• Tidak ada hasil yang ditemukan

JENDER DAN HUKUM KEBIASAAN DALAM MASYARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JENDER DAN HUKUM KEBIASAAN DALAM MASYARA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JAMBI

FAKULTAS HUKUM

________________________________________________________________________

TUNTUTAN KESETARAAN JENDER

DAN NORMA KEBIASAAN MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA

Hanna Adistyana Hefni B10015138

Diampu oleh Yulia Monita S.H.,M.H

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia disebut merupakan negara multikultural, hal ini karena Indonesia memiliki masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan

agama. Di antara suku Melayu Jambi, Jawa, Batak, Sunda, dan agama Islam, Katolik, Kong Hu Cu serta masih banyak lagi.

Dari berbagai keberagaman suku dan agama tersebut, masing-masingnya memiliki kebudayaan, adat istiadat, dan norma kebiasaan. Seperti misalnya dari adat Jawa, ada norma kebiasaan yang mengatakan bahwa lelaki pamali

atau tidak boleh atau tidak baik untuk berada di dapur dan mengerjakan pekerjaan yang seharusnya (menurut norma kebiasaan adat Jawa) dilakukan

oleh perempuan. Hal ini tentunya bertentangan dengan apa yang saat ini sedang digembar-gemborkan oleh kaum feminis, pembela kesetaraan jender, yang menganggap bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan

kesempatan yang sama dalam berbagai bidang.

Dilihat dari contoh di atas, terjadi benturan dan ketidaksesuaian dalam hal

melihat peranan laki-laki dan perempuan pada kehidupan sehari-hari antara norma kebiasaan yang dianut oleh masyarakat adat dan kaum feminis.

Jender sendiri pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan jenis kelamin.

(3)

dan masyarakat, tanpa melihat jenis kelaminnya. Sementara, jenis kelamin merupakan suatu pembeda secara biologis yang sifatnya kodrati yang dimiliki

seorang individu sejak lahir.

Untuk itu, penulis akan membahas mengenai apa sebenarnya yang dimaksud kesetaraan jender, dan bagaimana jender seharusnya

menyeimbangkan hak dan peran suatu individu dalam kehidupan bermasyarakat dari perspektif norma kebiasaan masyarakat adat di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah makna kesetaraan jender yang sebenarnya?

2. Bagaimana yang dimaksud kesetaraan jender menurut norma kebiasaan dalam masyarakat adat?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah :

Manfaat secara teoretis, agar pembaca lebih mengetahui apa maksud dan tujuan sebenarnya dari gerakan atau tuntutan kesetaraan jender

(4)

Masalah mengenai jender menjadi perbicangan hangat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya jika berbicara mengenai kontribusi perempuan dalam

bidang-bidang tertentu yang biasanya dilakoni oleh kaum laki-laki.

Hal ini menimbulkan banyak pro dan kontra. Ada yang merasa bahwa perempuan seharusnya juga boleh melakukan pekerjaan sebagaimana yang

dilakukan oleh laki-laki, namun ada pula yang menganggap bahwa apa yang selama ini sudah diterapkan dalam masyarakat adalah benar adanya dan tidak

seharusnya diubah dengan alasan kesetaraan jender seperti yang digaungkan oleh kaum feminis.

Di Indonesia sendiri, kesetaraan jender mulai menjadi perhatian khusus

oleh pemerintah. Salah satu bentuk perhatian tersebut adalah dengan disahkannya suatu regulasi mengenai angka persentase kontribusi perempuan di kursi panas

parlemen Indonesia, yang diatur pada pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan bahwa daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30%

keterwakilan perempuan.

Selain itu, yang terbaru adalah dikabulkannya permohonan uji materiil

oleh Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang diajukan oleh warga Yogyakarta sendiri, yang terdiri dari aktivis perempuan,

(5)

tersebut mengatur mengenai persyaratan formil bagi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DIY.

Pasal tersebut berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan,

pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak”, di mana menurut pemohon, frasa ‘istri’ pada pasal tersebut menutup kemungkinan bagi perempuan untuk menjadi

Gubernur atau Wakil Gubernur DIY.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa tuntutan kesetaraan jender justru menimbulkan ketidaksesuaian terhadap norma kebiasaan adat istiadat yang dianut

oleh masyarakat. Dikarenakan, dalam adat istiadat dan norma kebiasaan masyarakat Yogyakarta, yang menjadi Gubernur adalah Sultan atau raja dari

Keraton Ngayogyakarta tersebut. Hal ini dipertegas pula oleh pasal 1 angka 4 UU KDIY yang berbunyi,

“Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut

Kesultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung

secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan

Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono

Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama

(6)

Dan pada pasal 1 angka 9 UU KDIY yang berbunyi, “Gubernur DIY, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah DIY yang karena jabatannya juga

berkedudukan sebagai wakil Pemerintah.”

