• Tidak ada hasil yang ditemukan

PILIHAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG PADA DERMATITIS SEBOROIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PILIHAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG PADA DERMATITIS SEBOROIK"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

153

PILIHAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG

PADA DERMATITIS SEBOROIK

SandraWidaty, Aninda Marina

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. CiptoMangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK

Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit eritroskuamosa kronis, biasa ditemukan pada usia anak dan dewasa. Keadaan ini ditandai oleh kelainan kulit di area tubuh dengan banyak folikel sebasea dan kelenjar sebasea aktif, yaitu daerah wajah, kepala, telinga, badan bagian atas dan fleksura. Banyak faktor yang memengaruhi kejadian DS sehingga pengobatan terkini DS hanya obat antiinflamasi saja, namun juga obat antijamur terutama yang mengenai jamur Malassezia sp. Perjalanan penyakit DS yang kronis memengaruhi pilihan pengobatan khususnya yang dapat digunakan jangka panjang. Saat ini telah tersedia obat yang berfungsi sebagai ajuvan atau alternatif terhadap obat standar, meliputi berbagai bahan yang juga berfungsi sebagai pelembap dan kandungan produk tersebut antara lain berupa bahan anti inflamasi non-steroid dengan khasiat antijamur atau produk lainnya. Kelebihan bahan tersebut adalah tidak ada efek samping atau efek samping minimal, dapat melembabkan atau mengurangi kulit kering sehingga mempercepat proses penyembuhan.

Kata Kunci: dermatitis seboroik, pelembap, anti-inflamasi nonsteroid, antijamur

ABSTRACT

Seborrheic dermatitis is a chronic erythrosquamous disease that commonly affects adult and children. SD characterized by erythrosquamous lesions that can be found in areas rich with sebaceous follicles and active sebaceous glands. This seborrheic areas located on the face, head, ears, upper body parts and flexures. Multiple factors could trigger the occurrence of SD. Recently, treatment is no longer focused on anti-inflammation; but also antifungal, specifically affecting Malassezia sp. SD with its chronic nature, requires maintenance treatment for long term medication. As an alternative to standardized medication or as adjuvant, available several products as in moisturizers and cosmetics. These products has an advantage such as low or absence of side effects, soothing effect, anti-inflammatory nonsteroid with antifungal properties, hydration, and finnally accelerate healing.

Keywords: Seborrheic dermatitis, moisturizer, antiinflamation-nonsteroid, treatment

Korespondensi :

(2)

PENDAHULUAN

Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit eritroskuamosa kronis, biasa ditemukan pada usia anak dan dewasa. Keadaan ini ditandai oleh kelainan kulit di area tubuh dengan banyak folikel sebasea dan kelenjar sebasea aktif, yaitu daerah wajah, kepala, telinga, badan bagian atas dan lipatan tubuh (inguinal, inframamae dan aksila). Kadang-kadang dapat juga mengenai daerah interskapular, umbilikus, perineum, dan anogenital.1

Diagnosis dermatitis seboroik umumnya mudah ditegakkan secara klinis, dan tidak memerlukan alat bantu khusus. Pemeriksaan tambahan lain berupa pemeriksaan laboratorium dan pemakaian alat non invasif dapat membantu diagnosis dan terapi spesifik yang diperlukan.2-4

Prevalensi DS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS. dr. Cipto Mangunkusumo berkisar antara 1 sampai 5 % pada populasi umum.1 Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS. dr Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2014, ditemukan prevalensi DS sebesar 1%, umumnya menyerang dewasa muda, laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan usia 1 bulan hingga 88 tahun.5 Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh pada DS yang berpengaruh pada prinsip tatalaksana DS. Prognosis dipengaruhi oleh awitan DS, dan pada bayi prognosisnya jauh lebih baik daripada DS pada dewasa.1

EPIDEMIOLOGI

Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun biasanya terpisah menjadi dua golongan usia yaitu neonatus dan dewasa.1 Pada bayi, penyakit memuncak pada 3 bulan pertama, sedangkan pada dewasa pada usia 30 hingga 60 tahun.6 DS biasanya diderita lebih banyak oleh lelaki dibandingkan dengan perempuan, dalam berbagai golongan usia dan ras. Di berbagai negara Asia, pasien DS berusia antara 12 hingga 20 tahun. DS juga dapat ditemukan pada pasien dengan

kondisi imunosupresi (misalnya pasien dengan

HIV/AIDS, transplantasi organ) dan penyakit lain misalnya Parkinson, serta gangguan nutrisi dan kelainan genetik.7

