Mutiara Terpendam
dari Zamrud Sumatra
Asep Hidayat
Henti Hendalastuti Rachmat
Atok Subiakto
Penerbit
FORDA PRESS
Taxus sumatrana:
Mutiara Terpendam dari Zamrud
Sumatra
Penulis:
Asep Hidayat, Henti Hendalastuti Rachmat, dan Atok Subiakto
Reviewer:
Supriyanto, Agung Endro Nugroho, dan Iskandar Zulkarnaen Siregar
Editor:
Pujo Setio dan Harisetijono
Desain Sampul dan Tata Letak: FORDA PRESS
Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Desember 2014 xviii + 130 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-71770-5-5
Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp./Fax. +62251 7520093,
Email: fordapress@yahoo.co.id
Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:
PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan
TAXUS Sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra / oleh Asep Hidayat … [et al.] ; Reviewer: Supriyanto, A.E. Nugroho, I.Z. Siregar. ; Editor: P. Setio, Harisetijono. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014
xviii, 130 hlm. : ill. ; 21 cm.
ISBN: 978-602-71770-5-5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Kata Pengantar
Buku ini disusun dengan latar belakang dari catatan sejarah panjang di bidang kehutanan Indonesia atas ketertarikan terhadap sumber daya hutan yang telah sekian
lama terfokus hanya pada produk kayu (Wood is a crown of
forestry). Nilai-nilai sumber daya hutan lainnya
ditempatkan pada strata kedua dan dianggap sebagai
produk tambahan atau produk minor hutan (secondary
product). Dengan kata lain, ketertarikan dan perhatian
terhadap produk hutan bukan kayu (non timber forest
product) menjadi terabaikan. Untungnya, ketertarikan dan perhatian atas hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini terus meningkat dan mendapat dukungan. Faktor pemicunya adalah meningkatnya kekhawatiran tentang nilai-nilai biodiversitas yang terkandung di dalam hutan akan musnah, berkembangnya mekanisme perdagangan karbon dunia, dan jasa lingkungan dari hutan semakin terasa.
Di antara sekian banyak pengelompokan jenis hasil hutan bukan kayu, tumbuhan atau pohon yang memiliki
potensi sebagai sumber senyawa aktif obat-obatan (natural
disintesis oleh tumbuhan, dan selanjutnya diekstraksi untuk memenuhi berbagai keperluan umat manusia.
Hutan tropis Indonesia merupakan sumber tanaman obat. Namun sayang, potensi tersebut hanya sedikit yang diteliti, digali, dan dimanfaatkan secara optimal. Di negara lain seperti Cina, lebih dari 7.000 spesies tanaman obat sudah terdaftar; Korea telah melakukan standardisasi 530 jenis tanaman obat sejak tahun 1983; dan di Jerman, penelitian dan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam
yang biasa disebut phytomedicines sudah jauh lebih maju.
Taxus sumatrana atau cemara Sumatra tumbuh di hutan subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada ketinggian 1.400–2.800 m dpl. Secara alamiah, penyebaran-nya meliputi Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan
termasuk Indonesia. Di Indonesia, T. sumatrana tumbuh
secara alami sebagai subkanopi di hutan pegunungan ataupun punggung pegunungan di Sumatra: Gunung Kerinci, Jambi, Kawasan Hutan Lindung Dolok Sibuaton, Sumatra Utara, dan Gunung Dempo, Sumatra Selatan.
Genus Taxus merupakan satu-satunya pohon cemara yang
penting secara ekonomi. Selama berabad-abad, masyarakat
di dunia menggunakan Taxus sebagai bahan baku
obat-obatan. Genus Taxus menjadi jenis yang sangat fenomenal
mulai tahun 1990-an dengan berhasil diidentifikasinya
Taxane, senyawa unik yang termasuk golongan diterpenoid. Senyawa ini ditemukan pada seluruh bagian pohonnya; baik pada bagian daun, kulit, akar, maupun biji. Senyawa aktif ini berpotensi sebagai obat antikanker dan memiliki
dan efisien membunuh sel kanker sehingga dijadikan sebagai obat yang paling populer dan paling dicari di dunia. Kondisi seperti ini secara jelas telah memicu eksploitasi berlebihan, diiringi dengan kerusakan habitat
yang menyebabkan penurunan tajam pada populasi Taxus
sehingga memicu terbentuknya fragmentasi populasi. Untuk mengontrol status kelestarian terutama dalam
mekanisme perdagangannya, genus ini telah masuk ke
dalam Appendix II CITES Ann. # 10.
Sejarah perkembangan penelitian dan penggunaan
genus Taxus di wilayah bumi bagian Utara telah tercatat
dengan baik. Sejarah ini dimulai dari penemuan genus
Taxus sebagai sumber Taxol, distribusi dan status kelangkaan, proses isolasi dan ekstraksi, pengembangan teknik budi daya dan kultur sel, sampai dengan pemanfaatan kalus dan jamur endofitik sebagai sumber
alternatif Taxol. Kondisi yang demikian bertolak belakang
sekali dengan T. sumatrana yang hidup dan tumbuh di
Indonesia. Jenis ini masih belum populer, baik bagi instansi pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum. Oleh karenanya, hal yang wajar apabila sampai dengan saat ini tidak banyak informasi yang dapat kita peroleh; baik dari segi ekologi, silvikultur, maupun aplikasi bioteknologi penggunaan yang dapat menjamin aspek kelestarian jenis ini.
Buku ini mencoba memberikan gambaran secara
umum tentang genus Taxus; mulai dari pola penyebaran
populasi, teknik silvikultur, senyawa aktif Taxol, aplikasi
genetik; dengan penekanan yang lebih detil pada jenis T. sumatrana yang hidup di Indonesia. Selanjutnya, status riset pada setiap aspek kegiatan diuraikan untuk mempertegas minimnya informasi yang kita miliki sampai saat ini dan
memberikan gambaran tentang pentingnya T. sumatrana
sebagai sumber hasil hutan bukan kayu, baik dari aspek kelestarian maupun potensinya secara ekonomis. Kami
juga berharap bahwa keberadaan populasi T. sumatrana
yang terbatas dapat dipertahankan, meskipun ancaman yang besar terjadi pada habitatnya. Bioteknologi merupakan aplikasi teknologi yang memungkinkan
kelestarian dan keseimbangan T. sumatrana tetap terjaga di
dalam hutan.
Bogor, Desember 2014
SAMBUTAN
KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI
DAN REHABILITASI
Hutan memiliki manfaat yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Hampir dapat dipastikan bahwa lebih dari 95% manfaat tersebut berupa hasil hutan bukan kayu, termasuk jasa lingkungan. Manfaat yang besar tersebut masih terabaikan karena kita masih terfokus pada pemanfaatan kayu, yang sebenarnya nilai manfaatnya jauh lebih kecil, yaitu sekitar 5%. Kerusakan hutan sebenarnya telah dimulai sejak pemberian konsesi dalam pengelolaan hutan yang fokusnya hanya pada eksploitasi kayu. Kondisi
ini secara perlahan telah mengurangi potensi
keanekaragaman hayati, baik pada tingkat ekosistem, jenis (flora dan fauna) maupun genetik, yang pada akhirnya nilai hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan menjadi tiada.
Buku “Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari
Zamrud Sumatra” disusun berdasarkan suatu kenyataan
bahwa genus Taxus yang hidup di bagian Utara dunia telah
mengalami penurunan populasi yang tajam pada sebaran alaminya dan telah terjadi fragmentasi populasi. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan penurunan tingkat keragaman genetik dan meningkatnya keterancaman jenis
tersebut. Hal ini terjadi karena genus Taxus adalah pohon
hutan yang paling diburu di dunia, sebagai konsekuensi
dari sebuah kenyataan bahwa genus Taxus berkhasiat
efektif. Sementara di Indonesia, genus Taxus ditemukan di daerah Sumatra: Gunung Kerinci, Jambi, Kawasan Hutan Lindung Dolok Sibuaton, Sumatra Utara, dan Gunung
Dempo, Sumatra Selatan, dengan sebutan Taxus sumatrana.
Keberadaan Taxus yang hidup di Indonesia ini perlu
mendapat perhatian khusus melalui upaya pelestarian agar
nasibnya tidak serupa dengan genus Taxus yang hidup di
dunia bagian Utara.