Artinya, jelas sudah bahwa tuntutan kesetaraan jender tidak dapat diterapkan dalam segala aspek, apalagi jika hal tersebut mulai menyinggung pada

norma kebiasaan yang hidup dalam masyarakat adat. Yang mana, norma kebiasaan tersebut sudah hidup secara turun-temurun dalam masyarakat, selain itu tentunya

leluhur memiliki pertimbangan tersendiri mengenai pemberlakuan norma kebiasaan tersebut dalam masyarakat.

Perlu kita ketahui pula, bahwa makna dan tujuan dari gerakan kesetaraan

jender itu sendiri adalah untuk tercapainya penghapusan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seperti yang kerap ditemui pada lingkungan masyarakat tertentu.

Contoh sederhananya adalah pada masyarakat desa yang kebanyakan menganggap pendidikan tidak begitu penting bagi kaum perempuan. Mereka cenderung mengawinkan anak perempuan dengan laki-laki dewasa yang kaya,

tanpa melihat dari aspek kesehatan apakah si anak sudah cukup usianya untuk melakukan perkawinan, dan apakah si anak mampu secara mental untuk

menghadapi kehidupan perkawinan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian bagi kaum feminis, yaitu untuk ‘menyadarkan’ masyarakat mengenai hal-hal tertentu, seperti contoh di atas, bahwa pendidikan merupakan hak dan nilai

(7)

Maka dari itu, dalam melaksanakan gerakan kesetaraan jender, perlulah bagi kita untuk memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesetaraan

tersebut. Bukanlah bentuk gerakan untuk membuat seorang perempuan dapat bertindak seperti laki-laki atau laki-laki dapat berlaku seperti perempuan, tetapi adalah untuk membuat apa yang timpang menjadi seimbang.

Pun dalam hal berpolitik, bukanlah memberikan ruang untuk perempuan agar dapat berkontribusi, namun yang diperlukan adalah kesadaran, bahwa kiprah

(8)

BAB III

KESIMPULAN

Secara biologis, manusia dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut juga ditunjukkan dengan bentuk fisik, keadaan psikologi, dan kekuatan fisik yang berbeda pula. Di mana

laki-laki secara fisik lebih kuat dibanding perempuan dan secara psikologi dikatakan, laki-laki lebih menggunakan rasionalitasnya, sementara perempuan

menggunakan perasaan.

Namun, perbedaan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi perempuan agar dapat berperan sama baiknya sebagaimana laki-laki berperan dalam

kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang diharapkan oleh kaum pembela kesetaraan jender.

Hanya saja, tuntutan kesetaraan jender yang digaungkan kaum feminis justru terkesan menyamakan peran, bukanlah menyeimbangkan. Padahal seharusnya, kaum feminis melihat apa makna dan tujuan utama dari gerakan

tersebut. Bahwa yang diinginkan bukanlah menggantikan atau menyamakan, namun menyeimbangkan ketimpangan peran dan hak antara laki-laki dan

perempuan dalam masyarakat.

Perlu diketahui, bahwa dapat berperan sama baiknya, bukan berarti dapat menggantikan peran tersebut secara utuh dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi

(9)

hidup dalam masyarakat. Ini menunjukkan, bahwa tuntutan kesetaraan jender tidak dapat diterapkan dalam segala aspek.

Maka dari itu, perlu bagi kita untuk jeli dan memahami benar apa yang dimaksud kesetaraan jender, agar tercapai kesesuaiannya terhadap norma kebiasaan serta adat istiadat yang hidup dalam masyarakat. Sehingga, apa yang

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kemitraan publik dalam pengembangan kurikulum Program Studi Pendidikan Ekonomi berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional

Berbeda dengan sesi sebelum nya, data D3 sesi 201503 ini diambilkan dari data dosen e ligibel D1/D2 pada PDDIKTI ses uai dengan kondisi terakhir..

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Sistem Informasi S-1 pada Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus.. Pada

Micro Teaching/ pengajaran mikro merupakan pengajaran yang dilaksanakan dengan membagi mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok kecil. Pengajaran ini bertujuan untuk melatih

Prevalensi tertinggi dari anemia defisiensi besi terjadi pada umur anak berkisar antara 18 bulan dan akan menurun seiring dengan menurunnya kebutuhan zat besi dan

Kecombrang (Etlingera elatior) yang merupakan hasil alam dengan kandungan saponin yang memiliki sifat menghasilkan busa adalah tumbuhan yang digunakan masyarakat Baduy untuk mandi

Dalam teori peniruan menurut Bandura, seorang anak pada awal masa kehidupannya akan meniru seseorang atau objek lain yang berada di dekatnya, namun ada kalanya model

Pada tahun yang sama (Cinta, 2009) juga melakukan penelitian tentang pengaruh senam kaki dalam mencegah kaki diabetik, kemudian (Julian, 2010) melakukan penelitian