• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi “Cina Benteng” Versi Desa Situgadung

Dalam dokumen Perjalanan Panjang Menuju Cina Benteng S (1) (Halaman 96-109)

5. TEMUAN DATA

5.1.1. Definisi “Cina Benteng” Versi Desa Situgadung

Meski secara objektif masyarakat keturunan Cina di Desa Situgadung merupakan salah satu bagian Cina Benteng, namun peneliti akan memberikan

Universitas Indonesia penjelasan akan definisi “Cina Benteng” secara lokal. Cina Benteng dalam konteks Desa Situgadung memiliki makna sebagai Orang Keturunan yang telah beragama Kristen, dan bermata pencaharian pada sektor perdagangan. Dalam hal ini, agama Kristen memiliki makna dan dinamika sejarah, terutama dalam konteks politik, dimana pemerintah pada Era Orde Baru melarang penggunaan agama tradisional Cina. Sehingga, pemilihan agama Kristen sebagai agama kebanyakan penduduk Cina menjadi pilihan bagi perubahan identitas mereka. Bukan hanya sekedar rasionalitas individu semata. Dalam segi domisili, kebanyakan anggota komunitas Cina Benteng bertempat tinggal pada Desa Situgadung. Bagian kerangka teori telah mepaparkan mengenai definisi Cina Benteng. Namun Cina Benteng yang akan didefinisikan berikut adalah konsepsi Cina Benteng berdasarkan wawancara dengan berbagai informan. Meski identitas Cina Benteng versi lokal ini didefinisikan secara subjektif, namun identitas Cina Benteng versi penduduk Cina lokal sudah mendapat pengakuan dari berbagai komunitas di luarnya. Identitas Cina Benteng bukanlah sebuah istilah yang bersifat asli dalam konteks masyarakat Cina di kedua desa. Identitas ini merupakan hasil dari usaha meninggalkan identitas asli yang dialami penduduk Cina pada generasi yang tumbuh di era Pasca-Gedoran. Dengan kata lain, Cina Benteng dalam konteks ini adalah Orang Keturunan yang telah memilih untuk merubah identifikasi dirinya menjadi Cina Benteng. Hal ini dapat peneliti katakan mengingat identitas adalah sebuah proses fluktuatif yang tidak akan pernah selesai. Setidaknya terdapat ciri-ciri sosial yang umum dimiliki oleh komunitas Cina Benteng versi lokal ini. Bila mengacu pada definisi di awal paragraf ini, maka ciri-ciri sosial yang mendefinsikan Cina Benteng versi lokal adalah agama, domisili, dan mata pencaharian. Istilah Cina Benteng tidak ditemukan diantara penduduk keturunan Cina yang menetap di Desa Sampora. Maka, Cina Benteng yang dimaksud dalam penelitian ini bukanlah Cina Benteng mayoritas merupakan keturunan para pelarian

Batavia Massacre tahun 1740, yang akhirnya menetap di Tangerang.

Agama Kristen merupakan satu dari dua agama yang baru dianut oleh generasi Orang Keturunan setelah tahun 1960’an hingga kini. Agama baru selain

Universitas Indonesia

Kristen dalam halini adalah Islam. Sebelumnya, komunitas Orang Keturunan merupakan penganut Agama Buddha yang bersifat sinkretik dengan ajaran Konghucu dan Taoisme. Kembali hal ini bukan murni pilihan rasional informan untuk menjadi penganut Kristen, namun hal ini salah satunya juga hasil konteks sosial politik pada Era Orde Baru yang menganjurkan penduduk Cina untuk melepaskan agama tradisional mereka. Pantekosta adalah salah satu denomininasi Kristen Protestan. Nama Pantekosta diambil dari sebuah gerakan yang pernah dilakukan oleh para Murid Kristus di masa-masa awal pendirian Agama Kristen. Gerakan Kristen Pantekosta didasari oleh nilai-nilai Protestanisme yang memiliki pandangan yang bersifat tradisional. Maka, pandangan Pantekosta akan dunia sosial juga didasari oleh pandangan mengenai hukum agama yang bersifat konservatif. Implikasi hukum konservatif mereka membuat paham Pantekosta memiliki pandangan negatif terhadap ritual-ritual tradinisional yang bukan berasal dari ajaran Agama Kristen.27 Oleh karena itu, berbagai tradisi budaya yang tidak memiliki hubungan dengan hukum Kristen, dianggap sebagai bid’ah dalam konsep teologi Kristen Pantekosta. Sebagai contoh, Orang Keturunan yang telah memasuki agama ini dilarang untuk mempraktekkan segala jenis ritual tradisional Cina dalam bentuk apapun.

