• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Kata Pengantar

Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) – Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International dan the United State AID (FHI & USAID) untuk melaksanakan “Behavioral Surveilans Survey (BSS) di Indonesia. BSS yang selanjutnya di Indonesiakan dengan nama Survei Surveilans Perilaku (SSP) dilaksanakan di 12 lokasi terpilih dan terletak di 10 propinsi yang menjadi target wilayah kerja ASA/FHI.

SSP merupakan suatu kegiatan baru bagi BPS, untuk itu pelaksanaannya dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama yang merupakan tahap pengembangan dan sekaligus pembelajaran dilaksanakan antara bulan Juni-Agustus 2002, mencakup 3 lokasi di 3 propinsi, yaitu Kota Medan/Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Kepulauan Riau (Riau), dan Jakarta Utara/Jakarta Pusat (DKI Jakarta).

Tahap kedua yang merupakan tahap implementasi mencakup 9 lokasi (di 7 propinsi), dilaksanakan dalam 2 periode pelaksanaan, yaitu pada bulan Oktober 2002 di Kabupaten Karawang/Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi (Jawa Barat), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Manado/Kota Bitung (Sulawesi Utara), Kabupaten Merauke (Papua), dan pada bulan Februari-April 2003 di Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Jayapura (Papua), Kota Sorong (Papua), dan Kota Ambon (Maluku).

Secara teknis penyelenggaraan SSP dibantu oleh ASA/FHI, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan (Dit. P2ML) – Ditjen PPM & PL, Departemen Kesehatan, dan Population Council. Tim teknis dari ASA/FHI, Dit. P2ML, dan BPS secara bersama-sama menyusun metodologi, manual, dan kuesioner, termasuk menjadi tim instruktur dan supervisi, sedangkan Population Council membantu antara lain dalam penyiapan materi/manual pelatihan untuk instruktur, memberikan pelatihan instruktur, dan sebagai narasumber ahli mulai dari penyusunan instrumen sampai dengan pelaksanaan lapangan SSP tahap pertama.

Pelaksanaan SSP juga dibantu oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta dari Dinas terkait di daerah, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat kabupaten/kota.

Pimpinan BPS menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan ASA/FHI dan USAID Jakarta, pimpinan Ditjen PPM & PL, dan pimpinan Population Council yang telah mendukung terselenggaranya survei ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim teknis SSP, khususnya Elizabeth Pisani dan Pandu Riono dari ASA/FHI, Saiful Jazan, Naning Nugrahini, dan Indrawati dari Dit. P2ML, serta seluruh anggota tim teknis dari BPS.

Semoga buku ini memberi kontribusi yang berarti bagi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, khususnya di Indonesia.

Jakarta, Juni 2003

Kepala Badan Pusat Statistik

(4)

Kata Pengantar

Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Salah satu diantaranya adalah memburuknya situasi epidemik HIV/AIDS dimana Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan “concentrated level epidemic”. Artinya prevalensi HIV/AIDS sudah mencapai 5 % atau lebih pada tempat-tempat dan kelompok sub populasi tertentu.

Banyak upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia namun upaya-upaya tersebut tampaknya kurang memadai dan menjangkau sasaran. Menyadari hal tersebut Departemen Kesehatan menyambut dengan gembira hasil Keputusan Lokakarya Surveilans Nasional HIV di Jakarta pada bulan April 2001, yang antara lain merekomendasikan perlunya pengembangan Survei Surveilans Perilaku pada kelompok-kelompok tertentu untuk keperluan perencanaan, deteksi dini dan untuk mendapatkan informasi untuk melaksanakan kegiatan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Pada tahap uji coba pengembangan alat untuk melakukan Survei Surveilans Perilaku ini, Departemen Kesehatan mengucapkan terima kasih atas dukungan teknis dari ASA/FHI Indonesia, IHPCP (AusAID), Prof. Budi Utomo dari Population Council dan Badan Pusat Statistik sebagai pelaksana survei.

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak baik secara perorangan maupun secara kelembagaan, yang telah berpartisipasi pada pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini.

Pada akhirnya saya berharap semoga laporan hasil Pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini dapat bermanfaat dan ditindak lanjuti dengan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS yang lebih nyata baik oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Jakarta, Mei 2003

Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes RI

(5)

Daftar Isi

Kata Pengantar

i

Daftar Isi

iii

Daftar Gambar

v

Tabel Indikator Kunci

vii

1. Pendahuluan

1

Latar Belakang 1

Survei Surveilans Perilaku 1

Sasaran Survei 2

Metode Survei 3

Sketsa Lokasi 5

2. Karakteristik Sosial dan Demografi

7

Struktur Umur 7

Status Perkawinan 7

Tingkat Pendidikan 8

Daerah Asal 9

Mobilitas 9

Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 10

Lama Bekerja 10

Tarif 11

Rata-rata Pendapatan 11

3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS

13

Pernah Mendengar HIV/AIDS 13

Pengetahuan mengenai HIV/AIDS 13

Cara tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 14

Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 14

(6)

4. Persepsi Berisiko

19

Merasa Berisiko 19

Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko 19

Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan 20

5. Pola Perilaku Berisiko

21

Penggunaan Kondom 21

Antara Pengetahuan dan Perilaku 22

Seks Anal dan Narkoba 24

6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan

27

Infeksi Menular Seksual (IMS) 27

Jenis Keluhan IMS 28

Tempat Berobat 29

7. Kesimpulan dan Saran

31

Pengetahuan dan Persepsi Berisiko 31

Perilaku Berisiko dan Kondom 32

Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan 32

(7)

Daftar Gambar

Gambar Judul Gambar

2.1 Struktur Umur Responden 2.2 Tingkat Pendidikan Responden 2.3 Propinsi Asal Responden

2.4 Pasangan Seks Pertama Kali pada Responden Pria

2.5 Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir 3.1 Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS

