• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pernikahan Sirri : Antara Cita dan Realita - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pernikahan Sirri : Antara Cita dan Realita - Test Repository"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Kutipan Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Peng guna an Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Peng guna an Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah).

(3)

PERNIKAHAN

SIRRI:

Antara Cita dan Realita

Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.

Editor

(4)

DI PERGURUAN TINGGI UMUM

Penulis:

Dr. Ilyya Muhsin, M.Si.

Editor: Dr. Siti Zumrotun

Tata Letak & Rancang Sampul: Bang Joedin

Penerbit:

Trussmedia Grafika

Jl. Gunungan, Karang RT.03, No.13, Singosaren Banguntapan, Bantul

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Phone. 08 222 923 8689, WA. 0857 291 888 25

Email: one_trussmedia@yahoo.com

www.trussmediagrafika.com

(5)

S

yukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT yang selalu mencurahkan Rahmat dan Hidayah serta karunianya kepada Penulis, sehingga buku yang berjudul Pernikahan Sirri: antara cita dan realita, dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi agung kita Muhammad SAW yang telah merintis sekaligus mengembangkan tasyri’ Islam, sehingga Islam tampil sebagai agama yang Rahmatan lil’alamiin. Sekaligus sebagai uswatun hasanahdalam segala bidang kehidupan baik dalam berkeluarga, bermasyarakat maupun dalam bernegara.

Buku ini merupakan hasil penelitian tentang fenomena nikah sirri di masyarakat. Buku yang Penulis susun ini dalam semua bab mengkaji tentang pernikahan sirri baik dalam teori maupun praktek di masyarakat. Faktor yang mendorong, proses pernikahan, bentuk pernikahan, persepsi masyarakat serta implikasinya dalam kehidupan yang dialami oleh para pelaku nikah sirri.

Buku inimenggambarkan secara lengkap tentang pernikahan sirri yang dipraktikkan oleh masyarakat dengan menggambarkan kehidupan keluarga mereka. Bahkan juga kehidupan sosial ke masya-rakatan dan juga hubungannya dengan kehidupan bernegara, ber-dasarkan pada penelitian yang langsung dilakukan oleh penulis.

(6)

Kami ucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah men dukung terbitnya buku ini. Terutama kepada seluruh sivitas aka-demika IAIN Salatiga, masyarakat pelaku nikah sirri, serta teman-teman yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Terima kasih juga saya hutur kan kepada suamiku tercinta dan anak-anakku tersayang.

Jazakumullah khairal jaza’.

Salatiga, 20 Oktober 2017 Penulis

(7)

Pernikahan Sirri Bukan Solusi

P

ernikahan merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia sepanjang hidupnya.Dengan pernikahan atau perkawinan manusia bisa membentuk keluarga dalam rangka meneruskan keturuannya. Selain itu pernikahan juga merupakan tuntutan kodrat setiap manusia. Bahkan perkawinan tidak hanya urusan manusia dengan manusia lainnya, akan tetapi juga merupakan urusan manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itusemua agama atau bahkan Negara mengatur hal tersebut.

Islam merupakan agama yang memiliki aturan secara detail terkait dengan pernikahanandengam tujuan agar manusia bisa men-jalani hidup keluarga secara maslahah dunia dan akhirat. Bukan sebaliknya dengan pernikahan malah menimbulkan kemaf sadatan

atau kesengsaraan. Sehubungan dengan hal tersebut bukan hanya agama tapi juga Negara membuat peraturan ataupun undang-undang terkait dengan tata aturan pernikahan.

(8)

Pertama, pendapat yang memisahkan pasal 2 ayat (1) dengan ayat (2), sehingga perkawinan sudah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya, sedangkan pendaftaran hanyalah merupakan syarat administratif. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan antara orang-orang yang beragama Islam sudah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.

Kedua, pendapat yang menyatakan antara pasal 2 ayat (1) dan (2) merupakan satu kesatuan yang menentukan sahnya suatu perkawinan. Pendapat ini didasarkan pada penafsiran sosiologi dan dikaitkan dengan akibat hukum dari perkawinan.1

Kelompok yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan sebagai syarat adminisrasi hanya memandang pada proses ijab qabul yang sudah memenuhi syarat dan rukunsecara agama tanpa me-man dang akibat hukumnya dan juga bukan pada pencatatannya. Pen dapat ini dipegangi oleh masyarakat Islam pada umumnya dan juga para ahli hukum di Indonesia.

Pro dan kontra tersebut hanya terjadi di kalangan pakar hukum ataupun akademisi. Sedangkan masyarakat pada umunya memegangi bahwa pernikahan sudah sah ketika sudah memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam. Tidak menjadi persoalan apakah pernikahan itu sudah dicatatkan atau belum. Pencatatan di hadapan KUA hanya merupakan syarat adminitratif sehingga tidak mengurangi keabsahan nikah itu sendiri. Pernikahan semacam ini dikenal oleh kalangan masyarakat dengan istilah nikah sirri atau nikah dibawah tangan atau nikah modin.

Banyak faktor yang mendorong masyarakat untuk melakukan pernikahan secara sirri ini antara lain: faktor agama, pendidikian ekonomi, biologis, ekonomi juga mitos dan lingkungan.

Tuntunan agama yang didukung dengan adanya pemuka agama yang mau menikahkan para pelaku nikah sirri ini mencari

1 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

(9)

legitimasi dari sisi agama. Sehingga hubungan biologis mereka men-jadi halal. Fenomena ini menggambarkan betapa faktor ajaran agama memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong seseorang untuk melakukan pernikahan. Tetapi sayangnya, para pasangan yang menikah sirri ini sering tidak mengindahkan faktor tersebut, sehingga mereka melaksanakan rukun dan syarat nikah sirri secara setengah-setengah. Dalam Islam pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam walau sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Islam sangat menganjurkan untuk melakukan perayaan atau walimah

sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas pernikahan tersebut. Bahkan bukan hanya sekadar pengumuman atau pun persaksian, akan tetapi walimah memiliki fungsi untuk menghindarkan suatu pasangan dari fitnah atau isu negatif.

Mereka ingin menghalalkan suatu hubungan dengan berupaya menjalankan tuntunan agama, namun pada praktiknya mereka tidak me menuhi unsur penghalalan nikah tersebut. Akibatnya, tujuan utama menikah sirri agar terhindar dari fitnah dan pelabelan negatif pun tidak terwujud, dan bahkan memunculkan pelabelan yang bahkan lebih keras lagi. Ada yang mengatakan perilaku tersebut tidak ber moral, merebut suami orang, hanya ingin mementingkan diri sendiri, dan lain-lain.

Dengan demikian, hal ini tentu saja kembali berpulang ke-pada pemahaman dan tingkat pendidikan praktik pelaku nikah sirri tersebut terhadap apa hakikat sah dan tidaknya nikah sirri ini. Karena itulah peran pemuka agama atau siapapun tokoh yang merasa mempunyai kemampuan untuk menikahkan pasangan nikah sirri ini sangatlah penting dalam proses adaptasionis yang menyebabkan praktik nikah sirri ini terus lestari.

