• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjalanan Panjang Menuju Cina Benteng S (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perjalanan Panjang Menuju Cina Benteng S (1)"

Copied!
376
0
0

Teks penuh

(1)

i

UNIVERSITAS INDONESIA

PERJALANAN BERLIKU MENJADI CINA BENTENG

(SEBUAH STUDI SOSIOLOGIS TENTANG IDENTITAS DAN

ETNISITAS DI DESA SITUGADUNG, TANGERANG)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Sosial

MUHAMMAD REZA ZAINI

0906561194

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM SOSIOLOGI

DEPOK

(2)

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Muhammad Reza Zaini

NPM : 0906561194

Program Studi : S-1 Reguler Sosiologi

Judul Skripsi : Perjalanan Berliku Menjadi Cina Benteng: Sebuah Studi Sosiologis Tentang Identitas dan Etnisitas di Desa Situgadung

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ditetapkan di : Depok

(4)

iv

KATA PENGANTAR

千里之行,始于足下

A thousand-li journey is started by taking the first step.–Pepatah Cina

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, setelah melalui proses yang sangat panjang, skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan juga. Memikirkan kembali pepatah kuno Cina di atas, peneliti berpikir bahwa pesan moril yang tersirat ada benarnya juga. Studi ini diawali oleh rasa ingin tahu peneliti terhadap keanekaragaman etnis Cina di Indonesia yang masih jarang dikaji. Sebab, berbagai literatur selama ini, baik yang bersifat ilmiah maupun populer memiliki kecenderungan untuk menggambarkan etnis Cina di Indonesia secara homogen. Terlebih studi mengenai etnis Cina di Indonesia kebanyakan hanya melihat dari sisi politik dan ekonomi dalam lingkup makro. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengkaji komunitas Cina Benteng di Tangerang, guna memberikan kontribusi baru akan studi etnis Cina di Indonesia.

Meski tujuan awal difokuskan pada studi mengenai etnis Cina di Indonesia, namun penelitian ini pada akhirnya berkontribusi pada sebuah pemahaman baru mengenai teori identitas etnis. Pemahaman baru ini dapat menjelaskan fenomena perubahan identitas etnis yang sebelumnya sulit untuk dijelaskan. Teori hasil penelitian ini dinilai signifikan untuk diterapkan dalam konteks masyarakat kontemporer Indonesia, dimana batas antar-identitas etnis telah semakin melebur. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih perlu diperdalam lagi. Oleh karena itu, kritikan dan masukan akan sangat berguna bagi penelitian ini. Terakhir, peneliti berharap semoga penelitian ini dapat memberikan pemahaman baru, baik dalam ranah teoritis maupun praktis, terutama dalam konteks relasi antara etnis Cina dan pribumi di Indonesia.

Depok, 16 Desember 2013

(5)

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti sepenuhnya menyadari bahwa proses menyusun penelitian ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan usaha peneliti sendiri saja. Banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian karya ini. Izinkanlah peneliti menyebutkan dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya secara satu per-satu kepada mereka.

(1) Dosen-dosen Sosiologi yang saya hormati, terutama pembimbing saya sekaligus rekan diskusi, Pak Iqbal Djajadi. Peneliti merasa beruntung dapat menikmati diskusi-diskusi dengannya. Begitupun juga kepada dosen penguji, Mbak Lugina Setyawati, atas saran serta masukannya yang sangat berarti, sehingga skripsi ini menjadi sebuah karya ilmiah yang kredibel. Kepada Mbak Indera Ratna Pattinasarany selaku Ketua Program Studi S-1 Sosiologi, dan Mas Yosef Hilarius, selaku Sekretaris Program Studi S-1 Sosiologi, terima kasih atas asistensinya selama ini dan masukannya yang berarti. Tanpanya, skripsi ini tidak akan mencapai hasil yang sempurna. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staff Program Studi S-1 Sosiologi bimbingan teknis mereka dalam proses administrasi;

(2) Seluruh keluarga peneliti atas segala dukungannya. Bapak, ibu, adik-adik, hingga keluarga besar. Keluarga peneliti telah menyediakan segalanya untuk keperluan penelitian ini, mulai dari fasilitas, bantuan teknis, hingga dukungan moral. Toh berkat jasa keluarga, peneliti dapat bertemu dengan gatekeeper perdana, serta memiliki akses yang mudah untuk mengumpulkan data dari pihak pemerintahan. Skripsi ini merupakan dedikasi peneliti atas bantuan mereka selama ini;

(6)

vi

atas dukungannya, terima kasih atas inspirasinya, terima kasih atas segala pelajaran berarti bagi saya. I am truly indebted to Sosiologi 2009;

(4) Senior dan junior Sosisologi UI atas berbagai sumbangsih dan ide yang telah diberikan. Secara khusus, penulis ingin berterima kasih kepada teman-teman kost dan sahabat diskusi, Andira Muhammad, Arif Rahman, Bagus N.P., Buditama Nugraha Mirza, Fariz Naufal Jatmiko, Fuad, Gandhi Mahaputra, Laurentius Leonard Halimkesuma, Prasetia Rinaldo, dan Reza Aulia yang juga bersedia mengoreksi kebenaran data, serta memberikan literatur yang luar biasa relevan dan semangat kepada penulis;

(5) Khalayak umum yang telah banyak membantu, Bapak Oey Tjin Eng (Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Vihara Boen Tek Bio), yang di sela-sela kesibukannya rela menyediakan waktu untuk berbagi informasi dengan peneliti, Ibu Christine Bachrum (FIB UI) dan jajaran pengurus Museum Benteng Heritage, atas kesediaannya untuk menunjukkan sumber-sumber data yang penting. Data yang telah dihimpun ini tak lepas pula dari peranan orgnasisasi kegamaan lokal, izinkanlah peneliti mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran pengurus Vihara Boen Hay Bio, Boen Tek Bio, dan Sobhita serta Persekutuan Gereja Pantekosta Serpong. Tak lupa seluruh warga dan aparatur pemerintahan Desa Sampora dan Situgadung, terima kasih atas sambutannya selama enam bulan berturut-turut;

(7)

vii

encouragement to me, and other colleagues, scattered all over the globe, thank you, it is an honor for me to meet great individuals like you.

Akhir kata, saya mendapatkan pelajaran paling berarti dari skripsi ini:

失败是成功之母. 只要功夫深,铁杵磨成针.

Failure is mother of success. If you work hard enough at it, you can grind even an iron rod down to a needle.

“Kegagalan adalah induk dari keberhasilan. Jika Anda bekerja keras, Anda bahkan dapat melakukan sesuatu yang dianggap mustahil”. Oleh karena itu, untuk semuanya, khususnya teman-teman, teruslah berusaha dengan sepenuh kemampuan. Jangan takut gagal, sebab kita tidak tahu, bahwa mungkin di balik suatu kegagalan akan ada suatu kemenangan.

Depok, 16 Desember 2013

(8)

viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Reza Zaini

NPM : 0906561194

Program Studi : S-1 Reguler

Departemen : Sosiologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free

Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Perjalanan Berliku Menjadi Cina Benteng: Sebuah Studi Sosiologis Tentang Identitas dan Etnisitas di Desa Situgadung”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan/formatkan/mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

(9)

ix

ABSTRAK

Nama : Muhammad Reza Zaini

Program Studi: Sosiologi

Judul : Perjalanan Panjang Menjadi Cina Benteng: Sebuah Studi Sosiologis Tentang Identitas dan Etnisitas di Desa Situgadung, Tangerang

Selama ini banyak yang beranggapan bahwa Cina Benteng adalah Cina Peranakan yang menetap di daerah Tangerang. Namun beberapa anggotanya di Desa Situgadung awalnya menolak hal itu, dan mengidentifikasi diri mereka sebagai Orang Keturunan. Melalui proses panjang, mereka akhirnya mengaku, bahkan bangga sebagai Cina Benteng sejak akhir tahun 1980’an. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini memberikan pemahaman baru tentang konsep identitas etnis dan pembedaan antara keduanya. Identitas adalah sebuah proses mengidentifikasi kolektivitas yang menjadi acuan, dimana individu berperan penting untuk menentukan kolektivitas mana yang merupakan alter ego-nya. Sementara etnisitas merupakan salah satu bentuk kolektivitas, dimana kelompoklah yang menetapkan keanggotaan seorang individu.

(10)

x

ABSTRACT

Name : Muhammad Reza Zaini

Study Program: Sociology

Title : The Long Road to Cina Benteng: A Sociological Study on Ethnicity and Identity in Situgadung Village, Tangerang.

It is generally assumed that Cina Benteng is a community of Peranakan Chinese living around Tangerang. However, one its communities in Situgadung Village rejected that notion, in which they refer themselves as Orang Keturunan. Eventually, they identified themselves as Cina Benteng in the 1980s. This research gives a new understanding on ethnic identity, and the differentiation between identity and ethnicity. Identity is defined as a process, where each individual plays a significant role to identify a collectivity in which he/she feels belonged to. While ethnicity is one of the manifestations of collectivities, in which the society determine an individual’s collectivity.

