• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran tentang tinjauan kepustakaan atas diskresi yang Penulis uraikan dalam bab ini tidak lain dimaksudkan yntuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah, yaitu bagaimana diskresi sebagai cara penyelesaiaan sengketa atau perbedaan pendapat dengan keterlibatan investor asing dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia.

Gambaran tinjauan kepustakaan atas konsep diskresi tersebut terdiri dari hakikat diskresi, pertanggung jawaban diskresi, bentuk diskresi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban, pertanggungjawaban pengadilan pengguna diskresi, dan arti penting dari studi kepustakaan diskresi.

2.1

Konsep Diskresi

Diskresi1 berasal dari bahasa Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam hal seseorang pejabat yang berwenang memutuskan sesuatu tindakan berdasarkan ketentuan-katentuan peraturan, Undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan. Dalam Bahasa Inggris mengartikan diskresi diartikan sebagai suatu kebijaksanaan, keleluasaan.

(2)

Sedangkan diskresi sendiri dalam kamus hukum memiliki pengertian sebagai suatu “kebebasan seorang pejabat mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri”.2

Ada dua bentuk diskresi yaitu (1) diskresi bebas, dalam diskresi bebas undang-undang hanya menetapkan batas-batas dan Administrasi Negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui atau melanggar batas-batas tersebut; sedangkan dalam yang ke dua (2) diskresi terikat, undang-undang menetapkan bebarapa alternatif keputusan dan Administrasi Negara bebas memilih salah satu alternatif keputusan yang disediakan oleh Undang-undang.3

Diskresi yang juga disebut sebagai freies ermessen adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Akan tetapi, Pustaka yang ada menerangkan bahwa dalam pelaksanaan diskresi haruslah tindakan-tindakan Administrasi Negara itu sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum.4

Freies ermessen atau juga dikenal dengan istilah discretionary power adalah

kewenangan Administrasi Negara untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga negara.5

2 JCT Simorangkir, SH, dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 38.

3

Julista Mustamu, SH., MH., Diskresi & Tanggungjawab Administrasi Pemerintah, Jurnal Sasi Vol.17 No. 2, 2011, hlm. 3.

4

Prof. Dr. Sjachran Basah, SH., CN., Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di

Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 3

(3)

Diskresi sendiri diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan Administrasi Negara untuk melakukan tindankan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang, atau tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).6

Freies ermessen digunakan terutama karena; pertama, kondisi darurat yang

tidak memungkinkan untuk menerapkan ketentuan tertulis; kedua, tidak ada atau belum ada peraturan yang mengaturnya; ketiga, sudah ada peraturannya namun redaksinya samar atau multitafsir.

Kebebasan dalam diskresi tersebut adalah kebebasan Administrator yang mencakup kebebasan Administrasi (interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid).

Kebebasan interpretasi mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki organ pemerintah untuk menginterpretasikan suatu undang-undang.

Kebebasan mempertimbangkan muncul ketika undang-undang menampilkan dua pilihan (alternatif) kewenangan terhadap persyaratan tertentu yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ pemerintahan. Sedangkan kebebasan mengambil kebijakan lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan

(4)

kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan.7

Freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada Alat

Administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan Alat Administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.8 Yang sejatinya mengharuskan untuk sebagai Alat Negara mengambil perkenan mengutamakan keefektifan tercapainya tujuan yang sesuai dengan hukum.

Selanjutnya ada pula yang mengartikan freies ermessen yaitu freies ermessen sebagai kemerdekaan bertindak administrasi negara atau pemerintah (eksekutif) untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang memaksa, dimana peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum ada.9 Menurut penulis belum ada aturan tertulis tetapi ada dalam hukum yang selalu tertulis.

Begitu pula ada yang mengatakan dengan bersandar kepada freies ermessen Administrasi Negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum. Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk

7 Ibid, hlm. 81-82.

8

Nata Saputra SH., Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm. 15. .

