9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep,
Prinsip,
dan
Pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah
2.1.1Definisi Manajemen
Manajemen pada hakikatnya dapat dipahami sebagai proses kerja sama dua orang atau lebih dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Amtu, 2011: 1). Bafadal (2009: 39) mendefinisikan manajemen sebagai proses pendayagunaan semua orang dan fasilitas. Slameto (2009: 2) mendefinisikan manajemen sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien. Sejalan dengan Slameto, Pidarta (2004: 4) berpendapat bahwa manajemen diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya.
Stoner (dalam Handoko, 2011: 8) mengemukakan
bahwa manajemen adalah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan
usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Secara khusus dalam konteks pendidikan, Mulyono (2008: 18) memberikan pengertian manajemen dalam kegiatan pendidikan yang
diartikan sebagai perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, pengawasan dan evaluasi dalam kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh pengelola pendidikan untuk membentuk peserta didik yang berkualitas sesuai dengan tujuan.
10
yang lebih mengacu pada pengelolaan. Sejak aktivitas perencanaan, sampai pada pelaksanaan, semuanya mengacu pada pengelolaan yang ditujukan pada sumber-sumber yang ada, baik manusia dan materi.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa manajemen sekolah dasar merupakan proses pengelolaan sumber daya dalam sekolah dasar untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
2.1.2Definisi Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan model pengelolaan yang memberikan otonomi atau
kemandirian kepada sekolah dan mendorong
mengambil keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan kota (Dally, 2010: 10). Barlian (2013: 2) menjelaskan bahwa manajemen
berbasis sekolah merupakan suatu bentuk
manajemen/pengelolaan sekolah yang sepenuhnya diserahkan kepada pihak sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, sesuai dengan aturan perundang-undangan pendidikan yang berlaku.
Farid (2013: 114) menguraikan bahwa manajemen
berbasis sekolah merupakan paradigma baru
11 Manajemen berbasis sekolah sebagai program
pengelolaan yang diarahkan oleh pemerintah
diharapkan mampu mencapai tujuan yang diharapkan yaitu meningkatkan mutu sekolah. Dari pengertian para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa manajemen
berbasis sekolah adalah pengelolaan struktur
penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan penempatan sekolah sebagai unit utama peningkatan mutu pendidikan. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa manajemen berbasis sekolah sebagai upaya memotivasi kepala sekolah untuk lebih bertanggung jawab terhadap mutu peserta didik.
2.1.3 Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Malen (dalam Hasbullah, 2006: 72) menguraikan bahwa manajemen berbasis sekolah diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah
yaitu menyangkut efektivitas, kualitas, efisiensi,
inovasi, relevansi, dan pemerataan serta akses pendidikan. Manajemen berbasis sekolah bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif (Dwiningrum, 2011: 178).
Slameto (2009: 59) menguraikan bahwa tujuan manajemen berbasis sekolah untuk memandirikan atau
memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan, keluwesan, dan sumber dayanya untuk
meningkatkan mutu sekolah. Pada prinsipnya
manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk
memberdayakan sekolah dalam menetapkan berbagai kebijakan internal sekolah yang mengarah pada
peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara
keseluruhan (Supriadi, 2004: 18).
Manajemen berbasis sekolah dianggap berhasil apabila kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik,
karena layanan pendidikan tersebut berkualitas
12
Manajemen berbasis sekolah diterapkan agar sekolah dapat menganalisis kebutuhannya sehingga dapat memaksimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan dan peningkatan mutu sekolah. Selain itu, manajemen berbasis sekolah memiliki beberapa fungsi yaitu: (1) meningkatkan mutu pendidikan, (2) meningkatkan kepedulian warga dan masyarakat, (3) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada wali murid, dan (4) menciptakan kompetisi yang sehat antar sekolah terkait mutu pendidikan yang akan dicapai.
Dengan demikian manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
2.1.4 Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 48 Ayat (1) menyatakan bahwa, “Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik”. Sejalan dengan amanat tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 49 Ayat (1)
menyatakan: “Pengelolaan satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Berdasarkan kedua isi kebijakan tersebut, prinsip manajemen berbasis sekolah meliputi: (1) kemandirian, (2) keadilan, (3) keterbukaan, (4) kemitraan, (5) partisipatif, (6) efisiensi, dan
(7) akuntabilitas. Ketujuh prinsip tersebut disingkat dengan K4 PEA. (Dirjendikdas, 2013: 10-11).
13 Sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing.
2. Prinsip Desentralisasi
Sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul.
3.Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri
Sekolah memiliki otonomi tertentu untuk
mengembangkan tujuan pengajaran, strategi
manajemen, distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan
mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka
masing-masing.
4.Prinsip Inisiatif Manusia
Sekolah memperlakukan aspek sumber daya
manusia sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.
Sejalan dengan adanya pemberian otonomi yang lebih besar terhadap sekolah untuk mengambil keputusan, maka implementasi prinsip manajemen berbasis sekolah di sekolah sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah. Sekolah boleh menambah prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah yang sesuai dengan karakteristik sekolah, guna mempercepat upaya peningkatan mutu sekolah baik secara akademik maupun non akademik.