Salatiga, 25 Oktober 2017

Editor,

(10)
(11)

Kata Pengantar ...v Pengantar Editor: Pernikahan Sirri Bukan Solusi ... vii Daftar Isi ... xi

BAB I

PERNIKAHAN DALAM BUDAYA MANUSIA ...1

BAB II

PERNIKAHAN SIRRI ...11 A. Pengertian Nikah dan Nikah Sirri ... 11 B. Tujuan Nikah dan Relevansinya dengan Nikah Sirri ... 19

BAB III

PENCATATAN PERNIKAHAN ...25 A. Pencatatan Pernikahan antara Syarat Administratif atau

Syarat Kumulatif ... 25 B. Pencatatan Perkawinan dalam Islam ... 28 C. Pencatatan Perkawinan di Indonesia... 30 1. Pencatatan Perkawinan dalam UU No 22 Tahun 1946.. 30 2. Pencatatan Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 ... 31 3. PP No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 33 4. Pencatatan Perkawinan dalam KHI ... 35 5. Pencatatan perkawinan dalam UU No. 23 Tahun 2006

(12)

D. Perbedaan Pendapat Tentang Pencatatan Perkawinan ... 36

1. Syarat Administratif ... 37

2. Syarat Kumulatif ... 39

BAB IV BENTUK-BENTUK DAN TIPE-TIPE PERNIKAHAN SIRRI DI MASYARAKAT ...43

A. Profil Keluarga Nikah Sirri ... 43

1. Pernikahan Sirri di Usia Senja ... 44

2. Pernikahan Pada Masa Iddah: Kasus Nt dan Edy ... 49

3. Pernikahan Pensiunan: Kasus Kdjh dan Rjmn ... 51

4. Pernikahan PNS dengan Janda ... 54

5. Pernikahan Semi Duda dengan Gadis: Kasus suami ditinggal istri bekerja ke luar negera menjadi TKW, (kasus Ags dan Rhy) ... 62

6. Pernikahan Semi Janda dengan Perjaka: Kasus Hnk dan Antk ... 64

7. Pernikahan Janda dengan Semi Duda ... 66

8. Pernikahan Gadis dengan Pria yang sudah Bersuami ... 69

9. Pernikahan Perempuan yang masih bersuami dengan laki-laki yang masih bersuami: kasus sgym dan bun. .... 72

10. Pernikahan Poligami karena Istri Pertama Mandul: Kasus Jnd dan Rbh ... 76

11. Pernikahan sirri yang ketiga: Kasus Snph dan Sgng ... 80

12. Pernikahan Janda dengan laki yang beristri (kasus Mnh dan Rtn) ... 85

13. Pasangan TKI (Kasus Ztn dan ZD) ... 88

14. Pernikahan Duda dengan Perempuan Semi Janda (Pasangan Bapak Kary dan Ibu Zhrtn) ... 89

15. Pernikahan Sirri Janda Pensiunan dengan Orang yang Tidak Normal ... 90

16. Pernikahan antar negara (Pasangan My dan Bny) ... 92

(13)

B. Model Pernikahan Sirri di Masyarakat ... 96

1. Memenuhi Syarat dan Rukun Pernikahan Menurut Fiqh ..97

2. Tidak Memenuhi Syarat dan Rukun Pernikahan Menurut Fiqh ... 98

3. Memenuhi Syarat dan Rukun Menurut UUP No.1 Tahun 1974 ... 99

4. Tidak Memenuhi Peraturan dalam UUP No.1 Tahun 1974 ... 99

5. Walimah ... 100

6. Tidak Ada Walimah... 101

7. Pencatatan ... 102

8. Tempat Pelaksanaan ... 103

C. Tipologi Pernikahan Sirri Masyarakat Salatiga ... 105

1. Tipologi Pernikahan ... 105

D. Persepsi Masyarakat Terhadap Pasangan Nikah Sirri ... 128

BAB V FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA PERNIKAHAN SIRRI DI MASYARAKAT ...133

A. Faktor Internal Terjadinya Nikah Sirri Masyarakat ... 133

1. Meraih Keuntungan dalam Bidang Ekonomi ... 133

2. Dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Biologis ... 135

3. Pertimbangan dalam Menjalankan Agama ... 137

4. Keuntungan Psikologis... 139

5. Umur Sudah Tua ... 139

6. Terbentur Aturan Administrasi ... 139

B. Faktor Eksternal Terjadinya Nikah Sirri ... 143

1. Peraturan Perundang-Undangan ... 143

2. Sosial dan Budaya ... 144

3. Karakter Masyarakat ... 145

4. Peran Kyai/Tokoh Masyarakat ... 146

5. Mitos ... 147

(14)

7. Tingkat Pengetahuan Masyarakat ... 148

BAB VI IMPLIKASI NIKAH SIRRI DALAM KEHIDUPAN ...149

A. Implikasi Nikah Sirri dalam Kehidupan Berkeluarga, Ber masyarakat, dan Bernegara ... 149

1. Implikasi Nikah Sirri dalam Kehidupan Berkeluarga .. 149

2. Implikasi dalam Kehidupan Bermasyarakat ... 151

3. Implikasi dalam Kehidupan Bernegara ... 154

B. Praktik Nikah Sirri dalam Analisis Maqāsid al-Syari’ah ....158

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP NIKAH SIRRI ....165

A. Persepsi Tokoh Masyarakat ... 166

B. Persepsi Tokoh Agama ... 168

C. Persepsi Pejabat Pemerintah ... 170

D. Persepsi dari Kalangan Akademisi ... 175

PENUTUP ...179

(15)

PERNIKAHAN DALAM BUDAYA

MANUSIA

S

ejarah mencatat beberapa masalah krusial terkait dengan ke hidupan manusia hubungannya dengan seksual. Bahkan tidak hanya manusia, binatangpun juga memiliki naluri dalam hubungannya dengan masalah seksual. Karena Allah manciptakan makhluk dengan berpasangan. Demikianlah naluri makhluk, masing-masing memiliki pasangan dan berusaha untuk bertemua dengan pasa ngannya. Tidak ada satu naluri yang lebih dalam dan lebih kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan dua lawan jenis: pria dan wanita, jantan dan betina, positif dan negatif. Itulah ciptaan dan pengaturan ilahi.

Sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyat: 49

 َنوُرَّكَذَت ْمُكَّلَعَل ِ ْيَجْوَز اَنْق

َلَخ ٍءْ َش  ِّ ُك ْنِمَو

Artinya: “Segala sesuatu telah Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.

Dalam surat Yasin: 36

(16)

Artinya: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Laki-laki dan perempuan sebagai pasangan manusia harus hidup bekerja sama dan hidup harmonis. Salah satu bentuk kerja sama dan perwujudan dari kehidupan harmonis itu adalah pernikahan. Sebelum perwujudan hidup kerjasama dalam bentuk pernikahan sebagai mana yang dikenal sekarang ini ada bentuk-bentuk pe nyatu an antara laki-laki dan perempuan dalam menyalurkan naluri seksualnya. Misalnya jika dipelajarai tentang adat istiadat sebeluam Islam.

Dalam bidang hukum, Mushthafa Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip Jaih Mubarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan, antara lain sebagai berikut:

1. Istibdha, pernikahan untuk mencari keuntungan, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan pria yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri berjimak dengan laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya hamil. Jika istri sudah hamil dengan laki-laki terhormat tresebut maka suami kembali menjimaki istrinya. Tujuan perkawinan samacam ini adalah agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menjimakinya yang tidak dimiliki oleh sifat suaminya. Salah satu contohnya adalah seorang suami merelakan istrinya berjimak dengan raja hingga terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal dari bangsawan atau orang-orang terhormat.

(17)

tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menjimaknya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, per-empu an tersebut memberitahukan bahwa ia telah dikaruniai anak hasil hubungan dengan mereka, kemudian sang perempuan menunjuk salah satu dari semua laki-laki tersebut untuk menjadi bapak dari anak yang dilahirkannya. Sedangkan laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak. Yang dijadikan dasar untuk menentukan siapa bapak dari anak tersebut adalah tanda-tanda distinktif serta wajah anak, yang ditentukan oleh ahli nujum dan para fisiognomis. Selanjutnya para fisiognomis itu menyatakan pandangannya mengenai anak siapakah bayi itu. Wanita semacam ini bisa dikatakan sekarang sama dengan pelacur.1

3. Maqtha Yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapak nya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya dia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkannya. Sementara ibu tirinya tidak memiliki kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil, ibu tiri diharuskan menunggu sampai anak tersebut dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya.