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………...ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI………..iii

KATA PENGANTAR………..iv

UCAPAN TERIMA KASIH………...v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………...vii

ABSTRAK………....ix

ABSTRACT………..x

DAFTAR ISI………....xi

DAFTAR GAMBAR………...xv

DAFTAR TABEL……….xvii

DAFTAR LAMPIRAN………....xviii

1. PENDAHULUAN………....1

1.1. Latar Belakang Masalah………...1

1.2. Permasalahan………....4

1.2.1. Pertanyaan Penelitian………...6

1.2.2. Tujuan Penelitian………...6

1.3. Signifikansi Penelitian………..7

1.3.1. Akademis………...7

1.3.2. Praktis………...8

1.4. Sistematika Penulisan………...9

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL………..11

2.1. Tinjauan Pustaka………...12

(12)

xii

2.1.2. Ting Su Hie dan Ling Teck Yee (2011)………...14

2.2. Konsep………....15

2.2.1. Cina Benteng……….16

2.2.2. Identitas Etnis Sebagai Kolektivitas Sosial………...21

2.3. Penggunaan Istilah “Cina” Ketimbang “Tionghoa”…………...24

3. METODOLOGI……….27

3.1. Klasifikasi Penelitian Kualitatif………..27

3.1.1. Sumber Data Kualitatif………...29

3.2. Teknik Pengumpulan Data……….28

3.2.1. Proses Lapangan………....30

3.2.2. Wawancara Mendalam………...34

3.2.3. Informasi Publik………....36

3.3. Teknik Pengolahan Data……….37

3.3.1. Jurnal Lapangan……….37

3.3.2. Peta Sosial………...38

3.3.3. Lampiran………....39

3.4. Penentuan Informan dan Gatekeeper……….……….40

3.5. Penentuan Lokasi Penelitian………...44

3.6. Keterbatasan Penelitian………..45

3.7. Posisi Peneliti………..45

3.8. Timeline Pengerjaan Skripsi………...47

4. GAMBARAN LOKASI……….48

4.1. Sejarah Umum………...48

(13)

xiii

4.1.2. Tangerang………...51

4.2. Deskripsi Desa Situgadung……….54

4.2.1. Sejarah Singkat………...58

4.2.2. Deskripsi Administratif……….60

4.3. Sejarah Cina Benteng Desa Situgadung……….61

5. TEMUAN DATA………...77

5.1. “Cina Benteng” dan Istilah-Istilah Khas Desa………....77

5.1.1. Definisi “Cina Benteng” Versi Desa Situgadung………..78

5.1.2. “Orang Keturunan”………....82

5.1.3. “Orang Selam”………...87

5.1.4. Cina Udik………...91

5.2. Dari Orang Keturunan Menuju Cina Benteng………....92

5.2.1. Kisah Usaha Informan A Menjadi Cina Benteng………..93

6. PEMBAHASAN FENOMENA………...112

6.1. Analisis Substansi Fenomena………...112

6.1.1. Skema Perubahan Orang Keturunan ke Cina Benteng………....113

6.1.1.1. “Ke-Cina-an” Masing-Masing Identitas...120

6.1.1.2. Kebanggaan Masing-Masing Identitas……….127 6.1.2. Identifikasi Kolektivitas Sosial………....130

6.2. Diskusi dan Permasalahan………...136

7. ANALISIS TEORITIS……….……...139

7.1. Implikasi Teoritis………...139

(14)

xiv

7.1.2. Definisi Identitas dan Etnisitas………....141

7.2. Kegunaan Pembedaan Identitas dan Etnisitas………..154

7.2.1. Relasi Identitas dan Etnisitas………...155

8. KESIMPULAN………....157

8.1. Penjelasan dan Faktor-Faktor Perubahan Cina Benteng…………...157

8.2. Kesimpulan Temuan Data dan Analisis………….…...163

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Alur Tijauan Pustaka………...13

Gambar 3.1. Proses Mendapatkan Informan Kunci dari Perkenalan dengan Informan IN……….32

Gambar 3.2. Penjabaran Sistem Snowball Pencarian Informan Kunci dan Hubungan Antar-Informan………....43

Gambar 4.1. Silsilah Mantan Kepala Desa Sampora………....54

Gambar 4.2. Upaya Perluasan Cluster The Avani yang Termasuk dalam Desa Situgadung………...55

Gambar 4.3. Peta Kabupaten Tangerang, Terletak di Sebelah Barat DKI Jakarta....56

Gambar 4.4. Peta Desa Sampora dalam Wilayah Kabupaten Tangerang………....56

Gambar 4.5. Peta Desa Situgadung dalam Wilayah Kabupaten Tangerang……....55

Gambar 4.6. Salah Satu Kompleks Tua Makam Cina di Desa Situgadung………..57

Gambar 4.7. Lokasi Provinsi Fujian di Selatan Cina………...64

Gambar 5.1. Silsilah Keluarga Informan SSB………..84

Gambar 5.2. Bagian Teras dan Interior Vihara Sobhita………...86

Gambar 5.3. Interior Ruang Ibadah Persekutuan Gereja Pantekosta Desa Situgadung……….107

Gambar 5.4. Berbagai Identitas Informan A yang Aktif dan Tidak Aktif………..110

Gambar 6.1. Kesamaan Pengalaman Perubahan Identitas antara Informan A dan Kerabatnya……….114

Gambar 6.2. Skema Perubahan Identitas………....117

Gambar 6.3. Gradasi Identitas Kebudayaan Cina-Pribumi………....118

Gambar 6.4. Skema Pengakuan Identitas Diri………....121

Gambar 6.5. Salah Satu Kompleks Bumi Serpong Damai yang Berbatasan dengan Desa………...122

Gambar 6.6. Skema Pengakuan Secara Sosial………...123

Gambar 6.7. Skema Pengakuan Berdasarkan Domisili………..125

(16)

xvi

Gambar 6.9. Grafik Tingkat Kebanggaan Masing-Masing Identitas……….128

Gambar 6.10. Skema Kolektivitas Sosial pada Level Masyarakat………...131 Gambar 6.11. Skema Kolektivitas Etnis dalam Konteks Penelitian Ini…………....132

Gambar 6.12. Manifestasi Tingkatan Kolektivitas Anggota Cina Benteng di Desa Situgadung……….133

Gambar 6.13. Skema Transisi Kolektivitas Mikro ke Makro di Desa Situgadung……….134

Gambar 6.14. Skema Identifikasi Personal dan Kolektif Sebuah Identitas………...132 Gambar 7.1. Skema Peranan Identitas dan Etnisitas………...142 Gambar 7.2. Posisi Etnisitas yang Tergabung dalam Identitas……….147 Gambar 7.3. Posisi Etnisitas yang Terpisah dengan Identitas………...147

Gambar 7.4. Skema Latar Belakang Perubahan Identitas di Desa Situgadung…….153 Gambar 7.4. Ilustrasi Cina Benteng sebagai Entitas Subjektif dan Objektif……….156

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Ciri-Ciri Identitas Etnis Berdasarkan Chandra (2006) dan Trimble dan

Dickson (2010)………....23

Tabel 3.1. Klasifikasi Pendekatan Penelitian yang Digunakan berdasarkan Neuman (2006)………...28

Tabel 3.2. Penjabaran Informan Penelitian………..41

Tabel 3.3. Penjabaran Gatekeeper Penelitian………..43

Tabel 4.1. Gambaran Populasi Desa Situgadung pada Desember 2012………..60

Tabel 4.2. Jumlah WNI Keturunan Cina pada Desa Situgadung pada Desember 2012……….61

Tabel 4.3. Daftar Nama Marga Cina yang Paling Sering Ditemui………..67

Tabel 6.1. Daftar Fenomena Sosial dan Politik yang Memiliki Andil dalam Proses Perubahan………..116

Tabel 6.2. Perbedaan diantara Berbagai Istilah “Cina” yang Ditemukan…………..119

Tabel 7.1. Perbedaan Mendasar antara Identitas dan Etnisitas………..148

Tabel 7.2. Definisi Identitas Etnis berdasarkan Studi Literatur………....149

Tabel 7.3. Faktor yang Mendasari Pilihan terhadap Indentitas Cina Benteng……..149

Tabel 7.4. Sosialisasi Nilai Mengenai Ciri-Ciri Orang Keturunan………....151

Tabel 7.5. Skema Pembedaan Cina Benteng Versi Situgadung dengan Versi Objektif………..154

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

ALAT BANTU ANALISIS

Dokumentasi Peristiwa Gedoran

Genealogi Nama Marga Orang Keturunan Tahun 1875

Jurnal Lapangan

Konsep Khas Informan

Penjelasan Perbedaan Hakka, Hokkien, dan Teochiu

Peta Peristiwa Lengkong

Tabel Kronologi

Transliterasi Hanyu Pinyin yang Digunakan dalam Penelitian Beserta Maknanya

TRANSKRIP WAWANCARA MENDALAM

Transkrip Informan A

Transkrip Informan IN

Transkrip Informan SSB

(19)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara dengan kompleksitas kebudayaan yang tinggi. Salah satunya dapat terlihat berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, yang mencatat jumlah kelompok etnis di Indonesia sebanyak 1.128 suku1. Dalam kajian mengenai kelompok sosial, terdapat sebuah pernyataan bahwa di dalam sebuah kelompok sosial, akan terdapat kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil (Mills, 1969:2). Sebagai sebuah kelompok sosial, kelompok etnis juga terdiri atas berbagai kelompok sosial yang lebih kecil. Dalam konteks Indonesia, suatu kelompok etnis memiliki berbagai sub-kelompok yang identitasnya dapat berbeda berdasarkan berbagai aspek fisik ataupun kebudayaan. Berbagai faktor, mulai dari yang bersifat sosial hingga ke yang bersifat fisik dapat menciptakan sub-kelompok di dalam suatu kelompok etnis. Terlebih, keanekaragaman kultural masyarakat Indonesia tergolong tinggi.