Desa Situgadung adalah lokasi dimana Cina Benteng bertempat tinggal. Desa

ini juga tempat berkembangnya identitas Cina Benteng versi lokal. Awalnya, komunitas Orang Keturunan digunakan bagi penduduk Cina baik pada Desa Sampora, maupun pada Desa Situgadung. Namun, Orang Keturunan pada Desa Sampora tidak mengalami perubahan identitas menjadi Cina Benteng. Hanya Orang Keturunan pada Desa Situgadung yang pada akhirnya mengaku sebaagai Cina Benteng. Cina Benteng versi lokal ini hanya ditemukan pada Desa Situgadung, dan tidak ditemukan pada desa-desa lain di Kecamatan Pagedangan. Dengan kata lain, istilah ini merupakan fenomena khas dari Desa Situgadung saja. Identitas ini menjadi identitas Orang Keturunan yang tinggal pada Desa Situgadung. Bahkan anggota

27

The New Encyclopedia Britannica, 2003, Volume 26, 15th Edition, London: Encyclopedia Britannica Inc. Hal. 228-229.

Universitas Indonesia

pemerintahan desa setempat juga mengakui bahwa penduduk keturunan Cina pada desa mereka disebut sebagai Cina Benteng.

Perdagangan merupakan mata pencaharian utama bagi komunitas Cina

Benteng di Desa Situgadung. Sebelumnya, mereka lebih banyak menggantungkan mata pencaharian mereka dengan bertani, saat masih menjadi Orang Keturunan. Menurut pemahaman yang dianut oleh penduduk setempat, Cina Benteng versi lokal identik dengan perdagangan, sementara Orang Keturunan identik dengan pertanian dan buruh. Kegiatan perdagangan yang dilakuka oleh komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung melibatkan penduduk perkotaan, dari kompleks perumahan Bumi Serpong Damai. Perumahan yang dibangun pada tahun 1984 ini menjadikan komunitas Cina Benteng memiliki pasar tersendiri untuk memulai dan melaksanakan usaha perdagangan mereka. Dengan kata lain, penduduk Bumi Serpong Damai dan Cina Benteng memiliki rasa saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Hasil pembangunan perumahan Bumi Serpong Damai-lah yang memungkinkan penduduk Cina Benteng dapat menjalankan usaha perdagangan mereka. Sebab, desa mereka langsung berbatasan dengan perumahan tersebut. Dibangunnya sebuah perumahan kontemporer menjadikan sebuah peluang usaha yang prospektif bagi komunitas Cina Benteng. Terlebih penduduk pada Bumi Serpong Damai memiliki rasa keterbukaan dan penerimaan yang besar kepada mereka. Sebab, mayoritas penduduk Bumi Serpong Damai yang menetap di sekitar Desa Situgadung merupakan penduduk Cina dari kota-kota besar. Penduduk Cina dari berbagai kota dan berbagai latar belakang budaya datang untuk menetap di kota mandiri yang terhubung secara baik dengan Jakarta. Maka, perdagangan dianggap oleh Cina Benteng lokal sebagai ciri-ciri yang identik dengan identitas Cina, selain sebuah sarana untuk merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Bentuk usaha yang dijalani oleh Cina Benteng lokal berkisar seperti seperti usaha toko material, warung, toko elektronik, hingga usaha jual-beli burung peliharaan yang dijalani oleh salah seorang informan.

Universitas Indonesia

5.1.2. “Orang Keturunan”

Setelah mengetahui definisi Cina Benteng versi penduduk lokal, maka untuk mengetahui konteks identitas dari Cina Benteng ini, peneliti merasa perlu mepaparkan mengenai identitas yang mereka gunakan sebelum mereka memilih untuk mengidentifikasi diri sebagai Cina Benteng. Sebab, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, identitas etnis merupakan sebuah entitas yang selalu mengalami proses perubahan. Sebelum Persitiwa Gedoran, istilah Orang Keturunan banyak digunakan untuk merujuk penduduk keturunan Cina di sekitar desa. Bila Cina Benteng didefinisikan sebagai Orang Keturunan yang telah beragama Kristen, bermata pencaharian sebagai pedagang, dan berdomisili pada Desa Situgadung, maka Orang Keturunan juga memiliki ciri-ciri sosial tersendiri semacamnya. Salah seorang warga Desa Sampora yang merupakan etnis Cina, yakni Gatekeeper YOB menekankan bahwa etnis Cina sudah menetap pada desanya lebih dari satu abad hingga kini. Hal ini turut mengkonformasi bahwa penduduk Cina secara histrois sudah menjadi warga pada kedua desa tersebut.