Saya berkeyakinan bahwa buku ini akan bermanfaat bagi banyak pihak; baik pemerintah, swasta, maupun masyarakan umum. Fakta yang dimuat dalam buku ini dapat dijadikan sumber acuan, inspirasi, dan memperkaya khasanah keilmuan. Informasi hasil penelitian dan
penggunaan genus Taxus yang diungkap di buku ini dapat
dijadikan pertimbangan kehati-hatian dalam pemanfaatan-nya dengan mengedepankan pengetahuan bioteknologi
agar kelestarian jenis T. sumatrana terjamin.
Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang bersedia menyusun buku ini. Curahan tenaga, pikiran, dan kerja keras kita semua adalah
bagian dalam upaya untuk melestarikan dan melindungi T.
sumatrana di hutan dari kondisi keterancaman, sekaligus memanfaatkannya dengan bijaksana.
Bogor, Desember 2014
Kepala Pusat,
SAMBUTAN
KEPALA BALAI PENELITIAN
TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN
Kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan YME, karena berkat hidayah dan karuniaNya, buku berjudul
“Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud
Sumatra” dapat disusun dan diterbitkan. Saya menyambut baik hadirnya buku ini, dan dengan penuh keyakinan, buku ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam
pengelolaan jenis Taxus sumatrana di Indonesia oleh
berbagai pihak.
T. sumatrana adalah jenis pohon hutan yang hidup di Pulau Sumatra, Indonesia, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Nilai yang tinggi ini dikarenakan senyawa aktif yang terkandung di dalamnya berkhasiat sebagai obat antikanker yang paling diburu. Akibatnya, keterancaman terhadap keberadaan jenis ini sangat tinggi sehingga perlu dicari beberapa alternatif penanganan, baik sebagai upaya untuk memproduksi senyawa aktif maupun pelestarian jenis. Buku ini menyajikan informasi mulai dari pola penyebaran populasi, teknik silvikultur, senyawa aktif, aplikasi bioteknologi, dan strategi pengelolaan sumber
daya genetik dari genus Taxus, termasuk informasi dari
jenis T. sumatrana yang hidup di Indonesia.
Ucapan terima kasih dan penghargaan, saya
sampaikan kepada kontributor, reviewer, editor, dan pihak
payah yang telah kita lakukan mudah-mudahan mendapat balasan dari Tuhan YME, dan tercapai keberhasilan upaya menuju pengelolaan hutan yang lestari.
Kuok, Desember 2014
Kepala Balai,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... v
Sambutan Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi ... ix
Sambutan Kepala Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan ... xi
Daftar Isi ... xiii
Daftar Tabel ... xvi
Daftar Gambar ... xvii
Bab 1. Pendahuluan ... 1
Bab 2. Mengenal Taxus Lebih Dekat ... 7
2.1 Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels ... 12
2.1.1 Penyebaran ... 12
2.1.2 Habitus ... 14
2.1.3 Sistem Perbanyakan ... 15
2.1.4 Penggunaan ... 15
2.2 Taxus brevifolia Nutt ... 18
2.2.1 Penyebaran ... 18
2.2.2 Habitus ... 18
2.2.3 Sistem Perbanyakan ... 19
2.2.4 Penggunaan ... 22
2.3 Taxus baccata Linn ... 23
2.3.1 Penyebaran ... 23
2.3.2 Habitus ... 24
2.3.3 Sistem Perbanyakan ... 26
2.4 Taxus cuspidata Siebold & Zucc ... 28
2.4.1 Penyebaran ... 28
2.4.2 Habitus ... 28
2.4.3 Sistem Perbanyakan ... 29
2.4.4 Penggunaan ... 29
2.5 Taxus canadensis Marsh ... 30
2.5.1 Penyebaran ... 30
2.5.2 Habitus ... 30
2.5.3 Sistem Perbanyakan ... 31
2.5.4 Penggunaan ... 31
Bab 3. Biologi dan Domestikasi Taxus ... 33
3.1 Biologi Taxus ... 33
3.1.1 Pembungaan dan Pembuahan ... 33
3.1.2 Pengumpulan Buah ... 35
3.1.3 Ekstraksi dan Pembersihan ... 36
3.1.4 Penyimpanan ... 37
3.1.5 Perlakuan Praperkecambahan ... 38
3.1.6 Perkecambahan dan Uji Viabilitas Benih .. 39
3.2 Pembibitan dan Pemuliaan ... 41
3.2.1 Seleksi Kultivar ... 43
3.2.2 Teknik Perbanyakan Melalui Stek di Persemaian ... 44
3.2.3 Budi Daya dengan Persemaian Intensif .... 46
3.2.4 Kultur Jaringan ... 48
Bab 4. Kandungan Senyawa Aktif ... 53
4.1 Sejarah Penemuan ... 56
4.2 Produksi Taxane ... 63
4.2.1 Ekstraksi Bagian Tanaman ... 63
4.2.2 Sintesis ... 67
4.2.3 Semisintesis ... 68
4.2.4 Kultur Sel/Kalus ... 68
4.2.5 Fermentasi Jamur Endofitik ... 81
4.3 Mekanisme Aksi Penghambatan Sel Kanker 86 Bab 5. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik Taxus sumatrana ... 89
5.1 Keragaman Genetik dan Kelestarian Jenis ... 89
5.2 Keragaman Genus Taxus: Sejarah dan Rute Penyebaran ... 90
5.3 Strategi Pelestarian Jenis ... 91
5.3.1 Konservasi Ex Situ ... 91
5.3.2 Penelitian Dasar Sebagai Landasan Penyusunan Strategi Konservasi yang Komprehensif ... 93
5.3.3 Konservasi In Situ: Pelestarian T. sumatrana yang Wajib Dilakukan Secara Konsisten ... 97
Bab 6. Penutup ... 101
Daftar Tabel
Tabel 1. Data produksi benih ... 34
Tabel 2. Periode skarifikasi dan kondisi uji
perkecambahan ... 39
Tabel 3. Perjalanan penting dalam penemuan dan
perkembangan Taxol® di bidang biokimia,
bioteknologi, dan klinis ... 60
Tabel 4. Kandungan senyawa aktif dari bagian
tanaman Taxus ... 64
Tabel 5. Perkembangan penelitian kultur sel dalam
produksi paclitaxel ... 71
Tabel 6. Beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel
Daftar Gambar
Gambar 1. Biosintesis metabolit sekunder dan fungsi
interkasi antara tanaman dan lingkungan 3
Gambar 2. Evolusi angiosperms dan gymnosperms dari
Psiphytatae ... 8
Gambar 3. Sebaran alami Taxus di dunia ... 9
Gambar 4. Genus Taxus: morfologi pohon, kulit
batang, daun, dan buah/aril ... 10
Gambar 5. Sebaran alami T. sumatrana di Indonesia
yang saat ini ditemukan ... 14
Gambar 6. T. sumatrana; A) tumbuh pada tempat
alaminya (TN. G. Kerinci Seblat), B)
tumbuh di Kebun Raya Cibodas (planted),
C) Batang/ ranting/percabangan, D)
Morfologi daun ... 17
Gambar 7. Bonsai genus Taxus sebagai penggunaan
lainnya ... 23
Gambar 8. Perbanyakan T. sumatrana melalui stek: A)
Akar yang tumbuh dari jaringan kalus, B)
Akar adventif yang tumbuh secara spontan,
dan C) Penampang melintang akar (ep =
epidermis; kr = korteks; ph = phloem; ka =
Gambar 9. Perbanyakan T. baccata dengan kultur
jaringan: A) Plantlet dari bagian tanaman
yang sudah dewasa, B) Sumber bagian
tanaman yang dihasilkan dari kalus biji T
baccata, C) Induksi pada media yang mengandung IBA (8 mg/L), dan D)
Aklimatisasi plantlet di rumah kaca umur 6
bulan ... 52
Gambar 10. Struktur molekul dari 10-deacetylbaccatin III
(A), baccatin III (B), dan paclitaxel (C) ... 54
S
iapa yang tidak mengenal penyakit kanker; suatu pertanyaan yang bagi setiap orang awam dapat menjadi sebuah momok. Secara umum, kanker diartikan sebagai penyakit kelainan siklus sel yang dicirikan dengan meningkatnya kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali dan menyerang jaringan sel yang ada di dekatnya, selanjutnya bermigrasi melalui proses metastasis.Angka kematian penderita kanker menempati ranking ke-2
untuk skala dunia dan ranking ke-3 untuk skala Indonesia
(Dhama et al., 2013).