9 Diana Halim Koentjoro SH., MHum., Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004,

(5)

bertindak, administrasi Negara juga diberikan kewenangan untuk membuat instrumen hukumnya.10

Lebih jauh, dalam melaksanakan tugas, pada dasarnya Pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi juga melakukan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang belum diatur secara tegas oleh undang-undang (Diskresi).11

Kekuasaan diskresi meng-ada sebagai kekuasaan pemerintah tersebut berpotensi untuk terjadi tindakan diskresi oleh pemerintah, dalam situasi-kondisi dimana hukum ceteris paribus (semua variable dalam keadaan sama) berlaku, maka asas legalitas yang berlaku dan kekuasaan pemerintah di bawah asas legalitas adalah kekuasaan terikat. Adapun dalam situasi kondisi abnormal dimana hukum citeris

paribus tidak berlaku, maka demi hukum asas legalitas tidak berlaku dan kekuasaan

pemerintah dalam situasi demikian kekuasaan bebas atau diskresi. 12

Pula, Diskresi ini merupakan refleksi pengakuan bahwa konsep penegakan hukum secara total (total enforcement) dilaksanakan, sehingga yang terjadi adalah diskresi menjadi sumber pembaharuan regulasi apabila direkam dan dipantau dengan baik sistemis.13

10 Prof. Dr. Sukamto Satoto SH., MH., Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik Magister Ilmu Hukum, Universitas Jambi, 2011, hlm. 1.

11

Prof. Dr. Phillipus M. Hadjon SH., dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 270- 278.

12

Khrisna D. Darumurti SH., MH., Kekuasaan Diskresi Pemerintahan (Kajian Konsep, Dasar

Pengujian, Dan Sarana Kontrol), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 6-8. 13 Hasil Penelitian Penulis, Membaca Undang-undang Kepolisisan.

(6)

Didalam undang-undang kepolisisan “diskresi” dalam Pasal 18 Ayat (1) untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.14

Sementara itu, menurut penjelasan Pasal 18 Ayat (1) yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.

Memperhatikan berbagai pengertian diskresi tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya diskresi adalah suatu kontrak (a contract), dimana hukum memberikan wewenang kepada pejabat sebagai pihak menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang pejabat yang berwenang. Arti Kontrak menghakikati diskresi sebagai suatu kontrak dirujuk dari karya tulis Jeferson Kameo S.H., LLM., PhD yaitu Kontrak Sebagai Nama Dari Ilmu Hukum yang pengertiannya adalah : segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk oranglain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki.

(7)

2.2

Pihak yang Berwenang dalam Penggunaan Diskresi

Negara yang bermaksud atau bertujuan mensejahterakan rakyatnya seringkali bertemu dengan suatu permasalahan yang memerlukan tindakan-tindakan di luar kewenangannya yang bersifat terikat dalam suatu hukum. Tindakan nyata secara normal terhadap penyelenggaraan pemerintahan agar service public dapat dilaksanakan dan berjalan dengan maksimal. Agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada Administrasi Negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislative,15 tetapi di dalam hukum.

Jawaban atas pertanyaan siapakah pihak-pihak yang berwenang (the parties

of the contract) untuk penggunaan diskresi adalah suatu pertanyaan dalam pengertian legal issue yang sangat relevan apabila orang memandang bahwa diskresi itu pada

hakikatnya adalah suatu kontrak. Disini sudah barang tentu pihak tersebut adalah milik badan atau para Pejabat Negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang (inherent aan het bestuur).16

Badan atau Pejabat Negara tersebut di atas diberikan wewenang badan atau pejabat pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya yang memungkinkan untuk

15 Patuan Sinaga SH., MH., Hubungan antara kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam buku Dr. SF Marbun SH., MHum. dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 73.

(8)

melakukan pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.17 Badan yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan diskresi adalah : (1) Presiden; (2) Para Menteri atau Pejabat setingkat Menteri; (3) Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara; (3) Kepala Kepolisian Negara; (4) Ketua Komisi/Dewan dan Lembaga setara; (4) Gubernur; (5) Bupati dan Walikota; (5) Pejabat Eselon I di Pemerintah Pusat dan Provinsi; (6) Sekretraris Daerah Kabupaten/Kota; (7) Pimpinan Badan, Serta pejabat operasional yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan diskresi karena tugasnya berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat seperti: (a) Kepala resort Kepolisian Negara; dan (b) Camat.