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Patogenesis DS masih belum diketahui dengan pasti, namun berhubungan erat dengan jamur Malassezia, kelainan imunologis, aktivitas kelenjar sebasea dan kerentanan pasien.1,4 Jumlah sebum yang diproduksi bukan faktor utama pada kejadian DS. Permukaan kulit pasien DS kaya akan lipid trigliserida dan kolesterol, namun rendah asam lemak dan skualen. Flora normal kulit, yaitu Malassezia sp dan Propionibacterium acnes, memiliki enzim lipase yang aktif yang dapat

mentransformasi trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas bersama dengan reactive oxygen species (ROS) bersifat antibakteri yang akan mengubah flora normal kulit. Perubahan flora normal, aktivasi lipase dan ROS akan menyebabkan dermatitis seboroik.1

Di bawah ini adalah alur yang menunjukkan peran Malassezia sp pada dermatitis seboroik. Koloni jamur mempunyai kemampuan untuk berproliferasi di permukaan kulit hingga menimbulkan reaksi inflamasi dan secara klinis nampak berupa skuama.

Gambar 1. Peran jamur Malassezia pada dermatitis seboroik di

kulit kepala.8

MANIFESTASI KLINIS

Pada bayi berusia kurang dari 3 bulan lesi akan swasirna, sedangkan pada dewasa bersifat kronis dan dapat residif.8 Secara klinis dapat ditemukan kondisi seboroik (seborrhoic state) berupa perubahan warna kulit menjadi eritema atau hipopigmentasi atau keabuan dengan folikel yang terbuka, serta skuama pitiriasiformis ringan hingga berat. Pada orang dewasa kelainan ditemukan area wajah dan kelopak mata serta di daerah kepala berupa pitiriasis kapitis atau ketombe. Sedangkan di area badan tampak lesi pitiriasiformis berbentuk petaloid atau folikular. Kelainan dapat khusus di daerah lipatan disertai eksematisasi, atau dapat juga generalisata hingga eritrodermik.1

Manifestasi klinis pada Bayi

(3)

155

(cradle cap) berupa plak eritematosa disertai skuama kuning kecoklatan yang lekat dan menyebar ke seluruh bagian kulit kepala. Selain itu, juga terdapat krusta. Lesi dapat ditemukan di wajah, leher dan menyebar ke punggung serta ektremitas, berupa plak inflamasi di daerah intertrigo, yaitu aksila dan lipat paha. Lesi juga bisa didapatkan di area popok. Diagnosis banding perlu dipikirkan pada bayi dengan gejala dermatitis seboroik yang luas, harus dibedakan misalnya dengan dermatitis, atopik, antara lain dengan melakukan pemeriksaan penunjang misalnya immunoglobulin E total.1

Manifestasi klinis pada dewasa

Pada orang dewasa DS bersifat kronis dan residif, terjadi ada usia 30-60 dengan puncak di usia 40 tahunan.1 Pada kulit kepala umumnya tingkat keparahan DS sedang, skuama sedikit, kering, warna putih dan mudah lepas. Pada gejala yang lebih berat terdapat plak berasal dari skuama kering yang tebal kekuningan.6 Lesi dapat terlihat juga di wajah secara simetris yaitu di alis, dahi, kelopak mata atas, plika nasolabialis dan cuping hidung. Tempat lain yang sering terkena pada regio retroaurikularis, kanal auditori eksternal, aurikula dan conchae bowl. Gejala yang ditemukan berupa eritema dan gatal disertai rasa terbakar dan gatal ringan terutama di kulit kepala. Folikulitis pitirosporum juga dapat ditemukan di daerah seboroik. Biasanya dimulai saat remaja sebagai akibat respons aktivitas androgen yang meningkatkan produktivitas kelenjar sebasea.1 DS pada orang dewasa mengalami periode remisi dan eksaserbasasi. Pencetus kekambuhan DS umumnya akibat stres emosional, letih, depresi, perubahan suhu, higiene pribadi, pajanan matahari, perubahan pola makan, infeksi, obat dan berada di ruangan dingin cukup lama.6