Sebagai upaya pengobatan penyakit kanker; Amerika
Serikat, melalui Institut Kanker Nasional (National Cancer
Institute [NCI]), membentuk sebuah lembaga khusus yang
dinamakan Cancer Chemotherapy National Service Center
(CCNSC) pada tahun 1956. Misi lembaga ini adalah sebagai lembaga pendukung penelitian dalam penemuan obat antikanker. Kegiatan lembaga tersebut diawali dengan melakukan eksplorasi terhadap tumbuhan-tumbuhan asal Amerika Serikat yang berpotensi sebagai sumber bahan aktif antikanker.
Senyawa organik atau bahan aktif yang terdapat pada tumbuhan akan secara alamiah dibentuk/dihasilkan
BAB
melalui proses fisiologis dan metabolisme dalam sistem jaringan kehidupannya. Dalam sebuah ekosistem, mahluk hidup akan membangun jaringan sebagai respons dalam menghadapi perubahan kondisi fisik dan lingkungannya. Hal ini diperlukan sebagai mekanisme untuk berkembang dan bertahan hidup (proteksi diri). Salah satu respons tersebut, yaitu dengan cara memproduksi senyawa organik yang bersifat aktif. Hanson (2003) mengklasifikasikan senyawa organik yang diproduksi tumbuhan menjadi tiga kategori: 1) senyawa organik yang berperan dalam metabolisme dan reproduksi, 2) senyawa organik yang berperan dalam struktur seluler (lignin, selulosa dan protein), dan 3) senyawa organik yang tidak berperan langsung dalam metabolisme dan reproduksi, tetapi
diperlukan untuk memproteksi/mengontrol dirinya
terhadap perubahan kondisi lingkungan, atau lebih dikenal
dengan istilah secondary metabolism. Kelompok dan fungsi
secondary metabolism dijelaskan oleh Hartman (1996), yang secara ringkas diuraikan dalam bentuk diagram sederhana, sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
Upaya mengeksplorasi dan mengoleksi contoh uji
untuk penyaringan (screening) bahan aktif antikanker telah
dilakukan oleh NCI yang bekerjasama dengan Departemen
Pertanian Amerika (US Department of Agriculture[USDA])
[dalam hal ini pengerjaan teknisnya dilakukan oleh USDA
Eastern Regional Research Laboratorium di bawah
pengawasan Monroe wall]. Melalui perjalanan panjang,
pada tahun 1972 telah teridentifikasi bahwa kelompok
tumbuhan pada genus Taxus mengandung bahan aktif
dagang Taxol®), yang saat itu diekstraksi dari jenis cemara
Pasifik/Pasific yew (Taxus brevifolia Nutt). Tumbuhan
tersebut ditemukan di areal pegunungan North Western, Amerika Serikat, dan Kanada bagian Barat (Farrar, 1995). Bahkan dari hasil analisis terbaru, hampir semua bagian tumbuhan (batang, kulit batang, bagian berkayu, dan akar) diketahui mengandung bahan aktif antikanker.
kondisi habitat yang lembab dan dingin dengan kisaran ketinggian 1.000–3.000 meter di atas permukaan laut (m dpl), serta banyak dijumpai di bawah tegakan di tempat yang memiliki iklim sedang dan subtropis (Price, 1990).
Di Asia, hanya sedikit negara yang memiliki sebaran
alami genus Taxus, antara lain Taxus cuspidata (ditemukan
di Jepang), Taxus chinensis (ditemukan di Cina), dan Taxus
sumatrana (ditemukan di Indonesia, Taiwan, Vietnam, Nepal, dan Tibet), yang kondisi populasinya terancam
punah (Huang et al., 2007). Berdasarkan hasil survei
langsung di lapangan diketahui bahwa habitat alami T.
sumatrana di Indonesia saat ini berada di wilayah Gunung (G.) Kerinci, Jambi, yaitu pada bagian punggung bukit, lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang dengan ketinggian lokasi 1.700–2.200 m dpl (Rachmat, 2008). Kemudian, Pasaribu & Setyawati (2010) menemukan
sebaran populasi T. sumatrana di kawasan Hutan Lindung
(HL) Dolok Sibuaton pada ketinggian 1.300 m dpl. Begitu
pula di G. Dempo (Pagar Alam, Palembang), T. sumatrana
ditemukan pada ketinggian 1.800–2.200 m dpl.
Taxol® hanya dihasilkan dari genus Taxus (Kikuchi &
Yatagai, 2003). Merek dagang Taxol® dan hak
pemasarannya dipegang oleh Bristol-Myers Squibb sejak
tahun 1991. Semenjak itu, permintaan fenomenal terhadap
Taxol® terus meningkat dan diprediksi akan tetap tinggi
karena sampai sekarang diyakini bahwa Taxol® adalah obat
antikanker yang paling dicari di dunia, selain obat
antikanker lainnya, seperti Camptothecin, Topotecan,
Teniposide, Elliptinium, Homoharringtonine (Cragg & Newman, 2005). Permintaan yang tinggi dalam dunia perdagangannya menyebabkan penurunan populasi genus
Taxus di habitat alamnya. Sebagai gambaran, untuk
mendapatkan 1 kg Taxol®, bahan ekstrak yang dibutuhkan
adalah sebanyak 7.270–10.000 kg kulit batang pohon Taxus.
Jika kita mengasumsikan rendemen pada angka 0,01%
(Suffness, 1995) maka untuk mendapatkan 1 kg Taxol®
dibutuhkan sekitar 2.000 pohon Taxus (Nicolaou et al.,
1994). Padahal, seorang pasien penderita kanker
memerlukan 2–2.5 g Taxol® atau setara dengan sekitar 6–8
pohon Taxus (Malik et al., 2011). Kondisi seperti ini secara
otomatis memicu eksploitasi yang berlebihan terhadap
genus Taxus. Untuk mengontrol status kelestarian jenis dari
genus Taxus, jenis ini telah dimasukkan ke dalam Appendiks
II CITES Ann. #10 (CITES, 2005).
Sebaran Taxus di wilayah ekuator dengan kondisi
iklim hutan hujan tropis merupakan suatu fenomena tersendiri. Sebarannya di Indonesia yang hanya terbatas
pada wilayah tertentu menyebabkan genus Taxus kurang
populer pada skala masyarakat umum. Oleh sebab itu, buku ini disusun untuk memberikan gambaran singkat
tentang genus Taxus secara umum dengan penekanan yang
lebih detil pada jenis T. sumatrana sebagai satu-satunya
jenis Taxus yang wilayah penyebarannya sampai ke
Taxus
adalah tanaman yang diperkirakan hidup sejak 200 juta tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan denganditemukannya fosil Paleotaxus rediviva yang strukturnya
mirip dengan Taxus seperti jenis yang sekarang ada
(Waibel, 2010). Genus Taxus merupakan kelompok
Gymnospermae yang tidak memiliki saluran resin. Taxus
masuk ke dalam familiTaxaceae dan dalam subkelas Taxidae.
Gambar 2 menjelaskan bahwa pemisahan subkelas Taxidae
dan Pinidae dari Corditidae diperkirakan terjadi sekitar 300
juta tahun yang lalu (Sitte et al., 1991).
Cope (1998) & Price (1990) menyebutkan bahwa
genus Taxus tersebar luas, terutama di zona pertengahan di
belahan bumi bagian Utara. Daerah sebaran tersebut membentang dari Amerika Utara menuju subtropika Amerika Tengah dan dari Eurasia menuju subtropika Asia Tenggara (Gambar 3), yang beriklim sedang dengan kondisi habitat yang lembab dan dingin.
Arsitektur morfologi Taxus dapat berbentuk pohon
ataupun semak. Pada kondisi batang utama terluka, patah,
atau tumbang maka akan muncul
percabangan-percabangan baru sehingga bentuk pohon dapat berubah
BAB
Diameter tajuk dengan bentuk seperti semak ini dapat mencapai 24 m. Ukuran batang utama dapat sangat besar dengan sistem perakaran yang dalam sehingga bentuk pohon terlihat kokoh jika dibandingkan dengan proporsi tinggi pohon (Gambar 4). Ukuran diameter yang besar dapat diperoleh dengan bersatunya/berimpitnya beberapa cabang dalam waktu yang cukup lama.
