• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aku dan Bidik Misi Segala Cerita antara Kerinci-Bogor

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 52-65)

Masa silam. Ya, masa yang telah tergulung-gulung oleh waktu dengan telah melewati ribuan detik yang terjadi dan masa inilah yang sangat kunantikan, karena masa inilah yang mempertemukan aku dengan kedua kata ini, masa ini yang ingin ku ulang kembali agar bisa kurangkai ia menjadi cerita di masa kini. Masa inilah yang membuatku sekarang menjadi ada di masa sekarang,dan karena masa inilah yang membuatku percaya akan mimpi dan pertolongan Allah, bahwa tak pernah ada usaha yang tak membuahkan hasil sedikitpun karena semuanya akan terbayar walau ia tak sepenuhnya seperti apa yang kita inginkan. Namun waktulah yang mempertemukan aku dengan kehidupan, waktulah yang mempertemukan aku dengan Bidik Misi. Karena begitulah skenario Allah jauh lebih indah dari apa yang kita bayangkan.  Andaikan waktu adalah suatu lingkaran yang mengitari dirinya

sendiri, maka seperti itulah dunia mengulang dirinya sendiri,setepat-tepatnya dan selama lamanya.

Waktu dan Bidik Misi, dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Mungkin tidak bagi orang kebanyakan, namun iya bagiku. Karena aku yakin semua hal di dunia telah diciptakan berpasangan dan ini adalah sebuah pasangan yang pas untuk memulai kehidupan baru. Karena waktu, aku mengenal Bidik Misi. Dan karena Bidik Misi, aku belajar banyak tentang waktu, belajar menunggu, belajar menyampaikan pesan terbaiknya, dan menunggu ia memberikan keajaiban dalam dunia karena waktu itu adalah dimensi yang terlihat. Bidik Misi dan waktu ah bagaikan sebuah serenade yang pas menlantunkan bait tiap bait menyenandungkan syair kehidupan, merangkainya dalam untaian kata.sekali lagi bukan untuk memperindah dan mempermanis kata dan bukan jua untuk memperpanjang cerita namun inilah segelintar kisah penguat makna, karena aku memang cinta dan tak bisa telepas dari keduanya.Bidik Misi dan Waktu.

SEBUAH HARAPAN

Mari kita kembali ke masa silam,menyelami betapa indahnya kita telah mengarungi kegetirannya.

Ketika itu tepat jam 10.30 pagi. Bel sekolah dibunyikan pertanda waktu istirahat telah datang, aku ketika itu memang masih terlihat polos ketika SMA setidaknya aku merasakan sendiri. Hanya berani mengangguk, diam dan tanpa banyak bicara ,setidaknya hal ini juga dikatakan oleh orang lain pada ku. Ketika seluruh isi kelas telah berhamburan menuju surga perut mereka memenuhi tiap kantin dan warung-warung kecil yang ada di sekitar sekolah. Aku masih mematung di sudut kelas. Memang begitulah aku, penuh kemisteriusan kata orang-orang. Ku buka bekal yang kubawa dari rumah, sepotong telor mata sapi dengan sedikit sambal terpampang di atas bulir-bulir nasi yang menyergap minta dimakan.ini memang kebiasaan ku tiap hari membawa bekal dari rumah, hitung-hitung buat penghematan, toh uang jajan bisa untuk di tabungkan, lagian masakan ibuku tetaplah yang paling lezat sedunia apapun itu, walau hanya sepotong telor dadar, ada cinta dan kasihnya yang melekat disana yang menyiratkan sebuah harapan untuk selalu hidup sederhana. Tak jarang ada yang mengejekku karena sudah sebesar ini masih saja membawa bekal dari rumah. Ah, tak peduli aku. Toh mereka  juga tidak mengerti bagaimana kondisiku.