3.2 Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS

3.3 Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS

3.4 Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS

3.5 Tingkat Pengetahuan Responden Pria tentang Penggunaan Kondom Dapat Mencegah Tertular HIV/AIDS

3.6 Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 4.1 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS

4.2 Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya 4.3 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan 5.1 Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial

5.2 Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir 5.3 Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya

dalam Hubungan Seksual

5.4 Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir

5.5 Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik

6.1 Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS 6.2 Jenis Keluhan IMS

6.3 Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan saat Mengalami Gejala IMS tersebut

6.4 Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan

(8)
(9)

Tabel Indikator Kunci

Indikator WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS 94,3 96,9 91,0 2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan

menggunakan kondom saat berhubungan seks 88,6 85,8 68,8 3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS

dalam setahun terakhir - - 46,4

4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan

seks dalam setahun terakhir - - 57,1

5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam

seminggu terakhir 5,6 1,6 -

6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks

komersial terakhir 76,5 77,3 70,3

7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk

responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS 44,4 42,7 28,6 8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik 1,6 1,6 0,0 9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular

seksual (IMS) dalam setahun terakhir 56,1 39,4 19,1

10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi

yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir 79,7 78,0 62,3

(10)
(11)

1

Pendahuluan

Latar Belakang

Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi pernapasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini nantinya akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia.

Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik.

Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba.

Survei Surveilans Perilaku

Survei Surveilans Perilaku (SSP) adalah suatu proses sistimatik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk pemantauan perilaku responden dalam masalah kesehatan, dalam hal ini perilaku berisiko terhadap tertular oleh HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari survei generasi kedua.

Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik untuk HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, respon masyarakat terhadap pencegahan, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penang-gulangan, dan memantau keberhasilan program.

Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif

Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih tergolong rendah, namun perkembangannya sudah mengkhawatirkan Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS

(12)

telah hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku penduduk berisiko. Surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko.

Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif.

Sasaran Survei

Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita pekeja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karaoke/ diskotek/café/restoran, dan hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tidak langsung).

Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa laki-laki yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarga dalam jangka waktu cukup lama adalah laki-laki yang cenderung membeli jasa seks, dan atau mempunyai pasangan seks lain selain isteri/pasangan tetapnya.

Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di Indonesia termasuk Kabupaten Merauke yang dilaksanakan bulan Oktober 2002 difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks (dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung), dan lelaki yang bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di pelabuhan.

Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2002 adalah sebagai berikut:

• Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.

• WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu, misalnya di salon, panti pijat.

Sasaran survei adalah masyarakat yang diduga berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS

(13)

• Tenaga kerja bongkar muat (TKBM), adalah laki-laki yang bekerja sebagai tenaga pengangkut atau pengangkat barang di pelabuhan (kuli pelabuhan). Dalam laporan ini TKBM selanjutnya disebut “responden pria”.

Metode Survei

Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Perhitungan dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku.

Di dalam rancangan sampel ditentukan target sampel sebanyak 13 lokasi WPS langsung dengan responden 250 orang, 20 lokasi tidak langsung dengan responden 200 orang, dan 20 lokasi responden pria dengan responden 400 orang. Namun di dalam pelaksanaan lapangan target sebesar itu tidak dapat di capai, karena jumlah lokasi dan responden yang tersedia memang kurang.

Realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei di Kecamatan Merauke Kabupaten Merauke dicantumkan dalam tabel berikut ini.

Cakupan wilayah SSP adalah Kecamatan Merauke di Kabupaten Merauke, dengan sasaran survei adalah WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria.

Lokasi tersebut ditentukan setelah mendapatkan masukan dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kabupaten Merauke, dan Dinas Kesehatan setempat, dengan pertimbangan bahwa kedua daerah tersebut merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di Kabupaten Merauke, sekaligus merupakan daerah sasaran dari Survei Serologik HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Dengan dipilihnya Kecamatan Merauke di Kabupaten Merauke, maka di daerah tersebut diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua.

Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Kecamatan Merauke Kabupeten Merauke

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Kabupaten

Lokasi Responden Lokasi Responden Lokasi Responden Kec. Merauke,

(14)

Perkiraan populasi WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara sistim putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi.

Pemilihan acak (random sampling) digunakan untuk pemilihan sampel. Karena jumlah lokasi hasil listing WPS dan responden pria lebih kecil dari target yang ditentukan maka pemilihan sampel dilakukan secara acak, langsung pemilihan responden (tanpa melalui pemilihan lokasi). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin.

Metode acak dilakukan pada pemilihan sampel

(15)
(16)
(17)

2

Karakteristik Sosial dan Demografi

Struktur Umur

Struktur umur WPS untuk Kabupaten Merauke menunjukkan bahwa rata-rata umur WPS langsung lebih tua dibanding WPS tidak langsung. Lebih dari separuh WPS tidak langsung (73 persen) berusia di bawah 25 tahun, namun sebaliknya sekitar 60 persen WPS langsung justru mengelompok pada usia 25 tahun ke atas.

WPS langsung mempunyai rata-rata usia 26,8 tahun sedangkan WPS tidak langsung adalah 22,6 tahun atau di antara mereka terdapat perbedaan rata-rata umur sekitar 4 tahun. Sementara itu untuk responden pria, struktur umur berada pada usia produktif dengan rata-rata umur 28,6 tahun.

Status Perkawinan

Lebih dari separuh responden pria (65 persen) berstatus kawin dan sekitar sepertiga (32,5 persen) berstatus belum kawin, sementara yang berstatus cerai hanya sedikit sekali (2,5 persen). Sebanyak 47,3 persen responden pria yang berstatus kawin pernah membeli seks dalam setahun terakhir sementara diantara yang belum kawin sekitar 44,6 persen yang pernah membeli seks dalam setahun terakhir. Besarnya persentase pelanggan seks yang berstatus kawin menunjukkan potensial penyebaran penyakit kelamin dan HIV ke dalam lingkungan keluarga.