Gambar 2. Evolusi angiosperms dan gymnosperms dari Psiphytatae
T
United Arab E mirat es Taiwan Mali
Spain Albania Korea, D em ocrat ic People's Republic of Yugos lav ia
Gambar 4. Genus Taxus: morfologi pohon, kulit batang, daun, dan buah/aril
Ukuran tinggi dari kebanyakan genus Taxus rata-rata
6–12 m, namun pada kondisi lingkungan yang terbuka dan kondisi kesuburan yang mendukung dapat mencapai 12–25 m. Namun demikian, ukuran tersebut akan bervariasi
untuk setiap jenis. Sebagai contoh pada Taxus floridana atau
yang dikenal dengan nama cemara Florida; jenis ini berukuran kecil, bentuk tajuknya melebar, dan pada waktu mencapai usia dewasa hanya memiliki tinggi 1–5 m.
Sebaliknya, Taxus brevifolia atau dikenal dengan nama
cemara Pasifik dapat tumbuh alami mencapai diameter 6
m dan tinggi lebih dari 18 m. Taxus tumbuh dengan
Foto: Tina Negus, 2011 (www.Flickr.com) Foto: Ashey_wood, 2009
(www.Flickr.com)
Foto: Boubo_Bittern, 2012 (www.Flickr.com)
kerapatan 1,5–2,1 pohon/ha dengan kecepatan tumbuh yang sangat lambat dan dapat hidup diperkirakan mencapai umur 2.000–4.000 tahun, meskipun masih menjadi bahan perdebatan (Hindson, 2000).
Berdasarkan karakteristik morfologi yang dipelajari
oleh Spjut (2007), Taxus dibagi menjadi 24 spesies dan 55
varietas. Jenis-jenis Taxus yang ditemukan terlebih dahulu
terdiri atas 15 spesies dan 6 varietas, yaitu T. baccata L. (var.
dovastoniana Leighton, var. elegantissima Hort. ex C. Lawson,
var. glauca Jacques ex Carrière, var. pyramidalis Hort. ex C.
T. umbraculifera (Siebold ex Endl.) C. Lawson, T. wallichiana
Zucc. dan var. yunnanensis (W.C. Cheng & L.K. Fu) C.T.
Kuan. Selanjutnya, diidentifikasi 6 spesies baru: T. biternata
Spjut, T. florinii Spjut, T. kingstonii Spjut, T. obscuraSpjut, T.
phytonii Spjut, dan T. suffnessiiSpjut; dan 4 variteas baru: T. brevifolia Nutt. var. polychaeta Spjut, T. brevifolia Nutt. var.
reptaneta Spjut, T. caespitosa Nakai var. angustifolia Spjut, dan T. contorta Griff. var. mucronata. Spjut (2007) juga mendeskripsikan 8 jenis lainnya yang merupakan
kombinasi spesies dan varietas baru: T. caespitosa var.
latifolia (Pilg.) Spjut, T. canadensis var. adpressa (Carrière)
Spjut, T. canadensisvar. minor (Michx.) Spjut, T. globosavar.
floridana (Nutt. ex Chapm.) Spjut, T. mairei (Lemée & H.
umbraculifera var. hicksii (Hort. ex Rehder) Spjut, T. umbraculifera var. microcarpa (Trautv.) Spjut, dan T. umbraculifera (Siebold ex Endl.) C. Lawson var. nana
(Rehder) Spjut.
Sampai dengan saat ini, posisi taksonomi Taxus masih
sangat kontroversial karena klasifikasi jenis-jenis tersebut lebih disebabkan isolasi geografis dan tidak diikuti dengan adanya isolasi reproduksi antar spesies (Farjon, 1998; Silba,
1984). Namun di satu sisi, Collins et al. (2003) melaporkan
bahwa hybrids dari Taxus memiliki polen yang kurang
berfungsi secara fungsional dan gangguan pada tahapan meiosis.
2.1 Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels
2.1.1 Penyebaran
Taxus sumatrana atau cemara Sumatra tumbuh di hutan subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada ketinggian 1.400–2.800 m dpl (Spjut, 2003; Earle, 2013a;
Huang et al., 2007). Penyebaran alami jenis ini dilaporkan
terdapat di Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan
Indonesia (de Laubenfels, 1988). Di Indonesia, T. sumatrana
tumbuh secara alami sebagai subkanopi di hutan pegunungan ataupun punggung pegunungan di Pulau Sumatra dan Sulawesi (Spjut, 2007).
subkanopi di hutan pegunungan pada bagian punggung bukit, lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang pada ketinggian 1.700–2.200 m dpl. Pola penyebaran cemara Sumatra yang tumbuh di G. Kerinci juga memiliki kesamaan dengan pola penyebaran cemara Sumatra yang tumbuh di Taiwan, yaitu terpencar mengelompok (clustering). Berdasarkan kondisi tempat tumbuh alaminya yang hanya dijumpai di wilayah punggung bukit, lereng, dan tepian jurang; cemara Sumatra diketahui menyukai
tempat yang berdrainase baik (well drainage) dan tidak
pernah tergenang. Selain itu, hasil analisis tanah juga menunjukkan bahwa jenis ini menyukai tanah dengan pH rendah (masam), tekstur tanah geluh (lumpur) berpasir, kandungan C organik sangat tinggi, dan rasio C/N yang tinggi (Rachmat, 2008).
Berdasarkan data koleksi herbarium Bagian Botani pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi (PUSKONSER) di Bogor, herbarium T.
sumatrana berasal dari Karo leinden yang tidak lain adalah Tana Karo di Sumatra Utara. Pasaribu & Setyawati (2010) melakukan penelusuran ulang dan menemukan sebaran
populasi T. sumatrana di kawasan HL Dolok Sibuaton
dengan jumlah yang cukup banyak dan hidup soliter pada ketinggian 1.300 m dpl (Gambar 5). Pada tahun 2014, tim survei lapangan PUSKONSER Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan,
menemukan keberadaan T. sumatrana di G. Dempo (Pagar
Alam, Palembang) pada ketinggian 1.800–2.200 m dpl, dengan diameter terbesar 120 cm dan pohon tertinggi 21 m
#
aspek ekologis, kerapatan populasi, keragaman genetik, budi daya, dan aspek pengelolaan lainnya di Indonesia Daun berbentuk elips-lanset, berwarna hijau zaitun dengan ukuran panjang 1,8–3,0 cm, lebar 2,0–2,5 mm, dan tebal
200–275 µm. Warna kulit batang merah keabu-abuan
biasanya tidak terlihat, sedangkan bunga kerucut betina berbentuk subsilindris dengan panjang 2 mm dan lebar 1 mm. Buah berbentuk kerucut kaku dengan panjang 4 mm dan lebar 3 mm, mengerucut dari tengah ke puncak (Spjut, 2003; Earle, 2013a). Sampai dengan saat ini, tidak banyak
informasi yang dapat diperoleh mengenai T. sumatrana
yang tumbuh di Indonesia, baik dari segi ekologi maupun silvikultur.
2.1.3 Sistem Perbanyakan
T. sumatrana dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Hasil survei langsung di lapangan ditemukan anakan yang menyebar secara sporadis pada lahan hutan yang lebih terbuka. Hasil
penelitian Rachmat et al., (2010) menyatakan bahwa T.
sumatrana dapat diperbanyak secara vegetatif, dengan kemampuan berakar 66,7% (28 minggu setelah tanam) pada media sabut kelapa dan sekam padi (2 : 1 [v/v]).
2.1.4 Penggunaan
Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari jenis
Taxus, termasuk T. sumatrana, merupakan sumber Taxane,
yaitu paclitaxel diekstraksi sebagai obat yang sangat sukses
digunakan dalam kemoterapi berbagai jenis kanker. Hidayat & Tachibana (2013) melaporkan bahwa kulit
batang T. sumatrana yang berasal dari G. Kerinci
mengandung 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III. Kedua
biosintesis Taxol®. 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III
juga ditemukan pada daun dan batang muda T. sumatrana
(Kitagawa et al., 1995; Shen et al., 2005).