4. Badal, Yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan untuk memuaskan jimak dan terhindar dari kebosanan.

5. Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara atau saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.2

Selanjutnya berkembang bentuk-bentuk perkawinan yang ter-kenal dan berlaku dalam masyarakat tradisional bisa dikla sifi kasikan

1 Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, Terj. M. Hashem,

Hak-hak Wanita Dalam Islam (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), hlm. 208.

2 Mushthafa Sa’id Al-Khinn, 1984: 18-19, yang dikiutip oleh Jaih Mubarok,

(18)

menjadi dua, yaitu monogamy, poligini dan poliandri. Sedangkan dalam masyarakat modern pada umumnya hanya mengenal bentuk perkawinan monogami.

Monogami merupakan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan pada suatu saat tertentu. Bentuk ini dikenal oleh umum dan dapat ditemukan dalam setiap masyarakat, bahkan dikalangan penganut agama Kristen bentuk ini merupakan sebuah keharusan. Monogami merupakan bentuk perkawinan yang paling alami. Dalam monogami terdapat semangat eksklusif yang khusus, yakni perasaan saling memiliki secara khusus dan individual.3

Dalam monogami, istri dan suami memandang perasaan, kasih sayang, dan keuntungan seksual sebagai milik dan hak timbal balik.

Poligini atau poligami merupakan bentuk jamak tunggal. Poligami ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu poigini, poliandri, conogami4:

a. Poligini, merupakan perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama. Sebenarnya setiap manusia ini mempunyai kecenderungan untuk melakukan

poligini, akan tetapi karena adanya nilai-nilai dan kaidah-kaidah dalam masyarakat, maka kecenderungan untuk berpoligini dapat dikekang.

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya poligini, antara lain:

(1) Faktor kebudayaan, perang misalnya mengurangi jumlah laki-laki sehingga terjadi ketidakseimbangan antara jumlah laki-laki dan perempuan sehingga memungkikan adanya

poligini.

(2) Lingkungan sosial, seperti penyakit yang memperkecil jumlah kaum laki-laki.

3 Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, Terj. M. Hashem,

Hak-hak Wanita Dalam Islam (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), hlm. 206.

(19)

(3) Untuk mendapatkan status dalam masyarakat, karena makin banyak istri, maka statusnya makin tinggi dalam masyarakat. (4) Untuk tujuan ekonomi, karena makin banyak istri maka

makin banyak yang membantu untuk mengolah sawahnya atau mencari rezeki.

(5) Ingin mendapatkan keturunan karena istri yang pertama tidak dapat memberi keturunan.5

b. Poliandri, seorang wanita, dalam waktu yang sama, mempunyai lebih dari seorang suami. Will Durant menulis, ”Praktik seperti ini dapat ditemukan pada suku Tuda dan beberapa suku di Tibet”. Bentuk poliandri ini sekarang sudah tidak dikenal oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena ayah dari anak tidak dikenal. Dalam jenis hubungan perkawinan ini, hubugan antara ayah dan ananknya tidak pasti.6 masyarakat menganggap hal

ini sebagai sesuatu yang luar biasa dan merupakan bentuk perkawinan yang tidak diakui.7

c. Conogami, merupakan perkawinan dari dua atau lebih laki-laki dengan dua atau lebih wanita dalam perkawinan kelompok.8

Dalam perkawinan ini tidak ada pria yang mempunyai hubungan eksklusif dengan seorang wanita tertentu, dan tidak ada wanita yang terpaut secara eksklusif pada seorang pria tertentu. Will Durant menyebutnya dengan istilah ”perkawinan kelompok”.9

Dalam ilmu antropologi dikenal ada dua jenis perkawinan poligami yang menyebabkan sikap istri berbeda-beda dalam menerimanya. Yaitu poligami yang dasarnya romantic love marriage

dan poligami yang disarnya economic marriage. Poligami model pertama (romantic love marriage) akan berlangsung sangat alot.

5Ibid., hlm. 231.

6 Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita Dalam Islam, hlm. 208-209. 7 Khoiruddin, Sosiologi Keluarga, hlm. 24.

8 Siti Norma & Sudarso, Pranata Keluarga, hlm. 231.

(20)

Poligami model ini banyak berahir dengan perceraian. Biasa seorang istri bersikeras untuk tidak mau dipoligami. Bahkan mengajukan opsi lebih baik dicerai dari pada dipoligami. Jika akhirnya istri bisa menerima poligami ini, maka dalam model ini keadaan keluarga akan terus menerus ditimpa masalah yang memicu pada perang dingin antara suami dan istri. Namun jika istri bisa mentranformasikan situasi dengan mengambil manfaat untuk menyenagkan diri sendiri dan anak-anaknya sehingga suami tak lebih hanya sapi perahan maka perkawinan poligami ini mungkin bias bertahan.

Dalam model ini romantic love marriage, penerimaan istri atas poligami sering didasarkan atas pertimbangan untuk mem per-tahan kan sebuah keyakinan bahwa rumah tangganya telah dibangu n berdasarkan cinta.perceraian bagi mereka hampir bukan pilihan karena perceraian merupakan penghancuran atas seluruh bangunan keyakinan atas keluarga yang selama telah dibangun atas dasar cinta dan ke setiaan. Tak heran misalnya ada perempuan yang menerima per-kawin an poligami meskipun secara finansial mereka cukup mandiri.

Berbeda dengan model economic marriage, poligami yang dilakukan dalam model ini disebabkan kebutuhan ekonomi. Poli-gami model ini harus bisa diterima dan dirasionalisasikan. Praktek model ini biasanya terjadi pada masyarakat agraris, dalam kleuarga petani-petani pegunungan atau para pedagang nomaden. Ini juga penjelasan yang bisa rasional untuk praktek poligami dan konon bisa harmonis.10

Dari berbagai bentuk perkawinan tersebut melahirkan bentuk-bentuk keluarga yang bisa dibedakan menjadi dua, yakni keluarga batih (Conjugal family atau Basik family) adalah keluarga yang terdiri suami, isteri dan anak-anak mereka yang belum kawin.11

10 Faqihuddin Abdul qadir, Memilih monogamy, Pembacaan Atas

Al-Qur’an dan Hadis Nabi, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara:2005), hlm.Ii-Iii.

(21)

Keluarga kerabat atau besar (Exentended family atau Consanguine family atau joint family) adalah keluarga yang tidak hanya terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka, melainkan termasuk juga orang-orang yang ada hubungan darah dengan mereka, misalnya kakek, nenek, paman,  bibi, keponakan dan sebagainya.12

Mengenai consanguine family, lebih jauh dapat dibedakan lagi menjadi dua bentuk, yaitu: pertama, consanguine family yang

matrilineal yaitu bahwa yang masuk keluarga adalah kelompok dari saudara-saudara perempuan dan laki-laki dengan anak-anak dari saudara perempuan tersebut. Sehingga di sini terdapat keadaan laki-laki yang telah kawin seakan-akan tidak termasuk dalam keluarga si istri beserta anak-anaknya, dan suami tersebut tetap bersama keluarganya sendiri. Sedang istri berkeluarga dengan anak-anaknya dan saudara-saudara perempuanya dan saudara-saudara laki-lakinya beserta anak-anak dari saudara-saudara perempuannya. Kedua,

consanguine family yang patrilineal yang merupakan kebalikannya dari consanguine family yang matrilinial yaitu istri tidak termasuk keluarga suaminya. Suami berkeluarga dengan saudara-saudara perempuan dengan anak-anaknya sendiri dan saudara-saudaranya laki-laki beserta anak-anak dari saudara-saudara laki-laki tersebut.