Ketika sedang dengan enaknya melahap masakan ibu, datanglah teman sekelasku menghampiri sebut saja Adi. Dia mengatakan bahwa aku dipanggil oleh Guru BP sebut saja pak Hamzah. Tentu saja aku kaget ada apakah gerangan? karena beliau terkenal sedikit galak, aku pun memikirkan apa kesalahan yang telah ku perbuat. Sudahlah, kataku. Toh jika tak salah apapun mengapa harus takut pikirku.

 Aku pun melangkah menyusuri koridor kelas yang di penuhi anak-anak yang sedang bergurau memamerkan tawa menikmati masa muda yang indah.tanpa beban sekali terlihat,terasa bahwa jalan di depan mereka sudah sangat lurus kemana arah yang harus mereka tuju, hanya tinggal memikirkan bagaimana caranya untuk memantapkan diri berjalan di atasnya, sedangkan aku harus meruncingkan otak setiap hari meyakinkan diri ku bahwa akan ada suatu jalan paling benar yang akan di tunjukkan Allah padaku, tentang kemana aku akan terdampar setelah tamat dari bangku

sekolah ini. Ah, elok sekali tawa mereka ingin ku menumpang menyumbang canda, namun kutahu waktuku jauh lebih berharga dari pada itu,ahh kapan ku bisa seperti mereka? biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Setelah sampai di ruang beliau, dunia seolah terasa berputar. Banyak senyum yang merekah di dalamnya, senyum yang mekar bagai mawar liar dimusim semi. Aku pun semakin bingung ada apa lagi ini. Jarang sekali kulihat beliau tersenyum seperti ini. Selain beliau juga ada wali kelas,beberapa guru dan tentu saja kepala sekolah yang sangat menyayangiku hadir di dalamnya. Sayang? entahlah aku tak dapat membedakan antara rasa sayang dan iba. Bapak hamzah tanpa berlama-lama langsung mengutarakan alasan beliau memanggilku bergetar bibir ini kelu tak dapat berucap. Setelah sekitar 10 menit mendengarkan dan menjawab pertanyaan beliau, sampailah kepada satu titik yang menghubungkan aku dengan dunia luar, yang membuat harapan dan cita-cita ini kian melayang, melalang buana menyusuri tiap ruang yang ada seolah-olah ingin bercerita pada dunia bahwa anak seorang tukang ojek dan penjual lontong ini masih ada dan ia akan menjemput dunia lebih cepat dari apa yang mereka harap, menepis segala keraguan bahwa mimpi besar tak boleh di punya oleh si miskin. Yah, lagi lagi waktu yang telah menjawabnya bahkan terlampau lebih cepat dari apa yang kita harapkan.

Setelah menunggu hasil seleksi yang cukup lama, aku dinyatakan diterima untuk melanjutkan perjuangan hidupku di kota hujan. Kota yang sebelumnya tak pernah ku impikan. Diterima di fakultas Pertanian departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor. Dunia terasa sangat indah hari itu,  jabat tangan dengan para guru yang tak kalah bahagia karena ada satu diantara muridnya yang berhasil menembus hidup untuk mengadu nasib dan ilmu di pulau jawa. Ku peluk erat mereka bahwa akhirnya do‟a ku di ijabahkan Tuhan. Bahwa perjuangan mereka untuk memperjuangkan aku untuk mendapat beasiswa agar dapat terus sekolah tak percuma tak dibawa angin lalu yang hanya menyisakan air mata. Terpancar banyak harapan di mata mereka berbinar bak surya di sore

hari ketika ia menyemburat senja,memamerkan senyum sumringahnya, bersama sekawanan camar ketika ia hendak menjemput malam. Ada banyak harapan yang tersirat agar selalu ada cahaya penerang malam begitu juga dengan harapan mereka,karena rata-rata lulusan dari sekolah ini hanya segelintir saja yang dapat menimba ilmu di negeri seberang.