Dari berbagai kelompok etnis yang diakui, etnis Cina2 merupakan salah satu kelompok etnis terbesar dan paling beragam di Indonesia. Publikasi data Badan Pusat Statistik Indonesia berjudul “Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia” yang didasarkan Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa populasi etnis Cina berjumlah 2.832.510 jiwa, atau 1,2% dari populasi Indonesia.3 Jumlah tersebut membuat etnis Cina menempati peringkat ke-18

1

http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html. Diakses pada Selasa, 10 September 2013, pukul 22.14 WIB.

2Dala keseluruha pe elitia i i, pe eliti e ggu aka istilah Ci a keti a g Tio ghoa , eski

keduanya merupakan istilah baku dalam Bahasa Indonesia. Alasan dan latar belakang akan

pe ggu aa istilah Ci a dijelaska se ara terperi i dala Ba Metodologi pada su -bab II.3.

3

(20)

2

dari 1.128 suku yang tercatat. Terlepas dari persentase etnis Cina pada total populasi Indonesia, jumlah etnis Cina di Indonesia menempati peringkat ke-tiga terbesar di Asia Tenggara (Suryadinata, 2007:11). Fakta ini menunjukkan besarnya jumlah etnis Cina di Indonesia. Oleh karena itu, etnis Cina di Indonesia merupakan sebuah kelompok yang memiliki keberagaman tinggi berdasarkan jumlah yang sedemikian banyaknya. Semakin besar ukuran sebuah kelompok sosial, maka kemungkinan keberagamannya akan semakin tinggi pula. Hal ini merupakan fenomena kompleksitas kebudayaan seperti yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya. Coppel (1994:31) lebih jauh memaparkan bahwa kebhinekaan etnis Cina ini dilipatgandakan oleh pengaruh kebudayaan asli Indonesia yang dialami oleh keturunan mereka.

Diantara kebhinekaannya, terdapat sebuah penggolongan yang paling umum bagi kelompok etnis Cina di Indonesia. Penggolongan yang dipaparkan oleh Suryadinata (1997:9) membagi etnis Cina di Indonesia menjadi dua kelompok, berdasarkan tingkat asimilasi dengan kebudayaan pribumi. Kelompok yang dimaksud adalah Peranakan dan Totok. Secara umum Peranakan mengacu pada kelompok Cina yang telah banyak mengadopsi kebudayaan lokal dan sudah tidak terikat kuat dengan kebudayaan Cina. Sementara Totok mengacu pada kelompok Cina yang masih memegang teguh banyak aspek kebudayaan Cina. Definisi akan kebudayaan yang dimaksud dalam hal ini mencakup berbagai macam aspek yang luas, seperti adat-istiadat, bahasa, serta berbagai pola interaksi sosial.

Dalam kategori Cina Peranakan, terdapat sebuah komunitas yang dikenal sebagai Cina Benteng. Komunitas ini memiliki ciri khas yang membedakannya dengan kelompok Cina lain di Indonesia. Secara umum, komunitas Cina Benteng adalah komunitas warga Cina Peranakan yang hidup di Tangerang4. Meski tidak semuanya tergolong ke dalam status sosial ekonomi yang rendah, mereka kerap diasosiasikan dengan tingkat status sosial ekonomi tersebut (Santosa, 2012:19). Oleh

4

(21)

3

karena itulah, komunitas Cina Benteng memiliki perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan Cina secara umum. Selain latar belakang pertanian dan domisili pedesaan, anggota komunitas Cina Benteng memiliki ciri-ciri fisik dan kebudayaan yang khas pula. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa leluhur serta tidak tahu tentang makna akan ritual tradisional Cina. Lebih lanjut, penampilan fisik mereka yang biasa ditemui di lapangan adalah berkulit gelap dan bermata tidak sipit. Maka Cina Benteng sering dianggap sebagai bagian Cina Peranakan yang memiliki tingkat asimilasi tinggi dengan pribumi (Santosa, 2012:18-19), meski peneliti tidak menjadikan penilaian tersebut sebagai dasar pemikiran di saat penelitian lapangan. Terlepas dari fakta tersebut, komunitas Cina Peranakan dengan ciri-ciri serupa juga ditemui di wilayah Indonesia lainnya, seperti di Kepulauan Riau, Bagan Siapi-Api, Pulau Belitung, dan lain-lain. Hanya saja Cina Benteng memiliki konteks sejarah tersendiri. Sebab Cina Benteng memiliki akar sejarah Cina Peranakan yang menetap di sekitar daerah Benteng, Tangerang. Sehingga, disebutlah mereka sebagai Cina Benteng. Lebih jauh, anggapan yang terdapat secara umum menganngap Cina asli Tangerang adalah Cina Benteng, dan Cina Benteng adalah penduduk Cina yang telah menetap di Tangerang selama beberapa generasi. Cina Benteng telah dianggap sebagai representasi komunitas Cina di wilayah Tangerang.

Terlepas dari beragam definisi mengenai kelompok etnis secara umum, (Suparlan, 2005:18-19) memaparkan: “Patokan objektif yang digunakan oleh para antropolog dan sosiolog untuk menunjukkan dua perbedaan sukubangsa adalah (1) Pengakuan masing-masing anggota dua sukubangsa mengenai identitas atau jatidiri sukubangsa mereka. (2) Bahasa mereka. (3) Kebudayaan dan perwujudan

ungkapan-ungkapannya yang mereka akui sebagai milik mereka”5. Maka, identitas etnis

berfungsi sebagai acuan bagi jatidiri yang digunakan dalam interaksi sosial diantara anggota-anggota kelompok etnis yang berbeda. Dengan kata lain, kelompok etnis, khususnya Cina dalam penelitian ini, diperlukan individu dalam kehidupan sosialnya sebagai acuan identitas dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh dalam

5

(22)

4

konteks Cina Benteng, para penduduk Cina campuran pribumi tetap mengaku sebagai Cina dan tidak mengaku sebagai keturunan campuran ataupun pribumi. Identifikasi semacam ini tentu dilakukan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi sosial, sebagai bentuk acuan jati diri untuk menyesuaikan dalam konteks masyarakat yang didiami oleh Cina Benteng. Begitupun juga dengan hal yang sebaliknya. Definisi yang diberikan oleh Suparlan (2005) ini menekankan bahwa kelompok atau identitas etnis merupakan sesuatu yang bersifat deterministik, serta merupakan sebuah konsep tunggal.

Berdasarkan pernyataan bahwa di dalam suatu kelompok sosial terdapat kelompok-kelompok yang lebih kecil, fenomena Cina Benteng sebagai sebuah kelompok kesukuan merupakan salah satu contoh berdasarkan pernyataan yang telah dipaparkan. Dapat dikatakan bahwa komunitas Cina Benteng merupakan sub-kelompok dari entitas kesukuan yang lebih besar. Namun, komunitas Cina Benteng sebagai sebuah kelompok sosial juga memiliki kompleksitas yang sama rumitnya dengan etnis Cina di Indonesia secara umum. Fakta lapangan menunjukkan bahwa banyak istilah-istilah sejenis yang memiliki hubungan dengan Cina Benteng, entah yang didefinisikan secara objektif, maupun yang secara subjektif. Setidaknya, fakta tersebut terjadi pada Desa Situgadung, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, dan beberapa desa di sekitarnya, terutama Desa Sampora, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

1.2. Permasalahan

(23)

5

komunitas yang bersifat homogen. Seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang, di dalam kelompok yang besar, akan terdapat kelompok yang lebih kecil.

Di Desa Situgadung yang terletak di Kecamatan Pagedangan, terdapat sebuah komunitas Cina Benteng yang telah menetap secara turun-temurun di desa tersebut. Secara historis, anggota komunitas tersebut mengidentifikasi diri mereka sebagai Cina Benteng6. Pengakuan ini turut didukung baik secara kebudayaan, garis keturunan, geografis, dan bahasa. Namun, mereka selanjutnya mengidentifikasi diri mereka sebagai Cina Benteng, tapi mereka menyebut diri mereka sebagai “Orang Keturunan”, suatu istilah yang mendekatkan mereka dengan pribumi7

. Istilah ini kemudian menjadi umum digunakan diantara penduduk Cina di Desa Situgadung, sehingga menjadi identik.

Namun, melalui proses panjang yang disebabkan oleh berbagai perubahan politik dan sosial, mereka memilih untuk mengidentifikasi diri, dan bahkan bangga sebagai Cina Benteng, suatu istilah yang mendekatkan mereka pada kebudayaan Cina Peranakan8. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang menarik, mengingat fenomena semacam ini jarang terjadi. Lebih jauh, pada awalnya Orang Keturunan lebih mudah untuk menjadi pribumi, dan pada akhirnya setelah adanya berbagai perubahan sosial terseut, mereka malah dapat mengidentifikasi diri sebagai Cina Benteng.