Jika ditinjau dari tempat tinggal atau pemukiman keluarga bisa dibedakan menjadi: pertama,patrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat dengan keluarga sedarah suami. Kedua, matrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat dengan keluarga satu istri.13Ketiga, neolokal adalah pasangan suami

istri, tinggal jauh dari keluarga suami maupun istri. Berdasarkan penelitian yang pernah penulis lakukan ada satu lagi tipe keluarga berdasarkan pemukiman yaitu mediolokal, keluarga yang tinggal dekat dengan keluarga suami dan dekat dengan keluarga istri, karena pernikahan tersebut dilakukan dengan saudara dan tinggal dalam

(22)

satu kampung.14

Dalam melaksanakan peran suami dan istri dalam keluarga bisa dibedakan menjadi tiga yaitu: patriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah dipihak ayah atau suami. Matriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah pihak ibutau istri.

Equalitarium adalah keluarga yang memegang kekuasaan adalah ayah atau suami dan ibu atau istri.15

Berbagai tipologi keluarga yang dalam ilmu sosiologi tersebut memiliki berbagai fungsi.16 Adapun fungsi-fungsi keluarga tersebut

antara lain:

a. Fungsi pengaturan keturunan, keluarga menjamin keberlang-su ngan reproduksi. Karena fungsi reproduksi ini merupakan hakikat untuk kelangsungan hidup manusia dan sebagai dasar kehidupan sosial manusia, dan bukan hanya sekedar kebutuhan biologis saja. Fungsi ini didasarkan atas pertimbangan sosial, misalnya dapat melanjutkan keturunan, dapat mewariskan harta, serta pemeliharaan pada hari tua. Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa perkawinan tanpa menghasilkan anak merupakan suatu kemalangan karena bisa menimbulkan hal-hal yang negatif. Bahkan ada yang berpendapat semakin banyak anak semakin banyak rizqi.

b. Fungsi sosialisasi atau pendidikan. Fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk personality-nya. Anak-anak itu lahir tanpa bekal sosial, agar bisa berpartisipasi maka harus disosialisasi oleh orangtuanya tentang nilai-nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Anak harus

14 Hasil penelitian Siti Zumrotun, Pola Perkembangan Perkawinan

Endogami: Studi Kasus di Dusun Jembangan, Desa Sruwen, Kecamatan Tengaran,

Tahun 2015.

(23)

diajari norma-norma yang baik yang berlaku dan norma-norma jelak yang seharusnya dijauhi dan tidak dilaksanakan. Dengan demikian keluarga merupakan perantara diantara masyarakat luas dan individu. Kepribadian seseorang diletakkan pada waktu uang sangat muda sedangkan yang sangat berepengaruh dalam kepribadian ini adalah seorang ibu.

c. Fungsi ekonomi atau unit produksi. Fungsi keluarga ini meliputi pencarian nafkah, perencanaan dan pembelanjaannya. Pelak-sana anya dilakukan oleh dan untuk semua anggota keluarga, sehingga akan menambah saling mengerti, solidaritas dan tang-gung jawab bersama. Fungsi ini menggambarkan bahwa keluarga bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi yang masing-masing ang gotanya memiliki peran dan hubungan dalam bekerja. Se-hingga tidak hanya suami yang berperan dalam bidang ekonomi. Hubungan suami istri dan anak-anak bisa dipandang sebagai teman dalam bekerja.

d. Fungsi Pelindung. Fungsi ini lebih menitikberatkan dan mene-kankan kepada rasa aman dan terlindungi apabila anak merasa aman dan terlindungi barulah anak dapat bebas melakukan penjajaan terhadap lingkungan.

e. Fungsi Penentuan status. Jika dalam masyarakat terdapat per-bedaan status yang besar, maka kleuarga akan mewariskan statusnya pada tiap anggota atau individu sehingga tiap-tiap anggota keluarga mempunyai hak-hak istimewa. Perubahan status ini biasanya melalui perkawinan. Hak-hak istimewa keluarga, misalnya menggunakan hak milik tertentu. Jadi status dapat diperoleh melalui assign status maupun ascribed status.

(24)

tergantung pada masyarakat. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang makin dan modern dan komplek, sebagian dari pelaksanaan fungsi pemeliharaan ini lambat laun mulai banyak diambil alih dan dilayani oleh lembaga-lembaga masyarakat, misalnya rumah sakit, rumah-rumah yang khusus melayani orang jompo.

g. Fungsi Afeksi. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa kenakalan yang serius adalah satu ciri khas dari anak yang sama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian atau merasakan kasih sayang. Di sisi lain, ketiadaan afeksi juga akan menggerogoti kemampuan bayi untuk bertahan hidup.

(25)

PERNIKAHAN SIRRI

A. Pengertian Nikah dan Nikah Sirri

D

ewasa ini fenomena nikah sirri menjadi isu menarik untuk diperbincangkan secara serius, bukan karena nikah sirri tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan menuai kontroversi di kalangan ahli hukum di Indonesia, melainkan nikah sirri tersebut sudah menjadi perilaku yang tidak tabu baik di kalangan pejabat, selebriti, praktisi politik atau bahkan tokoh agama dan juga tokoh masyarakat maupun rakyat biasa. Selain itu juga realitas praktik nikah sirri di masyarakat menimbulkan banyak masalah yang tidak sederhana dalam menjalani kehidupan keluarga. Mulai dari masalah ekonomi, sosial, budaya sampai pada masalah hukum dan pendidikan.

Untuk memposisikan secara proporsional, masalah nikah sirri harus dimaknai secara seragam terlebih dahulu. Sehingga tidak muncul berbagai interpretasi yang berbeda-beda. Secara etimologi nikah sirri dalam bahasa Arab disebut nikāh al-sirr yaitu pernikahan yang dilakukan secara rahasia, sembunyi-sembunyi, tanpa publikasi atau tanpa walîmah.17

17 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia

(26)

Dalam konteks Indonesia, ada ragam pengertian dan praktik nikah sirri yang dipersepsikan masyarakat, yang bisa dibedakan menjadi tiga kategori. Yaitu nikah tanpa wali, nikah di bawah tangan dan nikah tanpa walimah.18

Nikah tanpa wali adalah nikah yang dilakukan tanpa hadirnya seoarang wali, bahkan keluarganyapun tidak mengetahuianya.19

Nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya tetapi tidak atau belum dicatatkan ke PPN.20 Sedangkan nikah tanpa walimah adalah nikah yang sudah

tercatat akan tetapi tidak diadakan perayaan atau walimah.

Walaupun tidak hanya satu definisi nikah sirri di kalangan para ulama, namun definisi yang melekat di kalangan masyarakat di Indonesia tentang nikah sirri adalah nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan fiqh (telah memenuhi syarat dan rukunnya), tetapi masih bersifat intern keluarga dan belum dicatatkan ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Nikah semacam ini disebut dengan nikah yang ”tidak dicatat” atau disebut juga nikah ”di bawah tangan”. Nikah semacam ini tidak mendapatkan bukti autentik berupa Akta Nikah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain dikenal dengan kata nikah sirri, masyarakat juga sering menyebutnya dengan nikah modin, kyai, atau nikah secara agama.

Nikah sirri dalam tinjauan sosial ada dua bentuk: pertama,

pernikahan yang dilangsungkan antara mempelai lelaki dan per-empuan tanpa kehadiran wali dan saksi-saksi, atau dihadiri wali tanpa

1984), hlm. 667.

18 Naqiyah Mukhtar, “Mengurai Nikah Sirri Dalam Islam”,al Manahij, vol.

VI, APIS, 2012, , hlm. 257.

19 Saifudin Zuhri, Sanksi Pidana Bagi Pelaku Nikah Sirri dan Kumpul Kebo

(Semarang: Bima Sakti, tt), hlm.3.