Gambar 2.1. Struktur Umur Responden

Umur WPS langsung lebih tua dibanding WPS tidak langsung

Cukup banyak responden pria beristeri yang menjadi pelanggan WPS 16 15 24 45 19 27 16 23 19 8 19 14 3 24 28 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(18)

Hampir setengah dari WPS, baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung berstatus cerai, yaitu masing-masing 49 persen pada WPS langsung dan 48 persen untuk WPS tidak langsung. Diantara WPS langsung terdapat hampir 25 persen yang menyatakan belum kawin, sementara sekitar 7 persen WPS tidak langsung menyatakan berstatus kawin.

Tingkat Pendidikan

Sebagian besar WPS langsung berpendidikan rendah (tamat SD atau kurang). WPS langsung yang tidak tamat SD sebesar 62,6 persen sedangkan yang tamat SD sebesar 24,4 persen. WPS tidak langsung pada umumnya berpendidikan lebih tinggi dibanding dengan WPS langsung. WPS tidak langsung yang berpendidikan minimal SLTP sekitar 60 persen, sedangkan di antara WPS langsung hanya sekitar 13 persen

Seperti halnya WPS langsung, sebagian besar responden pria juga mempunyai pendidikan yang rendah, yaitu lebih dari 70 persen berpendidikan SD ke bawah. Responden pria yang tidak tamat SD sebesar 39 persen dan yang tamat SD 34 persen.

Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden WPS pada umumnya berpendidikan rendah 63 13 24 27 34 4 20 7 39 9 40 20 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(19)

Daerah Asal

Di Kabupaten Merauke sebagian besar WPS (lebih dari 70 persen) berasal dari luar Propinsi Papua. WPS tersebut lebih banyak berasal dari Propinsi Jawa Timur yaitu WPS langsung (41,5 persen) dan WPS tidak langsung (31,5 persen). Selain Jawa Timur, WPS langsung juga banyak yang berasal dari Jawa Tengah (13,8 persen), sedangkan WPS tidak langsung juga cukup banyak yang berasal dari Sulawesi Selatan (22,8 persen) dan Sulawesi Utara (18,9 persen). Dari kalangan responden pria, mayoritas (94 persen) berasal dari Propinsi Papua, selebihnya berasal dari Propinsi Maluku (4,5 persen) dan dari propinsi lainnya (0,5 persen).

Mobilitas

Mobilitas penjaja seks pada umumnya tinggi, yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Sekitar sepertiga WPS, baik WPS langsung (32,5 persen) maupun WPS tidak langsung (33,1 persen), pernah menjadi WPS di daerah/kota lain. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS, di Kabupaten Merauke adalah cukup tinggi.

Hasil SSP 2002 juga menunjukkan bahwa seluruh responden pria yang pernah berhubungan seks komersial selama setahun terakhir, pernah melakukannya di luar Kabupaten Merauke.

Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden

Sepertiga WPS pernah kerja di daerah/kota lain Lebih dari 70 persen WPS adalah

pendatang, sedangkan mayoritas responden pria berasal dari Propinsi Papua 41 32 14 5 1 19 2 23 30 6 94 12 15 6 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(20)

Umur Pertama Kali Berhubungan Seks

Rata-rata usia responden pria pertama kali berhubungan seks ternyata masih sangat muda yaitu 17,5 tahun. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang yaitu 28,6 tahun maka dapat dikatakan bahwa para responden pria yang beroperasi di Kabupaten Merauke telah melakukan hubungan seks rata-rata selama sekitar 11 tahun.

Jika dilihat dengan siapa mereka pertama kali berhubungan seks, ternyata sekitar 62,4 persen berhubungan seks pertama kali dengan pacar atau lebih besar dari yang berhubungan seks pertama kali dengan istri (21,6 persen), sementara yang melakukannya dengan WPS hanya sekitar 3 persen.

Lama Bekerja

Untuk penjaja seks lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama berprofesi sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV.

Terdapat perbedaan yang cukup tinggi dalam lama menjual seks antara WPS langsung dan WPS tidak langsung. Secara rata-rata WPS tidak langsung baru menjalani pekerjaannya selama 22 bulan, atau kurang dari 2 tahun sedangkan WPS langsung sudah menjalaninya selama 43 bulan atau lebih dari 3 tahun.

Faktor lain yang mempengaruhi resiko penularan HIV pada WPS adalah jumlah pelanggan. Jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu (seminggu terakhir) pada WPS langsung sekitar 5 sampai 6 orang dan WPS tidak langsung sekitar 1 sampai 2 orang atau terdapat perbedaan yang nyata. Sementara itu, dari responden pria yang pernah berhubungan seks dengan WPS, rata-rata frekuensi berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir, adalah sebanyak 2,8 kali.

Gambar 2.4. Pasangan Seks Pertama pada Responden Pria Usia responden pria

ketika pertama kali berhubungan seks, masih relatif muda

Masa kerja WPS langsung dua kali lebih lama dibanding WPS tidak langsung 21 2 62 12 3 0 10 20 30 40 50 60 70

Istri Pasangan tetap Pacar/kekasih Kenalan/teman WPS

Pe

rs

(21)

Tarif

Hasil SSP menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 75,9 ribu oleh WPS langsung dan Rp 466,9 ribu oleh WPS tidak langsung. Dilihat dari besarnya tarif maka pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang.

Terlihat bahwa rata-rata uang yang dibayarkan oleh responden pria adalah yang terendah, yaitu sekitar Rp 48 ribu. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa responden pria dalam survei ini umumnya adalah pelanggan dari WPS langsung.

Rata-rata Pendapatan

Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan rata-rata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu adalah sekitar Rp 425 ribu atau Rp 1,3 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 750 ribu seminggu atau Rp 2,3 juta sebulan (dengan asumsi rata-rata hari kerja sebanyak 3 minggu dalam sebulan).

Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Papua, yaitu sebesar Rp 530 ribu per bulan(BPS, 2003. “Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002”).