2.1.5 Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Dalam kerangka implementasi manajemen
berbasis sekolah, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pengelolaan, aspek-aspek tersebut adalah (1) pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, (2) partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, (3) kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional, (4) adanya team work yang tinggi dan profesional (Mulyasa, 2011: 36).
Slameto (2009: 62) menguraikan bahwa
14
proses pengambilan keputusan partisipatif, (3) mampu melibatkan secara langsung warga sekolah, (4) menggunakan standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Di sisi lain, Levacic (dalam Bafadal, 2009: 91) mengajukan ada delapan langkah pokok dalam implementasi manajemen berbasis sekolah antara lain: (1) penetapan tujuan sekolah, (2) review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya, (3) pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan, (4) justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah, (5) perbaikan
rencana dengan melengkapi berbagai aspek
perencanaan, (6) implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas, (7) pelaporan hasil.
Sejalan dengan Levacic, Dimmock (dalam Bafadal, 2009: 91) mendefinisikan bahwa proses pelaksanaan
manajemen berbasis sekolah meliputi: self-planning,
self organization, actuation, coordination,
self-direction, dan self-evaluation. Menurut Dirjendikdas
(2013: 18), komponen-komponen yang harus dikelola dengan baik dalam rangka mewujudkan manajemen
berbasis sekolah adalah: (1) kurikulum dan
pembelajaran, (2) peserta didik, (3) pendidik dan tenaga
kependidikan, (4) pembiayaan, (5) sarana dan
prasarana, (6) hubungan sekolah dan masyarakat, serta (7) budaya dan lingkungan sekolah.
Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah
memerlukan situasi dan kondisi tertentu sebagai syarat yang tidak boleh ditinggalkan. Persyaratan yang harus ada dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah meliputi pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas layanan yang diberikan kepada siswa, adanya upaya
pembaharuan dari sekolah, transparansi, dan
lingkungan yang mendukung penyelenggaraan sekolah.
2.1.6 Pilar Manajemen Berbasis Sekolah
15 1. Manajemen sekolah
Manajemen sekolah adalah segala proses pen- dayagunaan semua komponen baik komponen manusia maupun non manusia yang dimiliki sekolah dalam rangka mencapai tujuan secara efisien.
2. Pembelajaran PAKEM
PAKEM merupakan inovasi pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa pada setiap kegiatan pembelajaran. PAKEM singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Dengan adanya inovasi pembelajaran ini, siswa diharapkan untuk lebih aktif dan kreatif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Suasana pembelajaran PAKEM yang menyenangkan, akan menciptakan kepercayaan diri dari siswa dengan tidak merasa tegang dan
pembelajaran yang berlangsung tidak terasa
membosankan.
3. Peran Serta Masyarakat (PSM)
Peran serta masyarakat adalah ikut sertanya seluruh
anggota masyarakat dalam memecahkan per-
masalahan-permasalahan masyarakat tersebut.
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah peran serta masyarakat berarti partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sekolah
tersebut.
Penelitian ini hanya difokuskan pada pilar pertama manajemen berbasis sekolah yaitu pilar manajemen sekolah sebagai proses pengelolaan sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pengelolaan sekolah ini meliputi: kurikulum dan pembelajaran, peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, pembiayaan,
sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan
16
2.2 Evaluasi Program
2.2.1 Evaluasi
Ada dua istilah yang dipergunakan untuk evaluasi, yaitu evaluation research (riset evaluasi) atau evaluative
research (riset evaluatif), evaluation (evaluasi), dan
evaluation science (sains evaluasi). Istilah riset evaluasi
dipopulerkan oleh F.G Caro. Semenjak itu sebagian teoritisi evaluasi, peneliti, lembaga pemerintah, dan lembaga swasta menggunakan istilah riset evaluasi. Sedangkan sejumlah teoritisi lainnya seperti Daniel Stufflebeam dan Antony J. Shinkfield, Blaine R. Worthen dan James R Sanders, dan Raymond G. Carey menggunakan istilah evaluasi (Wirawan, 2011: 2)
Menurut Daniel L. Stufflebeam (dalam Wirawan, 2011: 7) mendefinisikan evaluasi sebagai berikut:
“Evaluation is the process of delinieting, obtaining,
reporting, and applying descriptive and judgmental information about some object’s merit, worth, probity and significance in order to guide dicision making, support accountability, disseminate affective practices, and increase understanding of the involved
phenomena”
Arikunto dan Jabar (2010: 2) mendefinisikan bahwa evaluasi sebagai kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah
keputusan. Sejalan dengan Arikunto, Tyler (dalam Tayibnapis, 2008: 3) mendefinisikan evaluasi sebagai proses menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Evaluasi merupakan suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasi- kan dan menyajikan informasi tentang suatu program untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya (Widoyoko, 2013: 6).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
17 sekolah sangat penting dilakukan untuk menilai
apakah program yang dijalankan efektif atau
mendukung peningkatan mutu sekolah. Program atau kegiatan yang dinilai tidak efektif atau kurang mendukung peningkatan mutu sekolah dapat ditinjau ulang atau dihapus.