Pada pasien HIV-AIDS, DS umumnya parah dan cenderung sulit diatasi dengan terapi standar. Secara klinis dapat ditemukan erupsi di wajah berupa butterfly rash, menyerupai lesi sistemik lupus eritematosa. DS biasanya terjadi pada pasien dengan hitung CD4+ sebesar 200 – 500/mm3 dan dapat ditemukan sebagai manifestasi klinis pertama pada pasien HIV-AIDS.1

Diagnosis dermatitis seboroik umumnya cukup ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, namun perlu dipikirkan diagnosis banding, misalnya psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak iritan, dermatofitosis, dermatitis demodex, pitiriasis versikolor, lupus erimatosus diskoid, pemfigus foliaseus dan rosasea.1,8

TATALAKSANA DERMATITIS SEBOROIK Tujuan pengobatan

Tatalaksana medikamentosa DS pada skalp dan nonskalp meliputi pemakaian obat secara topikal dan

sistemik, dapat pula disertai pemakaian bahan lain yang dapat digunakan sebagai terapi ajuvan ataupun terapi pencegahan.9 Prinsip utama tatalaksana ketombe dan dermatitis seboroik di skalp adalah untuk mengontrol kondisi kulit kepala agar nyaman dengan biaya seminimal mungkin. Sejak tahun 1960 telah tersedia beragam sediaan yang digunakan untuk mengatasi ketombe dan DS, baik berupa sampo, kondisioner, obat yang dijual bebas maupun menggunakan resep. Prinsip tatalaksana perawatan rambut pada ketombe dan DS adalah pengobatan harus dapat diterima secara estetik; yaitu dapat digunakan bersama dengan bahan perawatan rambut harian yang akan meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan.10

Pilihan pengobatan medikamentosa untuk DS umumnya berupa obat antijamur, anti inflamasi, keratolitik, dan kalsineurin inhibitor.9 Laporan terbaru menyatakan penambahan pilihan pengobatan pada DS non skalp berupa obat yang mengandung bahan nonsteroid bersifat antiinflamasi berkhasiat antijamur (anti-inflammatory with antifungal properties/AIAFp) dengan bukti kesahihan B (level of evidence).10

Di bawah ini adalah tabel yang berisi berbagai pilihan pengobatan yang dapat digunakan pada kasus dermatitis seboroik. Pilihan pengobatan utama dengan bukti kesahihan terbaik (A) adalah golongan obat antijamur, diikuti dengan kortikosteroid dan beberapa alternatif pilihan obat lainnya.

Tabel 1. Pengobatan yang sering digunakan pada DS nonskalp*

Pilihan pengobatan dermatitis seboroik nonskalp

Level of Evidence*

Litium Suksinat/Litium Glukonat A

Kortikosteroid

Hidrokortison A

Obat kombinasi anti inflamasi – Antifungal (AIAF)

Promiseb® B

(4)

mengenai penggunaan obat topikal yang mengandung bahan antiinflamasi-antifungal (AIAF) merupakan pilihan untuk pengobatan kasus DS akut maupun sebagai terapi pemeliharaan.7

Pengobatan DS dibagi berdasarkan berat ringannya penyakit, obat sistemik digunakan pada kasus DS sedang dan berat. Telah dibuat panduan pengobatan DS untuk populasi di Asia yang dapat dijadikan acuan pengobatan DS (tabel 2), pengobatan menggunakan obat antijamur topikal, steroid topikal, kalsineurin inhibitor topikal dan obat antijamur sistemik.