Karena jika dilihat dari apapun itu secara kualitas dan kuantitas memang sekolah kami kalah dari sekolah tetangga sebelah. Namun secara perjuangan sekolah kami jauh lebih menang. Bagaimana tidak, bangunan bertingkat dua ini sudah sangat rapuh dengan lantai kayu yang menua, besi-besi yang telah karatan bahkan meja yang telah berlubang-lubang pun masih setia hidup bersama kami mengarungi hari. Namun ia tetap berdiri kokoh sekokoh pendirian kami, teguh seteguh mimpi-mimpi kami. Rata-rata siswa di sekolahku adalah anak-anak yang secara ekonomi tingkat menengah ke bawah, berbeda sekali dengan sekolah sebelah yang mentereng dengan cat warna birunya. Ah, tidak masalah. Toh ilmu yang kita dapatkan tetap sama, bukan?

Namun di tengah euforia itu, aku terdiam sejenak memikirkan bagaimana dengan uang kuliah nanti. Perguruan tinggi sekelas IPB tidaklah murah. Sangat tidak mungkin jika berharap dari orang tuaku, tak ingin aku menambah beban mereka. Harapan itupun mulai sedikit memudar, karena jauh hari sebelum mendaftar ibuku telah mewanti-wanti bahwa tak ada uang untuk kuliah. Hanya tekadku saja yang terlampau kuat mengantarkanku pada mimpi-mimpiku untuk kuliah di Jawa terlepas dimanapun itu. Untuk formulir saja yang seharga dua ratus ribu rupiah aku harus membongkar semua tabungan ku selama SMA. Oh tuhan secepat inikah waktu mengambil bahagia ini kembali?

“Lho ko jadi bingung gitu?  semangatlah calon anak Bogor.“  kata pak Hamzah dengan sedikit tawanya. Beliau ternyata melihat bingung yang kurasa.

“Hmm…  mau nanya pak, biayanya berapa ya? Untuk daftar ulang sama spp tiap semester?”.  Dengan sedikit tergagap-gagap aku memberanikan diri bertanya pada beliau.

“Oh iya

“Oh iya, bapak lupa menyampaikan,kamu mendapatkan, bapak lupa menyampaikan,kamu mendapatkan beasiswa Bidik Misi jadi biaya kuliah kamu nol rupiah, dari beasiswa Bidik Misi jadi biaya kuliah kamu nol rupiah, dari  pendaftaran

 pendaftaran awal awal sama sama uang uang spp spp tiap tiap bulan, bulan, selama selama 88 semester.

semester.“ “   jawab  jawab pak pak Hamzah.akHamzah.aku u masih masih ingat ingat betulbetul rangkaian kata yang di ucapkan pak Hamzah ini

rangkaian kata yang di ucapkan pak Hamzah ini

“Selain itu kamu juga bakal mendapat uang bulanan “Selain itu kamu juga bakal mendapat uang bulanan sebesar enam ratus ribu rupiah tiap bulannya

sebesar enam ratus ribu rupiah tiap bulannya.. Masih inginMasih ingin tidak semangat 

tidak semangat ?”?” lanjut pak Hamzah. lanjut pak Hamzah.  Aku hanya terdiam, tak

 Aku hanya terdiam, tak tahu entah apa lagtahu entah apa lagi yang i yang harus kuharus ku katakana. Aku tak tahu e

katakana. Aku tak tahu ekspresi saat itu apakah sedang sedih,kspresi saat itu apakah sedang sedih, tertawa atau entah apa. Yang aku tahu dunia sedang sangat tertawa atau entah apa. Yang aku tahu dunia sedang sangat baik menyambut kedatanganku. Sebegitu cepat pertolongan baik menyambut kedatanganku. Sebegitu cepat pertolongan  Allah