Populasi Taxus di dunia telah menurun secara drastis
seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang
dilakukan untuk memperoleh bahan aktif kelompok Taxane
di dunia farmasi. Ancaman tersebut akibat penebangan pohon dan pengulitan total batang, serta strategi
manajemen yang minim. Namun demikian, T. sumatrana
yang tumbuh di Indonesia sampai saat ini masih belum
tereksploitasi sebagai alternatif sumber Taxol®. Status
keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List termasuk
dalam kategori memiliki risiko keterancaman yang masih
rendah (Least Concern/LC) (IUCN, 2014). Sementara itu,
masyarakat lokal umumnya menggunakan kayu T.
Gambar 6. T. sumatrana; A) Tumbuh pada tempat alaminya (TN G. Kerinci Seblat), B) Tumbuh di Kebun Raya Cibodas (planted), C) Batang/ranting/percabangan, D) Morfologi daun
A
B
C
2.2 Taxus brevifolia Nutt
2.2.1 Penyebaran
Taxus brevifolia disebut juga dengan nama Pacific yew. Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh alami di barat laut Pasifik, Amerika Utara (Ferguson, 1978; Hils, 1993). Jenis ini tersebar mulai dari bagian Selatan Alaska sampai ke California bagian Tengah dan Montana. Populasi terbanyak dijumpai di wilayah pantai Barat Pasifik, tetapi ada satu populasi yang terisolasi khusus, yaitu di Tenggara British Columbia dan Idaho bagian Selatan sampai tengah.
2.2.2 Habitus
sudah masak berwarna merah cerah, bertekstur lembut dengan ukuran panjang dan lebar 8–15 mm, dan ujung aril merekah (Gambar 4). Aril akan masak sekitar 3–6 bulan sejak penyerbukan (Maret dan April) dan jika aril sudah masak (Juli–Oktober) maka aril rentan dimakan oleh
burung dan predator lainnya (Rudolf, 1974; Difazio et al.,
1996; Stephen et al., 1998).
Pemangsaan oleh burung dan predator merupakan mekanisme penyebaran benih secara alamiah. Selama penyebaran ini, benih tidak rusak karena memiliki kulit yang cukup keras. Perkembangan embrio benih di dalam aril akan mulai terjadi 2–3 bulan setelah penyebaran oleh burung dan hal ini akan meningkatkan keberhasilan penyebaran benih secara alami. Kerucut jantan berbentuk membulat dengan diameter 3–6 mm dan tepung sarinya akan menyebar pada awal musim semi.
T. brevifolia tumbuh baik di bawah naungan (Taylor &
Taylor, 1981). Karakter bunga berumah dua (dioecious),
tetapi pada suatu kondisi tertentu dapat ditemukan satu
individu yang memiliki sifat berumah satu (monocious),
atau bahkan, bertukar jenis kelamin seiring dengan waktu (Keller & Tregunna, 1976; El-Kassaby & Yanchuck, 1994;
Stephen et al., 1998).
2.2.3 Sistem Perbanyakan
perbanyakan T. brevifolia secara generatif diungkapkan oleh Pilz (1996) dan secara vegetatif dilaporkan oleh Mitchell (1998).
Pematangan buah T. brevifolia berlangsung selama 3–6
bulan, yaitu mulai Juli–Oktober. Buah yang masak dicirikan dengan bentuk aril yang membengkak penuh, berwarna merah dengan tekstur yang lembut. Kandungan minyak pada aril menyebabkan buah agak sulit dibersihkan (Earle, 2013b). Dengan demikian, stratifikasi
benih Taxus merupakan sebuah proses biologis aktif yang
membutuhkan waktu paling sedikit 12–18 bulan, atau bahkan, seringkali lebih lama lagi (Pilz, 1996).
T. brevifolia yang baru saja dipetik atau jatuh dari pohonnya (masih segar) memiliki embrio yang sangat kecil yang sulit dikenali. Embrio berkembang atau membesar
jika telah dilakukan stratifikasi. Hal ini diduga benih Taxus
memiliki dormansi kulit atau dormansi embrio. Oleh sebab itu, uji kualitas benih dilakukan terlebih dahulu sebelum dikecambahkan untuk melihat hidup atau tidaknya embrio. Cara yang paling mudah, murah, dan cepat adalah metode pemotongan benih menjadi dua bagian dengan arah longitudinal. Meskipun metode ini merupakan metode destruktif, cara ini mampu memberikan hasil yang baik secara visual terhadap kondisi embrio benih. Teknik lain yang lebih modern untuk mengetahui kondisi embrio benih
adalah dengan x-ray atau ultrasound yang akan mampu
mengecek kondisi embrio, apakah hidup atau viable.
perkecambahannya baru akan terjadi setelah atau jika anakan tanaman lainnya mati sehingga lantai hutan
menjadi terbuka (Minore et al., 1996). Oleh karenanya,
penyimpanan dingin (cold storage) benih jenis ini sangat
tidak menguntungkan. Untuk dapat bertahan lama (5–6 tahun), benih harus dikeringkan sampai kadar air mencapai
6–10% dan kemudian disimpan pada suhu 1–2oC (Rudolf,
1974).
Hanya sedikit benih yang mampu berkecambah pada musim semi, sesaat setelah buah masak. Pada kondisi alaminya, perkecambahan puncak terjadi pada musin semi tahun berikutnya dan sebagian lagi pada musim semi dua atau tiga tahun berikutnya setelah benih masak atau jatuh (Rudolf, 1974). Lambatnya perkecambahan diduga ada hubungannya dengan mekanisme dormansi benih.
Dormansi benih yang terdapat dalam T. brevifolia
diperkirakan menyangkut tiga mekanisme: kulit benih
mungkin mengandung senyawa penghambat (inhibitor);
ukuran embrio yang masih sangat kecil, meskipun benih telah masak penuh; dugaan adanya dormansi genetik atau dormansi fisiologis yang belum teridentifikasi letaknya.
Stratifikasi yang efektif untuk benih T. brevifolia
tingkat kemasakan biji pada waktu pengumpulan. Anakan
T. brefivolia sangat rentan terhadap penyakit dumping-off. Pemberian naungan yang diperlukan pada saat benih disemai dan dibiarkan akan menghasilkan daya berkecam-bah sebesar 10–20%.
2.2.4 Penggunaan
Kayu T. brevifolia masih digunakan [dibatasi karena
kelangkaan] untuk busur panah, tombak, dayung kano, peralatan rumah tangga, alat musik, ukiran patung, furnitur, dan kayu bakar (Bolsinger & Jaramillo, 1990). Bagian tanaman, daun, ranting, dan kulit batang digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengobati penyakit
paru-paru, perut, luka, dan nyeri (Moerman, 1986). T.
brevifolia digunakan juga untuk pohon hias, tanaman fondasi, pagar, dan bonsai (Bolsinger & Jaramillo, 1990) (Gambar 7). Meskipun sekarang sudah mulai ditemukan
teknologi yang mampu memproduksi paclitaxel secara
semisintetis dari pohon hasil budi daya, tingkat eksploitasi yang sangat tinggi menyebabkan kekhawatiran yang
mendalam jika T. brevifolia akan menjadi langka. Tingkat
eksploitasi yang tinggi juga mulai dilakukan terhadap jenis
Taxus lainnya dengan tujuan yang sama, yaitu
mendapatkan paclitaxel. Kondisi seperti ini telah memicu
kelangkaan berbagai jenis Taxus di berbagai belahan bumi.
Status keterancaman T. brevifolia dalam IUCN Red List,
Sumber: http://swindon-bonsai.co.uk/ (diakses 9 Maret 2014)
Gambar 7. Bonsai genus Taxus sebagai penggunaan lainnya
2.3 Taxus baccata Linn
2.3.1 Penyebaran
Taxus baccata disebut juga dengan nama English yew. Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh alami di Eropa (bagian Barat, Tengah, dan Selatan), Barat
Laut Afrika, Irak Utara, dan Barat Daya Asia (Zamani et al.,
2008; Spjut, 2007). Meskipun distribusi sebaran alaminya sangat luas, jumlah individu setiap populasinya sangat kecil sehingga mempertinggi risiko keterancamannya
(Lewandowski et al., 1995). Berbagai penemuan terhadap
T. baccata menyebabkan terjadinya subpengelompokan
baru (Zamani et al., 2008).