Dibandingkan dengan pendapatan (upah) karyawan di Jayapura, yaitu sebesar Rp 1,1 juta per bulan (BPS, diolah dari data Susenas 2002), maka rata-rata penghasilan kotor seorang WPS, terutama WPS tidak langsung memang jauh lebih besar.

Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir Ada perbedaan tarif yang cukup tinggi antara WPS langsung dan WPS tidak langsung

Terdapat perbedaan pendapatan yang cukup besar antara WPS langsung dan WPS tidak langsung, dan antara WPS dengan pekerja sektor lainnya 76 467 48 0 100 200 300 400 500 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Ribuan Rp

(22)
(23)

3

Pengetahuan tentang HIV/AIDS

Pernah Mendengar HIV/AIDS

Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS. Hasil SSP di Kabupaten Merauke menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen dari setiap kelompok berisiko baik WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Di antara ketiga kelompok sasaran ini, yang paling tinggi persentasenya adalah WPS tidak langsung (96,9 persen).

Pengetahuan mengenai HIV/AIDS

Pertanyaan lebih detail mengenai pengetahuan responden tentang HIV/AIDS menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Kabupaten Merauke tidak hanya sekedar pernah mendengar tetapi mengetahui apa itu HIV/AIDS, yaitu penyakit kelamin atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dari ketiga kelompok sasaran, yang menjawab tidak tahu masing-masing hanya sekitar 7 persen atau kurang. Tingkat pengetahuan ketiga kelompok responden di Kabupaten Merauke lebih baik dibandingkan banyak daerah lainnya.

Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS

94 97 91 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Sebagian besar WPS dan responden pria pernah mendengar HIV/AIDS

(24)

Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular

HIV/AIDS

Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan kelompok sasaran, kurang dari 50 responden yang mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Sekitar 16 sampai 20 persen responden dari setiap kelompok sasaran menyatakan tidak mengetahui cara yang tepat, sementara sisanya memberikan jawaban yang salah (lihat Gambar 3.3).

Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS

Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS juga dapat menuntun untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar seseorang tidak tertular virus mematikan tersebut. Namun dalam kenyataannya perilaku seseorang tidak selalu sesuai dengan tingkat pendidikannya.

Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS

Kurang dari 50 persen responden yang tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS 49 62 42 51 60 68 7 7 6 0 10 20 30 40 50 60 70 80

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en Mengatakan AIDS adalahpenyakit kelamin

Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS Pemahaman responden tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas

(25)

Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan “teoritis” dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui “probing” (dengan menyebutkan jenis-jenis cara pencegahan HIV).

Paling tidak ada empat cara yang aman untuk menghindar dari terjangkit HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi HIV, serta tidak punya pasangan lain. Keempat cara tersebut ditanyakan dalam dua tahapan seperti sistim bertanya di atas.

Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan secara spontan baik oleh kalangan WPS maupun kalangan responden pria adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini terutama diungkapkan oleh kalangan WPS, baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung yaitu masing-masing sekitar 80 persen, sementara dari kalangan responden pria sekitar 61 persen.

Perilaku seseorang tidak selalu sejalan dengan tingkat pengetahuannya. Ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung mengatakan cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini bukan berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuknya.

Penelusuran lebih jauh melalui probing telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban “menghindari penggunaan jarum suntik bersama”, yang naik dari 23,6 persen dari jawaban spontan menjadi 70,1 persen ketika dilakukan probing pada WPS tidak langsung. Dari ketiga kelompok berisiko terlihat bahwa secara umum pengetahuan WPS lebih baik dari responden pria.

34 41 36 20 16 17 0 10 20 30 40 50 60 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

Tes darah Tidak tahu

Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS

(26)

Menarik untuk dicatat bahwa jauh lebih banyak penjaja seks dibandingkan responden pria yang secara spontan menyatakan bahwa menggunakan kondom saat berhubungan seks merupakan salah satu cara mencegah tertular HIV. Namun demikian di antara kaum pria yang menjadi pelanggan penjaja seks persentase yang menyebutkan secara spontan bahwa penggunaan kondom dapat mencegah tertular HIV juga cukup besar.

Sebagaimana terlihat pada Gambar 3.5, responden pria di Merauke cukup tinggi pengetahuannya tentang penggunaan kondom sebagai salah satu cara mencegah tertular HIV dibandingkan responden pria di daerah lain, yaitu responden SSP di Kota Bitung dan Manado (Sulawesi Utara), namun lebih rendah dibandingkan responden pria di Surabaya (Jawa Timur).

Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang berpemahaman rendah tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (22,2 persen), WPS tidak langsung (13,8 persen), dan responden pria (27,6 persen).

Gambar 3.4. Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS

Cukup banyak responden pria di Merauke yang menyadari manfaat kondom sebagai salah satu cara mencegah tertular HIV

Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja 67 69 57 87 86 69 67 70 53 54 57 54 33 46 32 80 80 61 26 24 20 19 21 20 0 20 40 60 80 100 WP S -L WP S -T L R es ponden Pria WP S -L WP S -T L R es ponden Pria WP S -L WP S -T L R es ponden Pria WP S -L WP S -T L R es ponden Pria Pe rs en

Setelah diprobing Jaw aban Spontan Tidak melakukan hubungan seks Menggunakan kondom saat berhubungan seks Menghindari penggunaan jarum suntik bersama Berhubungan seks hanya dengan satu

(27)

Pemahaman yang rendah juga tercermin dari banyaknya responden yang memberi jawaban “tidak tahu”, yaitu mencapai 37 persen pada WPS langsung dan masing-masing 40 persen dan 33 persen untuk WPS tidak langsung dan responden pria.

Pemahaman salah atau miskonsepsi ini juga terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok berisiko terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi ini terutama terlihat pada kalangan WPS, meski juga tidak sedikit proporsi responden pria yang mempunyai pemahaman salah.

Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS

Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah infeksi menular seksual (IMS) oleh sebagian besar WPS langsung (54 persen), dan sekitar 36 persen WPS tidak langsung. Sekitar 25 persen responden pria juga berpikir bahwa minum obat dapat melindungi mereka dari kemungkinan tertular IMS atau HIV/AIDS.

Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya TIDAK dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berfikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu-satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan

Miskonsepsi terhadap beberapa cara

pencegahan IMS atau HIV/AIDS sangatlah berbahaya

Gambar 3.5. Tingkat Pengetahuan Responden Pria tentang Penggunaan Kondom Dapat Mencegah Tertular HIV/AIDS

69 56 78 60 41 38 0 20 40 60 80 100

Merauke Bitung dan Manado Surabaya

Pe

rs

en Setelah diprobing

(28)

seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka persentase pada Gambar 3.6 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV.

Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satu temuan yang mencengangkan adalah tingginya proporsi penjaja seks di Merauke yang secara reguler memperoleh suntikan untuk “pencegahan” IMS dan HIV (67 persen WPS langsung dan 70 persen WPS tidak langsung). Sudah lama Depkes tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila “petugas kesehatan” masih memberikan suntikan, itu adalah diluar program Depkes. Bila penyuntikan-penyuntikan tersebut dilaksanakan di luar kontrol tenaga kesehatan maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti Hepatitis.

Gambar 3.6. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS

Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Depkes, persentase WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV masih sangat tinggi 54 28 24 44 36 28 20 37 25 17 11 26 0 10 20 30 40 50 60

Minum obat sebelum berhubungan seks Menghindari gigitan

nyamuk atau serangga lain Tidak menggunakan secara bersama alat

makan Makan makanan yang bergizi persen Responden Pria WPS Tidak Langsung WPS Langsung

(29)

4

Persepsi Berisiko

Merasa Berisiko

Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko. Bahkan di antara responden pria hanya sekitar 32 persen yang merasa berisiko.

Pemahaman tentang risiko lebih dominan pada kelompok WPS, terutama WPS langsung di mana sebanyak 62,4 persen merasa berisiko tertular HIV/AIDS, sedangkan di antara WPS tidak langsung sekitar setengahnya yang merasa berisiko.

Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko

Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Lebih dari 80 persen WPS langsung dan lebih dari 60 persen WPS tidak langsung yang merasa tidak berisiko memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar), sementara untuk responden pria yang memberikan alasan yang sama hanya sebanyak 35 persen. Meskipun demikian sebanyak 30 persen WPS langsung juga meyakini bahwa berobat terlebih dahulu dapat menghindari tertular IMS atau HIV/AIDS (pemahaman yang salah). Kelompok yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS langsung.

Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS

Sebagian besar WPS langsung merasa berisiko, sebaliknya sepertiga responden pria yang merasa berisiko

WPS umumnya lebih merasa berisiko dan memahami cara menghindarinya 62 49 32 26 32 44 12 19 24 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Merasa Beresiko Tidak Merasa Tidak Tahu

(30)

Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat

Pendidikan

Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil SSP di Kabupaten Merauke ternyata tidak memperlihatkan dugaan tersebut, khususnya di kalangan WPS. Di antara WPS langsung yang tidak tamat SD dan tamat SLTA ke atas yang menyatakan merasa berisiko tertular HIV/AIDS persentasenya relatif sama, yaitu 60 persen, sementara itu persentase tertinggi yaitu sekitar 91 persen adalah WPS langsung yang berpendidikan tamat SLTP. Dengan asumsi bahwa mereka yang tidak tamat SD sebagiannya juga buta huruf, maka perlu dicari metode intervensi yang lebih tepat bagi mereka. Di kalangan responden pria yang merasa berisiko mengalami peningkatan sejalan peningkatan pendidikan, meskipun hubungannya terlihat tidak terlalu tajam. Dari responden pria yang tidak tamat SD terdapat 28,3 persen yang merasa dirinya berisiko, meningkat menjadi 31,8 persen dari responden yang tamat SD, dan mencapai 44,4 persen di antara yang tamat SLTA ke atas.

Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya

Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin merasa berisiko 87 10 30 64 18 8 35 9 4 0 20 40 60 80 100

Karena selalu menggunakan kondom

Karena yakin pasangannya bersih

Karena berobat terlebih dahulu

Pe

rs

en

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Gambar 4.3. Responden yang merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan

61 44 28 57 52 32 91 47 35 60 52 44 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

(31)

5

Pola Perilaku Berisiko

Penggunaan Kondom

Tingkat penggunaan kondom pada hubungan seks komersial di Kabupaten Merauke tampaknya sudah jauh lebih tinggi dibandingkan banyak daerah lainnya di Indonesia. Sekitar 77 persen WPS (WPS langsung dan WPS tidak langsung persentasenya sama) menyatakan menggunakan kondom dalams seks komersial terakhir, sementara dari responden pria jumlah yang menggunakan kondom mencapai 70 persen.

Meskipun demikian, yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom dalam seks komersial selama seminggu terakhir (WPS) dan setahun terakhir (responden pria) hanya kurang dari setengahnya dari mereka yang menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir. Dari 70 persen responden pria yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir hanya sebanyak 29 persen yang selalu menggunakannya dalam setahun terakhir.

Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial

77 77 70 44 43 29 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Pakai kondom dalam seks komersial terakhir

Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (responden pria) atau seminggu terakhir (WPS)

Penggunaan kondom di semua kelompok sasaran relatif sudah tinggi

(32)

Tidak digunakannya kondom tampaknya bukan karena ketidaktersediaan kondom di lokasi, karena dari hasil pengamatan petugas SSP diketahui bahwa cukup banyak kondom yang tersedia atau mudah diperoleh di lokasi terjadinya transaksi seks, yaitu di 76,4 persen lokasi WPS langsung dan 87,4 persen lokasi WPS tidak langsung.