Tabel 2. Pengobatan DS nonskalp pada populasiAsia.7

Produk Formula Cara Penggunaan

DS Ringan

Anti jamur topikal Krim siklopiroks 1% Dua kali per hari dalam 4 minggu Steroid topikal Salap & krim

Hidrokortison 1%

Steroid topikal (kelas 2) Salap Aklometasone 0-05%

Krim Desonide 0.05%

Dua kali perhari dalam 4 minggu

Anti jamur sistemik Itrakonazol 100 mg kapsul hari per bulan untuk 3 bulan

Sediaan anti-inflamasi nonsteroid topikal berkhasiat antijamur telah digunakan di beberapa negara Eropa dan Asia untuk pasien DS. Produk tersebut tidak mengandung

kortikosteroid maupun bahan imunomodulator.

Penggunaan produk bukan obat resep merupakan pilihan pengobatan yang berguna khususnya untuk daerah wajah. Produk dapat menjadi pilihan pertama, khususnya bagi pasien yang enggan menggunakan obat konvensional.

Krim juga mengandung emolien yang dapat

menghilangkan gejala dermatitis seboroik, misalnya memperbaiki kulit kering, mengurangi gatal, mengurangi kemerahan, dan rasa nyeri, serta mempermudah penyembuhan.11,12

Pemakaian obat ajuvan sebagai tatalaksana pada DS Nonskalp

Oleh karena sifat DS yang kronis, maka perlu pengobatan pemeliharaan yang digunakan pada jangka panjang. Saat ini belum ada baku emas pengobatan DS oleh karena etiologi pasti belum jelas, serta patogenesis yang merupakan gabungan berbagai hal menyebabkan penggunaan antijamur dan antiinflamasi khususnya kortikosteroid masih menjadi pilihan pengobatan.13

Tatalaksana DS di berbagai bagian tubuh memerlukan perhatian khusus. Pasien dapat ditanyakan tentang vehikulum yang disukai dan disesuaikan dengan aktivitas serta kebiasaan pasien. Kepatuhan pasien dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya regimen pengobatan, harga produk, dan motivasi pribadi serta pengetahuan pasien akan kesehatan yang optimal. Tatalaksana di daerah berambut seringkali berbeda dengan bagian yang tidak berambut. DS umumnya diterapi dengan preparat topikal, baik dalam bentuk krim, foam, spray, gel, sampo, dan pencuci rambut lainnya.14

Pengobatan DS meliputi obat yang diresepkan maupun obat yang dijual bebas. Pengobatan tambahan yang berfungsi sebagai adjuvan atau alternatif terhadap obat baku meliputi berbagai produk kosmetik dengan hasil uji klinis yang bervariasi. Kelebihan produk ini umumnya jarang atau tanpa efek samping bila dibandingkan dengan obat yang diresepkan. Dalam satu produk umumnya terdapat satu atau lebih bahan dengan manfaat melembutkan dan efek antiinflamasi ringan. Beda antara obat dan produk kosmetik terlebih pada konsentrasi bahan aktif.15 Penggunaan produk bukan obat resep merupakan pilihan pengobatan yang berguna khususnya untuk daerah wajah. Produk dapat menjadi alternatif pertama, khususnya bagi pasien yang enggan menggunakan pengobatan konvensional. Vehikulum krim yang juga mengandung emolien akan memperbaiki kulit kering dan mempercepat penyembuhan.11

Penggunaan pelembab pada tatalaksana adjuvan DS di daerah bukan Skalp

(5)

157

dan lipatan kulit, dengan frekuensi pemberian dua kali sehari. Pelembap dioleskan searah pertumbuhan rambut agar menghasilkan kulit yang lembut. Pemberian sebaiknya setelah mandi ketika kulit masih lembap dan membantu penyerapan sehingga hidrasi pada jaringan lebih baik.16 Pelembap ditemukan pada berbagai formula, misalnya losion, krim, salap, dan pasta. Perbedaanya ada pada kandungan air. Krim memiliki lebih sedikit air dibandingkan losion, dan sebagian besar lipid yang dikandungnya dapat mengatasi kulit kering tanpa rasa berminyak.16 Pemilihan sediaan juga bergantung pada lingkungan misalnya musim dingin lebih baik menggunakan bentuk salap dan pada musim semi lebih baik menggunakan krim.17 Krim lebih sering dioleskan dibanding salap, dan salap lebih terasa berminyak karena cenderung tidak diserap kulit.16