Begini…sudah lebih dari 100 tahun kali ya [Mengenai domisili nenek

moyang keluarganya-Penulis] . Ya itu, karena keturunan dan menetap di sini. Gitu. Ibu saya, bapak saya, juga asli sini. Bukan pendatang

dari…mana…dari Pontianak, atau dari Medan, gitu ya. Bukan gitu, asli.

Data terakhir pada Januari 2011 menunjukkan bahwa penduduk Cina, terutama pada Desa Sampora telah berkurang karena bermigrasi ke perkotaan. Meski begitu, secara historis penduduk Cina merupakan tergolong dalam bagian yang besar pada proporsi penduduk kedua desa. Meskipun tidak ada data historis yang akurat, namun penuturan Informan SSB yang berusia 75 tahun dapat menggambarkan bahwa memang penduduk Cina pernah berjumlah banyak, seperti pada kutipan berikut. Kalo

itu yang saya tau, kalo…yang warga sini pindah ke luar, ada, ada juga, kalo sekarang tapi

mah nggak banyak. Nggak kayak dulu. Dulu mah itu banyak tuh.

Orang Keturunan merupakan istilah khas yang digunakan penduduk keturunan Cina yang tinggal pada Desa Sampora dan Situgadung, kira-kira dalam jangka waktu antara Masa Kolonialisme Belanda hingga tahun 1980’an. Istilah lain

Universitas Indonesia

seperti Cina Benteng atau Orang Selam (Akan dijelaskan pada bagian berikut) baru digunakan untuk mengidentifikasi diri mereka akhir-akhir ini. Orang Keturunan merupakan istilah yang dimaknai dan diturun-temurunkan diantara anggota komunitas Cina di kedua desa. Hal ini secara langsung dipaparkan oleh Informan SSB yang menyatakan bahwa istilah Orang Keturunan merupakan istilah asli yang digunakan oleh warga dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dipaparkannya dalam salah satu wawancara mendalam. Ya, biasanya kan kalo di Jakarta “Ah, lo Cina!” “Lo orang Cina” Gitu. Kalo yang pake Orang Keturunan mah, di luar kagak ada.

Istilah Orang Keturunan memiliki sebuah makna tersendiri bagi komunitas penduduk keturunan Cina. Makna yang terkadung dalam istilah ini menunjukkan bahwa Orang Keturunan adalah sebuah identitas yang terletak diantara identitas Cina dan pribumi. Sebab bila komunitas tersebut dilihat oleh komunitas pribumi, mereka merupakan keturunan Cina. Sementara bila mereka dilihat oleh komunitas Cina, mereka merupakan keturunan pribumi. Hal ini disebabkan oleh adanya kawin campur antara nenek moyang mereka yang beretnis Cina dan pribumi. Dari situlah istilah Orang Keturunan digunakan kepada mereka. Dalam sebuah wawancara mendalam dengan Informan SSB, salah satu potongan wawancara mendalamnya mengkonfirmasi hal ini. Informan SSB menjelaskan bahwa ia yang merupakan Orang Keturunan memiliki nenek moyang pribumi, yakni kakek dari pihak ibunya. Maka, ibu Informan SSB merupakan campuran keturunan pribumi-Cina. Berikut akan digambarkan bagan silsilah Informan SSB yang merupakan penduduk Cina. Warna kuning menunjukkan etnis Cina, sementara warna cokelat menunjukkan etnis pribumi.

