• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL

2.2. Konsep

2.2.1. Cina Benteng

Berikut akan dipaparkan definisi, identitas kebudayaan, serta asal-usul Cina Benteng. Bagian definisi akan menggunakan literatur dari Santosa (2012), identitas kebudayaan Cina Benteng menggunakan studi literatur dari Witanto (2005), dan asal-usul Cina Benteng akan menggunakan literatur dari Setiono (2003). Penggunaan tiga sumber untuk tiga topik mengenai Cina Benteng dikarenakan tidak adanya sumber tunggal yang bersifat komprehensif dalam membahas Cina Benteng. Bagian terakhir dari penjelasan konsep ini akan memberikan kesimpulan mengenai konsep dari Cina Benteng ini.

Berikut adalah definisi Cina Benteng yang diambil dari Iwan Santosa dalam buku Peranakan Cina di Nusantara. Beberapa bab dalam buku karya Santosa khusus membahas mengenai komunitas Cina Benteng di Tangerang. Tulisannya mengenai Cina Benteng merupakan hasil pengumpulan data dan penelitian lapangan yang

Universitas Indonesia

dilakukan oleh Santosa. Santosa (2012: 24), secara umum mendefinsikan Cina Benteng, sebagai kelompok Cina Peranakan yang hidup di sekitar Tangerang dan daerah-daerah sekitarnya, terutama di sebagian DKI Jakarta bahkan Bogor. Hal yang menjadikan menarik dalam kelompok ini adalah bahwa mereka dianggap sebagai kelompok Cina yang paling jauh dengan kebudayaan Cina di Indonesia. Santosa (2012:17) beralasan demikian karena umunya anggota komunitas Cina Benteng berkulit gelap, tinggal di pedesaan, dengan mayoritas bekerja pada sektor pertanian. Namun, anggota komunitas Cina Benteng masih mempraktekkan kebudayaan leluhur Cina. Secara tidak langsung, Santosa mengatakan bahwa Cina Benteng secara ekonomi dan fisik lebih mirip pada stereotip pribumi, sementara secara kebudayaan masih dekat pada Cina Peranakan. Secara ekonomi, warga Cina Benteng jauh dari stereotip etnis Cina yang mapan dengan kelas sosial tinggi (Santosa, 2012:23). Selain itu, anggota komunitas Cina Benteng masih memegang teguh tradisi leluhur Cina mereka. Bedanya, mereka tidak mengtahui makna kebudayaan leluhur Cina yang mereka praktekkan. Menurut Iwan Meulia Pirous dalam Santosa, hal ini dikarenakan tradisi Cina Benteng diturunkan melalui tindakan dari praktek sosial sehari-hari. Nenek moyang Cina Benteng yang banyak mengawini perempuan pribumi menjadi alasan akan sosialisasi nilai kebudayaan semacam ini. Karena tingkat akulturasi yang tinggi dengan pribumi, anggota komunitas Cina Benteng sudah tidak memahami makna akan ritual tradisional Cina (Santosa, 2012:22). Bahasa sehari-hari yang digunakan bukan dialek Hokkien atau sejenisnya, namun umumnya Betawi “iyak” bercampur dialek Sunda pesisir.

Sehubungan dengan asal namanya, anggota komunitas ini disebut demikian karena nenek moyang mereka yang bermukim di sekitar sebuah benteng Belanda di Tangerang. Benteng yang dimaksud dikenal sebagai Benteng Makassar, yang dibangun oleh Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Benteng ini berada di sebelah Timur Sungai Cisadane, dan dibangun pada abad ke-17 untuk melidungi Batavia (Santosa, 2012:17-18). Uniknya, mereka selalu disebut sebagai “Cina Benteng” bukan “Tionghoa Benteng”, atau “China Benteng” dengan tambahan huruf

Universitas Indonesia H. Istilah “China Benteng” menurut Santosa terdengar merendahkan bagi anggota komunitas Cina Benteng. Menurut Santosa, komunitas Cina Benteng adalah keturunan pendatang Cina dengan latar belakang suku Hokkien di abad ke-15 (Ada pula yang menyebutkan gelombang kedatangan mereka berlanjut hingga abad ke-18). Satu hal yang pasti, nenek moyang Cina Benteng datang dari berbagai gelombang mulai abad ke-15 hingga abad ke-18. Eddy Prabowo Witanto dalam Santosa mengatakan bahwa Cina Benteng juga mencakup daerah sekitar Tangerang seperti Cikupa dan Tanjung Kait di pesisir Tangerang. Mona Lohanda dari Arsip Nasional Republik Indonesia dalam Santosa (2012:26), memaparkan bahwa Cina Benteng di masa kini tidak selalu menetap di daerah pedesaan. Lohanda yang juga merupakan anggota komunitas Cina Benteng menjelaskan bahwa Cina Benteng yang kini tinggal di daerah perkotaan Tangerang menyebut anggota komunitas Cina Benteng yang masih tinggal di desa sebagai “orang udik”. Warga Cina Benteng yang menetap di desa memiliki istilah tersendiri bagi penduduk daerah perkotaan, yakni “orang gedongan”.