Pelembab dibagi atas beberapa jenis berdasarkan sifatnya; yaitu yang bersifat sebagai emolien, humektan, oklusif dan terapeutik.18 Emolien digunakan untuk melembutkan dan menghaluskan kulit, dengan cara mengisi ruang atau celah di antara korneosit yang mengalami deskuamasi sehingga permukaan kulit menjadi halus, meningkatkan daya kohesi, tepi korneosit rata, dan mengurangi friksi.19 Jenis pelembab lain bersifat humektan; bahan lipofilik, mampu menarik air dari lingkungan eksternal yang lembap maupun epidermis, bergantung pada kadar kelembaban lingkungan, misalnya natrium hialuronat, urea dan asam hidroksi alfa.18,19

Pelembap oklusif akan melapisi stratum korneum, mempertahankan air di kulit dengan memperlambat transepidermal water loss (TEWL). Pelembap oklusif didapatkan pada petrolatum, minyak mineral, parafin, dan skualen.18,19 Salap yang mengandung petrolatum dan dioleskan tiap hari bermanfaat pada dermatitis seboroik untuk melembutkan skuama sehingga skuama mudah terkelupas secara halus, terutama pada bayi.7

Pelembab terapeutik memiliki berbagai sifat yaitu bahan oklusif untuk perbaikan sawar kulit, emolien untuk melembutkan dan menghaluskan kulit, serta humektan untuk mempertahankan air di stratum korneum. Kombinasi kandungan berbagai sifat pada pelembab terapeutik menyebabkan pelembab terapeutik lebih baik daripada pelembab lainnya.18

Penggunaan berbagai bahan aktif pada tatalaksana adjuvan DS bukan di daerah skalp

Vehikulum yang digunakan untuk tatalaksana DS tersedia dalam berbagai bentuk. Pemilihan bentuk sediaan ditentukan oleh berat ringannya kasus, lokasi kelainan dan pilihan pasien. Bentuk yang umumnya disukai untuk daerah bukan skalp di daerah tropis berupa sediaan ringan dan tidak berminyak misalnya bentuk krim karena

nyaman digunakan termasuk untuk daerah lipatan. Penambahan berbagai bahan aktif pada sediaan yang digunakan sebagai adjuvan untuk terapi pemeliharaan dalam tatalaksana DS berperan dalam keberhasilan pengobatan dan pencegahan rekurensi. Bahan aktif dalam produk kosmetik sebagai terapi adjuvan DS antara lain:

18β-glycirrhetinic acid. Berkhasiat sebagai anti

inflamasi, antiiritasi, antialergi dan antivirus. Telah dilakukan studi komparatif secara acak, menguji sampo

mengandung β-glycirrhetinic acid dalam

cyclopiroxolamine dan zinc phyritione, dengan hasil perbaikan klinis bermakna (p<0.0001) yaitu berkurangnya eritema, ketombe, dan berkurangnya jumlah Malassezia spp. di permukaan kulit dalam kurun waktu dua minggu.14

Anethum graveolens. Merupakan tanaman herbal dari

family Apiceae atau umbeliferae. Berdasarkan studi komparatif secara acak ganda pada 115 pasien dengan DS di wajah, penggunaan bahan Anethum graveolens dapat menghindari kekambuhan. Setelah pemakaian selama 8 minggu, rekurensi lebih rendah (21%) dari kontrol (40%). Hal tersebut mungkin akibat efek regulasi toll-like receptor (TLR).20

Minyak emu. Berasal dari jaringan lemak burung emu

(Dromaius novahollandiae), berkhasiat sebagai

antioksidan dan antiinflamasi. Studi secara acak terkontrol pada 126 pasien DS di wajah, membuktikan bahwa minyak emu 20% berguna untuk mengurangi gatal dan eritema. Namun efektivitas lebih rendah dibanding clotrimazol 1% maupun hidrokortison 1%.21

Asam.hialuronat..Merupakan.anionik.

glikosaminog-likan non-sulfat, banyak ditemukan pada jaringan ikat, epitel dan jaringan saraf. Sebuah studi prospektif yang melakukan pemberian sodium salt gel asam hialuronat 0,2% pada pasien DS dengan lesi di wajah dua kali sehari setelah mencuci muka, menghasilkan perbaikan berupa pengurangan skuama (76%), eritema (64%) serta keluhan gatal (50%).22