Universitas Indonesia

Gambar 5.1. Silsilah Keluarga Informan SSB

Bila dihubungkan dengan klasifikasi agama, Orang Keturunan merupakan warga Cina lokal yang masih menganut Agama Buddha Tri Dharma. Aliran Tri Dharma merupakan salah satu aliran dalam ajaran Agama Buddha di dunia, yang berjumlah 22 buah aliran. Penggunaan ajaran Buddha Tri Dharma pada anggota komunitas Orang Keturunan memiliki konteks sejarah tersendiri. Sebab, ajaran Buddha ini sesungguhnya merupakan bentuk adaptasi terhadap pengekangan ekspresi kebudayaan tradisional Cina. Mayoritas pemeluk Agama Buddha di Indonesia mengikuti aliran Theravada, yang umum ditemui di negara-negara Asia Tenggara. Maka, pemeluk Agama Buddha pada Desa Sampora dan Situgadung merupakan segelintir pengikut aliran Tri Dharma di Indonesia. Perbedaan mendasar aliran Tri Dharma dengan Theravada terletak dalam sumber ajaran yang dianut oleh Buddha Tri Dahrma. Konsep mendasar ajaran Buddha Tri Dharma tidak hanya bertumpu pada ajaran Siddharta Gautama atau Buddha saja, tapi juga bertumpu pada ajaran Konfusius (Konghucu) dan Lao Zi (Lao Tse). Maka, nama Tri Dharma memiliki makna “Tiga Ajaran” dalam Bahasa Sansekerta, karena dasar ajarannya yang bersumber dari tiga pihak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa aliran Tri Dharma merupakan aliran Buddha yang telah bercampur-baur dengan agama tradisional Cina. Uniknya, aliran Buddha Tri Dharma hanya terdapat di kalangan penduduk keturunan Cina di pedesaan Tangerang. Hal ini pada awalnya dikarenakan adanya keinginan untuk membuat perkumpulan keagamaan Buddha diantara para penduduk Cina lokal. Namun, jumlah penganut Agama Buddha yang murni terlampau sedikit, hingga

Universitas Indonesia

akhirnya dimodifikasikanlah ajaran Buddha, agar pemeluk agama Konghucu dan Taoisme dapat ikut bergabung. Sehingga jumlah para pengikut menjadi cukup besar untuk mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan. Seorang gatekeeper, yakni

Gatekeeper A, merupakan seorang Banthe (Juru Dakwah dalam Agama Buddha)

pada Vihara Sobhita, sebuah vihara aliran Tri Dharma di Kecamatan Cisauk. Vihara Sobhita merupakan vihara yang menjadi tempat ibadah utama bagi penduduk keturunan Cina yang menetap di Desa Sampora dan Situgadung. Informan TEH, seorang generasi tua Cina yang menganut Buddha Tri Dharma mengakui bahwa Vihara Sobhita merupakan vihara tempat biasa ia melakukan sembahyang. Meskipun masih terdapat vihara lain di sekitar desanya. Vihara Sobhita. Itu di Cisauk. Saya sering ke sana. Sering juga, tiap Minggu ke sana. Serpong ada, Boen Tek Bio, di sana juga

ada…Boen Hay Bio. Di kampus sana [Sekolah Tinggi Buddha Sriwijaya-Penulis] juga ada!

Menurut Gatekeeper A, Vihara Sobhita didirikan pada tahun 1960, di sebuah situs yang awalnya merupakan kediaman pribadi. Pemilik kediaman ini, yang merupakan penganut Buddha aliran Tri Dharma, mengubahnya menjadi vihara dengan dibantu oleh anggota komunitas Tri Dharma lainnya. Namun, fisik bangunan vihara baru dibangun seperti layaknya sebuah vihara pada tahun 1980 setelah dilakukannya renovasi besar-besaran, dengan perluasan lahan sebesar 100 meter. Saat peneliti berkunjung ke sana pada tanggal 25 Mei 2013, peneliti tidak menemukan sebuah patung Buddha pun sama sekali. Hanya ada beberapa gambar Buddha yang sedang bersemedi di bawah pohon Boddhi, dan secara kontras, lebih banyak ornamen tradisional Cina yang dipasang di dalam vihara. Hal ini menunjukkan bahwa Buddha (Siddharta Gautama) bukan merupakan satu-satunya sumber ajaran dalam aliran Agama Buddha Tri Dharma. Penduduk Cina pada kedua desa masih mempertahankan konsep-konsep agama tradisional Cina dalam konsep Agama Buddha mereka. Dalam gambar berikut, nampak bahwa Vihara Sobhita lebih didominasi oleh kebudayaan tradisional Cina ketimbang ajaran Buddha.

Universitas Indonesia

Gambar 5.2. Bagian Teras dan Interior Vihara Sobhita

Oleh karena itu, penduduk Cina pada kedua desa cenderung untuk beribadah ke Vihara Sobhita, meskipun terdapat setidaknya tiga vihara lain yang beredakatan dengan tempat tinggal mereka.