 Allah menghampirmenghampiri, i, dan dan begitu begitu cepat cepat waktwaktu u menjawabmenjawab harapanku kembali. Dunia semakin indah saja. Tak lupa aku harapanku kembali. Dunia semakin indah saja. Tak lupa aku sujud syukur akan semua yang terjadi hari ini akan semua hal sujud syukur akan semua yang terjadi hari ini akan semua hal yang tak terduga, pertolongan Allah datang dari sebuah yang tak terduga, pertolongan Allah datang dari sebuah beasiswa yang bernama Bidik Misi yang tak pernah kusangka. beasiswa yang bernama Bidik Misi yang tak pernah kusangka. Ternyata ia yang akan bersamaku dalam mengarungi Ternyata ia yang akan bersamaku dalam mengarungi petualangan mimpi ini selanjutnya. Harapan itu kini menjadi petualangan mimpi ini selanjutnya. Harapan itu kini menjadi nyata tak hanya menjadi bingkai kisah pelipur duka. dengan nyata tak hanya menjadi bingkai kisah pelipur duka. dengan semangat yang membara kutekadkan diri menjelajah dunia. semangat yang membara kutekadkan diri menjelajah dunia.

PENGEMBARAAN KERINCI-BOGOR PENGEMBARAAN KERINCI-BOGOR

“Dari sini kujelajah dunia hingga sampai di batas “Dari sini kujelajah dunia hingga sampai di batas cakrawala” 

cakrawala” 

Kususun rangkaian kata itu sembari menengok rumah Kususun rangkaian kata itu sembari menengok rumah mungil tempat kediamanku ini. Aku tatap ia dalam-dalam, mungil tempat kediamanku ini. Aku tatap ia dalam-dalam, rumah yang hanya berukuran 3x9 m dengan satu kamar tidur rumah yang hanya berukuran 3x9 m dengan satu kamar tidur ini, sebagai saksi bisu kisah perjalananku selama ini. Hari-hari ini, sebagai saksi bisu kisah perjalananku selama ini. Hari-hari kujalani di sini bersama orangtua dan adikku. Rumah di kujalani di sini bersama orangtua dan adikku. Rumah di pinggiran jalan raya yang berdiri di antara rumah-rumah pinggiran jalan raya yang berdiri di antara rumah-rumah megah di sebelahnya. Tempat keseharianku mengukir megah di sebelahnya. Tempat keseharianku mengukir mimpi-mimpi indah di tiap dindingnya yang tak terlalu kuat, dinding mimpi indah di tiap dindingnya yang tak terlalu kuat, dinding bata tanpa semen dan cat inilah yang sering kali aku gunakan bata tanpa semen dan cat inilah yang sering kali aku gunakan untuk menempel keping-keping kertas yang berisi semangat untuk menempel keping-keping kertas yang berisi semangat dan

dan harapanku.harapanku.

Waktu berlalu tanpa mau menunggu hari. Setiap detik Waktu berlalu tanpa mau menunggu hari. Setiap detik pun telah ku habiskan di desa pinggiran sumatera ini. Lembar pun telah ku habiskan di desa pinggiran sumatera ini. Lembar

demi lembar daun telah berguguran seiring berganti senja. demi lembar daun telah berguguran seiring berganti senja. Hanya tinggal memupuk kenangan dan peristiwa yang telah Hanya tinggal memupuk kenangan dan peristiwa yang telah terjadi tiap tarikan nafas yang ada. Hingga 21 juni 2010 pun terjadi tiap tarikan nafas yang ada. Hingga 21 juni 2010 pun tiba. Aku harus meninggalkan rumah kecil tercint

tiba. Aku harus meninggalkan rumah kecil tercinta ini, a ini, memulaimemulai mengarungi samudera kehidupan dengan biduk layar mengarungi samudera kehidupan dengan biduk layar seadanya. Setelah meyakinkan kedua orangtua, keluarga dan seadanya. Setelah meyakinkan kedua orangtua, keluarga dan tentu saja meyakinkan diriku sendiri, hari itu untuk pertama tentu saja meyakinkan diriku sendiri, hari itu untuk pertama kalinya aku akan menginjakkan langkah ke luar Sumatera. kalinya aku akan menginjakkan langkah ke luar Sumatera. Meninggalkan kerinci tempat kelahiran dan tumbuhku. Bukan Meninggalkan kerinci tempat kelahiran dan tumbuhku. Bukan untuk waktu yang cepat namun dalam rentang waktu entah untuk waktu yang cepat namun dalam rentang waktu entah kapan lagi aku akan kembali.

kapan lagi aku akan kembali.