Bagian mengenai identitas kebudayaan Cina Benteng kini diambil dari buku

“Akulturasi Budaya Cina Benteng” tulisan Eddy Prabowo Witanto. Witanto (2005)

menjelaskan identitas kultural Cina Benteng sebagai “teladan asimilasi”. Sebab, Cina Benteng dijelaskan sebagai kelompok Cina Peranakan yang memiliki tingkat akulturasi paling baik dengan pribumi. Salah satunya adalah dengan fenomena kawin campur dengan pribumi. Maka, dalam konteks tertentu, beberapa anggota komunitas Cina Benteng juga merupakan hasil kawin campur Cina dan pribumi (Witanto, 2005:3). Secara umum ciri fisik masih menjukkan fisik Cina, hanya saja rata-rata memiliki kulit yang lebih gelap. Perkawinan campur secara besar-besaran laki-laki Cina dengan perempuan pribumi tidak terjadi, sebab saat itu sudah ada perempuan Cina yang ikut mengungsi akibat Batavia Massacre.

Nenek moyang komunitas Cina Benteng merupakan pendatang Cina yang memiliki latar belakang suku Hokkien. Nenek moyang Cina Hokkien mereka kebanyakan datang dari daerah Zhangzhou (Ciang-ciu), Xiamen (E-mui), dan

Universitas Indonesia

Quanzhou (Coan-ciu) di Provinsi Fujian (Witanto, 2005:11). Keturunan mereka dalam konteks tertentu telah mengalami akulturasi kebudayaan dengan pribumi, sehingga anggota komunitas Cina Benteng menggunakan banyak kebudayaan pribumi dalam adat-istiadat mereka. Bentukpaling nyata adalah pakaian kebaya yang digunakan sebagai pakaian tradisional bagi komunitas Cina Benteng. Selain itu, kesenian Wayang Cokek dan Gambang Kromong yang mengadopsi kebudayaan pribumi merupakan bentuk kesenian khas Cina Benteng hasil percampuran kebudayaan lainnya (Witanto, 2005:84-87). Di sisi lain, komunitas Cina Benteng tetap mempertahankan praktek kebudayaan dan adat-istiadat Cina yang bersifat sacral. Diantaranya adalah Barongsai, Peh Chun (Perayaan 100 hari setelah tahun baru Cina), Sin Tjia (Perayaan tahun baru Cina), Festival Perahu Naga, Upacara Mai Siong (Upacara jenazah, dalam rangkaian posesinya terdapat upacara pemberangkatan jenazah yang disebut Sang Cong, upacara peringatan satu tahun atau Siau Siang, serta upacara peringatan tiga tahun atau Tai Siang). Maka, meski mereka telah memiliki ciri fisik yang berbeda dengan etnis Cina secara umum, Cina Benteng tetap merupakan bagian dari kelompok Cina Peranakan yang beragam di Indonesia.

Sejarah munculnya komunitas Cina Benteng dan penamaannya diawali dengan peristiwa Pembantaian Batavia (Batavia Massacre). Sejarah mengenai Pembantaian Batavia (Batavia Massacre) berikut ini dikutip berdasarkan tulisan Benny G. Setiono dalam buku Cina dalam Pusaran Politik. Kaum Cina Benteng adalah keturunan etnis Cina Batavia yang melarikan diri akibat pembantaian etnis Cina tersebut pada 1740. Peristiwa yang dimaksud dikenal dengan istilah Batavia

Massacre. Sejarah peristiwa Batavia Massacre dimulai pada awal abad ke-18. Saat

itu laju kedatangan orang-orang Cina di Batavia berkembang dengan pesat, meningkat menjadi lebih dari 10.000 orang. Hingga 1740, terdapat 2.500 penduduk Cina di dalam tembok kota Batavia, sedangkan jumlah penduduk Cina di sekitar tembok kota Batavia berjumlah 15.000 jiwa. Maka total penduduk Cina Batavia pada 1740 kurang lebih berjumlah 17.500 jiwa, atau 17% dari keseluruhan jumlah penduduk di daerah tersebut (Setiono, 2003:107-108). Pertambahan penduduk Cina