Litium glukonat. Merupakan kation monovalen,

berkhasiat pada DS diduga sebagai antiinflamasi. Berdasarkan studi acak secara multisenter pada 289 pasien DS wajah didapatkan efektivitas salap litium glukonat 8% (52%) lebih tinggi dibanding emulsi ketokonazol 2% (30,1%). Keamanan terhadap kedua produk serupa.23 Studi secara acak ganda, menggunakan plasebo mendapatkan hasil remisi 90,9% terhadap kelompok yang menggunakan salap litium glukonat 8% dibandingkan dengan kelompok kontrol hanya 54,7%.24

Nikotinamid. Termasuk golongan amida yang larut

(6)

dose-dependent. Dalam studi acak terbuka, 48 pasien dirawat sekali sehari menggunakan krim nikotinamide 4% mendapatkan penurunan total skor yang diobservasi sebesar 75%.25

Propilene glikol. Merupakan bahan non-aromatik

berkhasiat sebagai humektan, bersifat higroskopik dan memiliki daya serap. Telah digunakan sebagai alternatif kortikosteroid pada tatalaksana DS skalp. Selain itu, ditemukan pula manfaat lain bahan ini, yaitu menurunkan koloni Pityrosporum orbiculare secara bermakna setelah menggunakan terapi larutan yang mengandung propilen glikol pada pasien DS di skalp.26

Quassia Amara. Merupakan bahan yang kaya

triterpenoid quassinoids. Dapat bermanfaat sebagai antimikroba, anti jamur, dan anti inflamasi. Pada sebuah studi komparatif acak ganda tertutup didapatkan gel yang mengandung ekstrak 4% Quassia cukup efektif, aman dan dapat di toleransi untuk tatalaksana lesi DS di wajah. Bahan ini menyerupai gel ketokonazol 2% atau gel siklopiroksolamin.27

Tar. Bersifat anti-jamur dan anti-inflamasi serta mampu

mengurangi sebum. Aktivitas fungistatik dalam studi in vitro sebanding dengan ketokonazol.28-31 Sampo tar sudah sering digunakan walau bukti efektivitasnya masih kurang yang mendukung.32

Minyak tea tree. Berasal dari pohon Melaleuca alternifolia, yang bermanfaat sebaga antimikroba dan antiinflamasi.33 Dari sebuah studi acak tertutup pada pasien DS skalp, bahan ini dinyatakan dapat memberikan perbaikan klinis lebih baik dari plasebo.34 Walau dianggap aman, penggunaan minyak tea tree terbatas akibat adanya kemungkinan efek estrogenik dan anti androgenik.35,36

Bahan natural lainnya. Allantoin, Aloe vera, Borrago officinalis, Burdock, Echinacea purpurea, Incense, Lactoferrin, Potassium alum, Retinyl palmitate, asam salisilat, Tarassaco, dan vitamin E juga dapat digunakan untuk tatalaksana DS atau kondisi serupa melalui perannyasebagai pelembap, keratolitik, antiinfl amasi, antioksidan, imunologi, antimikroba, anti jamur, pengaturan sebum dan gatal. Namum studi terhadap efi kasi dan mekanisme aksi belum diketahui lebih lanjut.37-40

PENUTUP

Dermatitis seboroik merupakan penyakit yang bersifat kronis dan rekuren yang dapat menyerang berbagai golongan usia. Pengobatan pilihan non terapeutik banyak dibutuhkan, khususnya untuk menghindari efek samping maupun interaksi obat yang mungkin terjadi. Pelembab atau produk kosmetik dengan

bahan aktif yang sesuai dapat menjadi pilihan tatalaksana DS jangka panjang.

3. Barbareschi M, Benardon S, Veraldi S. Role of the laboratory. Dalam: Micalli G, Veraldi S, penyunting. Seborrheic Dermatitis. Gurgaon: MacmillanMedical Communications; 2015. p. 29-30.

