• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan Temuan Data dan Analisis

Dalam dokumen Perjalanan Panjang Menuju Cina Benteng S (1) (Halaman 181-200)

8. KESIMPULAN

8.2. Kesimpulan Temuan Data dan Analisis

Berdasarkan analisis teori yang telah diberikan, maka peneliti dapat memberikan kesimpulan akhir dari analisis ini. Temuan penting penelitian ini dapat dirangkum menjadi dua bagian besar, yakni temuan teoritik dan empirik. Temuan teoritik penelitian ini mengungkapkan bahwa ternyata konsep identitas etnis tidak cukup untuk menjelaskan fenomena transformasi Orang Keturunan menjadi Cina Benteng. Oleh karena itu, harus ada pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas, dimana kedua konsep tersebut saling berhubungan antara satu dan yang lainnya. Penelitian ini telah mendefinisikan bahwa identitas adalah proses identifikasi atas keanggotaan suatu kolektivitas yang fleksibel dan dinamis berubah-ubah menurut

Universitas Indonesia

nama, skala, dan intensitas. Diketahui bahwa identitas dan etnis merupakan dua hal yang berbeda dalam konteks sosial tertentu. Maka, teori yang dibangun dalam penelitian ini dapat memberikan pemetaan bagi masing-masing ciri identitas etnis, untuk dikategorikan sebagai identitas atau etnisitas. Dalam hal ini, Orang Keturunan pada Desa Situgadung dapat menjadi sebuah komunitas Cina Benteng yang berbeda, namun tetap dapat diakui sebagai Cina Benteng. Hal ini menunjukkan erlunya pembedaan antara identitas dan etnisitas. Berdasarkan kasus ini, dapat dilihat bahwa pada awalnya anggota komunitas keturunan Cina di Desa Situgadung secara objektif memiliki ciri-ciri fisik dan sosio-kultural sebagai suatu sosok yang lebih mendekatkannya sebagai "orang pribumi." Namun ternyata mereka tidak serta merta menjadi orang Cina Benteng. Dibutuhkan sebuah proses panjang dan berliku sampai akhirnya mereka menjadi orang Cina Benteng. Secara fisik dan sosio-kultural, ia di masa lampau mengidentifikasi dirinya sebagai Orang Keturunan, menjadi Cina Udik, "Cina" hingga akhirnya, dalam beberapa tahun terakhir, ia benar-benar menjadi seorang Cina Benteng. Oleh karena itu, istilah Cina Benteng dapat bersifat kontekstual. Pada suatu konteks sosial, Cina Benteng dapat dilihat sebagai identitas, seperti pada Desa Situgadung dan identifikasi mereka sebagai Orang Keturunan. Namun dalam konteks sosial yang lain, Cina Benteng dapat pula dilihat sebagai etnisitas, seperti Cina Benteng yang didefinisikan secara objektif. Bila dihubungkan dengan tinjauan pustaka, maka penelitian ini memberikan sebuah gambaran baru bagi identitas etnis, teruatama dalam konteks Cina Benteng di Desa Situgadung. Studi yang dilakukan mengenai identitas etnis menganggap indetitas etnis sebagai sebuah kesatuan tunggal, serta memiliki ciri-ciri seperti yang digambarkan pada tabel berikut.

Tabel 8.1. Ciri-Ciri Identitas Etnis Berdasarkan Chandra (2006) dan Trimble dan Dickson (2010)

No. Ciri-Ciri

Universitas Indonesia

2. Didasarkan atas kesamaan 3. Mencakup aspek kebudayaan 4. Mencakup aspek garis keturunan 5. Harus diakui oleh pihak luar

Sementara itu, temuan empirik penelitian ini berkisar pada fakta bahwa menjadi seorang etnis Cina bukanlah sesuatu yang taken for granted. Etnis Cina, atau dalam konteks tertantu juga Cina Benteng, mungkin merupakan nama suatu kolektivitas. Namun tidak berarti semua orang yg secara obyektif menjadi anggota, menjadikannya sebagai identitas. Individu memiliki semacam kebebasan untuk menentukan nama kelompok yg dipilihnya, cakupan besar kelompoknya, dan kadar keetnisan yg dipilihnya. Melalui proses yang sudah dijelaskan, individu mengalami sosialisasi, afiliasi dan signfikansi yang mengarahkannya untuk mengekslusikan atau mengiklusikan dirinya ke dalam keangotan suatu kelompok. Selain itu, temuan empirik lainnya dalam penelitian ini menyatakatakan bahwa identitas etnis Cina merupakan sebuah entitas yang rumit dan beragam. Mulai dari yang paling dekat dengan pribumi hingga yang paling lekat dengan kebudayaan Cina secara ekstrim.