Ku masuki bus yang akan mengantarkanku ke Jakarta. Ku masuki bus yang akan mengantarkanku ke Jakarta. Tak lupa ku perhatikan sekelilingku dengan seksama, rumah Tak lupa ku perhatikan sekelilingku dengan seksama, rumah mungil itu, orang-orang yang mengantarkan perjalananku, mungil itu, orang-orang yang mengantarkan perjalananku, semua melambai tangan menderu biru bagai angin yang semua melambai tangan menderu biru bagai angin yang kesepian karena telah di tinggal hujan, menitikkan bulir kristal kesepian karena telah di tinggal hujan, menitikkan bulir kristal yang tertanam ke bumi, semerbak harapan-harapan pun yang tertanam ke bumi, semerbak harapan-harapan pun kembali menyeruak di dalam dada. Kutatap kembali mata kembali menyeruak di dalam dada. Kutatap kembali mata mereka ,seperti para guruku banyak sekali secercah harapan mereka ,seperti para guruku banyak sekali secercah harapan yang kulihat disana. Ya aku pergi dengan membawa sejuta yang kulihat disana. Ya aku pergi dengan membawa sejuta mimpi mimpiku dan juga berjuta mimpi mereka yang mimpi mimpiku dan juga berjuta mimpi mereka yang membuatku tetap dapat bermimpi hari ini. Gunung Kerinci tak membuatku tetap dapat bermimpi hari ini. Gunung Kerinci tak luput melambaikan tangan dari puncaknya yang menjulang, luput melambaikan tangan dari puncaknya yang menjulang, mengintai perjalanan ku melepas dingin pagi yang selalu di mengintai perjalanan ku melepas dingin pagi yang selalu di pancarkannya ketika fajar menyingsing, aroma padang teh di pancarkannya ketika fajar menyingsing, aroma padang teh di sekeliling nya mengikutiku bersama samar aungan harimau sekeliling nya mengikutiku bersama samar aungan harimau sumatera yang telah hampir tiada. Semua seolah hampir tak sumatera yang telah hampir tiada. Semua seolah hampir tak percaya, anak pegunungan yang sering dicap

percaya, anak pegunungan yang sering dicap “tukang mimpi” “tukang mimpi”  ini akhirnya akan memulai jejak baru menyusuri ruang waktu ini akhirnya akan memulai jejak baru menyusuri ruang waktu meninggalkan lembah bukit barisan yang selama ini sebagai meninggalkan lembah bukit barisan yang selama ini sebagai tempat berdiam diri menuju sebuah kota yang tak pernah tempat berdiam diri menuju sebuah kota yang tak pernah terbayang sebelumnya.

terbayang sebelumnya.

Pengembaraan dimulai, menyusuri tiap jengkal tanah Pengembaraan dimulai, menyusuri tiap jengkal tanah bersama deru mesin ini, menyusuri tiap aspal yang kini sudah bersama deru mesin ini, menyusuri tiap aspal yang kini sudah mulai berbeda dengan tempatku. Tak ada lagi jalan berlubang mulai berbeda dengan tempatku. Tak ada lagi jalan berlubang dengan genangan air di dalamnya. kini kami sampai di jalan dengan genangan air di dalamnya. kini kami sampai di jalan raya Sarolangun kabupaten di sebelahku. Aku hanya ditemani raya Sarolangun kabupaten di sebelahku. Aku hanya ditemani oleh seorang kakek dan keponakan ku, kakek ku memang oleh seorang kakek dan keponakan ku, kakek ku memang

sosok luar biasa, mungkin karena terlalu kasihan jika melihat sosok luar biasa, mungkin karena terlalu kasihan jika melihat aku berangkat sendiri, maka ia pun menemaniku dalam aku berangkat sendiri, maka ia pun menemaniku dalam perjalanan sampai di Jakarta. Cukup sedih memang ketika perjalanan sampai di Jakarta. Cukup sedih memang ketika teman-teman lain diantar oleh kedua orang tua mereka, aku teman-teman lain diantar oleh kedua orang tua mereka, aku hanya ditemani seorang kakek dan keponakan. Tapi tak apa, hanya ditemani seorang kakek dan keponakan. Tapi tak apa, kelak suatu hari kan kubawa mereka menuju tempat yang kelak suatu hari kan kubawa mereka menuju tempat yang sama hendak ku capai ini.

sama hendak ku capai ini.