Selain jabatan-jabatan dan pejabat tersebut diatas, pada prinsipnya setiap pejabat yang menjalankan urusan pemerintahan yang memiliki kewenangan secara atributif maupun delegasi memiliki kewenangan diskresi atau dalam pandangan penulis adalah pihak, karena kewenangan diskresi merupakan pelengkap dari asas legalitas.18

2.3. Pertanggungjawaban Diskresi

Setiap penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung jawab, sesuai dengan prinsip hukum kontrak pada umumnya yaitu “deen

bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid” (tidak ada kewenangan tanpa

17 Pasal 6, Draft, Rancangan Undang Undang tentang Administrasi Pemerintahan, Tahun 2008.

(9)

pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada jabatan, namun dalam implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan, maka siapa yang harus memikul tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan dan dapat pula berupa tanggung gugat pribadi.19

Ada dua bentuk tanggung jawab terhadap penggunaan diskresi, yakni : (1) Tanggung jawab jabatan terjadi ketika pembuat kebijakan menggunakan diskresi untuk dan atas nama jabatan, (2) Tanggung jawab pribadi diterapkan dalam hal pembuat kebijakan melakukan tindakan mal-administrasi,20 dan harus bertanggung jawab secara pribadi.

Selanjutnya terhadap keputusan diskresi yang menimbulkan akibat tindakan pidana, harus menjadi tanggung jawab Pejabat Administrasi Pemeritahan atau Badan yang bersangkutan; dan Keputusan diskresi yang menimbulkan akibat pada kerugian perdata bagi perorangan, kelompok masyarakat, atau organisasi menjadi tanggung jawab Pejabat Pemerintah yang menetapkan keputusan diskresi serta keputusan diskresi yang diakibatkan oleh kelalaian Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan, atau karena adanya kolusi, korupsi dan nepotisme, yang dapat merugikan keuangaan Negara atau Daerah dan/atau bertentangan dengan kebijakan Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah atau dapat menguntungkan pihak ketiga, dan pihak lain menjadi tanggung jawab pribadi (foult de personale) yang mana Pejabat

19 Julista Mustamu SH., MH., Op. Cit, Jurnal Sasi Vol.17 No. 2, 2011, hlm. 6.

(10)

Administrasi Pemerintahan yang tidak dapat dibebankan kepada negara baik perdata maupun pidana.

2.4. Bentuk Diskresi yang Dimintakan Pertanggungjawaban

Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum dengan menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan, mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijaksanaan, perizinan, dan sebagainya.21

Dari beberapa instrumen yuridis tersebut di atas itu merupakan bentuk dari diskresi yang dijalankan oleh pejabat dan terhadap pejabat yang menjalankan tugas kontraktual itu lah dapat dimintakan pertanggungjawaban, baik dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan prinsip equality before the law.

2.5. Pertanggungjawaban Pengadilan Pengguna Diskresi

Permintaan pertanggungjawaban pengadilan atas penggunaan diskresi oleh badan atau pejabat Negara dapat dilakukan dengan berdasarkan atas asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Penyimpangan terhadap penggunaan diskresi dapat diuji melalui peradilan dan pembuat kebijakan akan dibebani tanggung

(11)

jawab.22 Di Inggris, pengertian terhadap hal itu disebut dengan konsep judicial

review.

Itu cara atau proses pengujiannya yaitu dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang maka akan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Unsur sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Suatu kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur jika kebijakan itu nyata-nyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk

onredelijk).23 Orang sering menggampangkan hal itu tidak adil atau unjust.

Pasal 6 Ayat (2) dan Ayat (3) dari Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan pernah menyebutkan bahwa penggunaan diskresi wajib dipertanggungjawabkan kepada Pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil serta dapat diuji melalui upaya administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

Alasan atas dapat dimintakannya kegunaan diskresi itu sendiri didasarkan pada persoalan penting yang mendesak, sekurang-kurangnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut : (1) Persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum,24 yang dimaksud adalah, kepentingan bangsa dan negara,

22

Ibid.