Namun, penelitian ini juga membenarkan studi yang dilakukan oleh Ting dan Ling (2011). Ting dan Ling (2011) menunjukkan bahwa identifikasi identitas etnis Cina di Sarawak, Malaysia tidak berbading lurus dengan penggunaan atribut kebudayaan etnis, terutama bahasa. Penelitian ini mengkonfirmasi studi Ting dan Ling (2011) meski memberikannya dalam konteks Cina Benteng di Desa Situgadung, yang prosesnya sangat berbeda dengan konteks masyarakat Sarawak, Malaysia. Dalam kasus ini, kita mengenathui berdasarkan pemaparan Informan A bahwa ke-Cina-an tidak didefinisikan oleh pelaksanaan ritual dan penggunaan bahasa. Namun, Informan A mengatakan bahwa ke-Cina-an didefinisikan sebagai kemampuan berdagang dan afiliasi pad Agama Kristen. Ini merupakan fenomena lokal atas

Universitas Indonesia

penelitian Ting dan Ling di Sarawak, Malaysia. Meski anggota masayarakat Cina Benteng di Desa Situgadung secara objektif tidak memiliki kedekatan dengan identitas kultural Cina Peranakan, namun mereka pada akhirnya dapat diterima dan dianggap sebagai bagian dari Cina Peranakan.

Dalam kasus ini, Orang Keturunan di Desa Situgadung dapat menjadi Cina Benteng versi lokal. Perubahan identitas mereka yang pada awalnya merupakan pemaknaan subjektif kemudian dapat diakui secara objektif oleh berbagai pihak. Fenomena ini telah dijelaskan secara mendalam pada bagian-bagian sebelumnya, mulai dari Bab 4 hingga Bab 6 ini. Berdasarkan fenomena yang telah dijabarkan, yang menjadi pertanyaan penting bagaimana sebuah komunitas yang tidak memiliki hubungan sejarah dapat menjadi komunitas lain. Sebab, pada sebuah komunitas yang awalnya mengidentifikasi diri secara subjektif, namun pada akhirnya diakui secara subjektif. Bab 2 telah memberikan definisi ilmiah akan Cina Benteng secara objektif, yakni penduduk Cina Peranakan yang tinggal di daerah sekitar kota Tangerang. Bab 4 telah memberikan sejarah akan asal-usul komunitas Orang Keturunan yang ternyata diakui tidak memiliki hubungan dengan Cina Benteng secara objektif. Bab 5 telah memberikan pemaparan akan sejarah perubahan identitas Orang Keturunan ke Cina Benteng yang disebabkan oleh banyak fenomena. Dapat diketahui bahwa dapat mengaku sebagai Cina Benteng, memiliki dinamika perubahan identitas yang khas, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ditambah dengan fakta bahwa kini penduduk Orang Keturunan telah berhasil menciptakan konsep identitas Cina Benteng versi lokal. Maka diperlukan sebuah teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sebuah komunitas yang pada awalnya secara subjektif mengaku sebagai Cina Benteng, kemudian dapat diakui secara objektif sebagai Cina Benteng versi lokal.

Selama ini, pemilihan identitas etnis didefinisikan entah itu secara Positivis (Realita Objektif) atau secara Post-Modern (Realita Subjektif) saja. Berdasarkan Realita Objektif, etnisitas merupakan sekelompok individu dengan berbagai kesamaan dan diakui baik oleh pihak eksternal maupun internal. Sementara Realita

Universitas Indonesia

Subjektif melihat etnisitas tidak memiliki definisi sebagai pakem. Pandangan Positivis melihat Realita Objektif akan lebih berpengaruh ketimbang Realita Subjektif. Sementara pandangan Post-Modern melihat Realita Subjektif akan lebih berpengaruh ketimbang Realita Objektif. Temuan ini setidaknya dapat memberikan tambahan, sebab, kasus lapangan menunjukkan bahwa terdapat dua alasan yang membuat perubahan identitas Cina Benteng di Desa Situgadung bersifat unik.