Taxus baccata merupakan nama ilmiah yang merujuk
pada variasi atau kultivar untuk European yew, common yew,
dan English yew (Rushforth, 1999). Sudah sejak lama pohon ini disebut sebagai “Pohon Kematian”; padahal, secara alami memiliki sifat yang berumur panjang, kuat dan awet, beracun, dan secara tradisional digunakan oleh penduduk lokal sebagai obat nyeri/keluhan pada dada, serta simbol kehidupan yang kekal (Hartzell, 1991).
2.3.2 Habitus
Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran kecil sampai sedang, tinggi mencapai 10–20 m, pada beberapa individu dapat mencapai 30 m, dan tumbuh pada
ketinggian 2.000–4.000 m dpl (Lewandowski et al., 1995;
Orwa et al., 2009; Bondare, 2013; Sharma & Uniyal, 2010).
Jenis ini tumbuh sangat lambat, tetapi dapat hidup sangat lama (Hartzell, 1991). Pohon terbesar yang tercatat dalam
sejarah untuk T. baccata, yaitu diperkirakan berumur
mencapai 2.000–4.000 tahun [meskipun secara historis
penentuan umur jenis Taxus dari spesimen kayu tidak
dapat diperkirakan secara tepat dan masih menjadi perdebatan] (Hindson, 2000). Namun demikian, terdapat
satu kesepakatan umum di antara para botanis bahwa T.
Morfologi lainnya terkait T. baccata adalah sebagai berikut. Kulit batang berwarna cokelat kemerah-merahan dan bersisik; daun berbentuk lanset, datar, berwarna hijau tua dengan panjang 1–3 cm dan lebar 2–3 mm (Thomas & Polwart, 2003; Hoffman, 2004); daun tersusun secara spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir (Edward & Dennis, 1994). Buah kerucut sangat termodifikasi; tiap kerucut mengandung satu individu biji yang sangat beracun (Edward & Dennis, 1994) dengan panjang kurang dari 1 cm dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi dan berkembang menjadi struktur yang juga menyerupai buah beri (aril). Pembungaan terjadi pada bulan September dan berbuah pada bulan Oktober. Buah akan dikelilingi oleh aril dan apabila sudah masak akan berwarna merah cerah dan bertekstur lembut dengan ukuran panjang dan lebar 8– 15 mm sehingga aril rentan dimakan oleh burung dan
atau mamalia sehingga membantu meningkatkan
keberhasilan penyebaran dan perkecambahan benih secara alami. Kerucut jantan juga berbentuk membulat dengan diameter 3–6 mm dan akan menyebarkan tepung sarinya pada awal musim semi.
Pada umumnya, T. baccata juga berumah dua
dengan waktu (Bondare, 2013). Semua bagian pohon sangat
beracun (toxic), kecuali aril yang berwarna merah cerah
yang menutupi biji yang memungkinkan terjadinya proses pencernaan dan penyebaran biji oleh burung (Edward & Dennis, 1994).
2.3.3 Sistem Perbanyakan
Seperti halnya Taxus yang lain, T. baccata dapat
diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Perbanyakan secara generatif banyak mengalami kendala, seperti jumlah biji/buah yang tidak melimpah akibat banyaknya satwa pemakan buah ini
(Daniel et al., 2000). Selain itu, pemecahan masa dormansi
sangat sulit dan daya viabilitas rendah (Khali, 2001). Perbanyakan secara vegetatif memberikan peluang yang sangat menjanjikan sebagai penyedia bibit tanaman untuk proses regenerasi secara alami (Singh & Bhalla, 2006). Penelitian tentang teknik propagasi secara vegetatif telah
dilakukan secara intensif oleh Nandi et al. (1996), Maden
(2003), dan Singh & Bhalla (2006). Hasil perbanyakan
vegetatif terhadap Taxus baccata dilaporkan bahwa jenis ini
memiliki kemampuan berakar 65–80% dengan panjang akar sekitar 10–38 cm (14 minggu setelah tanam dengan menggunakan hormon NAA 0,25 mM), dan 85–95%
dengan panjang akar 8–13 (IBA 0,25 mM) (Nandi et al.,
2.3.4 Penggunaan
T. baccata biasa ditanam di halaman-halaman gereja di Inggris dan Irlandia sampai ke wilayah Austria. Di kalangan petani pada komunitas tertentu, pohon ini ditanam sebagai penyemangat keberhasilan ladang atau lahan pertanian mereka. Jika dikaitkan secara rasional, hal ini berhubungan dengan hampir semua bagian tanaman yang beracun, kecuali aril, sehingga tidak akan ada binatang pengganggu di ladang/wilayah pertanian mereka. Aril buahnya secara turun-temurun digunakan masyarakat lokal sebagai obat alami untuk mengobati gigitan ular, kalajengking, anjing gila (rabies), penyakit
jantung, paru-paru, dan diabetes (Orwa et al., 2009; Sharma
& Uniyal, 2010). Daun Taxus sangat beracun, senyawa
alkaloid dan glukosida yang terkandung sangat beracun bagi binatang, seperti kelinci dan kuda, serta bagi manusia dapat mengganggu sistem pencernaan, gangguan saraf, pernapasan dan jantung, yang berujung pada kematian.
Taxus baccata juga umum digunakan sebagai jenis
ornamental dalam landscaping tanaman hias di kebun.
Rantingnya yang hijau juga digunakan oleh penduduk lokal di Nepal sebagai hiasan rumah selama festival
keagamaan (Orwa et al., 2009). Penggunaan penting lainnya
adalah di dunia farmasi. Ekstraksi terhadap Taxus jenis ini
menghasilkan docetaxel yang merupakan obat kemoterapi
untuk berbagai penyakit kanker. Status keterancaman jenis
ini dalam IUCN Red List, yaitu jenis dengan risiko
keterancaman yang masih rendah (IUCN, 2014). Namun
bahwa jenis ini memiliki keragaman genetik yang sangat rendah yang berimplikasi pada peningkatan risiko kepunahan jenis.
2.4 Taxus cuspidata Siebold & Zucc
2.4.1 Penyebaran
Taxus cuspidata disebut juga dengan nama Japanese
yew. Tumbuhan ini pertama kali ditemukan sekitar 80
tahun yang lalu di Jepang (Li, 1999). Kemudian, pohon berdaun jarum ini mulai meyebar ke wilayah lain, seperti Korea, Cina bagian Selatan, dan Rusia bagian Tenggara (Spjut, 2007).
2.4.2 Habitus
Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran daun kecil (berbentuk jarum), tinggi mencapai 16–20, dan disebut pohon dewasa jika umurnya mendekati 200 tahun (Suffness, 1995). Pertumbuhan riap tahunan jenis ini relatif
kecil (Zu et al., 2006) dengan proses germinasi yang hampir
2 tahun (Hartzell, 1991). Daun berwarna hijau tua dengan panjang 1,5–3,5 cm dan lebar 2–3 mm yang tersusun secara spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir (Ohwi, 1965; Hoffman, 2004). Tumbuhan ini ditemukan hidup pada ketinggian 1.000–3.000 m dpl (Waibel, 2010;
Allison et al., 2008). T. cuspidata juga ditemukan hidup di
luar habitat (areal terbuka, ketinggian 80 m dpl) dan mampu hidup dengan tinggi hanya mencapai 2 m, mirip
T. cuspidata memiliki karakteristik daun dan
morfologi reproduksi yang hampir mirip dengan Taxus
yang lainnya. Benih hasil pembuahan dikelilingi oleh aril dan berdaging buah berwarna merah jika sudah masak
(Allison et al., 2008).
2.4.3 Sistem Perbanyakan
Perbanyakan generatif merupakan mekanisme
perbanyakan Taxus secara alami. Namun dari aspek budi
daya, teknik perbanyakan melalui vegetatif dianggap
sebagai teknik perbanyakan yang paling efisien (Li et al.,
2006), termasuk juga untuk Taxus jenis ini.
2.4.4 Penggunaan
T. cuspidata merupakan jenis yang sangat umum ditanam di Asia bagian Timur dan Amerika Selatan bagian Timur sebagai tanaman hias/ornamental. Penggunaan lainnya adalah sebagai sumber bahan aktif dalam dunia farmasi. Sekitar 193 senyawa aktif telah ditemukan; baik
pada kulit batang, biji, kayu maupun akar Taxus cuspidata
(Wang et al., 2010). Senyawa yang paling penting saat ini
adalah Taxol® sebagai obat kanker payudara, ovarium, dan
jenis kanker lainnya. Sayangnya, permintaan taxol yang
tinggi tidak selaras dengan kemampuan regenerasinya
yang cenderung menurun (Zu et al., 2006), pertumbuhan
yang lambat (Hartzell, 1991), dan jumlah benih yang
terbatas (Daniel et al., 2000). Hal ini menjadikan populasi
penurunan drastis. Berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh IUCN, T. cuspidata dikelompokkan sebagai tanaman
hutan yang populasinya terancam punah dengan tingkat risiko yang rendah (IUCN, 2014).