Malam pun menjelang, tak terasa sepuluh jam Malam pun menjelang, tak terasa sepuluh jam perjalanan telah dilalui di dalam bus. Cukup capek rasanya, perjalanan telah dilalui di dalam bus. Cukup capek rasanya, namun ini adalah suatu rangkaian pengembaraan yang harus namun ini adalah suatu rangkaian pengembaraan yang harus dinikmati tentunya. Hingga sampai jam 21.20 kami sampai di dinikmati tentunya. Hingga sampai jam 21.20 kami sampai di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Mulailah para pengamen Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Mulailah para pengamen yang menamakan dirinya para musisi jalanan beraksi menaiki yang menamakan dirinya para musisi jalanan beraksi menaiki bus kami

bus kami untuk menyuntuk menyumbangkan umbangkan suara suara emas emas nya, aku nya, aku masihmasih tertidur ketika itu, jalanan yang kami lalui cukup sepi untuk tertidur ketika itu, jalanan yang kami lalui cukup sepi untuk sebuah kota di pinggiran hutan. Tak ada lampu jalanan yang sebuah kota di pinggiran hutan. Tak ada lampu jalanan yang menghiasi yang ada hanyalah pohon-pohon besar dan pohon menghiasi yang ada hanyalah pohon-pohon besar dan pohon sawit di sisi jalan, hanya bercahayakan temaram bulan yang sawit di sisi jalan, hanya bercahayakan temaram bulan yang cukup indah malam itu. Hingga tak lama kemudian terdengar cukup indah malam itu. Hingga tak lama kemudian terdengar lah suara jeritan dari kursi paling belakang bus, hentak saja lah suara jeritan dari kursi paling belakang bus, hentak saja sang sopir langsung menghentikan bus yang tengah melaju, sang sopir langsung menghentikan bus yang tengah melaju, namun ternyata itu bukan pilihan yang tepat, karena dari pintu namun ternyata itu bukan pilihan yang tepat, karena dari pintu paling belakang masuklah kira-kira sepuluh pria yang paling belakang masuklah kira-kira sepuluh pria yang memakai penutup muka sehingga wajahnya sama sekali tak memakai penutup muka sehingga wajahnya sama sekali tak kelihatan. Menyatu bersama gelap.

kelihatan. Menyatu bersama gelap.

Gadis di kursi paling belakang itu ternyata tengah di Gadis di kursi paling belakang itu ternyata tengah di todong oleh seorang pengamen yang bertubuh kekar. Sontak todong oleh seorang pengamen yang bertubuh kekar. Sontak seisi bus kaget dengan jeritan itu, kepanikan pun tak dapat seisi bus kaget dengan jeritan itu, kepanikan pun tak dapat dihindari, perampok yang ternyata menyamar sebagai dihindari, perampok yang ternyata menyamar sebagai pengamen itu langsung menjarahi semua barang-barang yang pengamen itu langsung menjarahi semua barang-barang yang ada pada penumpang, termasuk tas ku yang berisi ada pada penumpang, termasuk tas ku yang berisi dokumen-dokumen penting untuk pendaftaran ul

dokumen penting untuk pendaftaran ulang nanti termasuk jugaang nanti termasuk juga surat keterangan penerima Bidik Misi ada disana. Aku tak surat keterangan penerima Bidik Misi ada disana. Aku tak kuasa melawan, karena memang akan kalah dari segi apapun, kuasa melawan, karena memang akan kalah dari segi apapun, baik postur maupun kekuatan, para penumpang lain juga

Dalam dokumen Kisah inspiratif Bidikmisi 2011 (Halaman 52-65)