a. Dalam konteks Desa Situgadung, pandangan teoritis yang paling nampak dalam sebenarnya tergantung entah itu Realita Objektif atau Subjektif. Namun, asal ada yang disebut sebagai sebuah “prestise”. Jika Realita Objektif lebih memiliki “prestise”, maka individu akan lebih terpengaruh pada Realita Objektif. Begitupun sebaliknya, bila Realita Subjektif lebih memiliki “prestise”, maka individu akan lebih terpengaruh pada Realita Subjektif. b. Fenomena Cina Benteng di Desa Situgadung tidak menunjukkan bahwa

pengakuan objektif merupakan faktor utama dalam menentyukan identitas Cina Benteng pada Desa Situgadung. Sebab, pada awalnya, komunitas Orang Keturunan secara subjektif mengaku sebagai Cina Benteng versi lokal. Baru kemudian mereka diakui secara objektif sebagai Cina Benteng. Fenomena ini menunjukkan bahwa baik pengakuan subjektif dan objektif belum tentu mendominasi pilihan individu terhadap suatu kolektivitas. Rasionalitas-lah yang menentukan apakah identifikasi subjektif atau objektif yang lebih bersifat menguntungkan bagi individu.

Dari penjelasan yang telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa fenomena pengakuan identitas Cina Benteng merupakan perpaduan antara Realita Subjektif dan Realita Objektif. Sebab, pada fase awal perubahan identitas, anggota komunitas Orang Keturunan mengidentifikasi secara subjektif bahwa mereka adalah Cina Benteng versi lokal. Barulah kemudian mereka diakui secara objektif sebagai Cina Benteng. Bila dihubungkan dengan analisis sebelumnya, nampak bahwa baik Realita

Universitas Indonesia

Subjektif maupun Realita Objektif masing-masing tidak memiliki pengaruh yang dominan dalam menentukan identitas Cina Benteng.

Teori ini merupakan hasil abstraksi dari temuan lapangan yang telah dianalisis. Sejauh ini, peneliti dapat mengatakan bahwa teori ini berlaku dalam konteks masyarakat Cina Benteng di Desa Situgadung. Namun, peneliti merasa bahwa teori yang telah peneliti konstruksikan perlu untuk diuji dalam konteks masyarakat yang berbeda. Terutama dalam konteks komunitas Cina Peranakan dalam konteks yang berbeda. Hal ini dirasa perlu untuk dilakukan, mengingat kompleksitas multikultural masyarakat Indonesia bersifat rumit.

Universitas Indonesia DAFTAR REFERENSI

Buku

Babbie, Earl. 1998. The Practice of Social Research. Belmont: Wadsworth Publishing Company.

Bangun, Tantyo. (2005, 1 Juli). Naga di Tepi Sungai. National Geographic

Indonesia. 119-122.

Barth, Frederik. 1969. Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Little, Brown, and Companies.

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality. Garden City: Anchor Books.

Brown, David. 1994. The State and Ethnic Politics in South-East Asia. New York City: Routledge.

Chandra, Kanchan. 2006. “What is Ethnic Identity and Does It Matter?” Annual

Review of Political Science Vol. 9: 397-424.

Coppel, Charles. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Freedman, Amy L. 2000. Political Participation and Ethnic Minorities. New York City: Routledge.

Giddens, Anthony, Mitchell Dunier, dan Richard P. Appelbaum. 2005. Introduction

to Sociology: Fifth Edition. New York: W.W. Norton & Company, Inc.

Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono. 1996. Banten Sebelum

Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? -1526. Jakarta: Penerbit

Bentang.

Hall, Stuart. 1996. Critical Dialogues in Cultural Studies. New York City: Routledge. Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Universitas Indonesia

Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Koller, Veronika. 2012. “How to Analyze Collective Identity in Discourse – Textual

and Contextual Parameters”. Critical Approaches to Discourse Analysis across

Disciplines Vol. 5 (2): 19-38.

Lee, Kuan Yew. 1998. The Singapore Story. Singapura: Prentice Hall.

Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: SAGE Publications Ltd.

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1994. Qualitative data Analysis: An

Expanded Sourcebook. Thousand Oaks: Sage Publications Ltd.

Mills, Theodore M. 1967. The Sociology of Small Groups. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.

The New Encyclopedia Britannica. 2003. Volume 26, 15th Edition. London: Encyclopedia Britannica Inc.

Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and

Quantitative Approaches. USA: Allyn and Bacon.

Pan, Lynn. 1998. The Encyclopedia of the Chinese Overseas. Singapura: Archipelago Books.

Parrillo, Vincent N. 2012. Understanding Race and Ethnic Relations. Boston: Pearson Education Inc.

Ritzer, George. 2008. Modern Sociological Theory. New York: McGraw-Hill.

Sa’dun, Moch. 1999. Pri dan Nonpri: Mencari Format Baru Pembauran. Jakarta: PT Pustaka CESINDO.

Saleh, R.H.A. 1995. Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong. Jakarta: Yayasan Pustaka Utama-Sebelas Maret University Press.

Salmon, Claudine dan Anthony K.K. Siu. 1997. Chinese Epigraphic Materials in

Universitas Indonesia

Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sato, Yoshimichi. 2006. Intentional Social Change. Melbourne: Trans Pacific Press. Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: ELKASA.

Silverman, David. 2000. Qualitative Research: A Practical Handbook. London: Sage Publications Ltd.

Somekh, Bridget dan Cathy Lewin. 2005. Research Methods in Social Science. London: Sage Publications Ltd.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar-Suku Bangsa. Jakarta: YPKIK.

Suryadinata, Leo. 1997. Ethnic Chinese as Southeast Asians. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Suryadinata, Leo. 2007. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ting, Su-Hie dan Ling Teck Yee. 2011. “Ethnic Identity of Young Malaysian

Adolescents in Sarawak.” Malaysian Journal of Youth Studies: 165-175.

Trimble, Joseph E. dan Ryan Dickson. 2010. “Ethnic Identity.” Applied

Developmental Science: An Encyclopedia of Research, Policies, and Programs:

75-83.

Witanto, Eddy Prabowo. 2005. Akulturasi Budaya Cina Benteng. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Universitas Indonesia Media Online

http://amoytainan.wordpress.com/category/hok-kian-oe-%E7%A6%8F%E5%BB%BA%E8%A9%B1-hokkien/feed/. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013, pukul 19.52 WIB.

http://glosbe.com/hak/yue/k%C3%A2-suk-thu. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013, pukul 19.52 WIB.

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013, pukul 19.52 WIB.

http://www.mogher.com/eng/%E5%B0%BC. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013, pukul 19.52 WIB.

http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/ind ex.html. Diakses pada Selasa, 10 September 2013, pukul 22.14 WIB.

Universitas Indonesia LAMPIRAN

ALAT BANTU ANALISIS

I. Dokumentasi Peristiwa Gedoran

Sumber: Koran Sin Po edisi tahun 1946, yang dimuat dalam booklet resmi Museum Benteng Heritage, Tangerang.

Universitas Indonesia II. Genealogi Nama Marga Orang Keturunan Tahun 1875

Sumber: Buku “Chinese Epigraphic Materials in Indonesia” karya Claudine Salmon dan Anthony K.K. Siu32.

32

Nama- a a arga ya g dia ggap se agai a a arga asli Ora g Keturu a telah ditandai oleh peneliti dengan tanda centang, terutama untuk halaman 291 dan 292.

Universitas Indonesia III. Jurnal Lapangan

Jurnal Lapangan Kamis, 4 April 2013

Wawancara kali ini adalah pertemuan ke-tiga peneliti degan informan Informan IN. Kunjungan kepada Informan IN dilakukan kembali oleh karena pengetahuannya yang luas mengenai sejarah desa. Saat peneliti mengunjungi rumahnya, hari sedang panas. Informan IN yang sedang mengawasi beberapa kuli bangunan yang melakukan renovasi saung dan garasi di depan rumahnya, berteduh di bawah pohon. Ia pun menjamu peneliti di dalam musholla rumahnya. Saat itu Informan IN mengenakan kaus polo berwarna putih, dengan sarung berwarna gelap. Selama proses wawancara, hanya terlihat dua orang pengunjung dan kenalan Informan IN yang melakukan shalat dzuhur. Selain itu, ia terlihat sering merokok ketika dalam proses wawancara, dimana tiga batang rokok Dji Sam Soe dihabiskannya. Saat proses wawancara berlangsung, ia menggunakan Bahasa Indonesia, namun sesekali diselingi dengan Bahasa Sunda. Wawancara kali ini dijadwalkan untuk membahas aspek pribadi dari pengalaman Informan IN sebagai anggota keluarganya, dan aspek historis dari warga Cina di desa tersebut secara lebih spesifik.