Universitas Indonesia

membuat cemas penduduk Eropa di Batavia dan di pemerintah kolonial di Belanda. Sebab, dikhawatirkan keberadaan mereka dapat mengganggu ketertiban dan ketenangan orang Belanda di Batavia (Setiono, 2003:109). Fenomena tersebut membuat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1695-1751) pada tanggal 25 Juli 1740 memerintahkan semua penduduk Cina yang dicurigai oleh pemerintah harus ditangkap dan diperiksa. Apabila mereka tidak mempunyai penghasilan atau menganggur, mereka akan dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) sebagai kuli, atau dikembalikan ke Cina. Namun pada prakteknya, bukan hanya penduduk Cina yang menganggur saja yang ditangkap. Para pedagang, yang merupakan mata pencaharian matoritas penduduk Cina saat itu, dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan kekerasan. Perlakuan pemerintahan kolonial menimbulkan keresahan pada penduduk Cina, sehingga mereka berkumpul dan membentuk berbagai kelompok yang mempersenjatai diri untuk membela diri. Tanggal 7 Oktober 1740, sekelompok orang Cina melawan pasukan VOC yang berusaha menangkap mereka. Penduduk Cina tersebut berhasil merebut posisi VOC dan membunuh 50 serdadunya. Pemerintah kolonial melakukan pembalasan dengan mengerahakan seluruh kekuatan militer di Batavia, sehingga pembantaian terhadap penduduk Cina di Batavia, atau yang dikenal sebagai Batavia Massacre dimulai.

Pembantaian juga dilakukan secara massal oleh penduduk Eropa, serta berbagai kelompok etnis non-Eropa seperti pribumi dan budak kulit hitam akibat provokasi. Sebagian orang Cina berhasil lolos dari pembantaian dengan kabur keluar Batavia. Penduduk Cina tidak dapat melakukan perlawanan terhadap pasukan VOC. Hingga akhirnya korban Cina berjatuhan dalam jumlah yang banyak. Berdasarkan sebuah laporan yang ditulis oleh Van Hoevell, jumlah orang Cina yang meninggal dunia mencapai 10.000 orang, ditambah 500 luka parah, serta 700 rumah dijarah dan dibakar (Setiono, 2003:117). Namun seorang Kapiten Cina, Nie Hoe Kong (1710-1746), merupakan satu-satunya orang Cina yang melakukan perlawanan, sebelum akhirnya ditangkap dan dibuang ke Ambon (Setiono, 2003:118). Pemerintah kolonial Belanda saat itu tidak berusaha meghentikan pembantaian, sampai dengan 22 Oktober

Universitas Indonesia

1740, dua minggu setelah hari pertama pembantaian. Gubernur Jenderal Valckenier baru mengungumkan pengampunan umum bagi semua penduduk Cina. Menurut Cator dalam Economic Position of Chinese, setelah pengampunan umum itu, penduduk Cina di Batavia masih tersisa 3.431 jiwa. Hampir setengah diantaranya bekerja sebagai pedagang (Setiono, 2003:116-119). Jumlah ini merupakan sebuah penyusutan drastis dari populasi Cina sebelum pembantaian yang berjumlah kurang lebih 17.500 jiwa yang mengakibatkan kehancuran perekonomian kota Batavia (Setiono, 2003: 123). Penduduk Cina di Batavia, baik laki-laki maupun perempuan pada akhirnya kabur menyelamatkan diri ke Tangerang. Mereka menetap di wilayah yang berdekatan dengan sebuah benteng tua Belanda, yakni Benteng Makassar, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Komunitas pelarian ini mengisolasi diri dan hidup dengan bercocok tanam di wilayah yang jarang dihuni tersebut. Oleh karena kedekatan mereka dengan benteng, keturunan mereka dikenal sebagai Cina Benteng. Meski demikian, terdapat anggapan lain bahwa sifat mereka yang mengisolasi diri atau mem”bentengi” diri dari dunia luar selama beberapa generasi menjadi asal penamaan Cina Benteng. Hingga kini, istilah Cina Benteng menjadi identik dengan penduduk Cina Peranakan yang menetap di daerah sekitar Tangerang. Meski terdapat pula komunitas Cina Benteng yang secara administratif menetap di daerah luar Tangerang, yakni di DKI Jakarta, terutama di daerah Dadap, Cengkareng, Rawa Lele, dan Rawa Bokor (Witanto, 2005:14).