Oleh karena itu, hal yang menjadi permasalahan sosiologis di sini adalah, realita macam apa yang terjadi di Desa Situgadung? Sebab, identitas etnis hanya melihat bahwa apa yang disebut sebagai Cina Benteng, adalah penduduk Cina yang menetap di sekitar Tangerang. Namun, ada sekelompok masyarakat –yang

6

Berhubung peneliti tidak merunut sejarah perubahan identifikasi hingga dalam jangka waktu sejarah yang lama, maka peneliti tidak dapat memberikan tahun/era pastinya. Namun satu hal yang pasti, mereka secara historis mengaku sebagai Cina Benteng, barulah setelah terisolasi dengan komunitas Cina Benteng lainnya, mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai Orang Keturunan.

7

Penilaian ini adalah hasil subjektivitas informan lokal.

8

(24)

6

sebenarnya Cina Benteng- dapat memiliki istilah sendiri untuk menyebut diri mereka, dan pada akhirnya merubah istilah mereka menjadi Cina Benteng. Selain itu, sosialisasi mengenai identitas etnis yang mereka dapatkan berasal dari banyak pihak yang masing-masing memiliki sosialisasi yang berbeda. Namun para Orang Keturunan tidak memiliki keraguan dalam memilih identitas Cina Benteng sebagai identitas baru mereka. Dalam tulisan ini, peneliti ingin menunjukkan bahwa identitas etnis bukanlah sebuah konsep tunggal, melainkan dua konsep otonom yang memberikan sebuah makna baru, saat kedua konsep tersebut bertemu dan bergabung. Penelitian ini hendak menunjukkan bahwa sesungguhnya identitas merupakan proses yang dinamis terhadap pemilihan keanggotaan kolektivitas etnis.

1.2.1. Pertanyaan Penelitian

Untuk mendalami permasalahan penelitian yang diajukan, maka pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagimanakah konsep identitas etnis dalam menjelaskan proses identifikasi atas keanggotaan kolektivitas etnis pada komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung? (Pertanyaan Teoritis)

2. Bagaimanakah proses yang dilalui oleh komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung untuk dapat mengidentifikasi diri mereka mulai dari Orang Keturunan hingga Cina Benteng? (Pertanyaan Empirik)

1.2.2. Tujuan Penelitian

(25)

7

2. Mengetahui implikasi teoritis dari temuan penelitian ini terhadap konsep identitas etnis yang umum digunakan.

3. Mengetahui proses yang dilalui oleh anggota komunitas Orang Keturunan untuk bertransformasi menjadi Cina Benteng.

1.3. Signifikansi Penelitian 1.3.1. Akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru dalam studi mengenai identitas etnis. Dalam cakupan penelitian ini, setidaknya dua implikasi akademis yang dapat diberikan berkisar pada definisi akan identitas etnis serta klasifikasi etnis Cina di Indonesia. Signifikansi akademis utama penelitian ini adalah pemberian definisi tambahan pada konsep identitas etnis yang selama ini digunakan dalam komunitas akademis. Temuan penelitian ini diharapkan dapat membedakan dua konsep penting dalam kajian etnisitas, yakni identitas dan etnisitas. Oleh karena itu, studi ini secara akademis diharapkan dapat memberikan definisi baru akan konsep identitas dan etnisitas yang selama ini belum dibahas secara mendalam. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah teori identitas etnis yang didasarkan atas fenomena yang diteliti. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyempurnakan definisi akan identitas etnis, yang sebenarnya merupakan sebuah konsep yang lebih kompleks dari yang didefinisikan selama ini.

(26)

8

macam identitas Cina untuk menjadi Cina Benteng. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memiliki relevansi terhadap relasi antara masyarakat keturunan Cina dengan pribumi di Indonesia. Dalam hal ini, hasil salah satu penelitian menunjukkan bahwa masyarakat keturunan Cina di desa penelitian dapat hidup berdampingan dengan pribumi selama beberapa generasi, serta dapat mempertahankan masing-masing kebudayaan mereka dengan relatif damai. Temuan data ini setidaknya dapat membuka sebuah pemahaman baru yang dapat memberikan dampak positif terhadap relasi etnis Cina dan pribumi.

1.3.2. Praktis

(27)

9

1.4. Sistematika Penulisan

BAB 1: Berisi penjabaran mengenai latar belakang penelitian, permasalahan, pertanyaan penelitian yang diajukan, serta signifikansi penelitian.

BAB 2: Berisi tentang studi literatur mengenai perubahan identitas etnis. Selain itu, bagian ini juga akan memberikan kerangka konseptual. Konsep yang akan dijabarkan dalam bagian ini menyangkut definisi Cina Benteng dan identitas etnis.

BAB 3: Berisi uraian metodologi yang diguanakan dalam penelitian ini. Penjabaran metodologi akan mencakup jenis penelitian, serta teknik pengumpulan data. Dasar pemilihan informan juga akan dipaparkan sebagai salah satu bagian teknik pengumpulan data.

BAB 4: Memberikan pemaparan mengenai latar sejarah lokasi penelitian. Pemaparan ini ditujukan untuk menjabarkan fakta sehubungan dengan sejarah Cina yang sudah mengakar pada Tangerang secara umum, dan Desa Situgadung secara khusus. Latar sejarah Orang Keturunan sebagai salah satu bagian sejarah Cina di Tangerang, juga akan dibahas dalam bab ini.

BAB 5: Memberikan deskripsi mendalam mengenai proses berubahan Orang Keturunan menuju Cina Benteng berdasarkan pengalaman informan. Bagian ini juga akan menjelaskan mengenai masing-masing identitas etnis yang dilalui informan sebelum ia mengaku sebagai Cina Benteng.

(28)

10

BAB 7: Memberikan teori yang dapat diabstraksikan dari keseluruhan analisis. Secara umum, penjabaran teori akan dibagi menjadi dua sub-bab, yakni definisi teori yang peneliti temukan, dan kegunaan teori dalam fenomena yang diteliti.

(29)

11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL

Pada dasarnya, studi yang khusus membahas mengenai identitas Cina Benteng masih sedikit. Komunitas Cina Benteng selama ini masih cenderung jarang diteliti dalam konteks penelitian sosial. Bahkan, Suryadinata, yang literaturnya banyak digunakan dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran akan etnis Cina di Indonesia, belum pernah membahas mengenai komunitas Cina Benteng. Maka dalam tinjauan pusataka ini, peneliti mengambil beberapa penelitian sejenis pada topik tersebut. Studi sejenis yang dimaksud dilakukan dalam konteks komunitas Cina di Sarawak, Malaysia. Namun, peneliti hanya mengambil intisari kesimpulan akhir tinjauan pustaka tersebut sebagai dasar penelitian dalam konteks Desa Situgadung. Bagian ini akan dibagi menjadi dua pembahasan, bagian pertama adalah studi literatur akan penelitian sebelumnya. Sementara bagian kedua adalah penjabaran dan penjelasan konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

(30)

12

2.1. Tinjauan Pustaka

(31)

13

Gambar 2.1. Alur Tinjauan Pustaka

2.1.1. Kanchan Chandra (2006)

Tinjauan pustaka pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal karya Kanchan Chandra dari Departemen Ilmu Politik, Universitas New York dengan judul “What is Ethnic Identity and Does It Matter?” Berdasarkan studi literatur ini, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran baru akan identitas etnis. Meski Chandra menggunakan identitas etnis sebagai konsep sampingan dalam membahas mengenai demokrasi dan politik identitas etnis di Amerika Serikat, namun ia memberikan definisi akan identitas etnis sebagai sebuah konsep tunggal. Dalam jurnalnya, Chandra menekankan bahwa selama ini terdapat kecenderungan konvergensi antara konsep “Identitas” dan “Etnisitas”. Horowitz (1985:35) dalam Chandra (2006) mengatakan bahwa konsep tersebut merupakan sebuah konsep payung dapat membedakan setiap kelompok dari warna kulit, bahasa, ataupun agama; konsep ini mencakup “suku”, “ras”, “kebangsaan”, dan “kasta”. Dalam hal ini Chandra berargumen bahwa mayoritas studi sejenis mendefinisikan identitas etnis dalam kerangka definsi Horowitz. Pada akhirnya, Chandra memberikan definisi identitas etnis yang menekankan bahwa syarat identitas etnis adalah kesamaan dan

Ting dan Ling

Chandra Identitas etnis sebagai sebuah konsep tunggal dan objektif.

Pengakuan identitas etnis tidak sejalan dengan penggunaan atribut kebudayaan etnis.