4. Gupta A, Bluhm R, Cooper EA, Summerbell RC, Batra R. Seborrheic dermatitis. Dermatol Clin. 2003;21:401-12.

5. Data kunjungan Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Dermatologi Umum RSCM. Jakarta: RSCM; 2014.

6. Peyri J, Lleonart M. Clinical and therapeutic profi le and quality of life of patients with seborrheic dermatitis. Actas Dermosifi liogr. 2007;98:476–82.

7. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S, dkk. Treatment of seborrhoeic dermatitis in Asia: A consensus guide. Skin Appendage Disord. 2015;1:187-96.

8. Schwartz J, DeAngelis YM, Dawson Jr TL. Dandruff and seborrheic dermatitis: a head scratcher. Dalam: Evans T, Wickett R, penyunting. Practical Modern Hair Science. Edisi ke-1. Illinois: Allured Pub; 2012. p.389–413.

9. Golderberg G. Optimizing treatment approaches in seborrheic dermatitis. J ClinAesthet Dermatol. 2013;(6):44–9.

10. Schwartz J, Cardin CW, De Angelis YM, Dawson Jr T. Dandruff and seborrheic dermatitis. Dalam: Baran R, Maibach H, penyunting. Textbook of Cosmetic Dermatology. Edisi ke-4. London: Informa; 2010. p.230–9.

11. Micali G, DallÓglio F, Tedeschi A. Treatment of seborrheic dermatitis of the face with Sebclair. Dalam: Micali G, Veraldi G, penyunting. Seborrheic Dermatitis. Gurgaon:Macmillan; 2015.h. 67-9

12. Del Rosso J. Adult Seborrheic Dermatitis : A status report on practical topical management. J ClinAesthet Dermatol. 2011; 4: 32–8.

13. Gustafson CJ, Davis SA, Feldman SR. Complete approaches to seborrheic dermatitis. The Dermatologist. 2012;20(6) Suppl:1-3. 14. Turlier V, Viode C, Durbtise E, Bacquey A, Lejeune O, Oliveira Soares

R, dkk. Clinical and biochemical assessment of maintenance treatment in chronic recurrent seborrheic dermatitis: randomized controlled study. Dermatol Ther (Heidelb). 2014;4:43-59.

15. DallÓglio F, Tedeschi A, Verzi AE, Micali G. Cosmetological approach. Dalam: Micali G, Veraldi G, penyunting. Seborrheic Dermatitis. Gurgaon: Macmillan; 2015. p.57-9.

16. Hurlow J, Bliss DZ. Dry skin in older adults. Geriatr Nurs. 2011;32:257- 62.

17. Flynn Tc, Petros J, Clark RE, Viehman GE. Dry Skin and Moisturizers. Clinics in Dermatology. 2001;19:387-392.

18. Draelos ZD. Modern moisturizer myths, misconception, and truths. Cutis. 2013;91:308-14

19. Baumann L. Cosmetics and skin care in dermatology. Dalam: Goldmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, penyunting

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York:

Mcgraw Hill; 2012. p.3009-12.

20. Ionescu MA, Baroni A, Brambililla A. Double blind clinical trial in a series of 115 patients with seborrheic dermatitis: prevention of relapses using topical modulator of Toll like receptor 2. G Ital Dermatol Venereol. 2011;146(3):185-9.

21. Attarzadeh Y, Asilian A, Shahmoradi Z, Adibi N. Comparing the effi cacy of Emu oil with clotrimazole and hydrocortisone in the treatment of seborrheic dermatitis: a clinical trial. J ResMed Sci. 2013;18(6):477-81.

(7)

159

23. Dreno B, Chosidow O, Revuz J, Moyse D, The Study Investigator Group. Lithium gluconate 8% vs ketoconazole 2% in the treatment of seborrhoeic dermatitis : a multicentre, randomized study. Br J Dermatol. 2003;148:1230-6.

24. Dreno B, Moyse D. Lithium gluconate in the treatment of seborrheic dermatitis: a multicenter, randomised, double blind study versus placebo. Eur J Dermatol. 2002;12:549-52.

25. Fabbrocini G, Cantelli M, Monfrecola G. Topical nicotinamide for seborrheic dermatitis: an open randomized study. J Dermato Treat. 2014;25:241-5.

