• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bidik Misi Membuka Cakrawala

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 104-111)

Banyak hal terpikirkan setelah mendengar vonis itu. Entah itu tentang biaya operasi, ujian nasional yang tinggal menghitung hari, dan tentang pendaftaranku ke IPB lewat jalur undangan. selama ini menjadi IPB merupakan impian besarku.kini mimpi itu seperti menciut saat aku ingat vonis itu.  Aku,sedikit gelisah dengan hadirnya vonis itu. Dan harus aku sadari juga Semuanya butuh kerja keras dan butuh materi. Biaya kuliah sekarang tidak murah. Apalagi untuk seorang tanpa ayah sepertiku. Biaya operasi pun tidak murah,dan aku harus menjaga kesehatan dengan baik sebelum masuk ruang operasi. Bertolak belakang dengan kewajibanku belajar keras,memforsir waktu agar siap menghadapi UN tahun ini. Semuanya menjadi bagian-hidupku yang mungkin menentukan masa depanku.

Tanpa sepengetahuan,kak dan suaminya pergi ke rumah sakit untuk menentukan jadwal operasi yang akan aku  jalani. Saat itu aku masih berada di sekolah. Baru setelah pulang,aku mendapat kabar tentang kapan operasi itu akan aku lalui. Selama ini tak terbersit sedikitpun aku akan dioperasi. Setiap hari olahraga,menjaga asupan makanan,tidak merokok. Tapi semua itu tak cukup jika Tuhan berkehendak lain. Yang lebih membuatku shock adalah bagian mana dari tubuhku yang akan di operasi. Cukup membuat aku merinding saat mengingat dokter yang akan mengangkat benolan dari dalam scrotum.  Siapapun yang mengenal tentang itu, akan ngilu jika memikirkan apa yang akan aku lalui saat operasi.

”Cep, tanggal 30 mei masuk ruang operasi”.  Ucapan yang keluar dari lisan kakak membungkam mulut yang tadinya cerah. Mau tidak mau aku harus melewati ini. Sekalipun jujur aku takut. Bukan aku tak ingin menjalani pengobatan lain seperti terapi dan tradisional. Tapi aku akan kuliah dan itu butuh kepastian tentang kondisiku. Dengan operasi mudah-mudahan Allah menyembuhkan aku dan tidak akan ada yang mengganjal lagi tentang kesehatan saat aku duduk di bangku kuliah. Awalnya jadwal itu aku iyakan. Namun keesokan harinya aku merassa ada yang janggal dengan tanggal itu. Ternyata, di tanggal itu aku harus registrasi ke IPB andai aku

di terima. Di hari itu pula wawancara seleksi penerima beasiswa bidik misi dilaksanakan. Aku bingung. Operasi penting, tapi datang ke IPB juga penting. Akhirnya aku memutuskan andai di terima di IPB, aku akan menunda jadwal operasiku. Dan kakak menyetujuinya.

Ujian nasional aku lalui penuh kegelisahan. Bukan tentang soal-soal yang memang sulit, tapi tentang penyakit yang aku derita. “A pakah operasi bisa berjalan sukses dan aku sembuh kembali, atau sebaliknya masa depanku tanda tanya?”.  Aku galau. Ujian nasional dua hari berlalu. Kabar yang semestinya istimewa sedikit hambar aku rasakan. Aku di terima di IPB. Aku dan seluruh keluarga beryukur akan hal itu.  Apalagi aku satu-satunya di keluarga yang bisa kuliah. Setelah

mendengar kabar itu. Kakak lekas mengganti jadwal operasi. Tanggal 20 juni aku akan masuk keruang operasi.

Dengan status pasien aku keluar masuk puskesmas, kantor desa, kecamatan dan rumah sakit. Beberapa surat keterangan aku buat. Diantara surat-surat tersebut adalah surat keterangan tidak mampu (SKTM) sebagai persyaratan penerima beasiswa bidik misi dan surat keterangan miskin (SKM) untuk permohonan biaya operasi yang akan aku jalani di rumah sakit. Kalau bukan dengan jalan seperti itu, aku tidak tahu darimana semua biaya yang harus aku bayar baik untuk operasi, juga untuk kuliah di IPB.