2.2.2 Program
Program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan maka program merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan (Arikunto dan Jabar, 2010: 4). Herman (dalam Tayibnapis, 2008: 9) menguraikan bahwa program ialah segala sesuatu yang dicoba lakukan seseorang dengan harapan akan mendatangkan hasil atau pengaruh. Di sisi lain, Widoyoko (2013: 8) mendefinisikan program sebagai serangkaian kegiatan yang direncanakan dengan saksama dan dalam pelaksanaannya berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan banyak orang. Uraian tersebut menguraikan pengertian program yang dapat ditarik benang merah sebagai kumpulan proyek yang berhubungan dan telah dirancang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang harmonis untuk mencapai sebuah tujuan. Dalam hal pendidikan, program diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dapat menimbulkan pengalaman belajar peserta didik hingga mencapai tujuan yang diinginkan. Melalui program, segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan. Program
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan
staf/tenaga pelaksana, anggaran, dan visi misi yang hendak dicapai.
2.2.3 Evaluasi Program
Evaluasi program merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara cermat
untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau
18
efektivitas masing-masing komponennya, baik terhadap program yang sedang berjalan maupun program yang telah berlaku (Widoyoko, 2013: 10)
Stufflebeam (dalam Arikunto dan Jabar, 2010: 5) mengemukakan bahwa evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan. Menurut Tyler yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2010: 5), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan telah terealisasikan.
Definisi evaluasi program menurut Wirawan (2011: 17) adalah metode sistematik untuk mengum- pulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk
menjawab pertanyaan dasar mengenai program.
Arikunto dan Jabar (2010: 7), menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian dan evaluasi program:
1. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin
mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu. 2. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh
rumusan masalah karena ingin mengetahui
jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui tingkat ketercapaian tujuan program, dan apabila tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan, pelaksanan ingin mengetahui letak kekurangan itu dan apa sebabnya.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dinyatakan
bahwa evaluasi program merupakan proses
19
2.2.4 Ciri-ciri dan persyaratan evaluasi program
Menurut Arikunto dan Jabar (2010: 8) evaluasi program memiliki cirri-ciri dan persyaratan sebagai berikut :
1. Proses kegiatan penelitian tidak menyimpang dari
kaidah-kaidah yang berlaku bagi penelitian pada umumnya;
2. Dalam melaksanakan evaluasi, peneliti harus
berpikir secara sistematis yaitu memandang
program yang diteliti sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari beberapa komponen atau unsur yang saling berkaitan satu sama lain dalam menunjang keberhasilan kinerja dari objek yang dievaluasi;
3. Agar dapat mengetahui secara rinci kondisi dari
objek yang dievaluasi, perlu adanya identifikasi komponen yang berkedudukan sebagai faktor penentu bagi keberhasilan program;
4. Menggunakan standar, kriteria, atau tolak ukur
sebagai perbandingan dalam menentukan kondisi nyata dari data yang diperoleh dan untuk mengambil kesimpulan;
5. Kesimpulan atau hasil penelitian digunakan sebagai
masukan atau rekomendasi bagi sebuah kebijakan atau rencana program yang telah ditentukan. Dengan kata lain, dalam melakukan kegiatan evaluasi program peneliti harus berkiblat pada tujuan program kegiatan sebagai standar, kriteria, atau tolak ukur;
6. Agar informasi yang diperoleh dapat
menggambarkan kondisi nyata secara rinci untuk mengetahui bagian mana dari program yang belum terlaksana, maka perlu ada identifikasi komponen yang dilanjutkan dengan identifikasi subkomponen, sampai pada indikator program yang dievaluasi; 7. Standar, kriteria, atau tolak ukur ditetapkan pada
20
8. Dari hasil penelitian harus dapat disusun sebuah
rekomendasi secara rinci dan akuran sehingga dapat ditentukan tindak lanjut secara tepat.
2.2.5 Tujuan Evaluasi Program
Tujuan dari pelaksanaan evaluasi program menurut Wirawan (2011: 22) adalah: 1) mengukur
pengaruh program yang dilaksanakan terhadap
masyarakat, 2) Mengukur apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, 3) Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar, 4) Untuk mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi program yang jalan dan mana yang tidak jalan, 5) Pengembangan staf program, 6) Akreditasi program, 7) Mengukur cost effectiveness dan cost efficiency, 8)
Mengambil keputusan mengenai program, 9)
Accountabilitas, 10) Memberikan balikan pada kepada pimpinan dan staf program.
Menurut Tayibnapis (2008: 2), evaluasi program dilakukan dengan tujuan: 1) Membuat kebijaksanaan dan keputusan, 2) Menilai hasil yang dicapai para pelajar, 3) Menilai kurikulum, 4) Memberi kepercayaan kepada sekolah, 5) Memonitor dana yang telah diberikan, 6) Memperbaiki materi dan program pendidikan.
Tujuan evaluasi program untuk mengetahui
pencapaian tujuan program dengan langkah
mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagaimana dari komponen dan subkomponen program yang belum terlaksana dan apa sebabnya (Arikunto dan Jabar, 2010: 18).
21
2.2.6 Manfaat Evaluasi Program
Evaluasi program sangat penting dan bermanfaat terutama bagi pengambil keputusan. Alasannya, dengan masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan.