20 Siti Musawwamah dkk, Akseptabilitas Regulasi Kriminalisasi Pelaku

(27)

saksi-saksi, kemudian mereka saling berwasiat untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Jenis pernikahan ini batil (tidak sah), karena tidak memenuhi persyaratan-persyaratannya, yaitu unsur wali dan saksi-saksi dan kedua, pernikahan yang berlangsung dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya yang lengkap, seperti ijab kabul, wali dan saksi, akan tetapi mereka itu (suami, istri, wali dan saksi-saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan dari pengetahuan masyarakat atau sejumlah orang.21

Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat..., menerangkan bahwa perkawinan ”tidak dicatat” berbeda dengan perkawinan ”tidak dicatatkan”. Pada istilah ”perkawinan tidak dicatat” bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur ”dengan sengaja” yang mengiringi iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah ”perkawinan tidak dicatatkan” terkandung iktikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya memang ”dengan sengaja” tidak dicatatkan.22 Dari nikah yang tidak

dicatat atau tidak dicatatkan inilah kemudian muncul istilah nikah sirri.

Sedangkan kata nikah itu sendiri dalam bahasa Arab ber-makna al-wathî’ dan al dammu wa al-tadãkhul. Terkadang juga disebut dengan al-d}ammu wa al-jam’u atau ’ibãrat ’an al-wathî’ wa al-’aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.23

Perkawinan atau pernikahan dalam fiqh sering disebut dengan kata nikah dan zawaj. Kata-kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al Qur’an yang berarti kawin, sebagaimana dalam Q.S.

An-21 Thriwaty Arsal, “Nikah Sirri dalam Tinjauan Demografi”, Sodality:

Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol. 06, No. 02, I September 2012, hlm. 160.

22 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat

Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm.153.

23 Wahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al-Islãmi Wa ‘Adillatuhu, Juz VII (Damsyiq;

(28)

Nisa:3 yang artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga

atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,Maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Demikian pula banyak kata za-wa-ja dalam al Qur’an yang ber-arti kawin. Sebagimana dalam Q.S. al-Ahzab:37. Secara bahasa nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Makna bahasa ini terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah:230 yang artinya:

Ayat tersebut mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadis Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah meraskan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.

Meskipun ada dua kemungkinan arti kata na-ka-ha itu namun mana di antara dua kemungkinan tersebut yang mengandung makna sebenarnya terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Golongan Syafiiyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki) bisa juga dimakani hubungan kelamin dalam arti yang tidak sebenarnya (majazi).24 Sedangkan

golongan hanafiah nikah menurut makna hakiki adalah bersetubuh dan menurut makna majazi suatu akad yang menjadikannya halal berhubungan kelamin antara laki-laki dan wanita. Ulama lain seperti Abu Qasim Al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ulama Hanafiyah nikah bermakna berserikat antara akad dengan bersetubuh. Adapun ulama ahli fiqh memaknai nikah adalah akad

24 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh

(29)

yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada laki-laki hak memiliki farji (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penimatan sebagai tujuan primer.25

Menurut Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.26

Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Kifayat al Akhyar

mendefinisikan nikah sebagai al wat’ yaitu akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang dimaksud dengan al wat’

adalah bersetubuh.27

Berangkat dari makna secara etimologis tersebut para fuqaha beragam dalam mendefinisikan nikah secara terminologi. Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan nikah adalah: ”Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya”.28

Abû Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwãl al-Syakhs}iyyah,

men definisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan per empuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban.29

Hazairin menyatakan bahwa inti dari pernikahan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah bila tidak ada

hubu-25 Ibrahim Husen,Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta:Pustaka

Firadaus, 2003)

26 Muhammad Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al

Fikr al-Arabiyyah,tt), h. 19.

27 Taqiyuddin An-Nabhani Kifayat al Akhyar, (Bandung: Al Maarif: t.t),

juz II, h. 36

28Ibid.

29 Muhammad Abû Zahrah, al Ahwal Al-Syakhsiyyah (Qahirah: Dãr

(30)

ngan seksual.30 Senada dengan Hazairin, Mahmud Yunus

men-definisikan pernikahan sebagai hubungan seksual. Begitu juga Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.31

Definisi nikah dalam kitab-kitab fiqh tersebut di atas nampak-nya para ulama dalam mendefinisikan kata nikah semata-mata dalam konteks hubungan biologis. Di mana definisi tersebut belum sepenuhnya menggambarkan hakikat perkawinan itu sendiri. Selain terkesan sangat berorientasi pada biologis definisi menurut ulama fiqh terkesan sangat bias gender yang menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinat. Perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki32

Berangkat dari makna secara etimologis tersebut para fuqaha beragam dalam mendefinisikan nikah secara terminologi. Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan nikah adalah: ”Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya”.33

Abû Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwãl al-Syakhsiyyah, men-de finisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum ber-upa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan per em-puan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan ke wajiban.34

Hazairin menyatakan bahwa inti dari pernikahan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah bila tidak ada

30 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasinal Indonesia (Jakarta: Tintamas,

1961), 61.

31 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan

Rujuk (Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971), 65.

32 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No I/1974 sampai KHI,(Jakarta: Prenada Media:2004), h. 44-45.

33Ibid., hlm. 29.

34 Muhammad Abû Zahrah, al Ahwal Al-Syakhsiyyah (Qahirah: Dãr

(31)

hubungan seksual.35 Senada dengan Hazairin, Mahmud Yunus

mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan seksual. Begitu juga Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.36

Definisi baik secara etimologis maupun terminologis di atas mem berikan kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki. Perempuan hanya dilihat dari aspek biolo-gis nya saja. Implikasinya perempuan menjadi pihak yang dikuasai laki-laki.

Berbeda dengan definisi didalam UU No.I/1974 seperti yang ter muat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai: ”Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari definisi ini terlihat bahwa pernikahan tidak hanya penghalalan hubungan antara laki-laki dan perempuan tetapi mengandung tiga dimensi yaitu dimensi sosiologis (peristiwa sosial yang bersifat pribadi/individual affair), teologis (aktifitas keagamaan), dan berdimensi yuridis formal, karena nikah sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an sebagai perjanjian yang agung (mitsãqan ghalîzan).37

Ketiga dimensi tersebut merupakan standar pelaksanaan per nikahan yang terjadi di Indonesia. Misalnya orang yang ingin melaku kan nikah, maka orang tersebut harus memenuhi syarat dan rukun sesuai dengan agama yang mereka anut. Kemudian diadakan perayaan (walîmah al-’ursy) sesuai dengan tradisi di lingkungannya, juga harus dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau DKCS setempat.

35 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasinal Indonesia (Jakarta: Tintamas,

1961), hlm.61.

36 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan

Rujuk (Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971), hlm. 65.

(32)

Pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan sebagaimana diterangkan dalam UU No. I/1974 pasal 2 ayat 2 bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku”. Kemudian ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam PP No.9/1975 dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa: ”Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan”.38

Hakikat dari pencatatan perkawinan menurut UU No. I/1974 bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan di tengah masyarakat, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Dengan akte nikah, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Bukti otentik semacam ini

38 Selanjutnya dijelaskan dalam KHI pasal 5: (1) Agar terjamin ketertiban

(33)

sangat urgen sebagai tali pengikat tanggung jawab semua pihak agar terjamin nilai keadilan dan ketertiban yang menjadi pilar utama tegaknya kehidupan rumah tangga.39 Sehingga jika ada orang yang

melaksanakan pernikahan walau sudah memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun tidak tercatat ataupun sengaja tidak dicacat dikenal oleh masyarakat dengan sebutan nikah sirri.40

B. Tujuan Nikah dan Relevansinya dengan Nikah Sirri

Jika direlevansikan antara nikah sirri dengan definisi nikah menurut UU No I/1974 nampak ada dimensi yang tidak terpenuhi, yaitu dimensi sosiologi juga dimensi yuridis. Dalam tinjauan sosio-logi, jika apa yang dipikirkan atau diperbuat seseorang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan anomali nilai atau keanehan. Akibatnya masyarakat akan memberikan sanksi sosial. Sanksi tersebut bisa berupa label atau stigma negatif. Akibat stigma negatif tersebut akhirnya pasangan tersebut tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat. Kehidupan seks yang awalnya bertujuan untuk melang-sungkan generasi secara harmonis akhirnya berubah menjadi

39 Bukti autentik berupa akta nikah pada zaman Nabi belum begitu

penting, mengingat kultur menulis pada waktu tidak begitu penting karena kultur lesan (hafalan) lebih berkembang, sedangkan tradisi walimah al-’ursy walau hanya menyembelih seekor kambing merupakan saksi syar’i, selain itu perkawinan pada waktu itu berlangsung dengan jarak yang dekat. Baca dalam Amiur Nuruddin,

Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 120-121.