Pada awalnya Informan IN menceritakan ulang pemaparan mengenai keluarganya yang sudah ia sampaikan pada saat wawancara terakhir kali oleh peneliti. Mulai dari pernikahan dengan istrinya yang dijodohkan oleh ayah Informan IN, hingga sejarah Ki Demang Arya Jaya Sampurna, yang merupakan pendiri desa sekaligus nenek moyang Informan IN. Namun selanjutnya, wawancara kali ini mengungkapkan beberapa temuan. Pertama, adanya peristiwa Gedoran, atau pembantaian etnis Cina pada masa Agresi Militer Belanda. Peristiwa tersebut memberikan pengaruh pada pembentukan jati diri etnis Cina di desa. Lebih lanjut, peristiwa ini dilatarbelakangi oleh rasa balas dendam penduduk pribumi terhadap tentara relawan Jepang yang didatangkan dari Cina pada masa pendudukan Jepang. Maka dari itu, penelitian ini telah memiliki fokus materi yang perlu digali. Kedua, terdapat istilah khusus bagi orang Cina yang telah masuk Islam, dimana identitas agama diposisikan lebih tinggi dari identitas kesukuan. Ketiga, ayah Informan IN, yakni Nasihun memiliki andil besar dalam menyelamatkan warga Cina saat terjadinya peristiwa Gedoran. Keempat, peneliti telah memiliki informasi mengenai aspek genalogi dari Informan IN dan istrinya. Dalam hal ini, Informan IN, sebagaimana banyak dari warga pribumi lokal, memiliki nenek moyang Cina. Sementara itu, istrinya juga memiliki orang tua pribumi. Selain itu, Informan IN juga memberikan informasi mengenai seorang penduduk Sampora yang telah mengalami peristiwa Gedoran. Hal ini penting mengingat peneliti akan mendalami aspek sejarah dari peristiwa tersebut pada wawancara selanjutnya.

Universitas Indonesia Jurnal Lapangan

Minggu, 7 April 2013

Setelah melakukan wawancara mendalam untuk yang ketiga kalinya dengan Pak Idris, maka kali ini peneliti berencana untuk menguji hasil wawancara dengan Pak Idris pada tiga hari yang lalu. Hal ini dilakukan setelah peneliti menemukan berbagai fakta dalam wawancara mendalam dengannya. Oleh karena itu, peneliti mengunjungi Klenteng Boen Hay Bio (文海廟)33, yang terletak di daerah Pasar Lama, Serpong. Peneliti berharap dapat menemui pengurus pusat vihara yang memiliki pengetahuan atas aktivitas keagamaan warga Cina di sekitar. Kedatangan peneliti disamput oleh salah seorang pengurus klenteng yang sehari-harinya bertugas membersihkan klenteng. Pengurus tersebut memaparkan bahwa para pegurus pusat tidak dapat hadir di klenteng pada hari ini.

Pada saat kedatangan peneliti, para pengurus nampak sedang melakukan persiapan untuk perayaan Cap Go Meh (十五夜)34 yang akan jatuh pada hari esok. Salah seorang pengurus lain nampak enggan memberikan informasi mengenai kontak dari pengurus pusat vihara. Pengurus yang menyambut peneliti pun mengaku tidak memiliki nomor kontak dari para pengurus, sebab ia sendiri tidak memiliki telepon genggam. Kunjungan peneliti pada kali ini dapat dikatakan tidak mendapatkan keterbukaan yang baik. Hal ini dikarenakan peneliti berkunjung pada saat para pengurus sedang melakukan persiapan Cap Go Meh. Selain itu, dari para pengurus yang hadir pada saat itu, hanya satu orang pengurus yang peneliti sudah kenal dekat. Sementara itu, pengurus lain yang peneliti sudah kenal sedang tidak ada di vihara. Oleh karena itu, pada saat kunjungan ini, peneliti gagal mendapatkan kontak dari pengurus pusat Boen Hay Bio.