Arifin (2009: 4) menguraikan manfaat evaluasi program yaitu dapat memberikan informasi yang akurat dan objektif bagi pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan. Keputusan yang diambil yaitu: 1) menghentikan program, 2) merevisi program, 3) melanjutkan program, 4) menyebarluaskan program. Pendapat senada juga dikemukakan Arikunto dan Jabar (2010: 22) bahwa kegiatan evaluasi program dimaksudkan untuk mengambil keputusan atau melakukan tindak lanjut dari program yang telah dilaksanakan. Manfaat dari evaluasi program dapat
berupa penghentian program, merevisi program,
melanjutkan program, dan menyebarluaskan program. Dua pendapat tersebut bermuara pada satu titik yang dapat dinyatakan bahwa manfaat evaluasi program adalah:
1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang
kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tapi hanya sedikit).
3. Melanjutkan program, karena pelaksanaan program
menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program
22
2.2.7 Model-Model Evaluasi Program
Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, terdapat banyak model yang digunakan untuk mengevaluasi suatu program. Model-model tersebut adalah:
a.Goal Based Evaluation Model
Goal based evaluation model merupakan model
yang muncul paling awal. Model ini dikembangkan oleh Ralph W. Tyler. Model evaluasi berbasis tujuan secara umum mengukur apakah tujuan yang ditetapkan oleh kebijakan, program atau proyek dapat dicapai atau tidak. Model evaluasi ini memfokuskan pada mengumpulkan informasi yang bertujuan mengukur pencapaian tujuan kebijakan, program, dan proyek untuk pertanggungjawaban dan
pengambilan kesimpulan (Wirawan, 2011: 81).
b.Goal Free Evaluation Model (Model Evaluasi Bebas
Tujuan)
Model ini dicetuskan oleh Michael Scriven. Dalam melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program, yang diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya program dengan jalan mengidentifikasi penampilan yang terjadi, baik hal positif (hal yang diharapkan) maupun hal negatif (hal
yang sebetulnya memang tidak diharapkan)
(Wirawan, 2011: 84)
c. Formatif-Summatif Evaluation Model
Model Evaluasi Formatif Sumatif ini dikemukan oleh Michael Scriven (dalam Wirawan, 2011: 86). Model ini didesain dan dipakai untuk memperbaiki objek, terutama ketika objek sedang dikembangkan (evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau sudah dilaksanakan (evaluasi sumatif).
d.Model evaluasi responsif
Model evaluasi responsif dikembangkan oleh Robert Stake. Menurut Stake, evaluasi disebut
responsif jika memenuhi kriteria: (1) Lebih
berorientasi secara langsung kepada aktivitas
program daripada tujuan program; (2) Merespon
23 penonton; (3) Perspektif nilai-nilai yang berbeda dari orang-orang dilayani dilaporkan dalam kesuksesan dan kegagalan program (Wirawan, 2011: 90)
e. Model Evaluasi Context, Input, Process, Product
Stufflebeam menyatakan model evaluasi Context,
Input, Process, Product merupakan kerangka yang komprehensif untuk mengarahkan pelaksanaan evaluasi formatif dan sumatif terhadap objek program, proyek, personalia, produk, institusi, dan sistem. Model Context, Input, Process, Product terdiri dari empat jenis evaluasi yang mencakup konteks (context), masukan (input), proses (proces), dan hasil
(product), yang disingkat menjadi CIPP (Wirawan,
2011: 92).
f. Discrepancy Model (Model Evaluasi Kesenjangan)
Kata discrepancy adalah istilah Bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen. Model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini menekankan pada kesenjangan yang sebetulnya merupakan persyaratan umum bagi semua kegiatan evaluasi, yaitu mengukur adanya perbedaan antara yang seharusnya dicapai dengan yang sudah riil dicapai (Arikunto dan Jabar, 2010: 48).
g. CSE-UCLA Evaluasi Model
Model Evaluasi dari UCLA yaitu CSE, CSE-UCLA model UCLA adalah singkatan dari University of California Los Angeles, sedangkan CSE ialah Center
for The Study of Evaluation. Model CSE-UCLA
24
berdasarkan analisis kebutuhan), (3) Formative
Evaluation (keter-laksanaan program), (4) Summative
Evaluation (hasil dan dampak dari program)
(Arikunto dan Jabar, 2010: 44).
h.Countenance Evaluation Model (Model Evaluasi
Pertimbangan)
tahap evaluasi program, yaitu: anteseden
(antecedents, context), transaksi (transaction,
process), keluaran (output, outcomes) (Arikunto dan
Jabar, 2010: 43).
Pada penelitian ini model evaluasi program yang digunakan adalah model evaluasi Context, Input, Process, Product (CIPP). Model evaluasi CIPP dalam penelitian ini digunakan untuk mengevaluasi program manajemen berbasis sekolah yang telah diterapkan di SD Negeri Pengilon Kecamatan Bulu. Model evaluasi CIPP dipilih sebagai model evaluasi penelitian karena model ini
mudah dipahami dan dilaksanakan untuk
memudahkan pengambilan kebijakan.