40 Di kalangan masyarakat sendiri muncul perbedaan pendapat tentang

(34)

pemuas hawa nafsu belaka.41

Kondisi tersebut bertentangan dengan tujuan nikah sebagai-mana yang tercantum dalam makna nikah dalam UU No I/1974 yakni untuk membentuk keluarga bahagia, kekal. Tujuan perkwinan yang kekal dan bahagia ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama,

suami-istri saling bantu-membantu serta lengkap-melengkapi.

Kedua, masing-masing suami-istri dapat mengembangkan kepriba-diannya. Ketiga, membentuk keluarga yang bahagia sejahtera spi-ritual dan material.42

Ketiga tujuan nikah tersebut nampak sangat idealis jika di-bandingkan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia yang mayo-ritas menganut kultur patriarchi. Yakni, sebuah sistem sosial dimana klan laki-laki lebih dominan dibanding dengan klan per empuan. Sehingga tujuan nikah tersebut akan sulit diwujudkan apalagi pernikahan yang dilangsungkan sudah tidak mempertimbangkan faktor sosiologi. Sementara idealnya pernikahan secara sosial se-bagaimana komentar Asaf A.A Pyzee, mampu atau berhasil meng-angkat derajat seoarang perempuan ke tingkat yang lebih tinggi di masyarakat dibanding dengan kondisi sebelumnya.43

Sedangkan jika ditinjau dari dimensi yuridis, bahwa nikah yang dilakukan secara sirri tidak memenuhi UU No. I Tahun 1974 yang mengharuskan pernikahan dicatatkan. Selain itu nikah sirri memiliki beberapa dampak negatif yang ditimbulkan antara lain: pertama, tidak ada jaminan perlindungan hukum dan tidak memiliki jaminan yang pasti ketika perempuan hamil dan mempunyai anak. Sehingga jika terjadi percekcokan yang berakibat suami melalaikan kewajibannya, istri tidak dapat menuntutnya secara sah di pengadilan. Sementara

41 Gani Abdullah, ”Seks, Gender dan Reproduksi Perempuan” (Khoirul

Muzakki, Kontroversi Nikah Sirri), Suara Merdeka, Rabu 28 Desember 2011), hlm. 7.

42 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di

Indonesia, hlm. 51.

(35)

menurut UU No. I/1974 pasal 34 ayat 3 dengan jelas diterangkan bahwa: ”Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Jika perkawinan itu tidak legal, maka jika terjadi kelalaian terhadap tanggungjawab sebagai suami atau istri tidak dapat dituntut di pengadilan. Dan yang paling rentan untuk dilanggar hak-haknya adalah istri.

Kedua, nikah sirri rentan terjadi kekerasan terhadap perempu-an. Karena posisi perempuan (istri) lemah, sehingga laki-laki (suami) merasa bebas melakukan apa saja dan meninggalkannya sesukanya karena pernikahannya tidak memiliki kekuatan hukum. Ketiga,

praktik nikah sirri mudah menimbulkan pelanggaran terhadap hak reproduksi dan kesehatan perempuan. Keempat, mudah terjadi perceraian dengan hanya mengucapkan kata cerai dan meninggalkan istri tanpa tanggungjawab dari suami.44

Dari sini nampak jelas bahwa praktik pernikahan sirri itu sulit mewujudkan keluarga yang bahagia dan maslahah karena banyak melanggar aturan-aturan pemerintah hingga banyak menimbulkan kerusakan dan madharat. Bahkan tidak jarang terjadi lahir hubungan seks di luar nikah dengan dalih pernikahan sirri.45

Padahal pernikahan itu sendiri memiliki tujuan yang sangat agung dalam rangka membentuk keluarga yang sakînah mawaddah wa rahmah. Keluarga yang sakinah ini akan dapat terwujud jika antara suami dan istri mampu melaksanakan fungsi-fungsi keluarga yang meliputi: fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan.

Fungsi pembinaan lingkungan ini menunjukkan bahwa manu-sia adalah makhluk somanu-sial sehingga ia tidak dapat hidup sendirian.

44 Mudhofar Badri dkk, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren

(Yogyakarta:: Yayasan Kesejahteraan Fatayat. tt), hlm. 165.

45 M. Quraish Shihab, Perempuan dari Cinta sampai Seks (Jakarta: Lentera

(36)

Lingkungan merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan keluarga. Karena lingkungan merupakan kekuatan baik positif maupun negatif dalam mempengaruhi keluarga. Namun juga sebaliknya keluarga mempengaruhi lingkungan. Oleh karena itu keluarga di samping diharapkan memiliki kemampuan untuk menempatkan diri secara serasi, selaras dan seimbang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakatnya, keluargapun diharapkan berpartisipasi dalam pembinaan lingkungan yang sehat dan positif sehingga lahir norma luhur yang sesuai dengan nilai agama dan budaya masyarakat. 46

Sementara praktik pernikahaan sirri sarat akan pengabaian nilai, baik nilai agama, budaya maupun nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Realitas yang terjadi banyak masyarakat yang menganggap bahwa istri yang dinikah secara sirri tidak jarang mendapatkan stigma ”istri simpanan” sehingga sulit bersosialisasi dengan masyarakat. Selain itu nikah sirri juga sarat akan terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan gender pada perempuan (istri).47

Tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan perempuan berarti mengabaikan setengah potensi masyarakat, dan melecehkan mereka berarti melecehkan seluruh manusia karena tidak seorangpun -kecuali Adam dan Hawa- yang tidak lahir melalui seorang perempuan. Sementara nikah sirri sebagaimana komentar Masdar F. Mas’udi menunjukkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, karena merupakan ”penjajahan seks” yang menunjukkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.48

Walau sebagian masyarakat paham bahkan tahu secara langsung pasangan nikah sirri rentan terjadi kekerasan dalam berbagai bentuknya, namun pernikahan tersebut tetap saja terjadi. Bahkan para ulama, tokoh masyarakat ataupun pejabat pemerintah

46Ibid., hlm. 137-149.

(37)

sudah paham akan status hukum pernikahan sirri tersebut, namun tetap saja di antara mereka ada yang mau menikahkan dengan cara sirri tersebut. Bahkan yang lebih tragis lagi ada tokoh agama di suatu desa yang menikahkan pasangan dengan nikah sirri, padahal sudah tahu jelas orang tersebut masih punya istri. Lebih parah lagi laki-laki yang dinikahkan tersebut berbohong dengan mengaku sudah menceraikan istri pertamanya. Dari sini nampak bahwa salah satu motivasi terjadinya nikah sirri adalah poligami. Musdah Mulia dalam bukunya yang berjudul Islam Menggugat Poligami menerangkan tentang terjadinya nikah di bawah tangan (nikah sirri), merupakan problem sosial yang sering muncul sebagai implikasi dari poligami. Para suami yang berpoligami banyak yang enggan mencatatkan pernikahannya karena malu dan segan berurusan dengan aparat pemerintah.49

49 Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka

(38)
(39)

PENCATATAN PERNIKAHAN

A. Pencatatan Pernikahan antara Syarat Administratif atau Syarat Kumulatif

B

erbicara tentang pencatatan perkawinan di Indonesia tidak bisa lepas dari hukum perkawinan dalam Islam (Fqih Munakahat) dan juga UU No 1 Tahun 1974. Berbicara hukum perkawinan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah munculnya UUP No 1 Tahun 1974, yang dilatarbelakangi oleh belum adanya Undang-Undang perkawinan dalam bentuk unifikasi dan terkodifikasi. Kenyataan Indonesia merupakan Negara bekas jajahan Belanda dalam kurun waktu yang lama, telah menjadikan hukum perkawinan di Indonesia memiliki corak politik hukum Belanda.50

Diterbitkannya UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada dasarnya akan lebih baik dan lebih bercorak Indonesia dan dapat lebih memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia. Atau dengan kata lain, UU No I Tahun 1974 ditengarai merupakan hukum nasional yang sepenuhnya tercipta berdasarkan hukum dan politik hukum Indonesia.51

50 Kusumadi Pdjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum

Indoensia,(Jakarta:Penerbit UNiversitas, 1961),h.27.