Hampir setiap orang yang mendengar kabar aku di terima di IPB, mereka sepertinya ragu. Mungkin yang ada di benak mereka kuliah itu mahal,hanya untuk orang menengah ke atas yang cerdas. Tidak mungkin anak yatim yang numpang di rumah kakaknya, dengan kemampuan seadanya seperti aku bisa kuliah. Melihat keraguan itu, kadang terbersit di pikiran, dengan uang darimana aku bisa membiayai kuliah. Dan apa aku pantas? Sebagai seorang yang mendapat pendidikan agama dari kecil. Baik dari orang tua,guru dan lingkungan terutamanya, mereka mengajariku sebuah keyakinan. Keyakinan seorang hamba pada khaliknya. Jika dalam diri tertanam niat yang tulus dan suci dalam hidup, malaikat di dunia dan dilangit akan mencatat semua itu, kemudian ikut mendo‟akan agar niat tersebut dikabulkan Allah

SWT. Apalagi menuntut ilmu yang merupakan sebuah kewajiban yang utama. Dengan keyakinan itu, Aku,seorang yatim dari keluarga petani, akan menunjukan bahwa tidak hanya mereka yang memiliki kekayaan, kecerdasan lebih yang bisa kuliah. Tapi anak kampung dengan kesungguhan dan mimpinya pun berhak duduk di bangku perkuliahan seperti mereka.

Hari menegangkan itu tiba. Aku terkapar memakai baju berwarna hijau yang sedikit kotor dengan wrna darah. Di sampingku berjajar terbaring 3 orang kakek-kakek yang pucat. Kami semua menunggu giliran operasi. Ketiga kakek tersebut dioperasi dengan jenis operasi yang sama yaitu hernia. Bahkan diantara mereka ada yang komplikasi dengan kangker prostat. Sementara aku, aku menyimpan tumor scrotalis. Ketiga kakek tersebut lebih dahulu masuk ruang operasi. ”Silahkan bapak Acep!” . aku berjalan didampingi du perawat di sampingku. Menuju ruang operasi yang di dalamnya telah menunggu tim bedah dan anestesi. Aku berbaring di atas meja operasi. Beberapa suara gesekan gunting terdengar menyayat di telinga. Sorot lampu di atas ubun-ubunku amat terang. Aku mulai tak mendengar apapun,cahaya lampu mulai meredup, sakit. Sepertinya jarum menusuk kulitkku, “Ahhhhh” dan aku tak tahu apa yang selanjutnya.

Bekas operasi yang dibalut perban pada awlanya tidak terasa sama sekali. Mungkin efek obat bius yang masih berlanjut. Empat, lima jam kemudian saat aku terkapar di kamar inap, ngilu sekali rasanya seluruh tubuh yang ditambah rasa mual di atas lidah. Sama sekali aku tak bisa berbuat apa  –apa, hanya terkapar.

Ketiga kakek yaang dari awal bersama-sama dari awal aku menjalani operasi,berada satu ruangan denganku. Merekalah yang selama lima hari benar-benar menghibur masa sakitku. Sering sekali aku menjadi bahan candaan aki-aki tujuh mulud seperti mereka. Beberapa kerabat dekat dan teman-teman dekatku datang menjenguk. Dalam tas,aku telah menyimpan beberapa amplop dari mereka. Pangkal pahaku sakit , ngilu.

Izin untuk pulang aku dapatkan setelah lima hari aku menginap di rumah sakit. Biaya operasi dan perawatan selama di rumah sakit gratis. Berkat surat-surat keterangan yang aku buat sebelum aku dioperasi. Syukur tiada kira kupanjatkan kehadirat Allah SWT. Tiga hari seterlah pulang dari rumah sakit,aku sudah harus berada di IPB. Dan langsung menjalani masa-masa asrama TPB. Sementara kondisiku belum sembuh total. Keluargaku yang paling khawatir akan hal itu. Sehari setelah operasi aku kontrol ke dokter yang mengoperasi. Sekaligus bertanya apakah aku sudah bisa melakukan kegiatan perkuliahan atau masih harus beristirahat. Alhamdulillah dokter itu membolehkan. Hanya saja keluargaku seperti tak yakin dengan itu.

Sebenarnya, di hari registrasi sekaligus wawancara bidik misi yang aku lalui, aku sudah mendapat kepastian lolos seleksi. Dan tinggal menyerahkan bukti fisik saja sebagai barang bukti bahwa aku layak menjadi penerima beasiswa tersebut. Inilah yang selama ini aku nantikan. Aku tidak perlu membuat emak pusing memikirkan biaya kuliah. Sebelum kepastian aku mendapat beasiswa, emak cemas. Darimana ia harus membiayai aku kuliah sedang emak hany ibu rumah tangga. Akhirnya aku bisa membuktikan ke emak bahwasanya  Allah itu maha luas kasih sayangnya. Selama hambanya mau berusaha dan berdo‟a pasti ada jalan. Selain ke emak,semua orang awalnya meragukan aku bisa kuliah pun kini mereka tersenyum manis kepadaku.