2.2.8 Model Evaluasi Program CIPP
Stufflebeam menyatakan model evaluasi Context,
Input, Process, Product merupakan kerangka yang
komprehensif untuk mengarahkan pelaksanaan
evaluasi formatif dan sumatif terhadap objek program, proyek, personalia, produk, institusi, dan sistem. Model
Context, Input, Process, Product terdiri dari empat jenis
evaluasi yang mencakup konteks (context), masukan
(input), proses (proces), dan hasil (product), yang
disingkat menjadi CIPP (Wirawan, 2011: 92).
25 dievaluasi dengan sebuah sistem. Dengan demikian, jika tim evaluator sudah menentukan model evaluasi CIPP sebagai model evaluasi yang akan digunakan untuk mengevaluasi program yang akan ditugaskan maka mau tidak mau mereka harus menganalisis
program tersebut berdasarkan
komponen-komponennya.
Evaluasi konteks (context evaluation) dimaksud untuk menilai kebutuhan, masalah, asset, dan peluang guna membantu pembuat kebijakan menetapkan tujuan dan prioritas, serta membantu kelompok pengguna lainnya untuk mengetahui tujuan, peluang, dan hasilnya.
Evaluasi masukan (input evaluation)
dilaksanakan untuk menilai alternatif pendekatan, rencana tindakan, rencana staf dan pembiayaan bagi kelangsungan program dalam memenuhi kebutuhan kelompok sasaran serta mencapai tujuan yang ditetapkan. Evaluasi ini berguna bagi pembuat
kebijakan untuk memilih rancangan, bentuk
pembiayaan, alokasi sumber daya, pelaksana dan jadwal kegiatan yang paling sesuai bagi kelangsungan program.
Evaluasi proses (process evaluation) ditujukan untuk menilai implementasi dari rencana yang telah ditetapkan guna membantu para pelaksana dalam menjalankan kegiatan dan kemudian akan dapat
membantu kelompok pengguna lainnya untuk
mengetahui kinerja program dan memperkirakan hasilnya.
26
(impact), efektivitas (effectiveness), keberlanjutan
(sustainability), dan daya adaptasi (transportability).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dimaknai bahwa model evaluasi CIPP terdiri atas evaluasi konteks, evaluasi masukan, evaluasi proses dan hasil. Evaluasi yang dianalisis dari beberapa komponen ini dimaksudkan agar memudahkan mendata kekurangan selama program dilaksanakan, sehingga pengelola program lebih mudah dalam mengambil tindakan lanjutan.
2.2.9 Evaluasi Program Manajemen Berbasis Sekolah
Evaluasi merupakan suatu proses untuk
mendapatkan hasil tentang manajemen berbasis sekolah. Informasi hasil ini kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil sesuai
dengan sasaran yang telah ditetapkan, berarti
manajemen berbasis sekolah efektif, sebaliknya apabila hasil tidak sesuai dengan sasaran maka manajemen berbasis sekolah dianggap tidak efektif atau gagal (Depdiknas, 2004: 54).
Kegiatan evaluasi yang tertuang dalam peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan adalah rangkaian kegiatan membanding- kan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (output) terhadap rencana dan standar. Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan program
dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan
pelaksanaan program di masa yang akan datang.
Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terhadap pelaksanaan pengelolaan pendidikan di sekolah dilakukan evaluasi
secara berkala, evaluasi sebagaimana dimaksud
meliputi: (a) kinerja kepala sekolah, (b) akreditasi; dan (c) sertifikasi. Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud diatas diwajibkan mengikutsertakan komite
27 pendidikan, tata cara, mekanisme, jadwal dan prosedur pelaksanaan penilaian diatur lebih lanjut.
Pada penelitian ini evaluasi merupakan suatu desain dan prosedur dalam mengumpulkan dan menganalisis data secara sistematis untuk menetukan
nilai atau manfaat (worth) dari suatu praktik
(pendidikan) (Sukmadinata, 2010: 120). Evaluasi dalam penelitian ini adalah evaluasi sumatif di mana evaluasi yang dilakukan diarahkan untuk mengevaluasi hasil, untuk menilai sebuah program efisien atau efektif, dan menentukan keputusan terkait dilanjutkan atau tidaknya program tersebut.
Secara garis besar, evaluasi program manajemen berbasis sekolah dalam penelitian ini menyajikan evaluasi pelaksanaan program manajemen berbasis sekolah di sekolah, sehingga fokus dari penelitian ini adalah pada hasil program manajemen berbasis sekolah yang telah diterapkan. Evaluasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan. Hasil
evaluasi dapat memberikan masukan terhadap
keseluruhan komponen manajemen berbasis sekolah,
baik pada konteks, input, proses, output, maupun
outcome-nya. Masukan-masukan tersebut akan diguna-
kan untuk pengambilan keputusan.
2.3 Kajian Riset Terdahulu
Penelitian yang mengarah pada evaluasi program manajemen berbasis sekolah belum banyak dijumpai. Namun banyak peneliti yang tertarik pada manajemen berbasis sekolah sebagai kajian penelitian. Berikut ini penelitian-penelitian terdahulu mengenai manajemen berbasis sekolah dan evaluasi pendidikan.
Penelitian tentang manajemen pendidikan,
28
Manajemen Berbasis Sekolah dalam Rangka
Peningkatan Prestasi Sekolah di Sekolah Dasar Negeri Balerejo 1 Kecamatan Dempet Kabupaten Demak.