51 Bustanul Arifin,Pelembagaan Hukum Islam di Indoensia, Akar Sejarah,

(40)

Pada tanggal 16 Agustus 1973 pemerintah mengajukan RUU Perkawinan. Sebulan sebelum diajukannya RUU tersebut timbul reaksi keras dari kalangan umat Islam. RUU tersebut dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan ada yang menganggap lebih keras lagi bahwa RUU tersebut ingin mengkristenkan Indonesia. (Amiur:2004:23): Respon negatif terhadap RUU perkawinan muncul dari organisasi-organisasi Islam terkait dengan pasal atau ayat-ayat yang menurut mereka bertentangan dengan hukum Islam. Misalnya pasal tentang poligami. Pasal 3,4,dan 5. Ratna Sari ketua Persatuan Muslim Indonesia (Permi) mengatakan bahwa menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat adalah lebih baik dari pada melacurkan diri. Penolakan terhadap RUU perkawinan ini muncul dalam pembahasan RUU di DPR.

FPP adalah fraksi yang paling keras menentang RUU ter sebut karena bertentangan dengan hukum Islam. Kamal Hasan meng gam-barkan bahwa semua ulama baik dari kalangan tradisional maupun modernis, dari Aceh sampai Jawa Timur menolak RUU tersebut.52

Menyaksikan reaksi keras umat Islam yang demikian meluas dan pembicaraan di parlemen seolah-olah buntu, maka terjadi

lobbying antara fraksi-fraksi damn pemerintah, Fraksi PPP dan Fraksi ABRI. Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan tercapai konsensus yang berintikan:

1. Hukum agama Islam tentang perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah.

2. Sebagai consensus dari butir satu di atas maka, alat-alat pelak-sana annya juga tidak akan dikurangi atau diubah, tegasnya UU No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 14 Tahun 1970 dijamin kelangusngannya.

3. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU ini supaya didrop atau dihilangkan.

52 Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia; Respon Cendekiawan muslim,

(41)

4. Pasal (2) ayat (1) itu disetujui dengan rumusan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan munurut hukum dan kepercayaannya masing-masing”. Tiap-tiap perkawinan dicatat demi kepentingan administrasi Negara.

5. Perkawinan dan perceraian serta poligami perlu diatur untuk mencegah kesewenang-wenangan.53

Menarik untuk dicatat dengan disahkannya UUP No 1 Tahun 1974 hukum Islam memasuki fase baru dengan apa yang disebut

fase taqnin (fase pengundangan). Banyak sekali ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan yang ditransformasikan ke dalam UU tersebut kendati dengan modifikasi. Namun demikian dalam memahami pasal-pasal dalam UUP tersebut umat Islam berbeda pendapat. Khususnya terkait dengan pasal 2 ayat 1 dan 2 tentang sahnya perkawinan.

Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Pasal 2 Ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Terhadap pasal 2 ayat (2) ini terdapat 2 macam penafsiran, yaitu:

Pertama,pendapat yang memisahkan pasal 2 ayat (1) dengan ayat (2), sehingga perkawinan sudah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya, sedangkan pendaftaran hanyalah merupakan syarat administratif. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan antara orang-orang yang beragama Islam sudah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.

Kedua, pendapat yang menyatakan antara pasal 2 ayat (1) dan (2) merupakan satu kesatuan yang menentukan sahnya suatu perkawinan. Pendapat ini didasarkan pada penafsiran sosiologi dan

53 Iskandar Pitonga,Hak-hak Wanita dalam UUP dan KHI, (Jakarta,

(42)

dikaitkan dengan akibat hukum dari perkawinan.54

B. Pencatatan Perkawinan dalam Islam

Permasalahan pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan. Pembahasannya berkutat pada nikah sirri yang terkait dengan saksi. Menurut jumhur ulama suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syarat.

Ada beberapa analisis yang dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih Islam walaupun ada ayat al-Qur’an yang mengajarkan untuk mencatat segala bentuk transaksi mumalah.

Pertama, lerangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan (oral).

Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka mengan-dalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilupakan.

Ketiga, tradisi walimatul ursy walaupun dengan menyembelih seekor kambing merupakan saksi di samping saksi syar’I tentang sebuah perkawinan.

Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada awal-awal Islam belum terjadi antar wilayah Negara yang berbeda-beda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam satu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti perkawinan selain saksi belum dibutuhkan.55

54 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 46.

55 Amiur Nuruddi dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

(43)

Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika terus berkembang terkait dengan sosial budaya juga hukum. Pergeseran kultural lisan (oral) kepada kuktur tulis sebagai cirri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta atau surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena hilang dengan sebab kematian, manusia bisa juga mengalami kesila pan dan kelupaan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta. Akta nikah untuk saat sekarang sangatlah penting berkaitan dengan tanggungjawab sosial dan hukum. Mengingat perkawinan merupakan perbuatan yang berimplikasi pada masalah sosial dan hukum.

Sebagaimana dikutip oleh Khoirudin Nasution, Ahmad Safwat sarjana dari Mesir mengharuskan pencatatan perkawinan ber-dasar pada pemikiran, bahwa ada hukum yang mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum itu tidak berubah kecuali hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna (efisien). Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah yang lebih diutamakan. Kehadiran saksi dalam akad nikah menurut Ahmad Safwat, bertujuan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai. Kalau ada cara yang lebih baik atau lebih memuaskan untuk mencapai tujuan tersebut, cara ini dapat diganti dengan pencatatan perkawinan secara formal. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan bagi Safwat sebagai ganti dari kehadiran saksi, sebuah rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah.

Dalam mensikapi persoalan tersebut jalan ijtihad yang diambil oleh para ulama salah satunya dengan mengambil qaidah fiqhiyyah, yang artinya: meninggalkan kerusakan-kerusakan itu lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan.

(44)

telah menyalahi salah satu qaidah fiqhiyyah tersebut. Realitas yang terjadi di masyarakat bahwa pernikahan sirri banyak menimbulkan mafsadat jika dibandingkan kemaslahatannya.

C. Pencatatan Perkawinan di Indonesia

1. Pencatatan perkawinan dalam UU No 22 Tahun 1946

Perkawinan atau pernikahan menurut UU No 22 Tahun 1942 Pasal 1 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa:

“Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah”.

Tugas Pegawai Pencatat Nikah ditentukan dalam pasal 2 ayat 1 yaitu:

“Pegawai pencatat Nikah dan orang yang disebut dalam ayat 3 Pasal ! membuat catatan tentang segala nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya dan tentang talak dan rujuk yang diberitahukan kepasanya, catatan yang dimaksudkan pada pasal I dimasukkan di dalam buku pendaftaran masing-masing yang sengaja diadakan untuk hal itu, dan contohnya masing-masing ditetapkan oleh Mentri Agama.56

Untuk mengetahui ketentuan pelanggaran pelaksanaan akad nikah yang dilakukan orang Islam di Indonesia ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1):

“Barangsiapa yang akad nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyak Rp.50 (lima puluh rupiah).