Dalam kunjungan peneliti selama kurang lebih satu jam di vihara, jumlah warga yang melakukan sembahyang di vihara berjumlah dua keluarga. Dari pengamatan peneliti, kedua keluarga yang datang bersembahyang merupakan warga Cina yang datang dari perkotaan. Hal ini dapat dilihat bahwa mereka membawa mobil pribadi saat berkunjung ke vihara, yakni Kijang dan Pajero. Salah satu keluarga yang turut membawa anaknya yang masih kecil bahkan memiliki babysitter yang menemani anaknya. Berikut ini adalah catatan dari wawancara singkat peneliti dengan pengurus kebersihan klenteng yang memiliki marga Tjoe.

33

Dalam pengejaan sistem pengejaan Hanyu Pinyin ditulis Wénhǎimiào.

34

Universitas Indonesia

Tjoe

Tjoe (朱) merupakan salah seorang relawan yang bertugas sebagai pengurus kebersihan Klenteng Boen Hay Bio. Tjoe adalah warga Cina yang mengaku asli dan dibesarkan di Desa Sampora. Sesuai dengan profesinya, ia dibesarkan dalam keluarga penganut Buddha. Saat ditemui, Tjoe baru saja selesai merapihkan hio untuk persiapan perayaan Cap Go Meh di hari esok. Sebagai pengurus vihara, Tjoe memaparkan bahwa ia sudah sering terlibat aktif di kepengurusan semenjak remaja. Saat ditemui peneliti, Tjoe mengenakan kaos polo yang nampak sedikit usang dengan celana bahan sederhana yang menutupi lututnya hingga pertengahan betis. Berdasarkan beberapa kunjungan peneliti, sehari-harinya Tjoe mengenakan pakaian serupa. Tampilan fisik Tjoe juga kurang menunjukkan ciri fisik Asia Timur. Hal ini dapat dilihat dari warna kulitnya yang sawo matang gelap, serta bentuk matanya yang tidak sipit.

Saat peneliti mengajak Tjoe berbicara seputar kehidupan warga sekitar, ia mengaku tidak begitu mengetahui secara banyak. Tjoe mengatakan bahwa ia jarang bergaul dalam kehidupan bertetangganya. Namun, Tjoe bersedia menceritakan mengenai latar belakang pribadinya.

Berdasarkan pemaparannya, ia lahir di Desa Cisauk dan dibesarkan di Desa Sampora. Selama ia tinggal, ia menempati komunitas dengan mayoritas penduduk pribumi. Tjoe memiliki beberapa kerabat yang telah pindah ke luar desa untuk tinggal di dearah di Jakarta. Menurutnya, mereka yang tinggal di Jakarta tidak sama dengan penduduk Cina yang berasal dari daerah Glodok. Hal ini dikarenakan perbedaan latar belakang status sosial ekonomi. Oleh karena itu, sejauh yang ia tahu, di Desa Sampora sendiri sekarang hanya ada sekitar 10 keluarga Cina. Namun, Tjoe memberi tahu bahwa desa tentangga Sampora, yakni Situgadung, memiliki banyak keluarga Cina yang menetap. Keluarganya dikatakan oleh Tjoe bahwa sudah “acak-acakan”. Ayah Tjoe bercerai dengan ibunya saat ia masih remaja. Hal ini kemudian berlanjut ke pernikahan ayahnya dengan perempuan pribumi yang berprofesi sebagai penyanyi sinden. Istri barunya merupakan keturunan Sunda yang beraga Islam. Setelah itu, ayahnya masuk Islam dan tinggal di Desa Demangan dengan istri pribuminya. Tjoe mengaku sangat jarang melakukan kontak dengan ayahnya. Oleh karena itulah, ia menjadi lebih religius dan memutuskan untuk berbakti di vihara.

Setelah peneliti gagal mendapat kontak dari pemuka agama di vihara, peneliti melanjutkan kunjungan lapangan dengan berkunjung ke Desa Situgadung. Hal ini terpicu oleh penuturan Tjoe yang mengatakan bahwa desa tersebut memiliki banyak pemukim Cina. Untuk memulai pencarian informasi, peneliti berkunjung ke kediaman warga Cina yang pada awal penelitian sempat dikunjungi oleh peneliti. Berikut ini adalah catatan wawancara dengan bwarga Cina di Desa Situgadung.

Universitas Indonesia

Yap

Yap (葉), laki-laki warga Cina yang ditemui peneliti ini tinggal di Desa Situgadung.

Dalam dokumen Perjalanan Panjang Menuju Cina Benteng S (1) (Halaman 181-200)