Antara Pengetahuan dan Perilaku

Pada Bab 3 (lihat Gambar 3.4) telah ditunjukkan bahwa lebih dari 80 persen WPS langsung dan WPS tidak langsung, serta lebih dari 60 persen responden pria mengetahui bahwa menggunakan kondom saat berhubungan seks dapat mencegah tertular HIV/AIDS, namun demikian yang mempraktekkan pengetahuan tersebut secara konsisten hanya kurang dari setengahnya. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan yang tajam antara pengetahuan dan perilaku pada ketiga kelompok sasaran.

Di antara WPS langsung yang tahu bahwa pakai kondom dapat mencegah tertular HIV, sekitar 22 persen tidak menggunakan kondom pada hubungan seks komersial terakhir, sedangkan di antara WPS tidak langsung terdapat 18,2 persen yang tidak menggunakannya.

Rendahnya WPS yang tidak menawarkan kondom kepada pelanggannya di satu sisi (hanya 12,1 persen) di kalangan WPS tidak langsung dan 16,7 persen di kalangan WPS langsung dan tingginya penggunaan kondom di kalangan WPS mungkin mengindikasikan sudah cukup tingginya kesadaran WPS terutama pelanggannya untuk pakai kondom.

Di kalangan responden pria, mereka yang tahu tentang pencegahan terhadap risiko tertular HIV/AIDS ternyata banyak yang tidak menerapkan pengetahuannya dalam hubungan seks. Di antara mereka Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan

dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir

Pengetahuan dan perilaku WPS relatif lebih konsisten dibanding responden pria 17 12 22 18 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung

Pe

rs

en

Tahu Pencegahan HIV Pakai Kondom tetapi Tidak Menaw arkan kepada Pelanggan pada Seks Komersial Terakhir

Tahu Pencegahan HIV Pakai Kondom tetapi Tidak Memakainya pada Hubungan Seks Komersial Terakhir

(33)

yang tahu pencegahan tertular dengan memakai kondom, sebesar 23 persen masih tidak menggunakannya dalam hubungan seks komersial terakhir.

Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji adalah dalam penggunaan kondom. Orang-orang yang tidak menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya, dan sangat menarik bahwa responden wanita (WPS) dan responden pria (TKBM) menunjukkan jawaban yang konsisten, yaitu sebagian besar karena pelanggannya (responden pria) tidak menghendaki pakai kondom karena “merasa kurang enak” (Gambar 5.4.).

Tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena “keengganan” kaum laki-laki untuk menggunakannya memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) penggunaan kondom tidak cukup hanya berfokus pada WPS. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak pada umumnya ada pada pelanggan.

Gambar 5.3. Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya dalam

Lebarnya gap antara pengetahuan dan perilaku berisiko lebih disebabkan oleh keengganan responden pria untuk mengguna-kan kondom dalam seks komersial 50 51 59 23 0 20 40 60 80

Tahu pencegahan tidak melakukan hub seks tetapi melakukan hub seks dg WPS selama setahun terakhir

Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi pernah berhub seks dg WPS setahun terakhir Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia

tetapi mempunyai lebih dari satu pasangan seks Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pakai kondom

dalam seks komersial terakhir

(34)

Seks Anal dan Narkoba

Seks komersial antara WPS dan pelanggan pria tentunya bukan satu-satunya perilaku berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal juga mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV, termasuk penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik pada pecandu narkoba.

Di Kabupaten Merauke tidak ada satupun responden pria yang menyatakan pernah berhubungan seks dengan Waria.

Data mengenai prevalensi HIV di kalangan waria di Merauke tidak tersedia, tetapi hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar 20 persen waria terinfeksi HIV (SSP Waria, 2002). Hal ini memberi indikasi pentingnya penyuluhan penggunaan kondom dalam berhubungan seks dengan segala jenis kategori responden, termasuk waria.

Pengguna narkoba suntik (injecting drug users/IDU) merupakan orang-orang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS (KPAN, Jakarta, 2002)*).

*) Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2002. Ancaman HIV/AIDS di

Gambar 5.4. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir

16 64 9 4 18 32 20 5 0 20 40 60 80 100 Tidak ada/tidak tersedia Pelanggan tdk mau/terasa kurang enak

Pasangan bersih Lainya

Pe

rs

en

Pelanggan WPS

Prevalensi mereka yang tertular HIV lebih tinggi di antara pengguna narkoba suntik

(35)

Hasil SSP untuk Merauke menunjukkan bahwa sekitar 1,6 persen WPS mengatakan pernah menggunakan narkoba suntik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5.5, sebagian kecil responden dari setiap kelompok sasaran juga mengatakan bahwa pasangan seks mereka pernah menggunakan narkoba suntik.

Gambar 5.5. Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik 1,6 1,6 0,0 3,3 1,6 1,0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden pria

per

se

n

Pernah menggunakan narkoba suntik

(36)
(37)

6

IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan

Infeksi Menular Seksual (IMS)

Dari ketiga kelompok berisiko, cukup banyak dari kalangan WPS langsung (56,1 persen) yang pernah mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir, sedangkan dari kalangan WPS tidak langsung dan kelompok responden pria terdapat masing-masing sebanyak 39,4 persen dan 19,1 persen.

Data di atas adalah dari apa yang dilaporkan oleh responden. Realitanya barangkali jauh lebih besar karena pada perempuan yang terinfeksi IMS bisa saja tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan.

Penyakit tersebut diterima terutama akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks.

Dari WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria yang menderita gejala IMS, masing-masing 27,3 persen, 30,3 persen, dan 44,6 persen ternyata tidak memakai kondom ketika berhubungan seks

Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS

Perilaku seks yang tidak sehat harus dibayar mahal dengan menderita penyakit menular seksual (IMS)

27 30 45 42 45 11 0 20 40 60

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu pakai kondom dalam seks komersial seminggu terakhir (WPS) atau setahun terakhir (responden pria)

(38)

komersial terakhir. Kondisi ini memberikan gambaran yang relatif baik, karena di kalangan WPS yang selalu pakai kondom cukup besar (45 persen), namun tidak demikian dengan responden pria.