56 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Dalam Neng Djubaidah,

(45)

Berdasarkan pasal 3 ayat (1) UU No 22 Tahun 1946 dapat diketahui bahwa pelaksanaan perkawinan memang harus dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah. Bagi barang siapa (seorang laki-laki) yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tdiak dibawah pengawasan pegawai, maka ia dapat dikenakan hukuman denda paling banyak Rp. 50 (lima puluh rupiah). Dalam ketentuan tersebut jelas bahwa yang dapat dikenakan denda adalah suami.57

Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak, dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut dengan kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi pada perkawinan perlu dicatat ini untuk menjaga jangan sampai ada kekacauan.

2. Pencatatan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974

Pasal 1 UU No I Tahun 1974 merumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah perkawinan berdasarkan agama. Menurut Hazairin “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana yang tercantum dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945, maka yang dimaksud dengan perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai berikut:

a. Di dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau tidak boleh berlaku”Hukum Perkawinan” yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi orang-orang Islam, atau “Hukum Perkawinan” yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, “Hukum Perkawinan” yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Budha bagi umat

(46)

Budha, Hukum Perkawinan” yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu bagi umat Hindu, “Hukum Perkawinan” yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ajaran Koh Hu Cu bagi penganut Konh Hu Cu.58

b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat atau hukum (per kawinan) Islam bagi orang Islam, hukum (perkawinan) Nasrani bagi orang Nasrani, hukum (perkawinan) Budha bagi orang Buda, hukum (perkawinan) Hindu bagi orang Hindu, hukum (perkawinan) Kong Hu Cu bagi orangKong Hu Cu, dalam menjalankan Hukum Perkawinan itu memerlukan bantuan atau perantaraan kekuasaan Negara.59

Dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tegas menjelaskan: “ Suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama”. Suatu rumusan yang jelas (plain meaning), sehingga tidak mungkin ditafsirkan, ditambah dan dikurangi. Perkawinan menurut hukum agamanya masing-masing mengandung maksud bahwa perkawinan merupakan persitiwa hukum. Suatu perkawinan harus dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing seoanjang tidak betentangan dengan UU Perkawinan No I Tahun 1974.

Adapun pencatatan perkawinan dinyatakan dalam pasal 2 ayat (2) bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan.

Di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat dalam PP No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No I Tahun 1974. Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam UUP hanya diatur satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan.

58 Neng Djubaidah,Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak

dicata-tkan, (Jakarta: Sinar Grafika:2010), h. 2012-213.

59 Neng Djubaidah,Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak

(47)

3. PP No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dalam Bab II Pasal 2 Ayat 1 dijelaskan bahwa: Ayat 1

“Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan per ka-winan nya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pen catat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk.”

Ayat 2:

“Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan per-kawinan nya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatn Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.”

Ayat 3:

”Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatn perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah.”

Pasal 3 dinyatakan:

1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan mem be-ritahu kan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan berlangsung.

2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurang nya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. 3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2)

di-sebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat (atas nama) Bupati Kepala daerah.

(48)

halangan perkawinan menurut Undang-Undang.”

“Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Pencatat meneliti pula:

1) Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;

2) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;

3) Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;

4) Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;

5) Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

6) Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

7) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ PANGAB, apabila salah satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;

(49)

4. Pencatatan Perkawinan dalam KHI

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam merumuskan bahwa: Per-kawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mis\ãqan ghalîz{an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 KHI merumuskan Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Mengenai sahnya perkawinan ditentukan dalam pasal 4 KHI, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. I Tahun 1974. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama adalah suatu “peristiwa hukum” yang tidak dapat dianulir dengan Pasal 2 ayat (2) UU No.I Tahun 1974 yang menentukan tentang penacatatan perkawinan. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa rumusan pasal 4 KHI mempertegas bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan menurut hukum Islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.

Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 KHI bahwa: i) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam

setiap perkawinan harus dicatat.

ii) Pencatatan perkawinan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilaku kan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

5. Pencatatan perkawinan dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

(50)

dilakukan oleh pegawai pada KUA Kecamatan.

Pencatatan Perkawinan di Indonesia menurut pasal 34 UU No. 23 Tahun 2006 ditentukan bahwa:

(i) Perkawinan yang sah menurut peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan.

(ii) Berdasarkan laporan sebagimana dimaksud pada ayat (1)Pejabat Pencatatn Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.

(iii) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri.

(iv) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA Kecamatan.

(v) Data hasil pencatatan peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUA Ke-camatan kepada Instansi Pelaksanan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan. (vi)Hasil pencatatan data sebagaimna dimaksud pada ayat (5) tidak

memerlukan penerbitan kutipan Akta Pencatatan Sipil.

(vii)Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.

D. Perbedaan Pendapat Tentang Pencatatan Perkawinan

(51)

kekeliruan dalam pencatatan perkawinan maka proses pencatatan lebih lama dari pada aqad pernikahan itu sendiri. Dalam PP No.9 Tahun 1975 dijelaskan tata cara dan prosedur pencatatan perkawinan dimulai dengan pemberitahuan, penelitian, pengumuman dan pelak-sanaan. Hal ini memberikan kesan bahwa pencatatan per kawinan merupakan perkara yang mutlak harus dilakukan bagi pasangan calon pengantin yang akan melakukan aqad nikah.

Berkenaan dengan pencatatan perkawinan ini apakah me-ru pa kan suatu hal yang mutlak dan mempengame-ruhi keabsahan per-kawinan atau hanya sekedar tertib administrasi muncul dua pen-dapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya menjadi persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan. Pendapat yang kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.60

1. Syarat Administratif

Bagi kelompok yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan hanya sebagai syarat administratif berkeyakinan bahwa sahnya sebuah perkawinan hanya didasarkan pada aturan-aturan agama sebagaimana yang telah disebut pasal 2 ayat 1 UU No I Tahun 1974. Dengan demikian ayat 2 yang membicarakan tentang pencatatan perkawinan tidak memiliki hubungan dengan sah dan tidaknya perkawinan. Jadi masing-masing orang akan melakukan per kawinan menurut agamanya masing-masing, sedangkan pencatatan perkawinan hanya sebagai kewajiban administrasi.

Selanjutnya sahnya perkawinan dan fungsi pencatatan per-kawinan dapat dilihat dari penjelasan umum angka 4 huruf b. Bahwa pencatatan perkawinan menurut penjelasan angka 4 huruf b adalah

Referensi

Dokumen terkait

Publikasi tentang CIDR untuk sinkronisasi estrus pada kambing PE, prediksi waktu ovulasi berdasarkan pengukuran kadar LH dan perkembangan folikel selama masa estrus

Manfaat bagi peneliti adalah untuk mengetahui secara langsung gambaran berpikir analitik siswa dalam menyelesaikan masalah matematika, selain itu peneliti dapat

Trigonometri sebagai suatu metode dalam perhitungan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perbandingan- perbandingan pada bangun geometri, khususnya dalam

Menurut pandangan aparat desa (kepala desa), pembenahan fasilitas merupakan faktor paling penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Agrowisata Bina Darma,

Hasil penelitian dan secara statistik diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan keluarga dengan pernikahan dini, P value = 0,005 dan OR =

Pada pasar sasaran menggunakan target spsialisasi produk, karena Telkom Purworejo ingin lebih fokus menghasilkan produk yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan pelanggan,

Ditinjau dari pengertian efisiensi menurut Mubyarto dalam Sihombing (2011) yaitu sistem tataniaga disebut efisien apabila memenuhi dua syarat yaitu mampu menyampaikan

Berdasarkan produksi biogas per volume bahan yang diolah, jumlah biogas terbaik dihasilkan dari bahan campuran kotoran sapi dan sampah organik segar dengan perbandingan 1 : 1