2.5 Taxus canadensis Marsh
2.5.1 Penyebaran
Taxus canadensis disebut juga dengan nama Canadian yew, American yew, dwarf yew,dan ground hemlock. Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh alami di Amerika Utara bagian Tengah dan Timur (Darbyshire, 2003). Tempat tumbuh terbaik adalah di daerah yang basah, jurang-jurang, tepian sungai, dan juga tepian danau.
2.5.2 Habitus
Berbeda dengan Taxus lainnya, T. canadensis tumbuh
sebagai semak yang melebar yang tingginya tidak lebih dari 4 m dengan diameter 9 cm (Pinto & Herr, 2005). Kulit batang berwarna cokelat bersisik. Daun berbentuk lanset, datar, dan berwarna hijau tua dengan panjang 1–2 cm dan lebar 0,5–2 mm (Hoffman, 2004). Buah kerucut sangat termodifikasi; tiap kerucut mengandung satu individu biji yang dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi dan berkembang menjadi struktur yang menyerupai buah beri
(aril) (Wilson et al., 2006). Jenis ini ditemukan tumbuh pada
ketinggian kurang dari 1.500 m dpl dengan kondisi pH
T. canadensis adalah tumbuhan yang hidup di bawah naungan atau menempati strata kedua pada lantai hutan. Untuk tumbuh dan bertahan hidup, tumbuhan ini hampir tidak memerlukan cahaya matahari. Namun demikian, cahaya pada ketinggian 1 m dapat dimanfaatkan sampai
95% untuk pertumbuhannya (Aubin et al., 2000). Jika
tumbuh pada lahan terbuka, kemampuan hidupnya akan berkurang menjadi <50%. Untuk mencegah dehidrasi, jenis ini akan mengendalikan kelembaban dan suhu melalui sistem perakaran yang dimilikinya (Martell, 1974; Pothier & Margolis, 1991).
2.5.3 Sistem Perbanyakan
T. canadensis dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Namun, perbanyakan secara generatif banyak mengalami kendala
sehubungan dengan karakteristik benih Taxus secara
umum sehingga perbanyakan vegetatif cukup menjanjikan untuk memenuhi ketersedian bibit. Prosedur lengkap teknik perbanyakan secara vegetatif diuraikan oleh Yeates
et al. (2005).
2.5.4 Penggunaan
T. canadensis memiliki tingkat toksikogenik yang lebih
rendah dibandingkan T. baccata. Namun demikian, seluruh
bagian tanaman tetap memiliki kandungan racun yang cukup tinggi, kecuali bagian aril (Edward & Dennis, 1994;
setempat secara tradisional memanfaatkan daun T. canadensis sebagai teh. Dalam dosis yang kecil, tumbuhan ini digunakan untuk pengobatan berbagai macam keluhan penyakit rematik. Cabang-cabang atau ranting-ranting juga digunakan bersama dalam mandi uap untuk pengobatan luar penyakit rematik. Namun demikian, [tetap harus
menjadi catatan] tumbuhan ini masih sangat toksik dan para
herbalis modern lebih menyukai penggunaan herbal lainnya
yang lebih aman digunakan untuk menggantikan T.
canadensis dalam mengobati suatu penyakit.
T. canadensis dipanen sebagai sumber penghasil
Taxane di bagian Utara Ontario, Quebec, dan Atlantik sejak kelompok senyawa ini menjadi fokus utama dunia dalam pengobatan berbagai penyakit kanker (Farr, 2008).
Kandungan bahan aktif pada T. canadensis jauh lebih besar
dibandingkan T. brevifolia. Selain itu, bagian daun T.
canadensis yang banyak mengandung kelompok senyawa
Taxane dapat dipanen secara berkala dan berkelanjutan untuk diekstraksi setiap 5 tahun sekali tanpa menebang pohon atau menguliti batangnya yang akan menimbulkan kematian tanaman. Berdasarkan data yang tercatat,
pemanenan daun T. canadensis meningkat tajam dari sekitar
5.000 kg pada tahun 2003 menjadi 400.000 kg pada tahun
2005, dengan rasio Taxol® yang diperoleh adalah 30.000 : 1
(kg/kg) (Farr, 2008). Menurut data IUCN (2014), status
keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List, yaitu sebagai
3.1 Biologi Taxus
3.1.1 Pembungaan dan Pembuahan
H
ampir semua jenis Taxus berumah dua, namun T.canadensis merupakan tumbuhan berumah satu (Wilson et
al., 1996). Bunga berukuran kecil dan soliter yang tumbuh
dari tunas aksila. Kuncup bunga betina terdiri atas ovul
tunggal yang dikelilingi oleh lima kelopak bunga (Difazio
et al., 1996). Anthesis diindikasikan dengan terdapatnya
mikropolar pada ovul yang terbuka, yang selanjutnya akan
berkembang menjadi satu benih (Allison et al., 2008; Difozio
et al., 1996). Kuncup bunga jantan biasanya mengelompok
di sepanjang bagian bawah percabangan (Difazio et al.,
1996). Bunga jantan memiliki 14 stamen (penghasil gamet jantan), masing-masing dengan 5–9 mikrosporangia atau kantong polen. Polen tersebar pada bulan Februari–Mei dengan butir-butir polen berwarna kuning dan berdiameter
sekitar 19–26 m (Maguchi & Fukuda, 2001). Buah masak
pada akhir musim panas sampai musim gugur; susunan luar buah berdaging dengan aril berbentuk seperti cangkir, tumbuh tunggal, keras, berbentuk oval dengan panjang
mencapai lebih dari 6 mm (Wilson et al., 2006). Biji yang
matang memiliki lapisan luar berwarna cokelat keabuan
BAB
sampai cokelat dan terisi dengan jaringan megagametofit putih (kaya lemak).
Informasi mengenai frekuensi pemanenan benih berkualitas baik hanya sedikit. Pembungaan dan produksi buah akan dihasilkan pada pohon yang telah berumur 30– 35 (Thompson & Teoranto, 2014). Namun, terdapat indikasi
bahwa hampir seluruh jenis Taxus memproduksi benih
hampir setiap tahun, dengan jumlah benih/pohon yang sangat bervariasi. Benih yang ditemukan pada lapisan atas tanah tetap utuh dan memiliki viabilitas baik, meskipun
sudah jatuh bertahun-tahun (Minore et al., 1996).
Jumlah benih Taxus per kilogram sangat bervariasi
Amerika Serikat 13.200-15.000 14.100 3
T. brevifolia Carson & Skamania 32.400-36.200 33.100 2
South Cascade 23.800-25.900 24.950 10 Central Cascade 26.330-39.950 31.077 4
T. canadensis Upper Midwest 33.000-62.400 46.300 4
Minesota & Wincosin 35.700-38.460 37.000 4
T. cuspidata Jepang 24.700-43.000 31.300 7
Amerika Serikat 14.840-19300 16.300 3
Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa data T. sumatrana tidak ada. Hal ini berarti, T. sumatrana belum
dipelajari dengan baik tentang keberadaan dan
pemanfaatannya secara luas di Indonesia. Jumlah benih per
kilogramnya termasuk banyak sehingga benih-benih Taxus
termasuk kelompok benih berukuran sedang.
3.1.2 Pengumpulan Buah
Pematangan buah dan pemasakan aril (bentuk biji penuh dengan warna aril merah–oranye) berlangsung selama berbulan-bulan. Selama periode tersebut, peluang hilangnya buah karena dimakan satwa mamalia cukup tinggi, yaitu mencapai 75% hanya dalam beberapa hari
(Wilson et al., 1996; Sharma & Uniyal, 2010). Untuk
menghindari kehilangan akibat hama, pemetikan buah harus dilakukan teratur dan dimulai saat satu per satu buah tersebut mulai matang. Untuk menjamin terkumpul-nya benih pada satu areal khusus, pemasangan kantong plastik pada percabangan-percabangan yang berbuah cukup efektif sehingga buah tidak jatuh akibat pergerakan tupai atau hama lainnya. Jika pengunduhan buah secara individual tersebut untuk setiap pohon dianggap tidak praktis, pemanenan dapat dilakukan dengan
membentang-kan membentang-kantong plastik di bawah percabangan (Difazio et al.,
1996). Biasanya, pemasangan dimulai pada bulan Juli dan pengecekan dilakukan pada akhir musim gugur.