 Aku harus berjuang di masa registrasi. Dengan kondisi  jahitan yang masih basah, aku mengantre di gedung yang luas untuk registrasi kedua, cek kesehatan dan menyerahkan berkas foto dan data rumah, diri, orang tua dan kondisi ekonomi keluaraga. Sebulan sebelumnya, aku datang dengan membawa penyakit yang aku tahan rasa ngilunya, dan kini dengan perban yang menempel basah di bekas operasi. “Semoga sakit yang aku alami adalah bagian dari kasih sayang Allah untuk aku yang selama hidup banyak berbuat dosa, semoga dengan sakitlah dosa-dosa itu melebur.” 

Sekalipun aku sudah pasti menerima beasiswa bidik misi, tapi beasiswa itu belum bisa aku gunakan untuk

keperluan makan dan kuliah. Karena pemerintah belum mencairkan dana tersebut. Sementara emak dan kakak hanya sedikit memberi bekal untuk aku kuliah, aku makan dengan uang yang aku dapat saat aku tergeletak di rumah sakit. Selama satu bulan, aku bisa bertahan dengan uang yang sengaja Allah beri lewat keabat dan teman yang menjenguk saat aku di rumah sakit itu. Bukannya keluar biaya operasi,malah dapat pemberian. ”Terima kasih,  Allah”. Dengan sakit itu, banyak sekali hal luar biasa yang aku rasakan. Merasa diri kotor dan hina di hadapan Allah sekaligus merassakan betapa besar nikmat Allah yang diberikan untuku. Bisa masuk perguruan tinggi yang diimpikan merupakan nikmat yang sangat indah, malah Allah memberi lebih dengan memberikan beasiswa sehingga selama menempuh delapan semester, tidak mengeluarkan biaya SPP, DSP dan lainnya.

Perban masih rapat menempel di daerah operasi. Dokter bilang jangan terkena air. Aku jalani minggu-minggu pertama dengan kaku. Aku tidak bisa berjalan cepat,belum bisa beraktifitas agak berat, namun harus tetap kuliah. Matrikulasi tepatnya. Tiga minggu jahitan itu menghiasi kulit. Control ketiga barulah bisa terbebas dari jahitan yang seminggu terakhir sangat menyiksa. Lima jahitan di tempat terlarang itu,cukup membuat cara berjalanku berbeda dengan yang lain.

Uang yang kumiliki habis.Tak tahu lagi harus meminta kesiapa. Aku belum bisa berwirausaha sendiri,kondisi fisik belum pulih total. Sedikit yang bisa aku kerjakan. padahal ingin sekali aku berjualan untuk mennambah uang makan sehari-hari. di saat gundah yang akun alami ,uang bidik misi cair. di saat aku benar-benar membutuhkannya. Aku tidak perlu meminjam sana-sini untuk biaya makan. Tak perlu minta ke emak. Sejak saat itu, aku merasa beasiswa ini lebih dari cukup andai aku bisa memanfaatkannya dengan baik. Aku harus benar-benar tanggung jawab dengan beasiswa yang aku peroleh karena itu merupakan amanah yang harus aku  jaga dengan baik. Jangan sampai aku gunakan untuk hal-hal

makan perbulan yang aku dapat, akan aku pergunakan untuk proyek besar yang ingin aku capai. Menulis buku dan mencoba menerbikannya. Tentunya banyak hal yang harus aku siapkan untuk bisa mncapainya. Dan banyak juga yang harus aku korbankan. Dengan cara menyisihkan uang tiap bulan, aku akan gunakan itu untuk membeli buku,observasi dan lainnya. Selama beberapa bulan dikampus, aku bisa berkarya dan menambah soft skill yang banyak. Aku juga mulai bisa menulis walau masih dalam kertas-kertas pribadi. Ternyata uang yang aku peroleh dari bidik misi benar benar bermanfaat. Selain untuk kuliah,juga untuk membangunkan mimpi-mimpi yang mungkin dulu masih tertidur. Dengan adanya bidik misi, tirai-tirai cakrawala menjadi terbuka lebar untuk aku arungi.

Sekalipun aku merasa bahagia dengan nikmat beasiswa yang aku peroleh,dalam hati kecil aku berontak. Sebenarnya aku ingin bisa membiayai kuliah sendiri, atau aku dibiayai orang tua. Karena bagikua itu jauh lebih bermakna, namun apa mau dikata. Aku harus berjuang dengan keadaan. Dan tetap berusaha untuk bisa mencukupi kebutuhan diri sendiri. Tak bergantung pada bantuan orang lain. Semoga aku bisa melakukannya. bidik misi telah membuka tabir kebahagiaan yang akan aku lalui. Semoga proyek novel dan buku yang aku tulis cepat menghasilkan sesuatu. Dan siapa tahu aku bisa melepas bidik misi dan memberikannya kepada mereka yang tirai cakrawalanya tertutup agar terbuka lebar seperti aku yang pernah merasakannya.

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 104-111)