26. Faergemann J. Propylene glycol in the treatment of seborrheic dermatitis of the scalp: a double-blind study. Cutis. 1988;42:69-71. 27. Diehl C, Ferrari A. Efficacy of topical 4% Quassia amara gel in facial

seborrheic dermatitis: a randomized, double-blind, comparative study. J Drugs Dermatol. 2013;12:312-5.

28. Nenoff P, Haustein UF, Fiedler A. The antifungal activity of a coal tar gel onMalassezia furfur in vitro. Dermatology. 1995;191:311-4. 29. Paghdal KV, Schwartz RA. Topical tar: back to the future. J am Acad

Dermatol. 2009;61:294-302.

30. ArnoldWP. Tar. Clin Dermatol. 1997;15:739-44.

31. Wright MC, Hevert E, Rozman T. In vitro comparison of antifungal effects of a coal tar gel and ketokonazole gel on Malassezia furfur. Mycoses.1993;36:207-10.

32. Brodell RT, Cooper KD. Comprehensive dermatologic drug therapy. Therapeutic shampoo. Philadelphia:WB SaundersCompany; 2001. p.647-58.

33. Carson CF, Hammer KA, Riley TV. Tea Tree Oil: A review of antimicrobial and other medicinal properties. Clin Microbiol Rev. 2006;19:50-62.

34. SatchellAC, SaurajenA, Bell C, Barnetson RS. Treatment of dandruff with 5% tea tree oil shampoo. JAmAcad Dermatol. 2002;47:852-5. 35. Hammer KA, Carson CF, Riley TV, Nielsen JB. Areview of the

toxicity of Melaleuca alternifolia (tea tree) oil. Food ChemToxicol. 2006;44:616-25.

36. Henley DV, Lipson N, Korach KS, Bloch CA. Prepurbetal gynecomastia linked to lavender and tea tree oils. N Engl JMed. 2007; 356:479-85.

37. Naldi L. Seborrheic dermatitis. Clin Evid. 2010;12:1713.

38. Feily A, Namazi MR. Aloe vera in dermatology: a brief review. G Ital Dermatol Venereol. 2009;144:85-91.\

39. Squire RA, Goode K. A randomized, single-blind, single-centre clinical trial to evaluate comparative clinical efficacy of shampoos containing cicroplox olamine (1.5%) and salicylic acid (3%), or ketokonazol (2% nizoral) for the treatment of dandruff/seborrheic dermatitis. J Dermatol Treat. 2002;13:51-60.

Gambar

Gambar 1. Peran jamur Malassezia pada dermatitis seboroik di kulit kepala.8
Tabel 2. Pengobatan DS nonskalp pada populasiAsia.7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Sistem pelayanan pengiriman barang yang berjalan pada jasa ekspedisi,masih terdapat permasalahan.Pelayanan yang hanya dilakukan pada satu bagian yaitu petugas

Sejajar dengan para mahasiswa, guru sejarah pada Sekolah Menengah Atas ditempatkan sebagai konsumen historlografi Indonesia. Perbedaannya dengan mahasiswa, untuk

DETIL KEGIATAN : PELAKSANAAN PELATIHAN, PENDIDIKAN, SERTA UNIT PRODUKSI DI BENGKEL PENDIDIKAN TEKNIK

Jika kita memperhatikan definisi ibadah yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, maka ibadah itu sangat luas tidak terbatas hanya shalat, zakat,  puasa, haji

Adanya proses adsorpsi reaktan pada situs aktif katalis padat ini akan melepaskan energi dalam bentuk panas sehingga akan mempermudah molekul reaktan melewati energi aktivasi

Dalam mengumpulkan data undang- undang dan SOP, saya akan menggunakan fasilitas kantor dengan efektif dan efisien sehingga data yang dicari dapat terkumpul

IPK Kategori 1 2 3 4 4.3 Menentukan konstanta pegas dari hasil  pengukuran Jika siswa melaksanakan 1 kegiatan dari seluruh kegiatan  berikut ini:  Siswa membaca  panduan

 Akan dilihat menggunakan teori tingkah laku konsumen: pendekatan nilai guna (utiliti) kardinal dan pendekatan nilai guna ordinal... Teori Tingkah Laku Konsumen Dapat