Fenologi T. sumatrana hingga saat sekarang belum
terdokumentasikan dengan baik, apalagi Taxus pada
mendapatkan pohon terisolasi dan tidak berbuah akan
sangat besar. Fenologi T. sumatrana harus diketahui dengan
baik agar dapat mengembangkan strategi perbanyakannya. Teknik perbanyakan secara vegetatif untuk klon-klon unggul merupakan salah satu teknik dalam pengadaan benih.
3.1.3 Ekstraksi dan Pembersihan
Benih harus segera diekstraksi dari daging buah setelah dipanen (Thompson & Teoranto, 2014). Penyimpan-an dengPenyimpan-an daging buah akPenyimpan-an mengundPenyimpan-ang infeksi jamur. Ekstraksi benih dilakukan dengan maserasi aril segar di
dalam air (Jaziri et al., 1996). Benih yang dimasukkan dalam
mesin pembersih berkecepatan rendah merupakan metode pemisahan aril yang cukup praktis tanpa merusak benih. Setelah ekstraksi selesai, benih harus dikeringkan. Langkah selanjutnya setelah benih kering, antara lain penimbangan berat benih, penyemaian langsung, stratifikasi, ataupun
penyimpanan dingin (cold storage). Kemurnian lot benih
biasanya berkisar 96–100% dan tingkat kesehatan 78–99% (Vance & Rudolp, 2000).
Teknik ekstraksi benih T. sumatrana juga belum
banyak ditulis. Teknik ekstraksi basah akan lebih menjamin
persentase kesehatan benih yang lebih baik karena Taxus
mempunyai struktur daging buah yang mudah terkelupas jika difermentasi terlebih dahulu.
3.1.4 Penyimpanan
Benih Taxus termasuk dalam kelompok benih
ortodoks sehingga memiliki daya simpan yang cukup lama. Penyimpanan pada suhu rendah dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan viabilitas pada angka rata-rata 50– 70% (Thompson & Teoranto, 2014). Untuk menjaga agar viabilitas benih tetap tinggi pada periode penyimpanan jangka panjang sampai 5–6 tahun, benih tersebut harus segera dikeringanginkan selama 2 minggu sesaat setelah diekstraksi dan dibersihkan, selanjutnya disimpan dalam
wadah tertutup dengan suhu 1–2oC (Rudolf, 1974). Pada
kondisi benih dikeringkan sampai kadar air 2–3% dengan kelembaban realtif 12–25%, viabilitas benih sebesar 90% dapat dipertahankan selama berminggu-minggu pada
penyimpanan suhu ruangan 25oC. Cara lain untuk
mempertahankan viabilitas benih yang cukup praktis dan sederhana adalah dengan menyimpan benih tersebut pada media pasir yang lembab dan gembur pada suhu rendah. Dengan teknik sederhana seperti ini, benih dapat disimpan selama 4 tahun (Thompson & Teoranto, 2014).
Teknik penyimpanan benih pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang masa hidup atau viabilitas benih agar ketika dikecambahkan akan memiliki persentase
tumbuh yang tinggi. Berbagai teknik penyimpanan benih T.
3.1.5 Perlakuan Praperkecambahan
Secara umum, benih Taxus sangat lambat
berkecam-bah (Foster, 1993; Hartzell, 1991; Windels & Flaspohler, 2011). Perkecambahan alami biasanya tidak terjadi pada satu tahun setelah benih jatuh, namun benih akan
berkecambah pada 2–4 tahun berikutnya (Minore et al.,
1996; Thompson & Teoranto, 2014). Benih yang masih viable
dapat ditemukan pada lapisan permukaan atas tanah/ serasah, meskipun benih tersebut sudah jatuh
bertahun-tahun sebelumnya. Data yang dilaporkan Minore et al.
(1996) menyebutkan bahwa 59% perkecambahan Taxus
secara alami terjadi dengan dipicu oleh kondisi kebakaran yang menyebar dan 41% sisanya akan terjadi setelah tersimpan lebih dari 3 tahun dalam lantai hutan. Mamalia
atau burung pemakan benih Taxus tidak akan membuat
benih tersebut cepat berkecambah, tetapi peran mereka hanya sebatas dalam penyebaran benih (Linares, 2012). Hal ini pun porsinya menjadi sedikit karena sebagian besar buah yang dikonsumsi akan dimakan dan dicerna oleh
satwa tersebut. Sebagai contoh pada Taxus cuspidata,
mamalia dan burung mampu mengonsumsi 90% benih jenis ini dan hanya menyisakan 10% benih yang jatuh ke
tanah dan tersebar (Minore et al., 1996).
Benih Taxus sangat kuat dengan masa dormansi yang
bervariasi dan umumnya pematahan dormansi dilakukan dengan skarifikasi panas-dingin. Prosedur pematahan
dormansi untuk jenis Taxus yang direkomendasikan oleh
International Seed Testing Association (ISTA) berupa
Tabel 2 menggambarkan perlakuan skarifikasi untuk
beberapa jenis Taxus yang pernah dilakukan.
Tabel 2. Periode skarifikasi dan kondisi uji perkecambahan
Jenis
Kondisi perkecambahan Kemampuan berkecambah
rata-rata Stratifikasi (hari) Suhu (oC)
Panas Dingin Siang Malam
T. baccata - - 16 10 67
T. baccata 120 365 10–16 10–16 47
T. brevifolia - - 30 20 55
T. cuspidata 120 365 10–16 10–16 68
Sumber: Vance & Rudolp (2000)
Cara lain yang dilakukan oleh Zhiri et al., (1994)
untuk memecah masa dormansi adalah melakukan pencucian dan perendaman selama 7 hari dan perlakuan
perkecambahan secara in vitro pada media MS (Murashige
dan Skoog) atau H (Heller) yang dimodikasi. Dengan metode ini, benih akan berkecambah 100% dalam waktu 7 hari setelah penaburan. Perlakuan tersebut memberikan kemungkinan bahwa dormansi kulit merupakan problem utama sehingga penyerapan air secara imbibisi berjalan sangat lambat dan membutuhkan nitrogen dari larutan MS.
3.1.6 Perkecambahan dan Uji Viabilitas Benih
Tipe perkecambahan benih Taxus adalah epigeal.
(Thompson & Teoranto, 2014; Minore et al., 1996). Salah satu penyebab hal ini adalah adanya dormansi yang sangat tinggi. Persentase perkecambahan pada tahun pertama tidak secara otomatis dapat mengindikasikan potensi perkecambahan benih karena perkecambahan masih akan
berlangsung pada tahun-tahun berikutnya (Minore et al.,
1996). Teknik perkecambahan Taxus yang lebih cepat
memerlukan perlakuan awal (skarifikasi dan stratifikasi) untuk melakukan pematahan dormansi, baik dormansi fisik, fisiologis maupun embrio.
Uji perkecambahan benih untuk jenis-jenis Taxus
yang direkomendasikan sebagai pilihan pertama adalah
pewarnaan dengan tetrazolium. Berikutnya, uji dilanjutkan
dengan perkecambahan dalam media pasir pada suhu
lingkungan 30oC selama 28 hari setelah dilakukan
stratifikasi selama 270 hari (ISTA, 1993). Uji pemotongan benih juga direkomendasikan sebagai teknik yang cepat untuk mengecek viabilitas benih. Setelah benih dipotong dengan pisau tajam menjadi dua bagian, pengujian dapat dilakukan terhadap embrio dan megagametofit. Jika embrio berkembang dan tidak berwarna (bening/ transparan) dengan kuncup kotiledon terlihat dan megagametofit berwarna putih, benih dapat
dikelompok-kan sebagai benih dewasa dan viable. Uji viabilitas dengan
metode pewarnaan selama 24–28 jam, yang selanjutnya diteruskan dengan pemotongan embrio, akan memberikan
hasil benih viable jika semua bagian embrio dan