Sangat menarik bahwa persentase yang mengalami gejala IMS justru lebih tinggi di kalangan WPS yang selalu memakai kondom dalam seks komersial seminggu terakhir. Bisa jadi para WPS yang selalu menggunakan kondom dalam seks komersial sebagian di antaranya adalah mereka yang sebelumnya pernah mengalami gejala IMS.

Jenis Keluhan IMS

Keluhan IMS pada perempuan dan lelaki tidak selalu sama. Ada keluhan tertentu yang dialami perempuan tetapi tidak dialami lelaki, demikian juga sebaliknya. Misalnya, penyakit kencing nanah dikeluhkan lelaki, sebaliknya penyakit keputihan dikeluhkan perempuan. Secara umum, keputihan disertai bau tak sedap merupakan jenis IMS yang pernah diderita oleh hampir semua WPS, baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung. Di kalangan WPS langsung, selain keputihan, banyak juga diantara mereka yang menderita luka/koreng di daerah alat kelamin (30,4 persen). Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin baik bagi perempuan maupun lelaki, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya.

Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS Keputihan merupakan

jenis IMS yang paling banyak diderita oleh kalangan WPS 30 4 19 16 10 52 97 100 64 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Luka/koreng di daerah alat kelamin

Benjolan di sekitar alat kelamin

Keputihan disertai dengan bau tak sedap Kencing nanah

(39)

Sementara itu, keluhan berupa benjolan di sekitar alat kelamin, dan kencing nanah merupakan tiga jenis IMS yang kerap responden alami. Lebih dari 50 persen responden pria pernah mengalami salah satu atau kedua jenis keluhan tersebut.

Tempat Berobat

Sekitar seperlima WPS tidak langsung dan WPS langsung mencoba mengobati sendiri ketika mereka merasakan gejala IMS. Sementara itu sekitar 31,8 persen responden pria yang terkena gejala yang sama juga mengobati sendiri.

Jelas bahwa pengobatan sendiri tidak efisien. Sekitar 64,7 persen WPS dan sekitar 63,7 persen responden pria yang mencoba mengobati dirinya sendiri akhirnya pergi ke tempat pelayanan kesehatan juga.

Hasil SSP di Merauke menunjukkan bahwa petugas kesehatan masih merupakan tempat yang paling dominan untuk mencari penyembuhan IMS yang dialami oleh ketiga kelompok sasaran.

Gambar 6.3. Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut

Petugas kesehatan masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan akibat keluhan IMS yang diderita 80 78 62 0 2 6 7 10 12 13 20 10 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

Berobat ke petugas kesehatan Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati

(40)

Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati IMS yang diderita ternyata berbeda antar kelompok sasaran. WPS langsung mempunyai pilihan utama tempat berobat ke Klinik/Yayasan dan Klinik Lokalisasi yaitu masing-masing 24 persen dan 27 persen, WPS tidak langsung lebih banyak berobat ke Rumah Sakit (36 persen) dan Dokter Praktek (28 persen), sedangkan responden pria lebih memilih berobat ke Rumah Sakit dan Puskesmas masing-masng sebesar 35 persen. Tidak jelas apa alasan pilihan ini, bisa karena akses yang mudah, karena sudah langganan atau biaya berobat yang berbeda.

Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan

18 36 35 9 3 35 7 28 2 13 0 28 53 33 0 0 10 20 30 40 50 60

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

per

se

n

Rumah Sakit Pustu/Puskesmas Dokter Praktek Mantri Kesehatan Lainnya

Prevalensi tempat berobat berbeda di antara ketiga kelompok sasaran

(41)

7

Kesimpulan dan Saran

Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Dalam masa itu, kita telah belajar banyak tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya ini biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV.

Di Merauke, intervensi pendidikan seperti ini cukup meluas. Sekitar 93 persen WPS langsung, 84 persen WPS tidak langsung, dan 59 persen responden pria mengatakan mereka pernah mengetahui atau memperoleh kampanye pencegahan HIV selama setahun terakhir.

Cakupan kampanye “pengetahuan dasar” yang cukup meluas ini diduga menjadi salah satu sebab sudah relatif tingginya pengetahuan kelompok sasaran tentang perlindungan dasar seperti penggunaan kondom di antara responden yang berisiko tinggi terhadap HIV.

Satu hal yang dapat kita pelajari adalah bahwa informasi itu sendiri tidaklah cukup. Orang memerlukan motivasi, kepandaian/keterampilan dan pelayanan untuk menindaklanjuti informasi yang mereka terima. Data yang disajikan dalam laporan ini memberikan gambaran bahwa semua itu masih kurang, khususnya ditinjau dari besarnya perbedaan antara pengetahuan dan perilaku.

Bagian ini memberikan ringkasan mengenai beberapa temuan utama dari putaran kedua surveilans perilaku di Merauke, dan tantangan yang muncul, serta usulan tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut.

Temuan kunci

Pengetahuan dan Persepsi Berisiko

• Ada kesenjangan yang lebar dalam pengetahuan di antara lelaki dengan perilaku berisiko tinggi (responden pria), khususnya mengenai penting dan efektifnya penggunaan kondom untuk mencegah tertular IMS atau HIV.

• Adalah sangat berbahaya adanya kepercayaan yang begitu meluas bahwa menggunakan obat sebelum atau sesudah berhubungan seks dapat melindungi atau mencegah dari tertular IMS, juga HIV.

• Mempunyai pengetahuan cukup belum berarti siap untuk mengubah perilakunya ke perilaku yang sehat.

(42)

• Banyak orang yang tahu bagaimana HIV dapat ditularkan tetapi tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut, meskipun mereka melaporkan melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan banyak pasangan. Selain itu, ada ketidaksesuaian yang substansial terjadi pada orang orang yang merasa berisiko dengan perilaku berisiko yang mereka lakukan.

