Aku berangakat bersama kedua orangtuaku saat melakukan pendaftaran ulang. Setelah menemaniku melakukan pendaftaran ulang, ibu dan ayah pulang ke Cianjur, sementara aku masih harus mengikuti seleksi wawancara pelamar Bidik Misi. Keesokan harinya, pelamar bidik misi yang lolos seleksi berkas dan wawancara diumumkan.  Alhamdulillah. Aku menjadi salah satu dari lima ratus penerima beasiswa Bidik Misi.

Setibanya di rumah, langsung ku cium tangan kedua orang tuaku. Aku sampaikan kabar bahwa aku telah lolos seleksi sebagai penerima beasiswa bidik Misi. Kawan. Kau tahu apa yang terjadi? Mata yang sempat menagis itu berkaca lagi. Air mata itu mengalir untuk kedua kalinya. Namun aku menangkap rasa yang berbeda dari air mata ini. Air mata ini, rasanya lebih manis, Kawan. Ibu tak kuasa lagi menahan keharuannya. “Selamat, Nak. Kau telah memperjuangkan keinginanmu. Kini jadilah mahasiswa, jadilah mahasiswa yang berguna. Jangan jau sia-siakan semua karunia ini” 

***

Kawan, kata-kata itu akan selalu kuingat sampai kapanpun. Kini aku menjadi seorang mahasiswa. Tapi tentu, tujuanku menjadi seorang mahasiswa bukan untuk menduduki kasta tertinggi dunia pendidikan, bukan ingin menyandang status sosial yang dipandang lebih oleh masyarakat seperti yang dikatakan guru bahasa Indonesiaku. Aku ingin menjadi mahasiswa berguna. Aku ingin membuktikan kepada kedua

orang tuaku bahwa aku akan memperjuangkan semua mimpi-mimpiku.

Lewat tulisan ini, dengan segenap syukur ke hadirat-Nya, kusampaikan rsa terimaksih kepada kedua orang tuaku yang luar biasa, orang tua paling luar biasa se-dunia, kepada guru-guruku, kepada teman-teman motivatorku, dan kepada Bidik Misi, semoga apa yang telah kalian berikan dibalas durga oleh-Nya. Aamiin.

***

Kawan, itulah sepenggal kisahku bersama Bidik Misi. Semoga kisah ini bisa menginpirasi jiwa-jiwa yang masih ragu. “…karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan…” (Al-Insyiroh: 5,6)

Juara Harapan 1

Suwarti

Kutuliskan kisah ini dengan sebuah laptop tua yang dipinjamkan oleh seorang dosen pembimbing akademik di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ingin rasanya kuungkapkan sebuah kebahagiaan karena aku dapat melanjutkan kuliah dengan adanya bantuan dari Beasiswa Bidik Misi. Harapanku, teruntuk adik-adik kelas sang penerus bangsa yang memiliki nasib sepertiku dapat merasakan indahnya mengenyam bangku kuliah dengan adanya bantuan dari Beasiswa Bidik Misi.

Masa-masa kelas 3 SMA merupakan masa-masa rumit yang telah kujalani. Saat itu, terdapat 3 buah pilihan yang menghiasi benakku. Kuliah, kerja atau menjadi  pengangguran? Yang terpenting di sini adalah jangan sampai aku memilih pilihan ke-3, menjadi pengangguran adalah sebuah hal yang mendatangkan kemudharatan dan sedikit manfaatnya. Tuntutan dari keluarga yang mengurusku saat ini adalah setelah lulus SMA nanti, aku harus bekerja. Mengingat usia ayah yang telah lanjut dan kesulitan dalam mencari nafkah. Ayahku berprofesi sebagai pemulung gelas plastik, botol plastik dan kardus bekas kemasan air minum. Ibundaku tecinta wafat ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMA. Aku merupakan anak satu-satunya yang tak berkakak maupun beradik. Rasanya miris memang. Aku sedih melihat ayah mengurusku seorang diri. Kami tinggal di sebuah rumah yang beratapkan genting dengan tanpa langit-langit rumah. Lantainya pun hanya dilapisi karpet yang telah tersobek-sobek karena setiap hujan deras turun, rumah kami pasti kebanjiran. Rumah kami hanya memiliki dua ruangan. Satu ruang kamar, dan ruangan yang satu lagi adalah ruang keluarga yang merangkap menjadi dapur. Rumah kami pada awalnya terdiri dari empat ruangan. Dua ruangan harus menjadi korban

Bidik Misi Mengantarkanku untuk

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 30-36)