Alat Bantu Analisis yang Didapatkan: “Identitas” dan “Etnis” adalah dua konsep yang berbeda, dimana hal tersebut memiliki andil dalam perbedaan

(32)

14

garis keturunan yang dimiliki secara objektif, seperti yang dijelaskannya sebagai berikut: “[Ethnic identity-Peneliti] , a subset of identity categories in which eligibility for membership is determined by attributes associated with, or believed to be associated with, descent”.9 Dengan kata lain, Chandra menekankan bahwa identitas etnis merupakan konsep yang objektif. Chandra juga berargumen bahwa selama ini, konsep identitas etnis merupakan sebuah konsep tunggal, yang bersifat askriptif (dituruntemurunkan), dan didasarkan atas kesamaan yang dimiliki secara objektif. Studi ini hendak menunjukkan bahwa identitas etnis merupakan dua konsep yang berbeda, yang lebih rumit bila dibandingkan dengan penjelasan yang telah diberikan. Setidaknya, identitas etnis bukanlah sebuah konsep yang begitu objektifnya.

2.1.2. Ting Su Hie dan Ling Teck Yee (2011)

Untuk tinjauan pustaka penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian yang dilakukan oleh Ting Su Hie dan Ling Teck Yee dari Universitas Malaysia Sarawak dengan judul “Ethnic Identity of Young Malaysian Adolescents in Sarawak”. Penelitian ini dipublikasikan oleh Malaysian Journal of Youth Studies dan disponsori oleh Institut Penyelidikan Pembangunan Belia Malaysia. Jurnal yang ditulis oleh Ting dan Ling membahas megenai identifikasi identitas etnis Cina perantauan. Namun Ting dan Ling meneliti hal tersebut dalam konteks masyarakat Malaysia, tepatnya di Negara Bagian Sarawak. Pada dasarnya penelitian ini berusaha mengetahui dampak penggunaan bahasa dan adat-istiadat Cina terhadap identifikasi etnis para responden sebagai etnis Cina di Malaysia. Dalam kuesionernya, Ting dan Ling memberikan empat konstruksi realita untuk mengukur tingkat identifikasi etnis responden. Keempat konstruksi tersebut antara lain: Praktek Kebudayaan Etnik

(Ethnic behaviour), Idetifikasi Etnis (Ethnic identity achievement), Orientasi terhadap

Kelompok Lain (Other group orientation), dan Tindakan Afeksi (Affective

behaviour).

9

(33)

15

Hasil penelitian menunjukkan hal yang menarik. Ting dan Ling mendapatkan bahwa identifikasi diri responden (Ethnic identity achievement) cenderung tinggi, namun studi mendapatkan bahwa praktek kebudayaan etnik (Ethnic behaviour) yang dilakukan responden justru tidak setinggi identifikasi diri. Praktek kebudayaan etnik yang dimkasud dalam penelitian Ting dan Ling mencakup kemampuan bahasa, serta praktek adat-istiadat tradisional Cina. Studi literatur dari jurnal ini khusus dilakukan pada analisis identifikasi diri dan praktek kebudayaan etnik. Ting dan Ling menyebutkan bahwa dalam konteks Cina, praktek kebudayaan adalah bentuk atas identifikasi diri sebagai etnis Cina. Dimana praktek kebudayaan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan berbahasa leluhur dan pelaksanaan adat-istiadat dan kebudayaan Cina sebagai bagian dari gaya hidup. Tingkat praktek kebudayaan yang tinggi dianggap akan membuat individu keturunan Cina untuk mengidentifikasi dirinya sebagai etnis Cina. Namun pada kenyataannya, dalam konteks pelajar di Sarawak, identitas diri sebagai etnis Cina tidak dibarengi dengan penggunaan atribut kebudayaan Cina secara intensif. Dalam penelitiannya, Ting dan Ling juga mengutip Joshua A. Fishman 1977, mengenai perspektif fenomenologi. Dalam hal identitas etnis, perspektif ini mengungkapkan bahwa aspek apapun dapat menjadi simbol etnis, tidak hanya terbatas pada bahasa dan adat-istiadat. Studi yang dilakukan oleh Ting dan Ling, memberikan landasan analisis bagi fenomena Orang Keturunan pada Desa Situgadung. Namun sehubungan peneliti tidak menggunakan studi literatur sebagai alat verivikasi, maka tinjauan pustaka ini sekedar digunakan untuk menggambarkan bahwa identitas Cina itu bersifat kontekstual. Selain itu, tinjauan pustaka ini juga digunakan sebatas pembanding dengan konteks Desa Situgadung saja. Ketika Ting dan Ling menemukan bahwa penentuan identitas Cina dipengaruhi oleh fenomena ekonomi, maka dalam konteks Desa Situgadung, hal tersebut merupakan hasil percampuran fenomena perubahan ekonomi dan politik.

2.2. Konsep

(34)

16

merupakan istilah Cina Benteng yang dianut secara objektif, bukan Cina Benteng yang terdapat di Desa Situgadung. Sebab komunitas Cina di Desa Situgadung tidak memiliki hubungan dengan komunitas Cina Benteng secara objektif. Namun mereka akhirnya merubah identitas diri mereka dari Orang Keturunan ke Cina Benteng. Maka, peneliti merasa penting untuk menjelaskan definisi Cina Benteng secara objektif sebelum penjabaran temuan dan analisis dalam penelitian ini. Konsep lain yang akan dipaparkan adalah identitas etnis. Definisi yang akan diberikan berikut ini menunjukkan bahwa selama ini, Cina benteng sudah dianggap ada dan didefinisikan sebagai sesuatu yang objektif.

Seperti halnya dengan Cina Benteng, identitas etnis dalam kasus Orang Keturunan di Desa Situgadung merupakan fenomena yang unik. Dalam konteks Orang Keturunan di Desa Situgadung, terdapat definisi yang bersifat tumpang tindih dalam identitas etnis. Dalam fenomena di Desa Situgadung, di satu sisi identitas etnis merupakan sesuatu yang didefinisikan secara objektif. Namun di sisi lain, identitas etnis merupakan sesuatu yang didefinisikan secara subjektif.

2.2.1. Cina Benteng

Berikut akan dipaparkan definisi, identitas kebudayaan, serta asal-usul Cina Benteng. Bagian definisi akan menggunakan literatur dari Santosa (2012), identitas kebudayaan Cina Benteng menggunakan studi literatur dari Witanto (2005), dan asal-usul Cina Benteng akan menggunakan literatur dari Setiono (2003). Penggunaan tiga sumber untuk tiga topik mengenai Cina Benteng dikarenakan tidak adanya sumber tunggal yang bersifat komprehensif dalam membahas Cina Benteng. Bagian terakhir dari penjelasan konsep ini akan memberikan kesimpulan mengenai konsep dari Cina Benteng ini.

(35)

17

dilakukan oleh Santosa. Santosa (2012: 24), secara umum mendefinsikan Cina Benteng, sebagai kelompok Cina Peranakan yang hidup di sekitar Tangerang dan daerah-daerah sekitarnya, terutama di sebagian DKI Jakarta bahkan Bogor. Hal yang menjadikan menarik dalam kelompok ini adalah bahwa mereka dianggap sebagai kelompok Cina yang paling jauh dengan kebudayaan Cina di Indonesia. Santosa (2012:17) beralasan demikian karena umunya anggota komunitas Cina Benteng berkulit gelap, tinggal di pedesaan, dengan mayoritas bekerja pada sektor pertanian. Namun, anggota komunitas Cina Benteng masih mempraktekkan kebudayaan leluhur Cina. Secara tidak langsung, Santosa mengatakan bahwa Cina Benteng secara ekonomi dan fisik lebih mirip pada stereotip pribumi, sementara secara kebudayaan masih dekat pada Cina Peranakan. Secara ekonomi, warga Cina Benteng jauh dari stereotip etnis Cina yang mapan dengan kelas sosial tinggi (Santosa, 2012:23). Selain itu, anggota komunitas Cina Benteng masih memegang teguh tradisi leluhur Cina mereka. Bedanya, mereka tidak mengtahui makna kebudayaan leluhur Cina yang mereka praktekkan. Menurut Iwan Meulia Pirous dalam Santosa, hal ini dikarenakan tradisi Cina Benteng diturunkan melalui tindakan dari praktek sosial sehari-hari. Nenek moyang Cina Benteng yang banyak mengawini perempuan pribumi menjadi alasan akan sosialisasi nilai kebudayaan semacam ini. Karena tingkat akulturasi yang tinggi dengan pribumi, anggota komunitas Cina Benteng sudah tidak memahami makna akan ritual tradisional Cina (Santosa, 2012:22). Bahasa sehari-hari yang digunakan bukan dialek Hokkien atau sejenisnya, namun umumnya Betawi “iyak” bercampur dialek Sunda pesisir.

(36)

18

H. Istilah “China Benteng” menurut Santosa terdengar merendahkan bagi anggota komunitas Cina Benteng. Menurut Santosa, komunitas Cina Benteng adalah keturunan pendatang Cina dengan latar belakang suku Hokkien di abad ke-15 (Ada pula yang menyebutkan gelombang kedatangan mereka berlanjut hingga abad ke-18). Satu hal yang pasti, nenek moyang Cina Benteng datang dari berbagai gelombang mulai abad ke-15 hingga abad ke-18. Eddy Prabowo Witanto dalam Santosa mengatakan bahwa Cina Benteng juga mencakup daerah sekitar Tangerang seperti Cikupa dan Tanjung Kait di pesisir Tangerang. Mona Lohanda dari Arsip Nasional Republik Indonesia dalam Santosa (2012:26), memaparkan bahwa Cina Benteng di masa kini tidak selalu menetap di daerah pedesaan. Lohanda yang juga merupakan anggota komunitas Cina Benteng menjelaskan bahwa Cina Benteng yang kini tinggal di daerah perkotaan Tangerang menyebut anggota komunitas Cina Benteng yang masih tinggal di desa sebagai “orang udik”. Warga Cina Benteng yang menetap di desa memiliki istilah tersendiri bagi penduduk daerah perkotaan, yakni “orang gedongan”.