Tiga vihara lain yang terdapat di sekitar pemukiman penduduk Cina pada kedua desa adalah Vihara Boen Hay Bio (文海廟), Boen San Bio (文山廟), dan Boen Tek Bio (文德廟), yang memiliki aliran Buddha Theravada. Diantara ketiga vihara tersebut, Boen Hay Bio terletak paling dekat dengan Desa Sampora dan Situgadung, dimana vihara ini terletak di Kecamatan Serpong. Namun, saat peneliti melakukan kunjungan lapangan pada tanggal 7 April 2013, justru hampir keseluruhan warga yang datang untuk beribadah bukan merupakan penduduk Cina lokal, namun penduduk Cina yang berasal dari Jakarta. Mereka memiliki setidaknya mobil pribadi, bahkan beberapa diantaranya juga memiliki baby sitter untuk menjaga anak mereka. Ini semakin menunjukkan bahwa para warga Cina tersebut merupakan penduduk Jakarta yang berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Ditambah lagi, secara fisik mereka cenderung berbeda dengan penduduk Cina lokal. Kebanyakan diantara mereka memiliki warna kulit yang putih dan mata yang sipit. Hampir tidak ada penduduk Cina baik dari Desa Sampora dan Situgadung yang nampak beribadah di

Universitas Indonesia

vihara yang telah disebutkan. Selama beberapa kunjungan singkat peneliti sebelum tanggal 7 April 2013, hanya ada satu relawan kebersihan yang merupakan penduduk Cina yang berasal dari Desa Sampora. Perbedaan antara ketiga vihara Therevada tersebut dengan Vihara Sobhita terletak pada sejarah dan filosofi yang mereka anut. Bila Vihara Sobhita mencampurkan ajaran Buddha dengan Konfusianisme (Konghucu) dan Taoisme, maka ketiga vihara ini lebih menekankan pada ajaran Buddha, sebagai ajaran yang lebih dominan.

Agama Buddha Tri Dharma menjadi salah satu ciri-ciri sosial Orang Keturunan. Namun, terdapat ciri-ciri sosial lain yang berhubungan dengan tempat tinggal. Orang Keturunan adalah penduduk keturunan Cina yang berdomisili di Desa

Sampora dan Situgadung. Hal ini dikarenakan Orang Keturunan adalah penduduk

Cina asli kedua desa yang tidak melakukan perubahan identifikasi kolektivitas. Maka, Orang Keturunan dapat ditemui baik pada Desa Sampora maupun Situgadung. Namun, karena adanya pergantian identitas pada kedua desa, maka penggunaan identitas Orang Keturunan semakin menurun. Istilah Orang Keturunan kebanyakan masih dipakai oleh generasi yang lebih tua. Sehubungan dengan faktor tersebut, maka Orang Keturunan dapat didefinisikan pula sebagai penduduk Cina lokal yang

bermata pencaharian sebagai petani, peternak, atau buruh. Setidaknya, Orang

Keturunan dianggap oleh penduduk lokal sebagai penduduk keturunan Cina yang masih menggantungkan hidupnya dalam hal bercocok tanam, ataupun perburuhan. Hal ini dikarenakan identitas Orang Keturunan sudah digunakan lama bahkan sejak masyarakat Cina lokal masih menggantungkan hidup mereka pada kegiatan pertanian dan peternakan. Istilah tersebut tetap diasosiasikan terutama oleh para generasi muda Cina Benteng sebagai pekerjaan yang khas Orang Keturunan.

5.1.3. “Orang Selam”

Selain Cina Benteng, terdapat sebuah identitas kedua yang merupakan sebuah hasil pergantian identifikasi kolektivitas yang dilakukan oleh Orang Keturunan. Identitas yang dimaksud adalah Orang Selam/Pribumi. Identitas ini adalah penduduk

Universitas Indonesia

keturunan Cina yang memasuki Agama Islam, dan berdomisili di Desa Sampora. Kedua istilah ini, yakni Orang Selam dan Pribumi, sukar untuk dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Sebab, Orang Selam pada dasarnya adalah sebutan bagi Orang Keturunan yang baru masuk Islam. Informan IN, seorang tokoh pada Desa sampora menjelaskan bahwa setelah mereka masuk Agama Islam, mereka akan mengaku sebagai orang pribumi. Atau kalo istilah orang Chinese yang masuk Islam itu Orang Selam. Mereka adalah, orang Chinese, yang masuk Islam dan sudah jadi pribumi. Kalau di sini contohnya Chinese yang jadi orang Sunda.