Penelitian ini mendeskripsikan implementasi
manajemen berbasis sekolah yang diterapkan pada sekolah dasar selama delapan bulan. Implementasi difokuskan pada penyusunan rencana kerja kepala sekolah, implementasi rencana kerja keseluruhan, serta evaluasi dan monitoring yang dilakukan kepala sekolah. Penelitian yang dilakukan terhadap kepala sekolah terdata kepala sekolah selalu didukung guru walaupun guru wiyata bakti. Dukungan guru tersebut merupakan kemampuan kepala sekolah dalam
membentuk team work yang kompak dan
transparan. Dalam manajemen berbasis sekolah, keberhasilan program-program sekolah didukung oleh
kinerja team work yang kompak dan transparan dari
berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Keberhasilan manajemen berbasis sekolah merupakan hasil sinergi dari kolaborasi tim yang kompak dan transparan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sarjono tersebut
memberikan kontribusi terhadap pengembangan
implementasi manajemen berbasis sekolah di sekolah-sekolah khususnya dalam pengembangan program kerja kepala sekolah. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa manajemen berbasis sekolah yang dilaksanakan di SD Negeri Balerejo 1 berhasil dan
efektif untuk meningkatkan prestasi sekolah.
Perbedaan penelitian Sarjono dengan penulis adalah Sarjono meneliti implementasi manajemen berbasis sekolah, sedangkan penulis mengkaji tentang evaluasi penerapan manajemen berbasis sekolah di sekolah dasar.
Sentosa (2012) dengan judul penelitian Studi Evaluasi Pelaksanaan Program Manajemen Berbasis Sekolah (Studi pada Tiga Sekolah Menengah Pertama
yang Sebelumnya Menjadi Rintisan Program
29 Kendala yang dihadapi dalam implementasi manajemen berbasis sekolah adalah terkait dari pola pikir sebagian
stakeholder yang tidak sungguh-sungguh menyikapi
perubahan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, (2) Upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah dengan cara melakukan kerjasama antara sekolah dengan komite, dewan guru, orang tua siswa, dan tokoh masyarakat secara optimal agar seluruh
stakeholder yang ada dapat mengerti dan memahami
program manajemen berbasis sekolah secara benar sehingga mereka mempunyai perhatian/kepedulian, kesadaran, dan tanggung jawab terhadap keberadaan dan keberlangsungan program manajemen berbasis sekolah yang dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sentosa memiliki kesamaan dengan kajian yang dilakukan penulis yaitu meneliti pada kajian manajemen berbasis sekolah. Selain itu kesamaan terdapat pada jenis penelitian
yaitu penelitian evaluatif. Perbedaannya adalah
penelitian penulis terfokus pada evaluasi program
manajemen berbasis sekolah di sekolah dasar,
sedangkan Sentosa terfokus pada tiga SMP di Kabupaten Jembrana. Baik penelitian penulis maupun Sentosa memiliki tujuan yang sama yaitu peningkatan mutu sekolah untuk menciptakan generasi sekolah yang maju.
Sugito (2013) dengan judul penelitian
30
Daerah tidak lagi melaksanakan pendidikan dan pelatihan manajemen berbasis sekolah.
Penelitian yang dilakukan Sugito memiliki
kesamaan dengan kajian yang dilakukan penulis yaitu meneliti pada kajian manajemen berbasis sekolah di sekolah dasar. Perbedaannya adalah penelitian penulis terfokus pada pilar pertama manajemen berbasis sekolah yaitu manajemen sekolah sedangkan Sugito meneliti pada fokus: penyusunan program sekolah, penyusunan anggaran sekolah, partisipasi masyarakat. Utomo (2013) dalam jurnal nasional evaluasi pendidikan mengkaji penelitian manajemen berbasis sekolah dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah Dasar. Hasil dari penelitian ini adalah penerapan manajemen berbasis sekolah
sebagai salah satu upaya meningkatkan mutu
pendidikan atas dasar otonomi ternyata tidak dapat dilaksanakan di setiap sekolah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor penyebab diantaranya: (1) Sekolah belum sepenuhnya memahami kebijakan yang desen- tralistik; (2) Anggaran pendidikan belum mendukung kebutuhan sekolah; (3) Tenaga kependidikan belum bekerja secara profesional; (4) Tenaga kependidikan
belum sepenuhnya paham manajemen berbasis
sekolah; (5) Kurikulum belum dirancang terprogam secara optimal; (6) Peran serta masyarakat belum mendukung penerapan manajemen berbasis sekolah.
Penelitian Utomo dengan kajian penulis memiliki kesamaan yaitu mengkaji program manajemen berbasis sekolah, jenis penelitian evaluatif menggunakan model CIPP, data penelitian diperoleh dari jenjang sekolah dasar. Perbedaannya adalah penelitian Utomo meneliti pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di sekolah dasar pada umumnya, sedangkan penulis meneliti pelaksanaan program manajemen berbasis sekolah pilar pertama yaitu manajemen sekolah.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
31
Jalaluddin menunjukkan bahwa pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah dalam bidang kurikulum meliputi analisis materi pelajaran, program tahunan,
program semesteran, satuan pembelajaran, dan
rencana program pembelajaran. Bidang kesiswaan meliputi perencanaan penerima siswa baru, kegiatan masa orentasi siswa, penetapan siswa pada kelas tertentu, kehadiran dan disiplin siswa di sekolah, dan program bimbingan konseling bagi siswa yang memiliki
kelainan. Bidang personalia meliputi dalam
perencanaan pengembanagan guru, pelaksanaan
penataran, MGMP, pendidikan lanjutan dan supervisi.