Bagian mengenai identitas kebudayaan Cina Benteng kini diambil dari buku

“Akulturasi Budaya Cina Benteng” tulisan Eddy Prabowo Witanto. Witanto (2005)

menjelaskan identitas kultural Cina Benteng sebagai “teladan asimilasi”. Sebab, Cina Benteng dijelaskan sebagai kelompok Cina Peranakan yang memiliki tingkat akulturasi paling baik dengan pribumi. Salah satunya adalah dengan fenomena kawin campur dengan pribumi. Maka, dalam konteks tertentu, beberapa anggota komunitas Cina Benteng juga merupakan hasil kawin campur Cina dan pribumi (Witanto, 2005:3). Secara umum ciri fisik masih menjukkan fisik Cina, hanya saja rata-rata memiliki kulit yang lebih gelap. Perkawinan campur secara besar-besaran laki-laki Cina dengan perempuan pribumi tidak terjadi, sebab saat itu sudah ada perempuan Cina yang ikut mengungsi akibat Batavia Massacre.

(37)

19

Quanzhou (Coan-ciu) di Provinsi Fujian (Witanto, 2005:11). Keturunan mereka dalam konteks tertentu telah mengalami akulturasi kebudayaan dengan pribumi, sehingga anggota komunitas Cina Benteng menggunakan banyak kebudayaan pribumi dalam adat-istiadat mereka. Bentukpaling nyata adalah pakaian kebaya yang digunakan sebagai pakaian tradisional bagi komunitas Cina Benteng. Selain itu, kesenian Wayang Cokek dan Gambang Kromong yang mengadopsi kebudayaan pribumi merupakan bentuk kesenian khas Cina Benteng hasil percampuran kebudayaan lainnya (Witanto, 2005:84-87). Di sisi lain, komunitas Cina Benteng tetap mempertahankan praktek kebudayaan dan adat-istiadat Cina yang bersifat sacral. Diantaranya adalah Barongsai, Peh Chun (Perayaan 100 hari setelah tahun baru Cina), Sin Tjia (Perayaan tahun baru Cina), Festival Perahu Naga, Upacara Mai Siong (Upacara jenazah, dalam rangkaian posesinya terdapat upacara pemberangkatan jenazah yang disebut Sang Cong, upacara peringatan satu tahun atau Siau Siang, serta upacara peringatan tiga tahun atau Tai Siang). Maka, meski mereka telah memiliki ciri fisik yang berbeda dengan etnis Cina secara umum, Cina Benteng tetap merupakan bagian dari kelompok Cina Peranakan yang beragam di Indonesia.

Sejarah munculnya komunitas Cina Benteng dan penamaannya diawali dengan peristiwa Pembantaian Batavia (Batavia Massacre). Sejarah mengenai Pembantaian Batavia (Batavia Massacre) berikut ini dikutip berdasarkan tulisan Benny G. Setiono dalam buku Cina dalam Pusaran Politik. Kaum Cina Benteng adalah keturunan etnis Cina Batavia yang melarikan diri akibat pembantaian etnis Cina tersebut pada 1740. Peristiwa yang dimaksud dikenal dengan istilah Batavia

Massacre. Sejarah peristiwa Batavia Massacre dimulai pada awal abad ke-18. Saat

(38)

20

membuat cemas penduduk Eropa di Batavia dan di pemerintah kolonial di Belanda. Sebab, dikhawatirkan keberadaan mereka dapat mengganggu ketertiban dan ketenangan orang Belanda di Batavia (Setiono, 2003:109). Fenomena tersebut membuat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1695-1751) pada tanggal 25 Juli 1740 memerintahkan semua penduduk Cina yang dicurigai oleh pemerintah harus ditangkap dan diperiksa. Apabila mereka tidak mempunyai penghasilan atau menganggur, mereka akan dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) sebagai kuli, atau dikembalikan ke Cina. Namun pada prakteknya, bukan hanya penduduk Cina yang menganggur saja yang ditangkap. Para pedagang, yang merupakan mata pencaharian matoritas penduduk Cina saat itu, dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan kekerasan. Perlakuan pemerintahan kolonial menimbulkan keresahan pada penduduk Cina, sehingga mereka berkumpul dan membentuk berbagai kelompok yang mempersenjatai diri untuk membela diri. Tanggal 7 Oktober 1740, sekelompok orang Cina melawan pasukan VOC yang berusaha menangkap mereka. Penduduk Cina tersebut berhasil merebut posisi VOC dan membunuh 50 serdadunya. Pemerintah kolonial melakukan pembalasan dengan mengerahakan seluruh kekuatan militer di Batavia, sehingga pembantaian terhadap penduduk Cina di Batavia, atau yang dikenal sebagai Batavia Massacre dimulai.

(39)

21

1740, dua minggu setelah hari pertama pembantaian. Gubernur Jenderal Valckenier baru mengungumkan pengampunan umum bagi semua penduduk Cina. Menurut Cator dalam Economic Position of Chinese, setelah pengampunan umum itu, penduduk Cina di Batavia masih tersisa 3.431 jiwa. Hampir setengah diantaranya bekerja sebagai pedagang (Setiono, 2003:116-119). Jumlah ini merupakan sebuah penyusutan drastis dari populasi Cina sebelum pembantaian yang berjumlah kurang lebih 17.500 jiwa yang mengakibatkan kehancuran perekonomian kota Batavia (Setiono, 2003: 123). Penduduk Cina di Batavia, baik laki-laki maupun perempuan pada akhirnya kabur menyelamatkan diri ke Tangerang. Mereka menetap di wilayah yang berdekatan dengan sebuah benteng tua Belanda, yakni Benteng Makassar, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Komunitas pelarian ini mengisolasi diri dan hidup dengan bercocok tanam di wilayah yang jarang dihuni tersebut. Oleh karena kedekatan mereka dengan benteng, keturunan mereka dikenal sebagai Cina Benteng. Meski demikian, terdapat anggapan lain bahwa sifat mereka yang mengisolasi diri atau mem”bentengi” diri dari dunia luar selama beberapa generasi menjadi asal penamaan Cina Benteng. Hingga kini, istilah Cina Benteng menjadi identik dengan penduduk Cina Peranakan yang menetap di daerah sekitar Tangerang. Meski terdapat pula komunitas Cina Benteng yang secara administratif menetap di daerah luar Tangerang, yakni di DKI Jakarta, terutama di daerah Dadap, Cengkareng, Rawa Lele, dan Rawa Bokor (Witanto, 2005:14).

2.2.2. Identitas Etnis Sebagai Kolektivitas Sosial

(40)

22

Konsep identitas etnis merupakan konsep yang bersifat sentral dalam penelitian ini. Berdasarkan Trimble dan Dickson, pada dasarnya identitas terdiri atas dua yang memiliki akar bahasa, baik dari bahasa Latin dan Yunani. Berikut adalah penjabaran etimologis-nya.

a. Identitas: Berasal dari kata identitas (Bahasa Latin), yang memiliki akar kata idem. Dalam Bahasa Latin, idem dapat diartikan sebagai “sama”.

b. Etnis : Berasal dari kata ethnicus/ethnikas (Bahasa Yunani), yang berarti bangsa. Kata ethnicus/ethnikas memiliki akar kata ethos, yang memiliki arti “adat”.

Oleh karena itu, etnis didefinisikan sebagai sekelompok bangsa yang hidup bersama karena adanya kesamaan adat yang dimiliki secara bersama-sama. Secara spesifik, identitas mengacu pada “bentuk kesamaan seorang individu atau sesuatu dalam segala macam situasi; yakni suatu kondisi dimana seseorang atau sesuatu bukan merupakan kelompok lain.” Dengan kata lain, identitas etnis adalah dua kata yang dijadikan sebagai satu konsep. Bila kedua istilah tersebut digabungkan, maka identitas etnis dapat diartikan sebagai suatu bentuk ciri-ciri bersama sebagai sebuah pembeda bagi kelompok lain. Etnisitas merupakan sebuah konsep yang dapat menaungi kelompok-kelompok yang dibedakan oleh warna kulit, bahasa, dan agama. Dimana etnisitas juga mencakup kesukuan, ras, dan kasta (Horowitz, 1985, hal. 53). Definisi yang diberikan dalam konteks ini mengacu pada definisi identitas etnis yang didasari oleh pandangan yang bersifat objektif.

(41)

23

digunakan untuk membedakan suatu kelompok etnis dengan kelompok etnis yang lain. Dengan kata lain, Barth menekankan pada batasan/eksklusi yang diciptakan kontak sosial diantara berbagai kelompok etnis. Batasan/eksklusi semacam itulah yang dijadikan dasar bagi pembentukan identitas etnis yang baru. Dari sini nampak bahwa selama ini, identitas etnis selalu didefinisikan secara tunggal dan deterministik saja, bahkan dalam komunitas ilmiah.