(12)

kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak atau bersama, serta kepentingan pembangunan; (2) Munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada diluar rencana yang telah ditentukan; (3) Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum, sehingga Administrasi Negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan atas inisiatif sendiri; (4) Prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal, atau jika diselesaikan menurut prosedur administrasi yang normal justru kurang berdaya guna dan berhasil gunaatau dapat menciptakan ketidak adilan dan penindasan yang membabi buta.; dan (5) Jika persoalan tersebut tidak diselesaikan dengan cepat, maka akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.25

Dari beberapa penjelasan di atas permintaan pertanggungjawaban pengadilan atas penggunaan diskresi oleh Badan atau Pejabat Negara dapat dilakukan dengan berdasarkan atas asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) artinya, seperti penulis telah kemukakan di atas penyimpangan terhadap penggunaan diskresi dapat diuji melalui peradilan dan pembuat kebijakan akan dibebani tanggungjawab yang mana suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang karena adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk segera dilakukannya tindakan-tindakan

24

Kepentingan umum menurut penjelasan Pasal 49 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

25 Dr. SF Marbun SH., MHum., dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII

(13)

tertentu demi kepentingan umum seperti yang dijelaskan oleh Pasal 49 Undang Undang No. 5 tahun 1986.26

2.6. Arti Penting dari Studi Kepustakaan Terhadap Diskresi

Penulis di atas memberikan kejelasan terhadap doktrin-doktrin hukum terkait dengan masalah atau objek yang akan diteliti oleh Penulis yaitu “Diskresi Sebagai

Cara Penyelesaian Sengketa yang Melibatkan Investor Asing yang Melakukan Penanaman Modal di Indonesia”. arti penting atas studi kepustakaan terhadap

Diskresi yang dimaksud dalam skripsi ini.

Arti penting yang pertama dari tinjauan terhadap kepustakaan yang ada terhadap hal-hal yang berkaitan dengan diskresi untuk menjawaba rumusan masalah penelitian ini adalah, yang terutama; diskresi itu adalah suatu kaontrak (a contract).

Sebagai suatu kontrak maka diskresi itu adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak (a parti to contract), yang dalam hal ini, terutama adalah dengan cara menurut pejabat Administrasi Negara yang telah diberikan (power to

contract) untuk itu hukum.

Pihak (a parti to contract) yang melaksanakan kesenangan diskresi tersebut bertindak dalam batas-batas janji yang telah diucapkannya, demikian pula dengan perjanjian yang telah dibuatnya dengan pihak warga masyarakat atau karena adanya tuntutan hukum, yang antara lain ialah UU, Kepatutan, kesusilaan, kepantasan, dan

(14)

juga tuntutan keadilan (justice) meskipun tidak ada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dari koefisien determinasi R2 yang terhitung, dapat disimpulkan bahwa variasi yang terjadi terhadap pendapatan disebabkan oleh variasi dari variabel-variabel independen sebesar

Ferrari dkk., (1995: 16) mengatakan bahwa sebagai suatu kecenderungan menunda, prokrastinasi akademik dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang dapat diukur dan

sosialisasi mulai dari mekanisme pemutakhiran dan penyusunan data pemilih, dan peran serta masyarakat dalam Pilkada. Sosialisasi dilakukan juga melalui

Selanjutnya cawan Petri diinkubasi pada suhu ruang dan pengamatan dilakukan terhadap luas koloni jamur patogen, dengan mencatat luas koloni patogen setiap hari untuk

(2) Dalam hal nilai Surat Berharga Bank pada saat USD Repo jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi Nilai Pembelian Kembali, maka Bank Indonesia

Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan menyelenggarakan Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ON MIPA-PT) dengan

menunjukkan angka larva uji asal Sekotong 0,97; Batu Layar 0,89 dan Pasar Seni Senggigi 0,90 dengan kriteria yang telah ditetapkan maka larva uji asal Sekotong

Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk memutuskan keefektifan ventilasi atau