Bidang keuangan meliputi penyusunan RAPBS,
pendekatan dengan pengusaha, pembuatan proposal. Bidang sarana dan prasarana meliputi pengelolaan gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pengajaran, dan Bidang hubungan masyarakat meliputi guru membuat pendekatan dengan orangtua siswa dan ikut serta mensosialisasi program sekolah.
Terdapat persamaan antara penelitian penulis dengan Jalaluddin yaitu pada input yang diteliti yaitu kurikulum, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat. Perbedaan penelitian penulis dan Jalaluddin terletak pada subjek yang diteliti, subjek penelitian penulis di sekolah dasar sedangkan subjek penelitian Jalaluddin di sekolah menengah atas.
Penelitian yang dilakukan Kapiso (2012) judul Pengaruh Manajemen Berbasis Sekolah Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan di SMAN 3 Gorontalo membuktikan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
peningkatan mutu pendidikan. Persamaan penelitian Kapiso dengan penulis adalah sama-sama mengkaji tentang manajemen berbasis sekolah. Perbedaan penelitian Kapiso dengan penulis terletak pada
pendekatan penelitian yang digunakan, Kapiso
menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif
sedangkan penulis menggunakan pendekatan
32
Basuki (2013) dalam jurnal nasional dengan judul penelitian Peran Manajemen Berbasis Sekolah dalam Rangka Peningkatan Profesionalisme Guru Penjaskes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profesionalisme guru sebagai bagian penting dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dapat didukung dengan
adanya sistem pengelolaan manajemen berbasis
sekolah. Impelementasi MBS tidak hanya sampai pada tingkat sekolah atau organisasi, tetapi juga sampai tingkat guru dan siswa.
Perbedaan penelitian Basuki dengan penulis adalah Basuki meneliti implementasi manajemen berbasis sekolah dengan fokus penelitian Guru
Penjaskes, penulis meneliti evaluasi manajemen
berbasis sekolah di sekolah dasar dengan fokus penelitian kurikulum dan pembelajaran, peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, pembiayaan,
sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan
masyarakat, serta budaya dan lingkungan sekolah. Dalam kajian penelitian internasional, manajemen pendidikan yang termuat dalam jurnal internasional
antara lain terdapat pada Emerald Journal yang
berjudul College Tuition and Perceptions of Private
University Quality (2004). Penelitian ini dikembangkan
oleh Thomas Li-Ping Tang, David Shin-Hsiung and Cindy Shin-Yi Tang. Pada dasarnya, penelitian ini mengkaji manajemen sekolah dari segi pengelolaan biaya pendidikan, khususnya pada sekolah dan universitas swasta. Fokus penelitian ini adalah biaya
perkuliahan peserta didik. Hasil penelitian ini
menunjukkan dari buku tahunan serta hubungan geografis wilayah didapat data bahwa biaya pendidikan pada sekolah dan universitas swasta lebih tinggi daripada program doktoral pada universitas negeri.
33 tidak mendapat alokasi anggaran negara, sehingga
untuk operasional, anggaran dibebankan pada
mahasiswa. Berkaitan dengan kualitas pendidikan, sekolah swasta dan negeri tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Justru beberapa sekolah swasta di Indonesia memiliki kualitas lebih unggul dari pada sekolah negeri. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila biaya pendidikan swasta cenderung lebih mahal, karena fasilitas dan mutu yang dihasilkan selalu ditingkatkan.
Phillip Warwick (2014) meneliti kajian manajemen
pendidikan berjudul The International Bussiness of
Higher Education A Managerial Perspective on the
Internationalisation of UK Universities. Bisnis
internasional yang dilakukan oleh pendidikan tinggi, sebuah pandangan pengelolaan internasionalisasi di Universitas UK (United Kingdom/Inggris). Hasil dari penelitian ini adalah universitas-universitas di UK menolak terhadap strategi baru dalam sistem operasi di lingkungan mereka karena sudah mempunyai strategi mereka sendiri, mereka perlu lebih memperhatikan implementasi dari strategi-strategi tersebut.
Penelitian Warwick tersebut mengkaji tentang pengelolaan sekolah tinggi setingkat universitas di Inggris. Mereka menggunakan manajemen pengelolaan
dengan strategi yang mereka ciptakan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik, terutama tujuan mereka adalah untuk lebih dikenal secara internasional. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan kajian penulis yaitu mengkaji pengelolaan sekolah. Akan tetapi Warwick fokus meneliti tiga perguruan tinggi di Inggris, sedangkan penulis fokus meneliti jenjang SD. Baik kajian Warwick maupun penulis bertujuan meningkatkan mutu pendidikan secara nasional hingga internasional.
Penelitian-penelitian tersebut adalah sebagian kecil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan manajemen pendidikan. Penelitian yang dilakukan
sebelumnya sebagai referensi dan pendukung
34
manajemen sekolah. Untuk penelitian evaluasi
manejemen berbasis sekolah yang diterapkan di sekolah dasar belum banyak dikaji. Maka dari itu,
penulis berupaya mempelopori penelitian yang
mengkaji evaluasi pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di sekolah, khususnya sekolah dasar.