Tabel 2.1. Ciri-Ciri Identitas Etnis Berdasarkan Chandra (2006) dan Trimble dan Dickson (2010)

No. Identitas Etnis

1. Deterministik (Dalam arti pasti ada, terlepas apakah anggotanya mau mangakuinya atau tidak)

2. Didasarkan atas kesamaan

3. Mencakup aspek kebudayaan

4. Mencakup aspek garis keturunan

5. Harus diakui oleh pihak luar

6. Taken for granted

Bila berbicara mengenai identitas etnis sebagai pembeda dan pemberi petunjuk akan keanggotaan, maka, identitas etnis dalam penelitian ini adalah sebuah kolektivitas sosial. Jurnal yang ditulis oleh Veronika Koller (2012), berjudul How to

Analyze Collective Identity in Discourse Textual and Contextual Parameters secara

(42)

24

memiliki norma yang sama. Oleh karena itu, Koller mengatakan dalam jurnalnya bahwa masyarakat dibentuk oleh kolektivitas sosial dalam berbagai tananan, mulai dari yang mikro hingga makro. Selain itu, kolektivitas sosial akan senantiasa dikonstruksikan, dinegosiasikan, dan dirubah lewat interaksi baik antar kelompok maupun sesama anggota kelompok. Hal ini merupakan implikasi kolektivitas sosial sebagai sebuah entitas dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks tertentu, Koller juga menyatakan bahwa kolektivitas sosial merupakan entitas yang dinamis dan fleksibel dan dapat berubah-ubah. Dalam arti kolektivitas sosial bukan hanya sebatas konsepsi individual saja, namun sebuah hasil konstruksi sosial hasil interkasi dengan individu lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, kolektivitas sosial akan memiliki berbagai basis yang berbeda-beda, seperti gender, politik, agama, dan lain-lain. Berdasarkan definisi ini, maka identitas etnis juga merupakan salah satu kolektivitas dalam masyarakat. Maka, dapat dikatakan bahwa identitas etnis merupakan salah satu manifestasi dari kolektivitas sosial.

2.3. Penggunaan Istilah “Cina” Ketimbang “Tionghoa”

(43)

25

pemerintahan RRC. Disinilah asal-muasal pemberian konotasi negatif kata “Cina” yang dilatarbelakangi oleh peristiwa politik. Cina jadi diidentifikasikan dengan Komunis, sebuah stigma negatif yang akhirnya tersosialisasikan ke masyatakat secara luas. Terlepas apakah mereka menyadari asal-usulnya atau tidak. Penelitian ini menggunakan kata “Cina” dalam konteks objektif, bukan kata Cina sebagai hasil konstruksi prasangka di Era Orde Baru. Maka, penggunaan istilah Cina dalam penelitian ini bebas akan konotasi negatif dan sejenisnya.

Selain latar historis yang telah dipaparkan, peneliti memiliki tiga alasan utama yang dijadikan dasar penggunaan istilah Cina. Pertama, peneliti memerlukan adanya keseragaman istilah dalam penelitian ini. Cina Benteng adalah komunitas utama yang diteliti. Maka, penggunaan kata Tionghoa tidak akan digunakan untuk mencegah ambiguitas. Kedua, Tionghoa merupakan kata yang berasal dari dialek Hokkien10. Artinya, Tionghoa tak lebih merupakan sebuah istilah bahasa daerah. Tionghoa atau yang dilafalkan sebagai Zhōnghuá (中華), dalam dialek Mandarin (Suryadinata,

2006:1-2) merupakan istilah yang cenderung jarang digunakan oleh penduduk Cina untuk menyebut diri mereka dan juga negara mereka. Sebab, dalam Bahasa Mandarin, Cina dikenal dengan istilah Zhōngguó (中国). Zhōng (中) memiliki arti

sebagai “pusat” atau “tengah”, sementara Guó (国) memiliki arti sebagai “negara”.

Maka istilah tersebut kurang lebih berarti “Negeri Tengah”, berdasarkan anggapan tradisional bahwa Cina merupakan pusat dunia. Hingga kini, RRC tetap dikenal dengan istilah Zhōngguó dalam Bahasa Mandarin, bukan Zhōnghuá.Ketiga, Kategori dalam Sensus Penduduk Indonesia sudah mengenal istilah Cina yang merujuk pada Warga Negara Keturunan Tionghoa (Penggunaan moderen). Bahkan sejak periode kolonial mereka sudah disebut sebagai “Chineezen”, versi Belanda dari orang Cina

(Chinese dalam Bahasa Inggris). Setelah merdeka, pemerintah Indonesia

menggunakan istilah “Tjina” dan kemudian Cina, berdasarkan Ejaan Yang

10

(44)

26

(45)

27

BAB 3

METODOLOGI

Bagian ini khusus membahas mengenai berbagai macam cara yang peneliti gunakan baik untuk pengumpulan maupun pengolahan data. Penjelasan masing-masing teknik pengumpulan dan pengolahan data secara khusus akan dijelaskan secara terperinci, berdasarkan landasan metodologi yang akan dijabarkan pula. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif yang memiliki penekanan khusus pada beberapa hal. Maka, bagian ini juga akan menjelaskan posisi dari penelitian kualitatif yang dilakukan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai metodologi berikut ini pada dasarnya akan dibagi menjadi tiga bagian, yakni: Landasan metodologi, pengumpulan data, serta pengolahan data.

3.1. Klasifikasi Penelitian Kualitatif

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif. Secara spesifik, penelitian ini merupakan penelitian yang ditekankan pada konsep

grounded dalam konteks penelitian kualitatif11. Maka, penelitian ini berusaha untuk

membangun teori berdasarkan temuan data. Penelitian ini sama sekali tidak terikat pada usaha untuk menguji teori abstrak dalam konteks lapangan. Implikasi yang paling nyata dalam hal ini, penelitian yang dilakukan bukan dalam rangka untuk melakukan verivikasi teori. Peneliti juga tidak berusaha untuk menyederhanakan hasil temuan lapangan dengan kerangka berpikir yang dimiliki peneliti. Semua skema yang dipaparkan dalam analisis dan kesimpulan, murni merupakan hasil subkjektivitas informan.

11

(46)

28

Sebagai implikasinya, teknik pengumpuan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam serta observasi partisipatoris. Maka penentuan konteks sosial merupakan langkah awal penelitian ini, yang kemudian dilanjutkan oleh penentuan isu untuk diangkat sebagai permasalahan. Dalam penelitian ini, pengumpulan, analisis, serta interpretasi data dilakukan secara bersama-sama.

Bila dijabarkan secara lebih spesifik, maka penelitian ini dapat dikategorikan menjadi beberapa dimensi berdasarkan Neuman (2006) dalam Social Research

Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.

Tabel 3.1. Klasifikasi Pendekatan Penelitian yang Digunakan berdasarkan Neuman (2006)

No. Dimensi Klasifikasi

1. Kegunaan Penelitian Basic Research (Penelitian Dasar)12

2. Tujuan Penelitian Eksplanasi13

3. Waktu Case-Study (Studi Kasus)14

12

Neuman (2006:24) mendefinsikan Basic Research (Penelitian Dasar) sebagai penelitian yang ditujukan untuk meningkatkan pemahaman teori ilmiah dari hasil temuan penelitian. Penelitian ini ditujukan untuk memberikan pemahaman baru mengenai teori yang menyangkut identitas etnis, terutama etnis Tionghoa.

13

Penelitian Eksplanasi adalah jenis penelitian yang berusaha untuk menjelaskan dan memberikan analisis atas terjadinya suatu fenomena. Penelitian ini juga berusaha membangun, mengelaborasi, atau memperdalam teori dari hasil temuan data (Neuman, 2006: 35-36). Dalam konteks ini, peneliti akan mengungkap penjelasan atas hal yang mendasari fenomena perubahan identitas Orang Keturunan di Desa Situgadung.

14

(47)

29

4. Teknik Pengumpulan Data Field Research (Penelitian Lapangan)15

3.1.1. Sumber Data Kualitatif

Pengumpulan data pada penelitian ini difokuskan pada data primer dengan berbagai instrumen penelitian yang digunakan. Namun, secara umum penelitian ini menggunakan pengumpulan data baik yang bersifat primer maupun sekunder. Pengumpulan data sekunder juga dilakukan untuk mendukung analisis data primer. Karena tujuan penelitian ini berusaha untuk membangun teori, maka instrumen utama yang digunakan adalah wawancara mendalam yang didukung oleh tiga macam sumber data sekunder, antara lain jurnal wawancara mendalam, informasi publik, serta peta sosial. Dalam berbagai proses pengumpulan dan analisis data, hasil analisis akan digunakan kembali untuk divalidasi baik kepada informan yang bersangkutan, maupun informan lainnya (Somekh dan Lewin, 2005:49). Maka, setelah melakukan pengumpulan data, peneliti akan kembali menemui pihak pemberi informasi atau pihak ahli untuk melakukan validasi data. Kegiatan ini berlaku bagi semua jenis teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu menjadi dua macam, yakni data kontemporer dan data historis. Data kontemporer adalah data yang menjelaskan fenomena atau peristiwa di masa kini. Sementara data historis mengacu pada penjelasan mendalam mengenai peristiwa

15

(48)

30

atau fenomena masa lalu yang menjadi latar belakang atas peristiwa atau fenomena di masa kini.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data akan menjelaskan mengenai kronologi pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti, baik melalui kunjungan lapangan maupun studi pustaka. Hal ini perlu digambarkan untuk memberikan informasi metodologi serta teknik yang peneliti gunakan dalam menghimpun data secara sistematis, dari langkah pertama hingga terakhir. Selain langkah-langkah yang dilakukan, bagian ini juga akan menjelaskan berbagai macam teknik yang peneliti gunakan untuk mengumpulkan data di lapangan.