Ketika Orang Keturunan memasuki Agama Islam dan mengaku sebagai pribumi, ia dapat mengaku sebagai etnis pribumi yang berbeda-beda, tergantung identitas etnis pasangan mereka. Dengan kata lain, dalam hal ini Orang Keturunan bersifat fleksibel dalam memilih identitas pribumi mereka. Sebagai contoh, apabila seorang Cina mengawini seorang pribumi dengan latar belakang etnis Sunda, maka setelah ia masuk Islam ia akan mengaku sebagai Sunda. Jika individu Cina yang bersangkutan menikahi seorang pribumi dengan latar belakang etnis Jawa, maka setelah ia masuk Islam ia akan mengaku sebagai etnis Jawa. Selain pemaparan Informan IN yang menjelaskan Orang Keturunan yang mengaku menjadi orang Sunda, hal ini dicontohkan pula dengan latar belakang suku Jawa. Kerabat

Gatekeeper T, seorang relawan pengurus kebersihan pada Vihara Boen Hay Bio,

mengaku sebagai etnis Jawa setelah menikah dengan perempuan pribumi yang memiliki latar belakang etnis Jawa. Hal ini dituturkannya saat observasi lapangan pada tanggal 7 April 2013. Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan, maka budaya Cina benar-benar dilepas saat Orang Keturunan menikahi pasangan pribuminya dan memasuki Agama Islam. Kebanyakan generasi muda Orang Keturunan di Desa Sampora menganggap bahwa etnisitas sudah tidak mengikuti garis keturunan orang tua. Identitas etnis akan tergantung keluarga pribumi yang mereka kawini. Setelah mengganti agama ke Islam, mereka juga meninggalkan nama marga (seh) mereka. Fenomena ini merupakan sosial khas di Desa Sampora, dan tidak ditemui pada wilayah lain yang peneliti kunjungi. Dalam Desa Sampora, justru lebih banyak pihak laki-laki yang melakukan perpindahan agama ke Islam. Justru

Universitas Indonesia

perempuan pribumi yang menikahi laki-laki Cina dan mengikuti ajaran agama Cina berjumlah lebih sedikit ketimbang perempuan pribumi yang mengawini laki-laki Cina.

Bila Agama Buddha merupakan agama asli Orang Keturunan, maka Agama Islam merupakan agama asli penduduk pribumi. Selain itu, fenomena masuknya Orang Keturunan ke Agama Islam juga terdapat diantara komunitas tersebut. Secara spesifik, fenomena ini lebih merupakan fenomena regional pada Desa Sampora. Terdapat banyak kasus dimana Orang Keturunan memasuki Agama Islam dengan menikahi penduduk pribumi. Masuknya Orang Keturunan ke Agama Islam lebih dipengaruhi oleh perkawinan, namun terdapat juga segelintir penduduk Cina lokal yang masuk Islam setelah melakukan dialog keagamaan dengan tokoh lokal, yakni Informan IN.

Sejak taun 2000, saya telah mengislamkan sembilan orang Chinese. Tujuh orang laki-laki sama dua orang perempuan. Itu berawal dari keingintahuan

mereka tentang Islam. Mereka tanya ke saya. “Pak, gimana pak, kalau begini?” Begitu. Sisanya diislamkan dengan pernikahan. Karena cinta, jadi

menikah dengan pribumi, kemudian masuk Islam, seperti itu kan?

Bahkan, istri Informan IN sendiri merupakan Orang Keturunan yang memeluk Agama Islam setelah menikah dengannya. Namun dalam segi jumlah, Orang Keturunan yang masuk ke dalam Agama Islam lebih didominasi oleh kaum laki-laki ketimbang perempuan. Dengan kata lain, jumlah Orang Keturunan laki-laki yang menjadi pribumi lebih banyak ketimbang perempuan Orang Keturunan. Motif masuknya Orang Keturunan ke Islam adalah ketergantungan dengan pribumi, terutama dalam konteks Desa Sampora. Informan IN menjelaskan bahwa ketergantungan yang dimaksud adalah pengaruh sosial serta prestise yang bisa didapatkan oleh penduduk Orang Keturunan dengan memasuki Agama Islam. Dengan istilah yang digunakan oleh penduduk lokal, alasan mereka untuk memasuki Islam tak lain agar dapat “punya pengaruh” di masyarakat.

Dalam dokumen Perjalanan Panjang Menuju Cina Benteng S (1) (Halaman 96-109)