Perilaku Berisiko dan Kondom

• Banyak kaum lelaki dalam kelompok responden SSP melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan sekitar 47 persen lelaki yang berstatus kawin melaporkan juga berhubungan seks di luar pasangan nikahnya. Sekitar 46 persen responden pria membeli seks dari WPS, yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom relatif masih rendah.

• WPS langsung di Merauke merupakan pengguna kondom yang paling tinggi di antara penjaja seks langsung di Indonesia.

• Alasan sebagian besar WPS tidak menggunakan kondom adalah karena pelanggannya tidak suka atau tidak mau menggunakannya. • Proporsi responden yang menggunakan narkoba suntik memang kecil,

namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV.

Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan

• Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi yang dapat diukur dari tingginya persentase orang-orang yang melaporkan tertular IMS. Sekitar 27 persen sampai 45 persen dari mereka yang pernah tertular IMS adalah mereka yang melaporkan tidak menggunakan kondom. • Banyak WPS yang mengalami gejala IMS di antara mereka yang

selalu menggunakan kondom dalam seks komersial seminggu terakhir. Sebagian dari WPS ini diduga mengalami gejala tersebut ketika mereka belum menggunakan kondom.

• Banyak orang mempunyai gejala IMS berusaha mengobati diri mereka sendiri terlebih dahulu. Bila upaya ini gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan.

• Tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh WPS tidak langsung dan responden pria adalah rumah sakit, sedangkan WPS langsung klinik lokalisasi.

• Proporsi yang sangat tinggi dari WPS melaporkan menerima injeksi secara rutin untuk “melindungi diri” dari HIV dan IMS. Ini merupakan tantangan bagi kebijakan pemerintah, dan merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kaum perempuan yang telah “merasa aman” dengan adanya injeksi tersebut.

(43)

Usulan Tindakan

• Menjamin tersedianya akses terhadap informasi yang benar, rinci, dan relevan, tentang HIV, dan bagaimana pencegahannya untuk orang-orang yang berisiko tinggi.

• Menyediakan informasi rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, termasuk demonstrasi penggunaannya, dan pengorganisasian “kampanye penggunaan kondom” yang menyediakan “insentif” bagi kaum lelaki yang tidak pernah menggunakan kondom untuk mencobanya.

• Mempertimbangkan pelaksanaan promosi dan distribusi kondom di kalangan kaum lelaki dan di tempat-tempat lain di mana kaum lelaki dengan perilaku risiko tinggi dapat secara berkala ditemui.

• Dalam semua aktivitas promosi kondom, perlu ditekankan akan pentingnya/perlunya penggunaan kondom pada seks berisiko.

• Bekerja sama dengan pemilik rumah bordil, bar, dan panti pijat untuk menganjurkan para germo/mucikari/mami, dan berbagai pihak berpengaruh yang mempunyai kontak dengan pelanggan untuk menegosiasikan penggunaan kondom dan menyediakan kondom langsung bagi para pelanggan.

• Melaksanakan penelitian kualitatif untuk memahami secara lebih baik mengapa orang-orang yang melaporkan berperilaku berisiko tidak merasa terancam oleh HIV dan IMS, dan menggunakan hasil penelitian tersebut untuk kampanye perlindungan di masa datang. • Kampanye secara aktif untuk mengakhiri kepercayaan bahwa

meminum obat merupakan cara yang benar untuk melindungi diri dari IMS dan HIV.

• Berupaya secara aktif untuk menghentikan praktek-praktek penyun-tikan massal bagi pekerja seks. Mempertimbangkan sanksi hukumnya termasuk menutup atau membekukan izin praktek bagi orang-orang yang menyediakan “jasa” tersebut.

• Menjamin bahwa praktisi medis (termasuk dokter praktek) yang menyediakan pelayanan pengobatan IMS bagi kelompok berisiko tinggi telah mendapat pelatihan yang memadai tentang pengelolaan dan konseling pencegahan, serta mempunyai akses pada pelayanan jasa laboratorium yang berkualitas dan pasokan obat-obatan yang tepat.

• Bekerjasama dengan pekerja-pekerja di bidang industri seks dan yang terkait untuk merujuk skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat. Mempertimbangkan untuk mengenalkan “kartu sehat” bagi WPS, yang mencatat kunjungan skrining dan sejarah perlakuan pengobatan yang pernah dialami.

• Melakukan penilaian secara rinci mengenai penggunaan narkoba suntik dan kaitannya dengan seks komersial, dan memulai program pengurangannya bila diperlukan.

(44)

Gambar

Gambar  Judul Gambar
Tabel Indikator Kunci  Indikator  WPS  Langsung  WPS  Tidak  Langsung  Responden Pria
Gambar 2.1.  Struktur Umur Responden
Gambar 2.2.  Tingkat  Pendidikan Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan keripik simulasi sukun merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kegunaan sukun dalam rangka penganekaragaman pangan sehingga diharapkan dapat

Maksudnya, jika kata yang terhitung 100 tidak jatuh di ujung kalimat maka akan dihitung dalam bentuk desimal (perpuluhan). Cara melakukan persepuluh adalah jumlah

Analisis data bivariat adalah analisa yang dilakukan lebih dari dua variabel (Notoadmodjo, 2005).Analisa ini digunakan untuk menguji pengaruh terapi akupresur dalam

Dengan kondisi yang seperti itu anda dapat meletakkan botol-botol dalam jumlah genap pada setiap baris dan setiap kolom.4. 115 |Jejak Seribu Pena, Langkah Cerdas Menuju

(5) Apabila permohonan perubahan SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak atau hasil pemeriksaan lapangan tidak sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri

Di kalangan WPS tidak langsung sekitar 66,2 persen yang terkena gejala IMS adalah mereka yang tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara dari kelompok

Sekitar 23 persen kelompok sasaran menyatakan tidak tahu, dan sisanya sekitar 22 persen memberi jawaban yang salah (lihat Gambar 3.3). Pemahaman tentang Cara Menghindari