3.2.1. Proses Lapangan

(49)

31

berbagai pihak pada hari itu, penduduk Cina setempat memiliki latar belakang agama yang cenderung beragam. Selain itu, terdapat fenomena perubahan istilah pada komunitas Cina lokal ketika mereka melakukan pergantian agama. Peneliti sempat terkejut karena berdasarkan informasi sepintas, Cina Benteng di sekitar desa ini memiliki kecenderungan untuk tidak mengaku sebagai Cina Benteng, dan menyebut diri mereka sebagai Orang Keturunan. Berbeda dengan Cina Benteng, peneliti sama sekali belum pernah mendengar istilah Orang Keturunan.

(50)

32

perubahan identitas berdasarkan pergantian agama Cina Benteng. Namun, yang menjadi permasalahan menarik, komunitas Cina Benteng ini justru kebanyakan tidak mau mengaku sebagai Cina Benteng.

Maka, peneliti kini memiliki beberapa kandidat pada Desa Sampora. Dalam pencarian calon informan, peneliti mendapatkan berbagai informan yang kredibel karena upaya peneliti untuk membangun relasi dengan tokoh setempat. Dalam konteks desa penelitian, maka tokoh desa yang dimaksud adalah Informan IN. Dengan menyatakan diri sebagai seorang kawan Informan IN, warga desa menjadi terbuka dan mempercayai peneliti. Informan IN juga memiliki kerabat tokoh Cina lokal. Jadi, selain dapat menyatakan diri sebagai seorang kawan Informan IN, peneliti juga dapat menyatakan diri sebagai seorang kenalan tokoh Cina lokal tersebut, yakni Informan SSB. Inilah yang menjadi modal bagi kepercayaan penduduk Orang Keturunan, sehingga mereka bersedia untuk mengungkapkan berbagai macam informasi kepada peneliti. Berikut adalah penjabaran proses mendapatkan informan dari hasil membangun relasi dengan Informan IN berdasarkan pemaparan yang telah diberikan sebelumnya.

Gambar 3.1. Proses Mendapatkan Informan Kunci dari Perkenalan dengan Informan IN

Gambar 3.1. memberikan penjelasan bahwa relasi peneliti dengan Informan IN mempertemukan peneliti dengan berbagai informan lain. Informan IN membenarkan adanya fenomena perubahan identitas Cina Benteng. Dalam konteks Desa Sampora, fenomena ini ditunjukkan dengan perpindahan identitas Cina ke

Peneliti

Relasi Sosial

Informan IN (Tokoh yang Dihormati)

Kepercayaan Warga

(51)

33

pribumi dengan memasuki Agama Islam. Namun, karena jumlah mereka yang semakin sedikit, terpencar-pencar serta tanpa adanya paguyuban yang mengikat mereka, peneliti memutuskan untuk tidak memfokuskan penelitian pada komunitas Cina di Desa Sampora. Berkat bantuan Informan IN, peneliti mendapatkan isu bahwa penduduk Cina pada Desa Situgadung, sebuah desa tetangga, memiliki isu perubahan identitas yang khas. Untuk itu, Informan IN yang memperkenalkan peneliti ke salah seorang kerabatnya, yakni Informan SSB. Informan SSB merupakan penduduk Cina yang paling ditokohkan. Kedekatan dengan Informan IN menjamin keterbukaan oleh Informan SSB, dan penerimaan seorang tokoh Cina terhadap peneliti semakin meningkatkan keterbukaan penduduk Cina lokal. Peneliti sempat mengalami kebingungan karena Informan SSB menyatakan bahwa masyarakat Cina di sekitar wilayahnya bukan merupakan Cina Benteng, tapi Orang Keturunan. Ini merupakan sebuah istilah baru yang peneliti dengar. Terlebih ia menyatakan bahwa terdapat sekumpulan Orang Keturunan yang setelah memasuki Agama Kristen menjadi mengaku bahkan bangga sebagai Cina Benteng. Dalam hal ini peneliti telah menemukan sebuah isu yang belum pernah diabahas sebelumnya. Selain itu, peneliti juga mengunjungi Vihara Boen Hay Bio guna membangun relasi dengan tokoh-tokoh vihara tersebut. Maka ketika peneliti turun lapangan, peneliti mengaku teman Informan IN dan SSB, serta kenal akan tokoh-tokoh Vihara Boen Hay Bio, sebuah perkataan yang menjamin keterbukaan warga lokal.

(52)

34

bukanlah Cina Benteng. Namun, terdapat sebuah komunitas dimana mayoritas anggotanya bersama-sama menjadi Cina benteng versi lokal dengan adanya kehadiran berbagai macam institusi sosial dekat mereka. Pada saat ini peneliti telah berkenalan dengan dua orang informan kunci tambahan, berkat relasi yang telah dibangun, penerimaan cepat dan baik. Keterbukaan salah seorang informan terhadap peneliti cenderung besar hingga ia memperkenalkan peneliti pada beberapa misionari dan jemaat gereja setempat. Sehingga, sejak April 2013, peneliti sudah mulai mewawancarai informan kunci yang paling penting dalam penelitian ini. Sembari mengumpulkan data di Desa Situgadung, peneliti juga mewawancarai berbagai

gatekeeper, termasuk beberapa pakar dalam sejarah Cina di Tangerang. Peneliti juga

menelusuri berbagai dokumen terkait sebagai pengumpulan data sekunder.

Proses ini berakhir pada tanggal 18 Mei 2013, pada tahapan ini, peneliti melakukan pengecekan validitas data lapangan agar data yang peneliti peroleh benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dilakukan dengan kembali menanyakan pertanyaan menyangkut validitas data kepada informan yang bersangkutan. Untuk memperkuat validitas data, sehingga data yang ditemukan dapat dianggap sebagai fakta, pada tahapan ini, peneliti mewawancarai tokoh serta akademisi terkait kebudayaan Cina dan Cina Benteng. Instansi yang peneliti kunjungi antara lain Ang Si Toon Hong Tong (Asosiasi Marga Cina), Jurusan Sastra Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Museum Benteng Heritage, dan Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Vihara Boen Tek Bio. Sembari mewawancarai informan sekedar untuk meminta pengecekan kebenaran data, peneliti juga mewawancarai tokoh-tokoh instansi yang telah disebutkan. Barulah pengecekan validitas data selesai pada tanggal 12 Juni 2013, dan mengakhiri kegiatan lapangan penelitiuntuk mengumpulkan data serta memulai kegiatan menulis bagi peneliti.

3.2.2. Wawancara Mendalam

(53)

35

diteliti. Maka, peneliti juga membuat tabel khusus yang mencatat berbagai istilah khas informan dan maknanya, sebagai bahan analisis lanjutan. Tabel tersebut diberi judul “Istilah Khas Informan” dan “Istilah Khas Gatekeeper” yang akan dipaparkan dalam lampiran akhir. Istilah khas informan merupakan salah satu bahan analisis yang penting. Sehubungan dengan adanya kemungkinan menanyakan isu-isu yang sensitif dan traumatis bagi beberapa informan, maka peneliti melakukan pendekatan khusus. Pertama, mengatakan bahwa peneliti adalah sahabat seorang tokoh agama dan tokoh Cina lokal. Maka sebelum melakukan wawancara, peneliti meluangkan waktu untuk berkenalan dan membangun relasi dengan kedua tokoh yang dimaksud. Sebagai akibatnya, informan menjadi memiliki kepercayaan yang cenderung baik terhadap peneliti. Kedua, peneliti mengaku sebagai orang Cina. Penyamaran ini hanya dilakukan terhadap informan Cina yang memiliki rasa trauma untuk mengungkapkan hal-hal sensitif dengan pribumi. Aksi ini membuat sikap mereka cenderung lebih terbuka ketimbang jika peneliti mengaku sebagai seorang pribumi dari luar desa. Ketiga, kembali menekankan jaminan kepada informan bahwa segala macam identitas informan akan dirahasiakan, dan informasi yang ia berikan tidak akan disebar ke pihak lain.

Gambar

Gambar 2.1. Alur Tinjauan Pustaka
Tabel 2.1. Ciri-Ciri Identitas Etnis Berdasarkan Chandra (2006) dan Trimble
Gambar 3.2. Penjabaran Sistem Snowball Pencarian Informan Kunci dan Hubungan
Gambar 4.1. Silsilah Mantan Kepala Desa Sampora
+7

Referensi

Dokumen terkait