Sejauh ini masih sedikit penelitian yang mengkaji pelaksanaan manajemen berbasis sekolah khususnya yang bersubjek di sekolah dasar. Penulis berupaya untuk mengkaji evaluasi program manajemen berbasis sekolah di SD Negeri Pengilon menggunakan model CIPP dengan harapan penelitian ini dapat memberi informasi terkait pelaksanaan program manajemen berbasis sekolah yang telah berlangsung di sekolah ini. Model CIPP ini memiliki kelebihan yaitu mengevaluasi dari konteks, input, proses, dan produk sekolah sehingga analisis skala kebutuhan dapat terdata dengan rinci.
2.4 Kerangka Pikir Penelitian
Sekolah sebagai sarana memperoleh ilmu guna mencetak generasi yang berprestasi, idealnya selalu meningkatkan mutu dan kualitasnya. Keberhasilan
sebuah sekolah tidak dapat dipisahkan dari
pengelolaan atau manajemen sekolah yang baik dan peran kepala sekolah dalam memimpin. Manajemen yang tidak tertata akan menimbulkan banyak masalah terhadap berlangsungnya proses pembelajaran di sekolah tersebut. Jika proses pembelajaran terhambat maka tujuan pendidikan dalam meningkatkan mutu sekolah tidak akan tercapai. Begitu pula peran kepala sekolah yang pasif dan kurang sosialisasi, maka kondisi kinerja sekolah tidak akan berjalan efektif.
Sejauh ini, pengelolaan atau manajemen sekolah di sekolah dasar masih belum terarah dan mengalami
berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut
35 Mengetahui kesemrawutan tersebut, pemerintah turun tangan dengan mencanangkan program desentralisasi. Desentralisasi yang diprogramkan pemerintah tersebut dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Manajemen berbasis sekolah diimplementasikan dengan tujuan meningkatkan mutu sekolah. Dalam manajerial sekolah dibutuhkan kerjasama yang baik antara warga sekolah, stakeholder, guru, dan kepala sekolah untuk menciptakan sekolah yang berprestasi sesuai dengan tujuan sekolah. Di sisi lain, penerapan manajemen berbasis sekolah di sekolah tidak selalu
mendapatkan dukungan yang positif. Faktor
penghambat tersebut dapat mempengaruhi hasil yang akan dicapai selama pelaksanaan manajemen berbasis sekolah.
Sebagai program sekolah, manajemen berbasis sekolah memiliki kelebihan dan kekurangan yang harus disadari oleh pihak sekolah. Dalam hal ini kepemimpinan kepala sekolah diandalkan untuk
memberikan solusi. Kelebihan dari penerapan
manajemen berbasis sekolah adalah dapat
memungkinkan individu-individu yang kompeten di sekolah untuk membuat keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran, memberikan seluruh suara komunitas sekolah dalam keputusan-keputusan penting, fokus akuntabilitas pengambilan keputusan, mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam perancangan program sumber daya untuk mendukung
tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah,
mengakibatkan penganggaran realistis sebagai
orangtua dan guru menjadi lebih sadar akan status keuangan sekolah, batasan pembelanjaan, dan biaya dari program, meningkatkan semangat guru dan memelihara kepemimpinan baru di semua tingkatan, memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin, memfasilitasi warga sekolahnya untuk
belajar terus dan belajar kembali, mendorong
kemandirian (otonomi) setiap warganya, memberikan tanggung jawab kepada warganya, mendorong setiap
36
(accountability) terhadap hasil kerjanya, mengajak
warganya untuk komitmen terhadap “keunggulan kualitas”, mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, melibatkan warganya
secara total dalam penyelenggaraan sekolah,
mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas,
dan shared value bagi setiap warganya.
Dengan beberapa keunggulan tersebut, sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah akan selalu menjadi sekolah yang unggul dalam prestasi dan
mutu. Namun beberapa kekurangan dapat
berpengaruh terhadap berlangsungnya program
manajemen berbasis sekolah antara lain: terdapatnya beberapa pihak yang tidak berminat untuk terlibat, anggapan bahwa manajemen berbasis sekolah tidak efisien, timbulnya kelompok-kelompok dalam sebuah pekerjaan, membutuhkan anggaran untuk pelatihan, bingung dalam peran dan tanggung jawab baru, dan kurangnya koordinasi. Oleh sebab itu, penerapan
manajemen berbasis sekolah dalam sekolah
membutuhkan evaluasi untuk mengetahui
keberhasilan atau kegagalan suatu program. Penelitian evaluasi bertujuan untuk membantu perencanaan program, membantu penentuan keputusan, penentuan berlanjut atau berhentinya suatu program, menemukan fakta dukungan atau penolakan, serta memberikan sumbangan dalam pemahaman proses psikologis.
Komponen-komponen yang akan dievaluasi dalam
penelitian ini meliputi konteks, masukan (input),
37
Rekomendasi Kebijakan
Konteks Input Proses Produk
MBS
Program dilanjutkan
Program direvisi
Program dihentikan